Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya


Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir
bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama
Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara
informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan
berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan.
Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang
ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib
dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini
dikenal masyarakat sebagai pesantren.
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak
perubahan mendasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia.
Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu
sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan
antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa
pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat
(ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus
berlanjut hingga kini.
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah
berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh
penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa
sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian
mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau
pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian
sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala
mengembangkan suatu ilmu .
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari
kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah
sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi
kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan
agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70 persen ilmu umum dan 30
persen agama.
Dengan demikian, berdasakan problematika di atas, maka dalam makalah ini akan
mengupas tentang pendidikan islam di Indonesia yang ada pada sekolah umum dan agama
serta menindak lanjuti solusinya.

1.2  Rumusan Masalah


1.      Apakah yang mendasari Pendidikan Agama di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat
perhatian dari Pemerintah ?
2.      Bagaimana usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan
sekolah umum yang setingkat ?

1.3  Tujuan Masalah


1.      Untuk mengetahui hal yang mendasari Pendidikan Agama di sekolah umum sedikit demi
sedikit mendapat perhatian dari Pemerintah.
2.      Untuk mengetahui usaha Pemerintah dalam meningkatkan mutu madrasah agar sejajar
dengan sekolah umum yang setingkat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum


Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan suatu gebrakan dalam
pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan agama tidak mendapat tempat di
sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh keluarga, bukan di sekolah.
Kolonial Belanda sangat gencar menghambat perkembangan pendidikan agama di sekolah
umum karena selain menjajah territorial, Belanda juga membawa misi kristenisasi di
Indonesia.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit
demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama
diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama
telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal
dan informal.
Pendidikan Agama setelah kemerdekaan
Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.
Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan hal itu. Pada tanggal
1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya
bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan
agama yang menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal 18
Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
sila pertama dari Pancasila, sebagai manifestasi dari sikap hidup yang religius tersebut. Selain
itu pada pasal 29 UUD 1945 yang menjelaskan tentang:
Ayat 1 : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat 2 :Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Maka untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah RI membentuk Departemen Agama.
Tugas utama departemen ini adalah mengurus soal-soal yang berkenaan dengan kehidupan
beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu di antaranya adalah berkenaan dengan
pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh Departemen Agama
tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama saja, pesantren dan madrasah, tetapi juga
menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 dan 2 sebagai berikut :
1.      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
2.      Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakarpada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dari rumusan di atas, dalam rangka mengembangkan potensi manusia Indonesia
seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945, diperlukan adanya pelaksanaan pendidikan agama
sebagai mata pelajaran wajib di sekolah pada semua jalur jenis dan jenjang pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan undang-
undang dapat dilihat pada beberapa pasal dari UUSP No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas ditegaskan bahwa :
Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak manusia.
Bab V tentang peserta didik, Pasal 12 ayat (1)
(1)   Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a.       Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama.
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
Bab X tentang kurikulum pada Pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan :
(3)   Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memerhatikan :
a.       Peningkatan iman dan takwa
b.      Peningkatan akhlak mulia
c.       Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.
d.      Keraguan potensi daerah dan lingkungan
e.       Tuntutan pembangunan daerah dan lingkungan
f.       Dinamika perkembangan global
Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum diatur dalam
undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya
pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen-komponen pendidikan lainnya.
Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia seutuhnya
dan masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berfungsi sebagai berikut:
1.    Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan berakhlak mulia.
2.    Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal sebagai berikut :
a.         Melestarikan asa pembangunan nasional, khususnya asa perikehidupaan dalam
keseimbangan.
b.        Melestarikan modal dasar pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan mental berupa
keimanan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan akhlak mulia.
c.         Membimbing warga negara Indonesia menjadi warga negara yang baik sekaligus umat yang
taat menjalankan agamanya.
Hal ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang
fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dari kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, dinyatakan bahwa
dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama menempati tempat
yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan agama mempunyai relevansi dengan
pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
memberikan makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian seluruh
makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian seluruhnya secara
seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya harus dipandang memiliki unsur jasad,
akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan
agama. Kesemuanya harus berada dalam kesatuan integrlistik yang bulat. Pendidikan agama
perlu diarahkan untuk mengembangkan iman, akhlak, hati nurani, budi pekerti serta aspek
kecerdasan dan keterampilan sehingga terwujud keseimbangan. Dengan demikian,
pendidikan agama secara langsung akan mampu memberikan kontribusi terhadap seluruh
dimensi perkembangan manusia Indonesia seutuhnya seperti tercermin dari semua unsur yang
terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti yang dimaksudkan.1[1]
Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya adalah
pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik antara
penanggung jawab pendidikan, yaitu yang di dalamnya terdiri dari kepala sekolah, para guru,
staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya mutlak diperlukan. Hal ini bukan
hanya karena peserta didik masih memerlukan perlindungan dan bimbingan sekolah dan
keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang
diterima peserta didik dari kedua lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya
kepribadian anak. Pengaruh komplikasi psikologis tersebut selain bisa mengakibatkan frustasi
pada diri anak, juga dapat menghambat perkembangan jiwa anak didik.
Dengan kata lain, suatu kerjasama antara penanggung jawab pendidikan tersebut perlu
diintensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun orang-orang tua murid.
Pertemuan antara kedua pendidik (guru dan orang tua) perlu diadakan secara periodik,
kunjungan guru ke rumah orang tua murid yang diatur secara periodik untuk saling
mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat tentang anak didiknya adalah merupakan
kegiatan padagogis yang sangat penting artinya bagi usaha menyukseskan pendidikan agama.
Guru perlu mengetahui sedikit tentang suasana rumah, tempat anak itu hidup, sehingga guru
mengetahui suasana hidup keagamaannya dan bagaimana pandangannya terhadap perlunya
pendidikan agama bagi putra-putrinya.Guru memerlukan keterangan-keterangan dari orang

