Anda di halaman 1dari 23

NILAI-NILAI AFEKTIF DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini diajukan sebagai tugas dan akan dipresentasikan pada mata kuliah
Pendidikan Dalam Al-Qur’an

UIN IMAM BONJOL


PADANG

Disusun Oleh:

RULLY HIDAYATULLAH
NIM. 1920090001

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Rusydi AM, Lc., M.Ag

PROGRAM STUDI DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1441 H/ 2019 M

0
A. PENDAHULUAN
Dalam proses belajar mengajar, terdapat empat unsur utama yaitu tujuan,
materi, metode dan alat serta evaluasi. Tujuan pada hakikatnya merupakan rumusan
tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai peserta didik setelah menempuh
pengalaman belajar. Materi merupakan seperangkat pengetahuan ilmiah yang
disampaikan dalam proses belajar mengajar agar sampai pada tujuan yang
ditetapkan, sedangkan metode dan alat merupakan cara yang digunakan dalam
mencapai tujuan. Adapun untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan
itu tercapai atau tidak maka diperlukan evaluasi. Dari evaluasi itu akan diketaui
hasil belajar atau kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah proses belajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam memahami ranah afektif tidak
terlepas dari ke empat unsur utama proses belajar mengajar. Dalam sistem
pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membagi tiga ranah yakni
ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.1
Merujuk kepada taksonomi Bloom di atas, Al-Qur’an telah menceritakan
pelbagai hal tentang pendidikan serta urgensinya bagi kehidupan manusia. Menilik
hakikatnya, seluruh ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an mengandung nilai-nilai
pendidikan yang sangat bermanfaat bagi mereka yang mempelajari dan
menggalinya dengan potensi akal yang dimiliki. Karena pendidikan itu sendiri
secara umum merupakan “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.2
Sedangkan secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Qur’an itu sendiri yang menghendaki agar

1
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), h. 22

2
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003,
(UU RI No. 20 Th. 2003), (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), h. 2

1
umatnya senantiasa menjalani hidup dan kehidupannya di dunia berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan Al-Qur’an dan didukung oleh hadits-
hadits Rasulullah SAW agar memperoleh kehidupan yang bahagia di dunia dan
akhirat kelak Salah satu problematika pendidikan yang dibahas dalam Al-Qur’an
adalah persoalan nilai-nilai afektif yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur’an. Maka
pada makalah ini penulis akan membahas, mengkaji dan memahami serta
memaparkan lebih lanjut problematika terkait dengan sebaik-baiknya. Adapun
paparannya sebagai berikut:

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Afektif
Istilah ranah afektif dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “ranah”
yang berarti “bagian (satuan) perilaku manusia” dan “Afektif” berarti
“berkenaan dengan perasaan”.3 Jadi, ranah afektif merupakan bagian dari
tingkah laku manusia yang berhubungan dengan perasaan. Sedangkan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah affective domain. Menurut Anita E.
Woolfolk, “The affective domain is emotional objectives”.4 Maksudnya ranah
afektif merupakan tujuan-tujuan yang berkenaan dengan kondisi emosi
seseorang. Dalam hal ini ranah afektif dimaksudkan untuk menggugah emosi
peserta didik agar ikut berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Mendefinisikan ranah afektif, para ahli banyak yang menyebutkan bahwa
ranah afektif itu merupakan tujuan yang berkenaan dengan sikap dan nilai. Dari
definisi tersebut di atas, pengertian ranah afektif terlihat sangat singkat dan
masih membutuhkan pemahaman sehingga untuk lebih jelasnya, penulis
paparkan pendapat Krothwohl dalam bukunya yang berjudul Taxonomy of
Educational Objectives (Affective Domain) yang mengatakan bahwa: ranah
afektif adalah:
“Objectives which emphasize a feeling tone, an emotion or a degree of
acceptance or rejection. Affective objective vary from simple attention to

3
Djalinus Syah, dkk., Kamus Pelajar (Kata Serapan Bahasa Indonesia), (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 4.

4
Anita E. Woolfolk, Educational Psychology, (America : Allyn &Bacon, 1980), h. 448

2
selected phenomena to complex but internally consistent qualities of
character and conscience. It expressed as interest, attitudes,
appreciations, values and emotional sets or biases”.5 Tujuan-tujuan
yang lebih mengutamakan pada perasaan, emosi atau tingkat penerimaan
atau penolakan. Tujuan afektif mengubah perhatian dari yang sederhana
menuju yang rumit untuk memilih fenomena serta menanamkan
fenomena itu sesuai dengan karakter dan kata hatinya. Ranah afektif
terlihat dalam sikap, minat, apresiasi, nilai dan emosi atau prasangka”.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa dalam ranah afektif bukan
sikap dan nilai saja yang diutamakan, tetapi meliputi hal yang lebih rumit artinya
peserta didik diharapkan memperhatikan sebuah fenomena selanjutnya ia
memberikan sebuah respon tertentu untuk diorganisasikan dalam dirinya
sehingga peserta didik mampu mengambil sikap-sikap, prinsipprinsip yang
menjadi bagian dari dirinya di dalam memberikan penilaian sebuah fenomena
dan dalam menuntun tingkah laku moralnya.6

