Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Tentang

PENDIDIKAN ISLAM SESUDAH INDONESIA MERDEKA

Dipresentasikan Untuk Memenuhi Persyaratan Perkuliahan Program Pendidikan


Islam Semester III Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

OLEH

______________________
NIM: 3003184001
DOSEN PENGAMPU
____________________
NIP. 195910011986031002

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ISLAM

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
A. Pendahuluan
Pendidikan agama merupakan cerminan bagi kehidupan manusia. Sebab
hal yang demikian mengarahkan seluruh kehidupan manusia untuk memiliki jati
diri sebagai hamba Tuhan. Dengan banyak mengamalkan pendidikan berarti
mengamalkan seluruh global edukasi di berbagai instansi pendidikan, baik itu
corak kurikulum, corak pelatihan, pengembangan dan sampai kepada corak
evaluasi pembelajaran dan pengembangan pendidikan. Pendidikan agama di
perguruan tinggi bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan
melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta
pengalaman mahasiswa tentang agama, sehingga menjadi manusia yang
seutuhnya, dan terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa
dan bernegara.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak
dari sejumlah landasan serta mengindahkan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan
dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama
terhadap pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa tertentu. Untuk
Indonesia, pendidikan diharapkan mengusahakan (1) Pembentukan manusia
Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu
mandiri dan (2) Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan
Negara Indonesia (Undang-undang Pendidikan Nasional tahun 1992).
Landasan-landasan pendidikan tersebut akan memberikan pijakan dan arah
terhadap pembentukan manusia Indonesia, dan serentak dengan itu, mendukung
perkembangan masyarakat, bangsa dan Negara. Sedangkan asas-asas pokok
pendidikan akan memberi corak khusus dalam penyelenggaraan pendidikan itu,
dan pada gilirannya, memberi corak pada hasil-hasil pendidikan itu, yakni
manusia dan masyarakat Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang pendidikan agama
Islam diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren,
sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam
dengan ciri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan
pembinaan dari pemerintah Republik Indonesia.

1
Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari apa yang
diilustrasikan pada kebijakan-kebjakan pemerintah kolonial Belanda dan
pemerintah Jepang yang telah menjajah bangsa Indonesia selama bertahun
tahun. Oleh karena periodisasi sejarah pedidikan Islam dibagi dalam dua garis
besar, yaitu periode sebelum kemerdekaan (zaman penjajahan Belanda dan
Jepang) dan sesudah kemerdekaan (orde lama, orde baru, dan reformasi). Dalam
pendidikan agama Islam khususnya di lingkungan pesantren, pesantren pada masa
pasca kemerdekaan menjadi tiga, yakni pesantren salafiyah, pesantren khalafi, dan
pesantren modern. Makalah ini akan menguraikan tentang kedudukan pendidikan
agama Islam pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi juga dibahas dalam
makalah ini, terutama yang berkaitan dengan peran dan kedudukan serta fungsi
adanya pendidikan agama Islam pada masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Dari uraian yang dikemukakan di atas, untuk melihat lebih jauh berkenaan dengan
situasi kedudukan pendidikan Islam khususnya melalui pendidikan agama di
masa awal berkembangnya Islam nusantara, eksistensi kedudukan pendidikan
agama Islam khususnya pada era penjajahan (zaman Belanda dan Jepang) dan
sesudah kemerdekaan Indonesia (orde lama, orde baru, dan reformasi) dibahas
dalam makalah ini, dan tidak terlepas dari peran dan kedudukan pendidikan
agama Islam di pesantren salafiyah, pesantren khalfiyah dan pesantren modern,
namun yang perlu dipertegas oleh pemakalah adalah kedudukan pendidikan
agama Islam khususnya pendidikan Islam, sebab hal ini berkaitan dengan materi
kuliah dengan tema sejarah pendidikan Islam.
B. Pembahasan
Pemakalah menjabarkan tentang historis pendidikan Islam dalam beberapa
fase, di mana fase ini akan menunjukkan aspek-aspek yang berkenaan dengan
historis tokoh, aliran, paham, serta teologis yang dianut pada masa setelah
kemerdekaan Indonesia. Di antaranya adalah;
1. Pendidikan Agama Islam Zaman Kemerdekaan
Pendidikan agama Islam zaman kemerdekaan di sini terbagi tiga, yakni
pada masa orde lama dan orde baru, serta masa reformasi. Pembahasan ini
menguraikan persepsi, perhatian dan perlakuan orde lama dan orde baru, serta