1[1] Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah
Atas dan Madrasah Aliya, (Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hlm. 17.
tua murid mengenai anaknya masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh
petunjuk-petunjuk yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah.
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di sekolah.
Terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan masyarakat
mempunyai hubungan timbal balik, yaitu sekolah menerima pengaruh masyarakat dan
masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah. Menjadi tugas sekolah untuk
mengenal anak agar mereka belajar hidup di masyarakat dan belajar memahaminya dan
mengenal baik buruknya. Dengan demikian, dengan cara tersebut diharapkan agar anak
memahami dan menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu dari tujuan sekolah adalah
mengantar anak dari dalam kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan masyarakat harus menjadi
penunjang dan pelengkap yang mampu untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan
keagamaan anak. Demikian pula hendaknya yang terjadi di lingkungan keluarga, pendidikan
agama harus menjadi pendorong yang saling menguatkan, sehingga melalui program
keterpaduan dapat dikembangkan program pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling
mengisi dan menguatkan. Program pendidikan agama pada ketiga lingkungan pendidikan
tersebut harus diusahakan agar tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak jadi
bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan pendidikan
agama Islam akan tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa
pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan
hubungan antarumat beragama.
Adapun tujuan pendidikan agama, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta
didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai agama
Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa dalam
pelaksanaan pendidikan agama harus memerhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang
berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
2.      Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya
dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam
berbangsa dan bernegara.
3.      Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis
sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni.
4.      Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat
internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5.      Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamaan dan
menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam
pelajaran, dan kedalamannya.
Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan
agama, dengan ketentuan sebagai berikut :
1.      Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
2.      Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggaraan
pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta
didik.
3.      Satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik
untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh
peserta didik.
4.      Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar
lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
5.      Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun
tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama tingkat SD, SMP, dan
SMA/SMK, atau bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama, ditambah sertifikat profesi
pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Pendidik pendidikan
agama adalah guru mata pelajaran pendidikan agama harus memiliki latar belakang agama
sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama yang
diajarkan bagi pendidik yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana tersebut,
tetapi memiliki di bidang agama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.
Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan
yang bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Mengenai
pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawas pendidikan agama terhadap
penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi,
pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Laporan sebagaimana dimaksud di atas berisi
evaluasi terhadap pelaksanaan teknis pendidikan agama dan ditujukan kepada Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah Departemen Agama.2[2]
2.2  Pendidikan Agama Islam di Madrasah
1.      Berkembangnya Madrasah di Indonesia
Madrasah (Bahasa Arab) berarti tempat untuk belajar. Persamaan Madrasah alam
bahasa Indonesia adalah “sekolah”, dengan konotasi yang khusus yaitu sekolah-sekolah
agama Islam. Tempat belajar adalah tempat untuk mengajarkan dan mempelajari ajaran-
ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan, dan keahlian lainnya yang berkembang pada
zamannya.
Sekitar abad ke-19, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah
modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat sehingga hal itu sedikit
banyak mempengaruhi system pendidikan yang telah berkembang di Indonesia, termasuk
pesantren yang menjadi sistem pendidikan madrasah. Sistem sekolah yang dikembangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda telah memasuki dunia pesantren. Sistem khalaqah bergeser
ke arah sistem madrasah dalam bentuk klasikal, dengan unit-unit kelas.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak madrasah yang didirikan terpisah dengan
induknya yaitu pesantren, surau atau masjid. Bahkan, dengan adanya ide-ide pembaruan
dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak sedikit madrasah yang didirikan sudah
lepas sama sekali dengan pesantren sehingga tidak hanya memberikan pengetahuan agama,
tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum, sesuai dengan tuntutan zaman. Madrasah yang
pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang Sumatra Barat,
yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad tahun 1909.
Madrasah tersebut pada mulanya bercorak agama murni. Akhirnya pada tahun 1915
berubah coraknya menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah. HIS Adabiyah inilah yang
merupakan sekolah pertama yang memasukkan pelajaran agama ke dalam kegiatan
pengajarannya.
Awal abad ke-20 merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di
seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi dan belum ada keseragaman
baik isi kurikulum serta rencana pelajaran. Baru, setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun
1950 mulai dirintis penyeragaman bentuk, sistem dan rencana pelajaran. Dari sini dapat
dikatakan bahwa madrasah-madrasah pada awal perkembangannya masih bersifat diniyah