2. Aspek-aspek Ranah Afektif


Dengan mengikuti pendapat Krathwohl, aspek-aspek yang terkandung
daam ranah afektif terdiri dari minat (interest), sikap (attitude), nilai (value),
apresiasi (appreciation), penyesuaian (adjustment).7 Masing-masing aspek
tersebut muncul pada diri peserta didik tidak sejelas seperti dalam ranah kognitif
artinya dalam ranah kognitif aspek yang satu merupakan syarat mutlak bagi
aspek yang lain sedangkan dalam ranah afektif tidaklah demikian, tetapi masing-
masing aspek saling tumpang tindih. Lebih jelasnya penulis paparkan pendapat
Krathwohl tentang proses munculnya aspek-aspek afektif dalam diri seseorang
melalui klasifikasi sebagai berikut:8
a. Receiving, terdiri dari:
1) Awareness (penyadaran)

5
David R. Krathwohl, Taxonomy of Educational Objectives; Handbook II : Affective
Domain, (London : Longman Group Ltd., 1956), h. 7

6
Slameto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), h. 159

7
David R. Krathwohl, op.cit., h. 25

8
Ibid., h. 37

3
2) Willing to receive (kemauan untuk menerima)
3) Controlled or selected attention (perhatian yang terkontrol atau terpilih)
(aspek afektif : minat dan apresiasi)
Pada taraf pertama ini berhubungan dengan kepekaan peserta didik
terhadap fenomena-fenomena dan rangsangan dari luar seperti masalah,
gejala, situasi, dll. Dalam proses belajar mengajar, taraf ini berhubungan
dengan menimbulkan, mempertahankan dan mengarahkan perhatian peserta
didik.9 Kesadaran akan fenomena, kesediaan menerima fenomena dan
perhatian yang terkontrol atau terseleksi terhadap fenomena.
b. Responding, terdiri dari:
1) Acquiescence in responding (persetujuan untuk menjawab)
2) Willingness to respond (kemauan untuk menjawab)
3) Satisfaction in respond (kepuasan dalam menjawab)
(aspek afektif : minat, sikap, apresiasi, nilai dan penyesuaian)
Pada taraf kedua ini peserta didik sudah memberikan respon terhadap
sebuah fenomena. Respon ini tidak hanya memperhatikan sebuah fenomena
tetapi peserta didik sudah memiliki motivasi yang cukup terhadap
fenomena.10 Dalam kegiatan belajar mengajar terlihat adanya kemauan
peserta didik untuk menjawan pertanyaan pendidik, atau kepuasan dalam
menjawab (misalnya membaca buku untuk kegembiraan). Jadi dalam taraf ini
bertalian dengan partisipasi peserta didik dalam sebuah fenomena.
c. Valuing, terdiri dari:
1) Acceptance of a value (penerimaan suatu nilai)
2) Preference of a value (pemilihan suatu nilai)
3) Commitment (bertanggung jawab untuk mengingatkan diri)
(aspek afektif : minat, sikap, apresiasi, nilai, penyesuaian)
Pada taraf ini, peserta didik sudah menghayati nilai-nilai tertentu.
Hal ini terlihat pada perilaku peserta didik mulai dari penerimaan sebuah

9
Suke Silverius, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991),
h. 49

10
Amirul Hadi, dkk., Teknik Mengajar Secara Sistematis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001),
h. 31

4
nilai, latar belakang atau pengalaman unutk menerima nilai dan
kesepakatan terhadap nilai. Jadi pada taraf ini tingkah laku peserta didik
sangat konsisten dan tetap sehingga dapat memiliki keyakinan tertentu.11
d. Organization, terdiri dari:
1) Conzeptualization of a value (konseptualisasi suatu nilai)
2) Organization of a value system (pengorganisasian suatu sistem nilai)
(aspek afektif : sikap, nilai dan penyesuaian)
Tingkatan ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang
berbeda, memecahkan konflik di antara nilai-nilai itu dan mulai
membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal.12
e. Characterization by value complex, terdiri dari:
1) Generalized set (perangkat yang tergeneralisasi)
2) Characterization (karakterisasi)
(aspek afektif : penyesuaian)
Pada taraf ini disebut sebagai tahap internalisasi artinya suatu
sistem nilai sudah terbentuk dalam diri individu dan mengontrol tingkah
lakunya dalam waktu yang lama sehingga membentuk karakteristik
“pola/pandangan hidup”. Dengan melihat klasifikasi ranah afektif di atas,
maka tampak bahwa aspek-aspek afektif satu sama lain dapat terjadi dalam
proses yang sama sehingga untuk mengetahui aspek-aspeknya,
berlandaskan pada proses yang sama pula. Sebagai contoh konkret aspek
penyesuaian ternyata dapat muncul pada setiap proses kecuali pada proses
penerimaan (receiving). Lebih jelasnya dapat dilihat skema berikut ini:
Berdasarkan pendapat Krathwohl tersebut, dapat dipahami bahwa ranah
afektif terdiri dari 5 aspek yaitu:
1) Minat (interest)
Menurut Doyles Friyer yang dikutip oleh Wayan Nurkancana dalam
bukunya Evaluasi Pendidikan, “Minat atau interest adalah gejala psikis yang
berkaitan dengan obyek atau aktivitas yang menstimulus perasaan senang