2
masa reformasi, serta persepsi, perhatian dan, perlakuan tokoh agama dan lintas
masyarakat terhadap fungsi dan kedudukan pendidikan agama Islam tersebut.
Pemakalah menguraikan pendidikan agama Islam zaman kemerdekaan menjadi
tiga, yakni pada masa:
a. Orde Lama
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, sebenarnya pendidikan agama
telah mulai diberikan di sekolah-sekolah Negeri. Pada masa kabinet RI pertama
tahun’45, oleh menteri PP & K (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) yang
pertama, yaitu almarhum Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara telah
mengirim surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan bahwa pelajaran
budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang, diperkenankan diganti
dengan pelajaran agama. Tetapi berhubung surat edaran tersebut belum
mempunyai dasar yang kuat, maka pelaksanaannya hanya bersifat suka rela saja.
Kemudian pada tahun 1946, atas perjuangan umat Islam yang duduk dalam
BPKNIP (Badang Pekerja Komite Nasional Pusat), maka pendidikan agama,
khususnya pendidikan agama Islam dapat diberikan di sekolah-sekolah negeri
dengan syarat, bila diminta oleh sekurang-kurangnya 10 orang murid.
Pelaksanaan pendidikan agama khususnya pendidikan agama Islam
tersebut, diserahkan kepada Menteri Agama dengan persetujuan Menteri PP & K,
untuk merealisir hal tersebut, dikeluarkan penetapan bersama antara menteri PP &
K Nomor 1285/K.7 tanggal 12-12-1946 (Agama dan No. 1142 /BHG. A tanggal
12-12-1946 PP & K). Karena isi dari penetapan-penetapan bersama ini masih
banyak kepincangannya, maka dikeluarkan peraturan bersama yang baru pada
tahun 1951 dengan No. 17678/Kab tanggal 16-7-1951 (PP & K) dan No. k/1/9180
tanggal 16-7-1951 (Agama) yang memuat 10 pasal tentang pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri.
Dengan dikeluarkannya peraturan bersama secara resmi pendidikan agama
khususnya pendidikan agama Islam telah dimasukkan ke sekolah-sekolah negeri
maupun swasta mulai dari sekolah rakyat (SR) sampai SMA dan sekolah-sekolah
kejuruan. Pada tahun 1960, pendidikan agama di berbagai sekolah di Indonesia

3
mulai mendapat status semakin kuat. Dalam ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960
Bab II Pasal 2 ayat 3 berbunyi;
“Menetapkan pendidikan agama diajarkan mulai dari sekolah rakyat
sampai universitas-universitas Negeri, dengan catatan bahwa murid-
murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid dan orang-orang
dewasa (mahasiswa) menyatakan keberatannya. Adanya tambahan; murid
berhak tidak ikut serta dan seterusnya, adalah merupakan hasil
perjuangan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu mulai
berkuasa di Indonesia, sedangkan mereka adalah penganut paham atheis,
yang dengan sendirinya mereka menolak adanya pendidikan agama”.

Pendidikan agama di perguruan tinggi baru di mulai sejak tahun 1960


dengan adanya ketetapan MPRS No.II /MPRS/1960. Yang berarti sebelum tahun
1960, maka secara formal pendidikan agama baru diajarkan hanya pada sekolah
rakyat (SR) sampai sekolah menengah atas (SMA dan SMK). Adapun dasar
operasionalnya, pelaksanaan pendidikan agama di perguruan tinggi tersebut
ditetapkan dalam UU No.22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi dalam bab III
pasal 9 ayat 2 sub b, sebagai berikut;
“Pada perguruan tinggi negeri diberikan pendidikan agama sebagai mata
pelajaran dengan pengertian, bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta
apabila menyatakan keberatannya”.

Setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, dan kemudian diadakan


sidang umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan
agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat, dengan adanya ketetapan
MPRS XXVII/MPRS/1966 Bab I pada pasal 1 berbunyi;
“Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-
sekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas-universitas negeri”.

Dengan adanya ketetapan tersebut, maka berarti embel-embel/kata-kata


tambahan yang merupakan hasil perjuangan PKI itu dihapuskan bersamaan
dengan dilarangnya PKI di Indonesia. Sejak saat itu maka pendidikan agama
merupakan mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi, dengan pengertian bahwa mata pelajaran pendidikan
agama ikut menentukan naik tidaknya seseorang murid ke kelas yang lebih tinggi.

4
Jadi dapat dikatakan bahwa perhatian dan perlakuan masa orde lama
terhadap perkembangan pendidikan agama Islam secara historis mengalami
impropisasi/peningkatan, hal ini berjalan sesuai dengan ketetapan hukum
konstitusional terhadap pembangunan pendidikan agama Islam di lembaga-
lembaga pemerintahan orde lama. Perhatian dan perlakuan tokoh agama dan
masyarakat terhadap pendidikan agama Islam
Menurut ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 (hasil sidang umum tahun
1973), pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Islam semakin
ditingkatkan kedudukannya, dengan dimasukkannya dalam GBHN yang berbunyi;
“Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang diperlukan bagi
pengembangan kehidupan keagamaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
termasuk pendidikan agama yang dimasukkan dalam kurikulum di
sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas-universitas
negeri”.

Atas dasar itu maka pendidikan agama, khususnya pendidikan agama


Islam di Indonesia mempunyai status yang cukup kuat. Hal itu perlu diketahui
oleh para pendidik agama/calon pendidik agama, agar tidak ragu-ragu
melaksanakan tugasnya, karena jelas-jelas dilindungi oleh hukum /peraturan
perundang-undangan di Indonesia.1 Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan
agama Islam di sekolah mempunyai dasar yang kuat, baik ditinjau dari aspek
hukum, religious maupun psikologis.2
Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang
dipahami dan dikembangkan dan ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Alquran dan As-Sunnah. Dalam
pengertian ini pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan
yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber
tersebut.3 Ada 2 hal yang penting berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa
orde lama, yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah (termasuk di dalamnya

1
Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h.
13.
2
Lahmuddin Lubis dan Elfiah Muchtar, Pendidikan, h. 7.
3
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Angkasa, 2010), h. 32.