2[2] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 15-23.
semata, atau materi pendidikannya hanya agama. Kemudian sekitar tahun 1930 terjadi
pembaruan madrasah, yaitu dengan masuknya pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya.3[3]

2.      Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Madrasah


Secara historis, pada tahap-tahap awal perjalanan madrasah tidaklah begitu mulus,
kendatipun didirikan dengan nama madrasah, semula yang dikehendaki ialah suatu lembaga
pendidikan dengan sistem klasikal, yang didalamnya anak didik mendapatkan ilmu
pengetahuan agamaan umum secara berimbang. Tetapi prakteknya hanya dicerminkan oleh
sistem klasikalnya saja, sementara kurikulum yang diajarkan tetap semata-mata bidang studi
agama. Karena itu banyak madrasah pada tahap-tahap awal ini tidak bedanya dengan
pesantren tradisional yang sudah lama berjalan.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka oleh Departemen Agama diadakanlah upaya-
upaya untuk peningkatan kualitas madrasah, yang salah satu aspeknya adalah kurikulum.
Untuk masalah kurikulum ini, dalam perkembangannya telah beberapa kali diadakan
perubahan, dari yang muatannya lebih banyak pengetahuan agama dari pada pengetahuan
umum sampai dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang memuat kurang lebih 10%
pendidikan agama dan 90% pengetahuan umum.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan
perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah
modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari
mengikuti system klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan bidang-bidang pelajaran
tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat ditentukan
oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya sistem pondok mulai ditinggalkan dan berdiri
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern.
Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah yang
hanya mengajarkan pengetahuan agama.
Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan
nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum
masuk ke dalam kurikulum madrasah, dan terus berproses sebagaimana digambarkan
terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan
madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di
sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti
3[3] Zuhairini & Abdul Ghofur, Metodelogi Pembelajaran PAI, 2004, hal. 30-31.
sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah
(MI) untuk tingkatan dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, Madrasah
Aliah (MA) untuk tingkatan SMA, dan ada pula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang
disebut normal Islam.4[4]
Dalam tahap selanjutnya, penyesuaian tersebut demikian terpadunya, sehingga kabur
perbedaannya, kecuali pada kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam.
Kurikulum madrasah masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun
dengan prosentase yang berbeda. Pada waktu pemerintah RI dalam hal ini Kementrian
Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan
madrasah, melalui Kementrian Agama, merasa perlu menentukan kriteria-kriteria madrasah.
Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada dalam
wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok
paling sedikit 6 jam seminggu.5[5]
Adapun pengetahuan umum yang diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal
adalah:
a         Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia
b        Berhitung
c         Ilmu bumi
d        Sejarah Indonesia dan Dunia
e         Olahraga dan kesehatan. 6[6]