11
Slameto, op.cit., h. 16

12
Suke Silverius, op.cit., h 50

5
pada individu”.13 Dari pengertian tersebut, apabila seseorang senang terhadap
obyek atau aktivitas tertentu maka ia akan mempunyai minat yang besar
terhadap obyek itu. Sebagai contoh apabila peserta didik senang dengan
pelajaran sejarah Islam maka ia akan menaruh minat yang besar terhadap
pelajaran tersebut misalnya dengan memperhatikan pelajaran tersebut dengan
baik, banyak membaca buku-buku sejarah Islam, senang bertanya kepada
pendidik tentang pelajaran itu dan sebagainya. Jadi minat merupakan faktor
pendorong individu untuk melaksanakan usahanya.
2) Sikap (attitude)
Sikap merupakan kecenderungan untuk merespon sesuatu baik
individu, tata nilai, peristiwa, dan sebagainya dengan caracara tertentu.
Dalam proses belajar mengajar terlihat adanya sikap peserta didik seperti
kemauannya untuk menerima pelajaran dari pendidik, perhatiannya terhadap
apa yang dijelaskan oleh pendidik, penghargaannya terhadap pendidik. Jadi
sikap akan memberikan arah kepada individu untuk melakukan perbuatan
yang positif ataupun negatif.
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka
atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara
mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan
serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses
pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap
sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui
sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik,
dan sebagainya.Menurut Fishbein dan Ajzen sikap adalah suatu predisposisi
yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu
objek, situasi, konsep, atau orang.14

13
Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, (Usaha Nasional : Surabaya, 1986), h. 229

14
Fishbein, M and Ajzen, Beliefe, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to
Theory and Research, Reading M.A. 1975, h. 150

6
3) Nilai (value)
Sebagaimana yang dikutip oleh Thoha dalam buku “Kapita Selekta
Pendidikan Islam”, Sidi Gazalba mengartikan nilai sebagai sesuatu yang
bersifat abstrak. Ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya
persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan
soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan
tidak disenangi.15 Dari kedua pengertian nilai tersebut, dalam hubungannya
dengan proses belajar mengajar, peserta didik mampu menghayati sebuah
fenomena sehingga ia dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk
dan mana yang lebih penting dalam hidup.
4) Apresiasi
Apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap suatu benda
baik abstrak maupun kongkret yang memiliki nilai luhur dan umumnya
dikaitkan dengan karya seni. Menurut Chaplin yang dikutip oleh Muhibbin
Syah, apresiasi berarti “suatu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting
atau nilai sesuatu”.16 Dalam proses belajar mengajar, apresiasi dapat dilihat
dari perilaku peserta didik menghargai pendidik dan teman, menghargai
waktu belajar dan tahu hal-hal yang lebih penting dalam hidup.
5) Penyesuaian (adjustment)
Penyesuaian merupakan aspek afektif yang mengontrol perilaku
peserta didik sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertanam dalam dirinya. Jadi
adjustment dapat diartikan sebagai penguasaan; yaitu kemampuan membuat
rencana dan mengatur respon-respon sedemikian rupa sehingga dapat
menguasai/menanggapi segala macam konflik atau masalah.17 Sebagai
contoh, peserta didik melakukan latihan diri dalam memecahkan masalah
berdasarkan konsep bahan yang telah diperolehnya

15
.M. Chabib Thoha, MA., Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka
Pelajar,1996), h. 60

16
Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung :
Rosdakarya, 1997), h. 121

17
Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, (Bandung :
Mandar Maju, 1989), h. 260-261