5
pendidikan di pondok pesantren) dan pendidikan Islam di sekolah umum
(termasuk di dalamnya juga pendidikan tinggi).
1) Perkembangan dan Pembinaan Madrasah Masa Orde Lama
Perkembangan madrasah tak lepas dari peran Departemen Agama sebagai
lembaga secara politis telah mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh
perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Walau tak lepas
dari usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh agama seperti Ahmad
Dahlan, Hasyim Asy`ari dan Mahmud Yunus. Dengan perkembangan politis dan
zaman, Departemen Agama secara bertahap terus mengembangkan program-
program peningkatan dan perluasan ases serta peningkatan mutu madrasah.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara
secara formal pada tahun 1950. Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-
dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10 menyatakan bahwa
untuk mendapatkan pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan
pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu
secara teratur di samping pelajaran umum. Dengan persyaratan tersebut, diadakan
pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat. Jenjang pendidikan pada sistem
madrasah pada masa itu terdiri dari tiga jenjang, yaitu;
(1) Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun;
(2) Madrasah Tsanawiyah Pertama pendidikan 4 tahun;
(3) Madrasah Tsanawiyah Atas pendidikan 4 Tahun.4
Sedangkan kurikulum madrasah terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan
sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum tersebut bertujuan untuk merespon
pendapat umum yang menyatakan madrasah tidak cukup hanya mengajarkan
agama saja, tetapi juga harus mengajarkan pendidikan umum, kebijakan seperti itu
untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat kepada madrasah, yaitu pelajaran
umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama bila dibandingkan
dengan sekolah umum.

4
Direktoral Jendral Pendidikan Islam. http://pendis.kemenag.go.id , diakses pada tanggal
25 Nopember 2019, pukul 10.00 wib.

6
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama
adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga
profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang
profesional. PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan,
khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama
menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di Indonesia. Perhatian dan
perlakuan pada masa pemerintahan orde lama terhadap pendidikan agama Islam
merupakan bentuk perlakuan bersifat edukasi, hal ini tampak dengan berdirinya
pada masa orde lama tersebut, yakni dengan berdirinya pendidikan guru agama
yang pertama. Hal ini menandakan bahwa pendidikan agama Islam yang diajarkan
di madrasah dan berdirinya pendidikan hakim Islam negeri dimulainya masa
percayanya pemerintah orde lama terhadap perkembangan pendidikan agama
Islam. Dengan berdirinya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim Islam
negeri turut meningkatkan persepsi masyarakat dan tokoh agama terhadap
pemerintahan orde lama kepercayaan yang fundamentalis terhadap nilai-nilai
agama, khususnya pendidikan agama Islam.
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari progam Departemen
Agama yang secara teknis ditangani oleh Bagian Pendidikan. Pada tahun 1950,
bagian itu membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah profesional keguruan.
Sekolah Guru Agama Islam (SGAI), SGAI terdiri dari dua jenjang:
(1) Jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun dan
diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan
(2) Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukkan
bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI), SGHAI ditempuh selama 4
tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah. SGHAI memilki
empat bagian:
(1) Bagian "a" untuk mencetak guru kesusastraan
(2) Bagian "b" untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
(3) Bagian "c" untuk mencetak guru agama

7
(4) Bagian "d" untuk mencetak guru pendidikan agama.5
Dari keterangan di atas, jelaslah dikatakan bahwa peran, persepsi dan
perlakuan pemerintah masa orde lama terhadap kedudukan pendidikan agama
Islam dilaksanakan dalam penguatan pemahaman masyarakat terhadap hukum
Indonesia berbasis hukum konstitusional dengan tidak menghilangkan pengaruh
pendidikan agama Islam. Karenanya pengaruh pendidikan agama Islam tersebut
diimplementasikan ke dalam lembaga atau instansi pemerintahan formal, yakni
madrasah dan sekolah umum sampai pada perguruan tinggi yang di dalamnya
memuat tentang pemahaman terhadap kurikulum pendidikan agama Islam. Hal
inilah yang menandakan bahwa persepsi dan perhatian pemerintah orde lama
terhadap perkembangan pendidikan agama Islam mendapatkan tempatnya
bersamaan dengan semangat jihad tokoh agama dan masyarakat berbaur dalam
pemerintahan orde lama.
2) Perkembangan Perguruan Tinggi Islam Masa Orde Lama
Perguruan Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan
mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950,
fakultas agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26
September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian
Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang
berdinas di pemerintahan ( Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di
sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.
Pada masa pemerintahan orde lama inilah kejayaan dan kebangunan
modernisasi perubahan pendidikan agama Islam dari PTAIN dan ADIA
membentuk institusi agama berbasiskan IAIN. Perhatian dan perlakuan tokoh
agama dan masyarakat terhadap kebangunan pendidikan agama Islam pada masa
orde lama turut dilihatkan dengan berpartisipasinya mereka dalam mengkaji dan
memperdalam ilmu agama di IAIN.
3) Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Masa Orde Lama