Dalam perkembangannya, kurikulum pada madrasah dari waktu ke waktu senantiasa


mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini
dilakukan adalah dengan tujuan peningkatan kualitas madrasah, agar keberadaannya tidak
diragukan dan sejajar dengan sekolah-sekolah lain.7[7]

3.      Usaha Pembinaan dan Peningkatan Mutu Madrasah


Wewenang pembinaan diserahkan kepada Kementrian Agama. Tujuan pembinaannya
adalah madrasah berkembang secara terintegrasi alam satu sistem nasional, sebagaimana

4[4] Mahmud Yunus, Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1985, hal. 12-103

5[5] I. Djumhur-Danusaputra, Sejarah Pendidikan, 1979, hal. 223.

6[6] Muwardi Sutedjo, dkk., Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1992, hal. 42.

7[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1996, hal. 73.
yang dikehendaki oleh UDD 1945. Pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah
yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar
pada Kementrian Agama. Untuk dapat terdaftar, persyaratan utamanya adalah madrasah yang
bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit
6 jam seminggu sacara teratur di samping pelajaran umum. Upaya pemerintah menyediakan
para guru agama untuk sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan umum, pada tahun 1951,
kementrian agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Hakim
Agama Islam (SHAI). Kedua sekolah tersebut sering mengalami pergantian nama yang
akhirnya menjadi PGA dan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri).
Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan andil yang besar dalam
ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ciri khas madrasah yang menitikberatkan
pendidikan agama (mula-mula 100% agama kemudian 30% umum dan 70% agama),
dipandang kurang mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin
maju, yang membutuhkan penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah kurang
bersaing di bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum.
Padahal, orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga Negara Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar
dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud
dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun
1975, Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36
Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M,
komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran
umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni:
(1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk
tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.

Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:


a.       ijazah marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang
setingkat;
b.      murid madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
c.       lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang
akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana
pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah
akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
a.       standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
b.      standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
c.       standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
Dengan adanya SKB 3 M ini, maka tugas dan fungsi madrasah sebagai bagian integral
dari sistem pendidikan nasional makin mantap dan kuat sehingga lulusan madrasah bisa
memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum sebagai warga Negara
yang memiliki hak dan kewajiban.
Dengan demikian yang dimaksudkan pendidikan agama di madrasah adalah suatu
program untuk memenuhi sebagian dari tujuan pendidikan di madrasah di bidang
pengetahuan, penghayatan dan pengalaman agama. Program itu diarahkan untuk menjadi
muslim yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa baik yang diarahkan sebagai bekal
kemampuan pribadinya maupun sebagai bekal untuk memasuki lapangan kerja. Program
tersebut sebagai ciri khas kekhususan sebagai sekolah agama.
Materi pendidikan agama di madrasah untuk semua tingkat berdasarkan kurikulum
tahun 1934 adalah:
a)      Al-qur’an-hadits,
b)      Aqiah akhlak,
c)      Fiqh,
d)     Sejarah kebudayaan/peradaban Islam, dan bahasa Arab.8[8]
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada
peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan
kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam
rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
 

8[8] Zuhairini & Abdul Ghofur, Opcit, 2004, hal. 31-33.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
1)                       Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan hal itu.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan
bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk
mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit
demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama
diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama
telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal
dan informal.

2)                       Usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan
sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud dengan
SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975,
Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36
Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M,
komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran
umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni:
(1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk
tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.

Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:


(1) ijazah marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang
setingkat;
(2) murid madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
(3) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang
akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana
pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah
akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
(1) standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD;
(2) standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP;

(3) standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
I. Djumhur & Danusaputra. 1979. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Shaleh, Abdul Rachman. 2006. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Sutedjo, Muwardi. dkk. 1992. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga
Islam dan UT.
Yunus, Mahmud. 1985. Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zuhairini & Ghofur, Abdul. 2004. Metodelogi Pembelajaran PAI. Malang: Universitas Negeri
Malang.

Anda mungkin juga menyukai