7
3. Kajian Al-Qur’an tentang Nilai-Nilai Afektif
Menurut Nana Sudjana ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan
sikap, nilai, yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban, penilaian,
organisasi dan karakteristik dengan satu nilai atau komplek nilai. Dan hasil ini
akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah lakunya.18
Berdasarkan pendapat Nana Sudjana di atas, maka penulis melakukan
penelusuran terhadap nilai-nilai afektif yang terdapat dalam alquran, dan
menemukan sangat banyak ayat-ayat alquan yang membahas tentang nilai-nilai
afektif. Nilai afektif yang dimaksudkan di sini agaknya lebih tepat dinamai
dengan akhlak. Akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya membahas
sebanyak enam akhlak yang disebutkan dalamAl-Qur’anterkait dengan nilai-
nilai afektif. Namun penelusuran yang penulis lakukan ini belumlah final, hal ini
karena keterbatasan waktu dan minimnya pengetahuan penulis tentang
pengembangan nilai afektif itu sendiri bila ditinjau dari sisi pendidikan. Berikut
akan penulis uraikan enam akhlak yang dimaksud:
a. Berkata Baik dan Berkata Benar
Ada beberapa ayat dalam berbagai surat yang membahas tentang
berkata baik dan benar ini, yaitu surat al-Isra’ ayat 53, surat fushshilat ayat
33 dan surat al-Ahzab ayat 70, surat al-Hajj ayat 30, dan surat as-Shaf ayat
2,3, 7 dan ayat 8. Adapun redaksi dari surat al-Isra’ayat 53 sebagai berikut :
َ َ َّ َّ ُ َ َ َ َ ۡ َّ َّ ُ َ ۡ َ َ َّ ْ ُ ُ ُ
‫زنغ بَيۡ َن ُه ۡ ُۚم إِّن ٱلش ۡي َطَٰ َن َكن‬ ‫َوقل لِّعِّ َبادِّي َيقولوا ٱل ِّت ِِّه أحسنُۚ إِّن ٱلشيطَٰن ي‬
ّٗ ۡ
َٰ َ ‫ل ِِّّۡل‬
٥٣ ‫نس ِّن َع ُدوا ُّمبِّ ّٗينا‬

Artinya: Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka


mengucapkan Perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya
syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
(al-Isra’ ayat 53)

18
Nana Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya: 2008), h.138

8
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
untuk menyeru orang-orang mukmin agar mereka mengeluarkan kata-kata
yang baik sewaktu bertanya jawab dengan orang musyirik. Hal ini karena
berlalaku kasar dalam tanya jawab justru menjadikan lawan bersikap keras
kepala dan menyombongkan diri, terutama mereka yang mempunyai penyakit
nifak (munafik ). Para mukmin hendaklah terus mengingat bahwa setan itu
menimbulkan kerusakan di antara orang-orang mukmin dan para musyirik,
serta merubah di antara mereka dari pertenggkaran mulut menjadi bentrok
fisik.19
Pada ayat sebelumnya yaitu ayat ke 52 dijelaskan bahwa ada kehidupan
lain setelah adanya kehidupan dunia, kemudian dilanjutkan penjelasan apapun
yang dilakukan di dunia sangatlah berpengaruh kepada kehidupan di dunia
setelah itu. Pada ayat 53 dijelaskan salah satu bentuk hal yang akan
dipertanggung jawabkan oleh manusia kelak adalah masalah hubungannya
dengan manusia lain, yang pada ayat ini manusia lain yang dimaksud tersebut
adalah non mukmin. Meski pada non mukmin sekalipun, seorang mukmin
haruslah punya etika dalam berbicara. Lebih lanjut pada ayat 54, Allah
memberikan pengertian bahwa orang mukmin janganlah memandang rendah
kepada orang non muslim dan terlalu yakin mereka akan masuk neraka. Karena
bisa saja Allah mengubah pribadi mereka menjadi seorang yang baik dan lalu
menjadi mukmin. Oleh sebab itu jangalah memandang rendah kepada mereka,
apalagi berlaku kasar kepada mereka.
Larangan pada ayat ini memberi kesan bahwa sejak periode Mekkah,
sudah ada diantara kaum muslimin yang mempunyai maksud untuk bersikeras
terhadap kaum musrikin, apalagi dengan sikap tidak sopan mereka kepada Nabi
Muhammad Saw., yang memaki beliau dengan sebutan penyihir, gila dan lain-
lain. Ayat ini memberi pesan agar umat muslim mampu bersikap sopan dan