5
Ibid.

8
Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum,
dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-
Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk
Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta). Sebelumnya ada ketetapan bersama
Departemen PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari
Tahun 1951. Ketetapan itu menegaskan bahwa:
a) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam
per minggu. Di lingkungan istimewa, pendidikan agama dapat di mulai
dari kelas 1 dan jam pelajarannya boleh ditambah sesuai kebutuhan, tetapi
catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang
dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan
mulai kelas IV.
b) Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan
kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
c) Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sebanyak 10 orang
dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua dan walinya.
d) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan
agama ditanggung oleh Departemen Agama.
4) Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Masa Orde Lama
Pondok Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional,
keberadaan pondok pesantren sebelum Indonesia merdeka diperhitungkan oleh
bangsa-bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Pada masa kolonialisme dari
Pondok Pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi
pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH.
Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustopa dll. Maka dapat dikatakan bahwa masa itu
Pondok Pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya republik
ini. Bila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga pendidikan yang sangat
sederhana ini muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu menggerakan rakyat
untuk melawan penjajah, jawabannya karena figur Kiyai sebagai Pimpinan
pondok pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren
(santri) maupun masyarakat sekitar pondok, mereka meyakini bahwa apa yang

9
diucapkan kiyai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran
hakiki (Ilahiyyah)
Pasca kemerdekaan (orde lama). Pondok Pesantren perkembangannya
mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi
kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada
masa priode transisi antara tahun 1950 - 1965 Pondok Pesantren mengalami fase
stagnasi, dimana Kyai yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh
seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang
ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuasa Islami peserta PEMILU
pertama tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki
warga Nahdiyyin, Partai Politik NU tersebut dapat dikatakan merepresentasikan
dunia Pondok Pesantren. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol
tersebut adalah Kiyai yang mempunyai Pondok Pesantren.
Dapat dikatakan bahwa atensi atau perhatian para ulama/tokoh agama pada
pembinaan pendidikan agama Islam di era orde lama bertransmisi dalam
percaturan politik Indonesia, perlakuan ini dilakukan untuk menjaga eksistensi
agama Islam sebagai basis mayoritas di Indonesia. Masyarakat pada umumnya
beraliran sama dengan tokoh agama, untuk mempertahankan nilai-nilai Islam,
perlu adanya elit politik yang diduduki oleh lintas agama/tokoh agama sebagai
penyeimbang antara kekuatan politik pemerintahan orde lama dengan masyarakat
Muslim Indonesia. Dan pada tahun 1955 sebagai awal percaturan politik pemilu
dilaksanakan sebagai tindakan yang preventif/perlawanan terhadap kurangnya
perhatian pemerintah orde lama terhadap pendidikan agama Islam.
Pembinaan pendidikan agama setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah
secara formal intitusional memberikan kepercayaan kepada Departemen Agama
dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dikeluarkanlah
peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan
agama di sekolah- sekolah umum baik negeri maupun swasta. Dalam undang-
undang No. 12 tahun 1950 itu juga terdapat pasal yang mengupas tentang
pendidikan dan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Pasal ini terdapat
pada Bab XII pasal 20 yang berbunyi:

10
(a) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran Agama. Orang tua
murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
(b) Cara menyelenggarakan pelajaran yang ditetapkan oleh mentri pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan bersama-sama dengan mentri agama.6
Kemudian beberapa tahun berikutnya ditanda tangani kembali peraturan
bersama mentri PP 2k dan menteri agama nomor : 1432/kat. Tanggal 20 Januari
1951 (mentri pendidikan), Nomor : K/I/652 tanggal 20 Januari 1951 (agama),
diatur peraturan pendidikan agama di sekolah-sekolah, yaitu :
Pasal    I :
“Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan  kejuruan)
diberi pendidikan agama”.
Pasal    II:
Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada   kelas IV
banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas
I dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4
jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi
sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan sekolah-
sekolah rendah dilain lingkungan.
Pasal     III:
“Di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkatan atas, baik
sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi
pendidikan agama 2 jam dalam tiap minggu”.
Pasal    IV:
a) Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing
b) Pendidikan agama baru diberikan pada satu kelas yang mempunyai
murid sekurang-kurangnya 10 orang yang menganut satu macam
agama.

6
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), h. 77.

11
c) Murid dalam satu kelas yang menganut agama lain dari agama yang
sedang diajarkan pada satu waktu boleh meninggalkan kelasnya
selama pelajaran berlangsung.7
b. Masa Orde Baru
Kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Islam dalam
konteks madrasah di Indonesia bersifat positif, khususnya dalam dua dekade
terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada masa pemerintahan Orde Baru,
lembaga pendidikan madrasah dikembangkan dalam rangka dan bertujuan untuk
pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan. 8 Haluan
penyelenggaraan pendidikan dikoreksi melalui Tap MPR No. XXII/MPRS/1966
tentang Agama. Pendidikan dan kebudayaan ketetapan ini memuat tujuh pasal
yang diantaranya sebagai berikut:
(1) Mengubah diktum ketetapan MPRS No II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat
(3) dengan menghapus kata “……dengan pengertian bahwa murid-murid
dewasa menyatakan keberatannya……….” Sehingga kalimatnya
berbunyai sebagai berikut : “menetapkan pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-
universitas negeri” (pasal I)
(2) Dasar pendidikan adalah falsafah Negara pancasila (pasal 2)
(3) Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia pancasilais sejati
berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh
pembukaan undang-undang dasar 1945 dan isi UUD 1945.
Untuk mencapai dasar dan tujuan tersebut, isi pendidikan adalah sebagai
berikut:
(1) Mempertinggi mental, moral, budi pekerti, dan memperkuat keyakinan
beragama;
(2) Mempertinggi kecerdasan-kecerdasan dan keterampilan
(3) Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

