PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1[1] Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah
Atas dan Madrasah Aliya, (Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hlm. 17.
tua murid mengenai anaknya masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh
petunjuk-petunjuk yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah.
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di sekolah.
Terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan masyarakat
mempunyai hubungan timbal balik, yaitu sekolah menerima pengaruh masyarakat dan
masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah. Menjadi tugas sekolah untuk
mengenal anak agar mereka belajar hidup di masyarakat dan belajar memahaminya dan
mengenal baik buruknya. Dengan demikian, dengan cara tersebut diharapkan agar anak
memahami dan menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu dari tujuan sekolah adalah
mengantar anak dari dalam kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan masyarakat harus menjadi
penunjang dan pelengkap yang mampu untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan
keagamaan anak. Demikian pula hendaknya yang terjadi di lingkungan keluarga, pendidikan
agama harus menjadi pendorong yang saling menguatkan, sehingga melalui program
keterpaduan dapat dikembangkan program pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling
mengisi dan menguatkan. Program pendidikan agama pada ketiga lingkungan pendidikan
tersebut harus diusahakan agar tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak jadi
bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan pendidikan
agama Islam akan tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa
pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan
hubungan antarumat beragama.
Adapun tujuan pendidikan agama, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta
didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai agama
Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa dalam
pelaksanaan pendidikan agama harus memerhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang
berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
2. Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya
dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam
berbangsa dan bernegara.
3. Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis
sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni.
4. Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat
internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5. Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamaan dan
menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam
pelajaran, dan kedalamannya.
Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan
agama, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
2. Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggaraan
pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta
didik.
3. Satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik
untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh
peserta didik.
4. Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar
lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
5. Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun
tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama tingkat SD, SMP, dan
SMA/SMK, atau bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama, ditambah sertifikat profesi
pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Pendidik pendidikan
agama adalah guru mata pelajaran pendidikan agama harus memiliki latar belakang agama
sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama yang
diajarkan bagi pendidik yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana tersebut,
tetapi memiliki di bidang agama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.
Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan
yang bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Mengenai
pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawas pendidikan agama terhadap
penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi,
pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Laporan sebagaimana dimaksud di atas berisi
evaluasi terhadap pelaksanaan teknis pendidikan agama dan ditujukan kepada Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah Departemen Agama.2[2]
2.2 Pendidikan Agama Islam di Madrasah
1. Berkembangnya Madrasah di Indonesia
Madrasah (Bahasa Arab) berarti tempat untuk belajar. Persamaan Madrasah alam
bahasa Indonesia adalah “sekolah”, dengan konotasi yang khusus yaitu sekolah-sekolah
agama Islam. Tempat belajar adalah tempat untuk mengajarkan dan mempelajari ajaran-
ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan, dan keahlian lainnya yang berkembang pada
zamannya.
Sekitar abad ke-19, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah
modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat sehingga hal itu sedikit
banyak mempengaruhi system pendidikan yang telah berkembang di Indonesia, termasuk
pesantren yang menjadi sistem pendidikan madrasah. Sistem sekolah yang dikembangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda telah memasuki dunia pesantren. Sistem khalaqah bergeser
ke arah sistem madrasah dalam bentuk klasikal, dengan unit-unit kelas.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak madrasah yang didirikan terpisah dengan
induknya yaitu pesantren, surau atau masjid. Bahkan, dengan adanya ide-ide pembaruan
dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak sedikit madrasah yang didirikan sudah
lepas sama sekali dengan pesantren sehingga tidak hanya memberikan pengetahuan agama,
tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum, sesuai dengan tuntutan zaman. Madrasah yang
pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang Sumatra Barat,
yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad tahun 1909.
Madrasah tersebut pada mulanya bercorak agama murni. Akhirnya pada tahun 1915
berubah coraknya menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah. HIS Adabiyah inilah yang
merupakan sekolah pertama yang memasukkan pelajaran agama ke dalam kegiatan
pengajarannya.
Awal abad ke-20 merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di
seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi dan belum ada keseragaman
baik isi kurikulum serta rencana pelajaran. Baru, setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun
1950 mulai dirintis penyeragaman bentuk, sistem dan rencana pelajaran. Dari sini dapat
dikatakan bahwa madrasah-madrasah pada awal perkembangannya masih bersifat diniyah
2[2] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 15-23.
semata, atau materi pendidikannya hanya agama. Kemudian sekitar tahun 1930 terjadi
pembaruan madrasah, yaitu dengan masuknya pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya.3[3]
4[4] Mahmud Yunus, Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1985, hal. 12-103
6[6] Muwardi Sutedjo, dkk., Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1992, hal. 42.
7[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1996, hal. 73.
yang dikehendaki oleh UDD 1945. Pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah
yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar
pada Kementrian Agama. Untuk dapat terdaftar, persyaratan utamanya adalah madrasah yang
bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit
6 jam seminggu sacara teratur di samping pelajaran umum. Upaya pemerintah menyediakan
para guru agama untuk sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan umum, pada tahun 1951,
kementrian agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Hakim
Agama Islam (SHAI). Kedua sekolah tersebut sering mengalami pergantian nama yang
akhirnya menjadi PGA dan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri).
Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan andil yang besar dalam
ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ciri khas madrasah yang menitikberatkan
pendidikan agama (mula-mula 100% agama kemudian 30% umum dan 70% agama),
dipandang kurang mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin
maju, yang membutuhkan penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah kurang
bersaing di bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum.
Padahal, orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga Negara Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar
dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud
dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun
1975, Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36
Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M,
komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran
umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni:
(1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk
tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.
3.1 Kesimpulan
1) Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan hal itu.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan
bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk
mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit
demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama
diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama
telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal
dan informal.
2) Usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan
sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud dengan
SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975,
Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36
Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M,
komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran
umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni:
(1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk
tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.
(3) standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
I. Djumhur & Danusaputra. 1979. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Shaleh, Abdul Rachman. 2006. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Sutedjo, Muwardi. dkk. 1992. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga
Islam dan UT.
Yunus, Mahmud. 1985. Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zuhairini & Ghofur, Abdul. 2004. Metodelogi Pembelajaran PAI. Malang: Universitas Negeri
Malang.