19
Tengku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta: Cakrwalal
Publishing, 2011), cet. 1, j. 2, h. 654-655

9
tidak kasar kepada yang lain, serta senantiasa memaafkan kesalahan orang
lain.20
Dalam konteks interaksi sosial antar manusia, ditemukan pesan yang
menyatakan, siapa yang mendoakan kecelakaan bagi anda, mohonlah untuknya
keselamatan, jika ia memaki anda maka katakanlah bahwa aku bermohon
kepada Allah semoga Allah mengampuniku, dan jika makin anda keliru, aku
akan bermohon semoga Allah mengampunimu.
Persoalan etika berbicara telah banyak disinggung dalamAl-
Qur’anmaupun hadis Nabi Muhammad Saw., bahkan dalam sebuah hadis
dijelaskan bahwa: “apabila kamu percaya kepada Allah dan hari akhir maka
berbicaralah yang baik atau diam”. Hal ini haruslah jadi pertimbangan oleh kita
selaku orang yang beriman kepada Allah serta hari akhir, bahwa mutlak bagi
kita orang mukmin bisa menjaga pola berbicara kita dan menjadikannya
sebagai sesuatu yang kita yakini harus seperti itu, karena ketentuan ini terdapat
dengan jelas dalam Nash.
Informasi mengenai berbicara ini juga ditemukan dalam surat Al-Ahzab
dengan makna yang sama, namun lafaz yang digunakan adalah (perkataan yang
benar), dapat dilihat di bawah ini :
ّٗ َ ّٗ ۡ َ ْ ُ ُ َ َ َّ ْ ُ َّ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
٧٠ ‫يأيها ٱَّلِّين ءامنوا ٱتقوا ٱّلل وقولوا قوٗل سدِّيدا‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar,(al-Ahzab:70)
Kata sadidan terdiri dari huruf sin dan da yang menurut pakar bahasa
Ibn Faris, menunjukkan kepada makna meruntuhkan sesuatu lalu
memperbaikinya. Ia juga bersifat istiqamah/konsisten. Kata ini juga digunakan
untuk menunjuk ke sasaran, dimana seseorang yang menyampaikan
ucapanyang benar dan tepat sasarannya. Dengan demikian kata sadidan dalam
ayat di atas tidak sekedar berarti benar, tapi juga tepat sasaran. Dan kata
sadidan yang mengandung arti meruntuhkan sesuatu lalu memperbaikinya
maksudnya adalah bahwa ucapan tersebut dalam artian kritik yang membangun

20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta, Lentera Hati, 2011), vol. 7, h.118-119

10
atau dalam artian informasi yang disampaikan haruslah baik, benar dan
mendidik.
Kata qaul/ucapan berimplikasi sangat luas, baik yang berkaitan kepada
kebajikan maupun keburukan. Namun dengan terbiasanya seseorang
mengucapakan kalimat-kalimat yang tepat, ia akan menjauh dari keburukan
perkataanya, atau mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat. Sehingga
bila suatu ketika ia tersalah dengan ucapannya, makaia dengan cepat akan
menyesalinya dan penyesalan itu akan membuat ia segera meminta maaf
kepada yang di sakiti pada orang yang ia sakiti serta bertobat kepada Allah.21
Di sisi lain dengan makna yang sama ayat justru muncul dengan istilah
shudu’,yang bermakna kata yang sebenarnya dan merupakan lawan dari
katakazib, yang ditemukan cukup banyak di dalam alquran. Berdasarkan
infomasi dari Mu’jam Mufradat al-Fazh Al-Qur’an ditemukan kata ini dengan
berbagai bentuk dalam 11 surat dan 22 ayat. Yaitu pada surat an-Nisa’ ayat
87,122, 69, surat Maryam ayat 54, dan 41. Surat munafiqun ayat 1, surat al-
Maidah ayat 75, 46. Juga terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 23,8, surat az-
Zumarayat 33, surat al-Qamar ayat 55, surat Yusuf ayat 2. Terdapat juga pada
surat al-Isra’ ayat 80, surat asy-Syuara ayat 84, 101, surat Ali Imran ayat 3,
152, surat al-Baqarah ayat 89, 101, surat al-Ahqaf ayat 12.22 Salah satu ayat
yang terkait dengan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 87 yang berbunyi :
ّٗ َّ ُ َ ُ َّ َ َ ۡ َ َ َ ُ َّ َ َٰ َ ٓ َ ُ َّ
َ ‫ك ۡم إ َ ََٰل يَ ۡو ِّم ٱلۡق َِّيَٰ َمةِّ َٗل َر ۡي‬
٨٧ ‫ب فِّيهِِّۗ َو َم ۡن أ ۡص َدق م َِّن ٱّللِّ َحدِّيثا‬ ِّ ‫ٱّلل ٗل إِّله إِّٗل هوُۚ َلجمعن‬
Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang
tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar
perkataan(nya) dari pada Allah ?

Ayat di atas menjelaskan tentang penegasan dasar asasi yang umum


bagi agama yaitu tauhid dan iman kepada hari kebangkitan. Ayat di atas
merupakan penegasan bahwa Allah adalah yang paling benar dengan semua

21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ibid., vol. 10, h.548-549

22
Abi al-Qasyim al-Husain Muhammad bin al-Mufadhil al-Ma’ruf al-Raaqib al-
Ashfahaaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, (Leibanon, Daar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), h.
310-311

11
wahyu yang diturunkan-Nya, dan kita selaku makhluk wajib mempercayai
kebenaran itu. Dan kebenaran yang disampaikan oleh Allah itu harus diyakini
dan diteladani oleh manusia, dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia
juga harus bertindak benar, dan kebenaran yang dilakukan itu haruslah
berlandaskan kebenaran yang datang dari Allah.23
b. Memelihara Amanah
Terdapat beberapa surat dan ayat yang terkait dengan memelihara
amanah ini, yaitu surat al-Baqarah ayat 283, surat an-Nisa’ ayat 58, surat al-
Anfal ayat 27-28, surat al-Mukminun ayat 8, surat al-Qasas ayat 26 dan surat
al-Maarij ayat 32 dan 35. Diantara bunyi ayat yang terkait dengan hal ini
adalah seperi yang terdapat pada surat al-Mukminun ayat 8 di bawah ini:

َ َ َ َ ُ َ َّ َ
٨ ‫ِّين ه ۡم ِِّلم َٰ َنَٰت ِّ ِّه ۡم َوع ۡه ِّده ِّۡم َرَٰ ُعون‬
‫وٱَّل‬
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.
Ayat ini mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu
kaitan penjelasan tentang ciri-ciri dari orang mukmin. Pada ayat-ayat
sebelumnya dijelaskan bahwa sangatlah beruntung orang-orang mukmin,
dikarenakan mereka selalu khusyuk dalam shalat mereka, dimana mereka
memperoleh khusyuk tersebut dengan jalan membersihkan hati, dan raga
mereka ketika akan shalat, dan tidak melakukan gerakan yang tidak berguna
ketika shalat. Pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa orang mukmin selalu
menjadi diri mereka dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak
bermanfaat dan sia-sia, selain itu mereka juga mensucikan harta mereka
dengan menunaikan zakat. Mereka juga menjaga kemaluan mereka, kecuali
untuk hal-hal yang halal bagi mereka, dan tidak pernah melampaui batas-
batas yang sudah ditentukan oleh Allah.
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang mukmin apabila
dipercayakan suatu amanat, maka mereka tidak akan pernah

23
Tafsir al-Manar V jilid halaman 316, dikutip dalam Tengku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), cet. 1, j. 1, h.568-569

12
mengkhianatinya. Mereka akan menjalankan amanat itu kepada yang berhak.
Apabila membuat perjanjian, mereka akan melaksanakannya dengan baik.24
Amanah yang ada pada pundak manusia manusia ada empat aspek,
yaitu pertama antara manusia dengan Allah, seperti aneka ibadah, misalnya
nazar. Kedua, antara seseorang dengan orang yang lain, seperti titipan,
rahasia. Ketiga antara seseorang dengan lingkungan, antara lain menyangkut
pemeliharaannya agar dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Dan
yang keempat, amanah dan dirinya sendiri, antara lain menyangkut kesehatan
diri sendiri.25
Kajian tentang amanah dalam Al-Qur’an juga telah dikaji oleh
Sahmiar Pulungan seorang mahasiswa doktoral di UIN Syarif Hidayatullah,
dalam tuliusannya dia menyimpulkan bahwa amanah terangkai dengan
penyebutan kata iman dan taqwa, dan amanah merupakan perekat sosial bagi
keberhasilan suatu kaum.
c. Bersyukur
Ayat-ayat yang membahas tentang bersyukur dalam Al-Qur’a n dapat
kita temui dalam surat ad-Dhuha ayat 11, surat Luqman ayat 12, surat an-
Naml ayat 40, surat al-Isra’ ayat 7 dan ayat 34, surat Ali Imran ayat 145 dan
surat al-Baqarah ayat 152. Diantara ayat-ayat tersebut adalah seperti bunyi
surat ad-Dhuha ayat 11 di bawah ini :
ۡ َ َ َ َ َ ۡ َّ َ َ
١١ ‫وأما بِّن ِّعمةِّ ربِّك فحدِّث‬

Artinya: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.


Surat Ad-Dhuha ayat 11 didahului oleh surat ad-Dhuha ayat 10 yang
berisikan larangan bagi orang mukmin untuk membentak atau mengusir
orang yang datang, tapi berilah mereka apa yang bisa untuk diberikan atau
tolaklah permintaan mereka dengan lemah lembut. Adapun pada ayat yang ke
11 ini, Allah memerintahkan untuk melimpahkan atau lebih banyak memberi

24
Tengku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta: Cakrawalal
Publishing, 2011), cet. 1, j. 3, h.156-158

25
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,…ibiid., vol. 8, h. 327-328

13
bantuan kepada fakir miskin, dengan cara ini berarti telah mensyukuri segala
nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia.
Ayat ini tidaklah dimaksudkan agar kita membeberkan kekayan kita
satu demi satu, sebab hal tersebut tidaklah mencerminkan sikap yang
baik.26Lebih lanjut M. Quraish Shihab berpendapat bahwa kata hadits yang
terdapat dalam ayat di atas bermakna syukurilah segala nikmat dari Allah
apaun bentuknya. Dan ketika bersyukur hendaklah jauhi rasa riya dan bangga,
karena hanya akan mengakibatkan hilangnya manfaat dari syukur itu.27
Ayat ini adalah ayat penutup pada surat ad-Dhuha, pada ayat 6 Allah
juga melarang membentak anak yatim, perintah bersyukur yang terletak di
akhir surat merupakan bentuk sikap yang diperintahkan oleh Allah agar kita
manusia yang telah banyak mendapatkan nikmat dari Allah tidak kufur
nikmat dan selalu cukup dengan apa yang kita miliki.
Dan dalam surat Luqman ayat 12 yang berbunyi :