7
Ibid.
8
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 78.

12
Dengan demikian sejak tahun 1966, pendidikan agama menjadi hak wajib
mulai dari sekolah dasar sampai pemerintah dan rakyat guna membangun manusia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan tekad dan semangat
tersebut, kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya, semakin
memperoleh tempat yang kuat dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam
masyarakat pada umumnya. Sebagaimana perkembangan pendidikan Islam pada
masa orde lama, perkembangan pada orde baru juga dapat dibagi dalam :
(1) Perkembangan dan Pembinaan Madrasah Pada Masa Orde Baru
Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta
untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah
Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN).
Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan
dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri Agama No.
213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta. Namun
kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, memasuki tahun 2000 kebijakan
penegerian dimunculkan kembali.9
(2) Kesejajaran Madrasah dan Sekolah Umum Pada Masa Orde Baru
Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975
dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada
Madrasah. SKB ini muncul dilatar belakangi bahwa setiap warganegara Indonesia
berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga
lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-
sekolah umum yang setingkat di atasnya. Dan bagi siswa madrasah yang ingin
pindah sekolah dapat pindah ke sekolah umum setingkat. Ketentuan ini berlaku
mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Lahirnya MAPK ditandai dengan dilatarbelakangi akan kebutuhan tenaga
ahli di bidang agama Islam ("ulama") dimasa mendatang sesuai dengan tuntutan
pembangunan nasional, maka dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan pada

9
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), h. 361.

13
Madrasah Aliyah. Lebih lanjut dibentuklah Madrasah Aliyah Pilihan Ilmu-Ilmu
Agama (MAPK) dengan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan.
Kekhususan MAPK ini adalah komposisi kurikulum 65 studi agama dan 35
pendidikan dasar umum. Sasarannya adalah penyiapan lulusan yang mampu
menguasai ilmu-ilmu agama yang nantinya menjadi dasar lulusan untuk terus
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bidang keagamaan dan akhirnya menjadi
calon ulama yang baik. Selanjutnya MAPK berganti nama menjadi Madrasah
Aliyah Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut program ini kurang mendapat
perhatian dari pemerintah sehingga nasibnya sampai hari ini belum jelas
keberadaannya.
(3) Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Pada Masa Orde Baru
Perkembangan pendidikan Pondok Pesantren pada periode Orde Baru,
seakan tenggelam eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang
kurang berpihak pada kepentingan ummat Islam. Setitik harapan timbul untuk
nasib umat Islam setelah terjadinya era reformasi, pondok pesantren mulai
berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan nasional.
Salah satunya adalah pendidikan Pondok Pesantren diakui oleh pemerintah
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pondok pesantren tidak lagi
dipandang sebagai lembaga pendidikan tradisional yang illegal, namun pesantren
diakui oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kesetaraan
dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga pendidikan formal lainnya.10
Perhatian dan perlakuan pemerintah orde baru terhadap dunia pendidikan
di pondok pesantren merupakan bentuk atensi yang normatif,sebab di samping
Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, juga memiliki pondok pesantren
terbanyak. Hal inilah yang menandakan bahwa perlakuan pemerintah pada masa
orde baru memberikan perhatian khusus terhadap pembinaan akhlak manusia.
Pada masa ini pondok pesantren terbagi ke dalam tiga bagian, yakni;
(a) Pesantren salafiyah

10
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa (Yogyakarta:
Pustaka Marwa, 2010), h. 6.

14
Pesantren ini tidak mengajarkan pendidikan mata pelajaran non agama,
tidak perlu ujian nasional, kajiannya adalah berfokus pada kitab kuning,
sifat pesantren ini adalah tradisional, tidak perlu melanjutkan ke perguruan
tinggi yang bersifat umum, pondok pesantren salafiyah ini juga tidak
membutuhkan bantuan dari pemerintah, pondok pesantren salafiyah ini
juga dalam kesehariannya menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi komunikasi antara santri dengan kiai, namun aspek kelemahan
dalam pondok pesantren salafiyah ini adalah lemah terhadap penggunaan
teknologi atau IPTEK, akan tetapi tujuan akhir dari pesantren salafiyah ini
adalah ukhrawi (urusan akhirat)
(b) Pesantren Khalafi
Bentuk pesantren ini mengajarkan kombinasi antara kajian kitab kuning
dengan mata pelajaran umum serta mengaktualisasikan antara kajian kitab
kuning dengan mata pelajaran umum setiap harinya, pelaksanaan
pendidikan di pondok pesantren khalafi ini menggunakan SKB 3 menteri,
ikut ujian nasional, pendidikannya berlanjut bisa ke Aliyah atau ke SMA,
bahasa Arab dan bahasa Inggrisnya canggung, namun perkembangan
agama dan umum tetap berlanjut
(c) Pesantren modern
Pondok pesantren modern ini cenderung tidak menggunakan kitab kuning,
ikut ujian nasional, menguasai bahasa Inggris dan kurang menguasai
bahasa Arab, ketekunannya adalah mendalami ilmu teknologi dan kurang
mendalami ilmu agama, menguasai teknologi dan manajemen, alumni
pondok pesantren modern ini bisa berlanjut sampai ke pendidikan tinggi
umum.
(4) Perguruan Tinggi Agama Islam Pada Masa Orde Baru
IAIN sebagai salah satu bagian dari PTAI, merupakan bagian dari salah
satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia. IAIN di dirikan pada awal
tahun 1960 sebagai suatu respon atas kebutuhan pemerintah akan tenaga pendidik
yang ahli di bidang ilmu-ilmu keislaman, untuk mengembangkan sistem

15
pendidikan madrasah. Akhirnya dalam perkembangannya IAIN jumlahnya
semakin bertambah dan berkembang.
Perkembangannya sejak masa orde baru bukan saja pada aspek fisiknya
tetapi juga pada aspek tenaga pendidik atau dosennya, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Islam akan Ilmu dan
pengetahuan serta teknologi peran perguruan tinggi agama Islam semakin
bertambah, oleh karenan itu beberapa tahun ini beberapa IAIN telah berkembang
menjadi universitas Islam. Dimana dalam pelayanannya, selain memberi
pendidikan bidang studi keagamaan juga memberikan pelayanan pendidikan
umum. Saat ini Perguruan Tinggi Agama Islam telah tersedia 15 IAIN, 6 UIN dan
31 STAIN.11
(5) Keberhasilan-keberhasilan Pendidikan pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru ini mencatat banyak keberhasilan,12 di antaranya
adalah:
(1) Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga
universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), madrasah mendapat
perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren
mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI
(Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975, pelarangan SDSB
(Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah berjalan
sejak awal tahun 1980-an;
(2) Pemerintah juga pada akhirnya member izin pada pelajar muslimah untuk
memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri
sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala
terbuka;
(3) Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum
Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank
Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan
11
Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.
137.
12
Samsul Nizar, Sejarah, h. 362.

16
pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh) yang idenya
muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila,
pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan
minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.
Selanjutnya pemerintah juga memfasilitasi penyebaran da’i ke daerah
terpencil dan lahan transmigrasi, mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil
Qur’an), peringatan hari besar islam di Masjid Istiqlal, mencetak dan
mengedarkan mushaf Alquran dan buku-buku agama islam yang kemudian
diberikan ke masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya jama’ah haji di asrama
haji, berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai tahun 1986, dan pendidikan
pascasarjana untuk Dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri, merupakan
kebijakan lainnya. Khusus mengenai kebijakan ini, Departemen Agama telah
membuka program pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join cooperation dengan
Negara-negara Barat untuk studi lanjut jenjang Magister maupun Doktor.
Selain itu, penayangan pelajaran Bahasa Arab di TVRI dilakukan sejak
1990, dan sebagainya. Akibat semua kebijakan tersebut, pembangunan bidang
agama islam yang dilaksanakan Orde Baru mempercepat peningkatan jumlah
umat islam terdidik dan kelas menengah muslim perkotaan.
(6) Jenis-Jenis Pendidikan Serta Pengajaran Islam Pada Masa Orde Baru
Jenis-jenis pendidikan Islam pada masa Orde Baru.13 adalah sebagai
berikut:
(a) Pesantren klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang
menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan
yang bersifat pribadi, sebelumnya pada pengajaran keagamaan serta
pelaksanaan ibadah;
(b) Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan
pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7
sampai 20 tahun;

13
Direktoral Jendral Pendidikan Islam. http://pendis.kemenag.go.id, diakses pada tanggal
25 Nopember 2019, pada pukul 10.00 wib.

17
(c) Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara
modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan
pelajaran-pelajaran umum;
(d)   Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam
tahun, di mana perbandingan umum kira-kira 1:2;
(e) Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun,
yang memberikan latihan ketrampilan sederhana;
(f) Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas
diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua
bagian / dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.
Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973
hingga sekarang selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata
pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan,
bahkan pendidikan agama sudah di kembangkan sejak Taman Kanak-kanak (Bab
V pasal 9 ayat I PP nomor 27 tahun 1990 dalam UU nomor 2 tahun 1989)
Pendidikan Islam menempati kedudukan yang sangat penting dan tidak dapat
dipisahkan dalam pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini mudah dimengerti
karena bangsa Indonesia yang beragama tidak dapat melepaskan agamanya dari
setiap aktivitas pendidikan yang dilakukannya. Secara komprehensip agama bagi
bangsa Indonesia adalah “Generator” pembangkit listrik bagi pengisian aspirasi
dan inspirasi bangsa. Agama merupakan alat pengembangan dan pengendalian
bagi bangsa Indonesia yang sedang melaksanakan pembangunan di segala sektor-
sektor. Bentuk perhatian dan perlakuan pemerintah pada masa orde baru terhadap
pendidikan agama Islam merupakan bentuk partisipatif kekinian, sebab dengan
mengedepankan pembangunan pondok pesantren, pendidikan agama di sekolah
umum dapat membantu pemerintah dalam pencarian alumni-alumni yang dididik
dan ditempatkan sebagi produk Islami, oleh karenanya berdirinya MTq sebagai
ajang kompetisi Alquran juga turut menciptakan generasi bangsa yang Qurani.