ۡ ُ ۡ َ َّ َ ُ ۡ َ َّ ُ ۡ َ َ ۡ ۡ َ ُۡ َۡ ۡ ََ
ِّ ‫َولقد َءاتي َنا لقم َٰ َن ٱۡل ِّك َمة أ ِّن ٱشك ۡر ِّّللُِّۚ َو َمن يشك ۡر فإِّن َما يشك ُر ِلِّ َف‬
‫سهِّۦ َو َمن‬
ٞ َ ٌّ َ َ َّ َّ َ َ َ َ
١٢ ‫ِّيد‬ ‫كفر فإِّن ٱّلل غ ِِّن َح‬
Artinya: Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa Allah telah memberikan hikmah,


akal, paham dan amal kepada Luqman sehingga ia dapat memperoleh
makrifat yang benar. Oleh karena itu, Luqman menjadi seorang yang hakim
(orang bijak) dan bukan seorang Nabi. Pada dasarnya syukur haruslah
dilakukan dengan kesadaran sendiri karena hikmah atau manfaat dari syukur

26
Tengku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta: Cakrwalal
Publishing, 2011), cet. 1, j. 4, h.579

27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,…ibiid., vol. 15, h. 398-399

14
memang untuk kepentingan untuk diri sendiri. Dengan bersyukur Allah akan
memberi pahala yang banyak dan akan melepaskanya dari siksa.28
Terdapat tiga unsur unsur dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh
pelaku agar apa yang dilakukannya dapat terpuji. Pertama perbuatan yang
dilakukannya itu indah/baik. Kedua dilakukannya secara sadar, ketiga tidak
atas dasar terpaksa/dipaksa.
d. Pemaaf / memaafkan kesalahan orang lain.
Beberapa surat dan ayat yang menjelaskan tentang pemaaf ini,
diantaranya surat al-A’raf ayat 199, surat al- Baqarah ayat 263, surat an-
Nisa’ ayat 149, surat asy-Syura ayat 39, 43, dan surat Ali Imran ayat 133-
134.29 Berikut diantara ayat tersebut adalah surat Al-A’raf ayat 199 yang
berbunyi :
َ َٰ َ ۡ َ ۡ ۡ ََ ۡ ُۡ ۡ َُۡ َ َۡ ۡ ُ
١٩٩ ‫خ ِّذ ٱلعفو وأمر ب ِّٱلعر ِّف وأع ِّرض ع ِّن ٱلج ِّهل ِّي‬

Artinya: Jadilah Engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang


ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Kata khudz/ambillah pada ayat di atas hakikatnya adalah keberhasilan


dalam memperoleh sesuatu untuk digunakan atu untuk dimanfaatkan. Kata
ini digunakan pada ayat ini untuk makna melakukan sesuatu aktivitas atau
menghiasi diri dengan suatu sifat yang terpilih dari sekian banyak pilihan.
Dengan adanya beberapa pilihan itu, kemudian memilih salah satunya,
pilihan tersebut serupa dengan mengambil.dengan demikian, amnbillah maaf
berarti pilihlah pemaafan, lakukan hal tersebut sebagai aktivitasmu dan
hiasilah diri dengannya, jangan memilih lawannya30.
Ayat di atas jika dilihat di beberapa tafsir, ayat ini diletakkan pada
poin pembahasan cara-cara mempergauli manusia, dimana dalam ayat di atas
Allah memerintahkan kita untuk menjadi makhluk yang pemaaf. Menjadi

28
Ibid., j. 4, h.445-446

29
Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), h.245-246

30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,…ibid., vol. 4, h. 428

15
makhluk yang bisa menerima orang lain disekitar kita dengan segala
kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Berusaha tidak menyulitkan
orang lain, dan tidak meminta mereka melakukan sesuatu yang sulit untuk
mereka lakukan. Bahkan dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW.,
menganjurkan umat muslim untuk mempermudah suatu perkara, serta
melarang mempersulit suatu perkara.
Ada dua hal yang disuruh oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw.,
dalam ayat ini :
1) Menerima sekedar yang mudah dilakukan orang. Jangan meminta
mengerjakan sesuatu yang menyulitkan diri sendiri.
2) Menyuruh yang makruf, yaitu mengerjakan segala hal yang telah dikenal
oleh para muslim bahwa yang demikian itu diperintahkan oleh syara’
Adapun makna ma’ruf dalam ayat di atas, adalah perbuatan-perbuatan
yang bersifat ketaatan, mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat kebajikan
kepada manusia. Perbuatan yang dimaksud adlah perbuatan yang dikenal dan
dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung
oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan agama. Ia adalah
kebajikan yang jelas dan diketahui oleh semua orang, serta diterima dengan
baik oleh manusia-manusia normal. Ia adalah yang disepakati sehingga tidak
perlu didiskusikan apalagi dibantah.31
Ayat ini walaupun dengan redaksi yang singkat, telah mencakup
semua sisi budi pekerti luhur yang berkaitan dengan antar manusia. Ayat ini
memberikan kesan bahwa tauhid harus membuahkan akhlak yang mulia dan
budi pekerti yang luhur.
e. Sabar
Sabar berasal dari bahasa Aab yang berarti bersabar, tabah hati dan
berani.32 Dalam bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi cobaan,