c. Masa Reformasi

18
Program peningkatan mutu pendidikan yang ditargetkan oleh pemerintah
Orde Baru akan mulai berlangsung pada Pelita VII terpaksa gagal, krisis ekonomi
yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik
maupun ekonomi nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan digantikan oleh
rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan” meskipun
demikian sebagian besar ruh orde reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde
Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan multi partai.
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi hanya melanjutkan program wajib
belajar 9 tahun yang sudah dimulai sejak tahun 1994 serta melakukan perbaikan
sistem pendidikan agar lebih demokratis.14 Tugas jangka pendek kabinet reformasi
yang paling pokok adalah bagaimana menjaga agar tingkat partisipasi pendidikan
masyarakat tetap tinggi dan tidak banyak yang mengalami putus sekolah.
Pada awal reformasi, Sistem Pendidikan Nasional masih diatur oleh
UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang menurut banyak kalangan sudah tidak sesuai
dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, Pasal 11 yang
menyatakan tentang "Daerah berkewajiban menangani pendidikan". Atas dasar
kritikan itulah, disusun dan disahkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Proses pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke UUSPN nomor 20
tahun 2003 pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro dan kontra. Catatan media
menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan UUSPN nomor 20 tahun
2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 juli 2003 terdapat sepuluh materi
yang diperdebatkan yaitu, pertama masalah desentralisasi dan kerancauan
tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas. Kedua, ketidakjelasan tanggungjawab
pemerintah daerah dan pusat, ketiga tanggungan biaya pendiidkan antara
pemerintah dan masyarakat, keempat pendidikan formal dan non-formal, kelima
sentralitas agama, keenam UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi
inward looking. Ketujuh, pembebanan sumberdaya pada masyarakat, kedelapan

14
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bhakti, 1978), h. 37.

19
adanya dominasi guru, kesembilan asumsi liberalisasi pendidikan, dan kesepuluh
etatisme/ campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan.15
Kesepuluh persoalan tersebut, yang menjadi perdebatan hangat dan
menuai pro-kontra adalah persoalan agama atau pendidkan agama, pasal 3 dan 4,
terutama pasal 12 ayat 1 (a) yang berbunyi “setiap peserta didik pada setiap
lembaga/ satuan pendidikan berhak mendapatlan pedidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik agama yang seagama”.
Karena itu, Majelis Nasional Pendidikan Katholik (MNPK) dan Majelis
Pendidikan Kristen (MPK) mengajukan keberatan atas pasal tersebut dengan
alasan bahwa pasal dan ayat tersebut membelenggu gerakan kemandirian sekolah-
sekolah swasta yang realitanya sangat “plural”. Selain itu, mereka beranggapan
bahwa undang-undang tersebut terlalu menekankan pendidikan agama di sekolah
sekolah, sehingga keberadaan lembaga pendidikan kejuruan, etika dan etos kerja
dilupakan.
Tak pelak pro-kontra ini mendapat respon dari berbagai pihak, diantaranya
adalah tulisan Ali Masykur menjelaskan bahwa Undang-undang terbaru ini
(UUSPN nomor 20 Tahun 2003) sudah cukup akomodatif dan representative bila
dibandingkan dengan UU No. 12 tahun 1989, sebab selama ini ada pandangan dan
reaksi masyarakat yang menyoroti dasar filsafat pendidikan, tujuan pendidikan
yang diangap tidak mencerdaskan, campur tangan pemerintah, aturan yang tidak
demokratis dan memihak agama tertentu. 16 Anwar Arifin menulis pada harian
Republika bahwa di berlakukannya UU Sisdiknas terbaru merupakan perkara
yang logis dan wajar, sebab Undang-undang lama (No. 2 tahun 1989) sudah tidak
sesuai dengan semangat otonomi daerah yang digulirkan lewat UU No. 22 tahun
1999; selain itu, UU lama sarat dengan hegemoni pemerintah terhadap
pendidikan; sehingga kesempatan masyarakat untuk memiliki andil terhadap

15
Darmaningtiyas dkk, Membongkar Ideoogi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), h. 17-26
16
Lihat dalam Ali Masykur, RUU Sisdiknas Sudah Cukup Akomodatif, Harian Republika
Tanggal 12 Nopember 2019.

20
pendidikan dikerdilkan. Padahal, secara jujur kita perlu melakukan peningkatan
mutu, relevansi, dan efesiensi pendidikan.17
Tulisan media yang kontra UU Sisdiknas tersebut diantaranya adalah Sri
Hartanto menyatakan bahwa Undang-undang Sisdiknas ini merupakan upaya
demoralisasi dan menjauhkan rakyat dari cita-cita keadilan sosial dan kehidupan
berbangsa dan bernegara,18 dan Franz Magnis Soseno menilai bahwa agamanisasi
yang begitu kental hanya akan memperburuk hasil pendidikan di sekolah selama
agama dipahami secara formalistik, ritualistik dan eksklusivistik.19
Terlepas dari pro-kontra tersebut, akhirnya UUSPN nomor 20 tahun 2003
disahkan pada tanggal 8 Juli 2003. Undang-undang ini dinilai bagi penggerak
pendidikan Islam sebagai titik awal kebangkitan pendidikan Islam. Karena secara
eksplisit, UU ini menyebutkan peran dan kedudukan pendidikan Islam serta
menjadikan posisi pendidikan agama (termasuk pendidikan Islam) sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan
bangsa terhadap sumbangan besar pendidikan Islam (agama) dalam upaya
mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya, sebagaimana amanat UUSPN nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12
ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) tentang perlunya menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
maka ditetapkanlah PP nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
keagamaan yang berfungsi sebagai panduan teknis dalam mengatur pelaksanaan
pendidikan agama dan keagamaan.
Dengan demikian, diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003 menjadikan pendidikan Islam semakin diakui dan
turut berperan dalam peningkatan kualitas bangsa, selain itu pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam akan lebih baik dibanding dengan kebijakan-
kebijakan sebelumnya. Perlakuan dan perhatian pada masa reformasi ini pada
sistem kebijakannya hanya bersifat politis dan tidak menggambarkan pada aspek
17
Lihat dalam, Anwar Arifin, Hanya Ditunda, Tidak Akan Diubah, Harian Republika
Tanggal, 2 September 2019.
18
Lihat dalam Sri Hartanto, RUUPN Sisdiknas Jauhkan Rakyat Dari Cita-Cita Keadilan
Sosial, Kompas, tanggal 18 Oktober 2019.
19
Ibid.

21
dimensial, bahwa keberadaan pendidikan agama Islam khususnya dihantarkan
dalam reformatif kelembagaan dan bukan pada aspek normatif secara sosial. Oleh
karenanya masyarakat dan tokoh agama dalam atensinya mengajukan revisi
undang-undang terutama yang berkenaan dengan ayat 1 dan 2 dalam undang-
undang SISDIKNAS tahun 2003 tersebut, yakni dengan mengajukan pendidikan
agama Islam secara terpadu di sekolah-sekolah umum, hal ini dilakukan oleh
ajuan masyarakat dan tokoh agama Islam terhadap pemerintahan reformasi
menuntut adanya persamaan yang konsisten secara fundamental, bahwa
pendidikan agama Islam lebih jauh pentingnya dibandingkan pendidikan umum
secara nasional, yang pada dasarnya pembentukan dan tujuan pendidikan agama
Islam adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah swt.
A. Kesimpulan
1. Pendidikan agama Islam pada masa orde lama perhatian dan perlakuannya
merupakan pendidikan yang berasaskan pada aspek normatif berbasis
budaya kapitalis yang dipengaruhi oleh pemerintahan, namun hanya
sebatas substansi atau kelembagaan dan legalitasnya, akan tetapi pada
aspek pengembangan, pendidikan Islam tetap berasaskan pada dua sumber
Islam, yakni Alquran dan Alhadis. Bentuk perhatian dan perlakuan
pemerintah orde lama salah satunya adalah terbentuknya insititusi agama
Islam dengan mendirikan PTAIN dan AIDA berbasis IAIN.
2. Pendidikan agama Islam pada masa orde baru, perhatian dan perlakuan
pemerintah terhadap pendidikan agama Islam dimunculkan dengan
terbangunnya peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI),
dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat
Islam, yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS
(Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh), berdirinya Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi
produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis
olahan, kemudian memfasilitasi penyebaran da’i ke daerah terpencil dan
lahan transmigrasi, mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an),
peringatan hari besar islam di Masjid Istiqlal, mencetak dan mengedarkan

22
mushaf Alquran dan buku-buku agama islam yang kemudian diberikan ke
masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya jama’ah haji di asrama haji,
berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai tahun 1986, dan pendidikan
pascasarjana untuk Dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri.
3. Pendidikan agama Islam pada masa reformasi, perhatian dan perlakuan
pemerintah pada zaman reformasi adalah sistem kebijakannya hanya
bersifat politis dan tidak menggambarkan pada aspek dimensial, bahwa
keberadaan pendidikan agama Islam khususnya dihantarkan dalam
reformatif kelembagaan dan bukan pada aspek normatif secara sosial.

DAFTAR PUSTAKA

23
Asrohah Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
cet.I. 1992.

Abdullah Mustofa,A. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV.


Pustaka Setia, 1999.

Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di


Indonesia .Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.

Direktoral Jendral Pendidikan Islam. http://pendis.kemenag.go.id.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 2007.

Khaeruddin, Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: CV.


Berkah Utami, 2004.

Lubis, Lahmuddin dan Elfiah Muchtar, Pendidikan Agama dalam Perspektif


Islam, Kristen dan Budha. Bandung: CIta Pustaka Media Perintis, cet.I,
2013.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:Hida


Agung,1985.

Maliki, Zainuddin, Agama Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa. Yogyakarta:


Pustaka Marwa, 2010

Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Mudyaharjo, Redja, pengantar pendidikan. Jakarta : PT Grafindo Persada,


2001.

Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa, 2010.

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Kencana, 2010.

Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan Islam. Jakarta : PT Grafindo


Persada, 2004.

Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional,


1981.

Zauharini, et.al. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000.

24
25

Anda mungkin juga menyukai