31
Tengku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta: Cakrwalal
Publishing, 2011), cet. 1, j. 2, h. 191-192

32
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,(Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah,
1973)h. 211

16
tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu.33 Informasi yang sama
juga ditemukan dalam Mu’jam lafazh Al-Qur’an tentang arti dari kata sabar
adalah menahan diri, kata sabar bisa ditemukan dalan surat al-Baqarah ayat
175 dan ayat 177, surat al-Hajj ayat 35, surat al-Ahzab ayat 35, surat Ali
Imran ayat 200, surat Maryam ayat 65, surat al-Furqan ayat 75, surat Yusuf
ayat 18 dan ayat 83, surat Ibrahim ayat 45, surat Luqman ayat 13, surat
Saba’ayat 19, surat Asy-Syura ayat 33, suratal-Qalam ayat 48, dan surat al-
Insan ayat 24.34 Diantara surat di atas terdapat surat Yusuf ayat 18 yang
berbunyi :

ٞ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ ۡ َ َّ َ ۡ َ َ َ َ َ َ َٰ َ َ ُ ٓ َ َ
‫ َجِّيل‬ٞ‫ت لك ۡم أنف ُسك ۡم أ ۡم ّٗرا ف َص ۡۡب‬ ‫ِّب قال بل سول‬
ٖۚ ٖ ‫ذ‬‫ك‬ ‫م‬ ‫د‬
ٖ ِّ ‫ب‬ ‫ۦ‬ِّ ‫ه‬‫يص‬
ِّ ‫م‬
ِّ ‫وجاءو لَع ق‬
َ ُ َ َٰ َ َ ُ َ َ ۡ ُ ۡ ُ َّ َ
١٨ ‫لَع َما ت ِّصفون‬ ‫وٱّلل ٱلمستعان‬
Artinya: Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan
darah palsu. Ya'qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang
memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang
baik Itulah (kesabaranku[746]). dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan."

Ayat di atas menjelaskan tentang kisah nabi Yusuf yang diberitakan


oleh saudara-saudaranya telah dimakan oleh serigala, berita ini disampakan
mereka kepada ayah mereka yaitu Nabi Ya’qub. Meskipun berita ini sangat
mengguncang jiwanya, akan tetapi Nabi Ya’qub tetap sabar yang baik,yaitu
sabar yang tidak disertai dengan putus asa. Bahkan Nabi Ya’kub menyindir
putra-putranya dengan perkataan bahwa nafsu mereka yang jahat telah
mendorong dan memudahkan mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang
sangat jahat. Sabar yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub tidaklah mudah, karena
sabar yang beliau lakukan adalah sabar yang tidak disertai putus asa dan tidak

33
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1990), h. 763

34
Abi al-Qasyim al-Husain Muhammad bin al-Mufadhil al-Ma’ruf al-Raaqib al-
Ashfahaaniy, Mu’jam Mufradat, ibiid, h. 306-307

17
mengadukan masalahnya kepada orang lain, melainkan mengadukan
nasibnya hanya kepada Allah.35
Pembahasan tentag sabar ini telah diulas dengan sangat luas oleh
Sofrianisda dalam Jurnal Hikmah, dimana penulis membagi sabar tersebut
dalam beberapa macam, yaitu sabar dalam melaksanakan ketaatan dan
meninggalkan maksiat, sabar terhadap perlakuan tidak baik dari orang lain.
Menurut Sofrianisda kata sabar dan bentukannya ditemukan 100 kali
dalamAl-Qur’andi berbagai surat dan ayat. Dalam penjelasan ayat-ayat yang
digunakan Sofrianisda juga mengutip pendapat M. Quraish Shihab bahwa
kata sabar menyangkut beberapa hal, sabar dalam menahan ejekan dan
rayuan, sabar dalam menjalankan perintah dan meninggalkan rayuan, sabar
dalam petaka dan kesulitan serta sabar dalam berjuang menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menambahkan bahwa kata sabar
terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf shad, ba dan huruf ra’, yang
maknanya berkisar pada tiga hal, yaitu pertama menahan yang bermakna
konsisten/bertahan, kedua ketinggian sesuatu/ puncak sesuatu, dan yang
ketiga batu yang kukuh lagi kasar. Ketiganya tersebut saling berkaitan, dan
pelakunya adalah manusia. Maka seorang yang sabar akan menahan diri,
untuk itu dia membutuhkan kekukuhan jiwa dan mental baja, agar dapat
mencapai ketinggian yang diharapkan.36
Bila difahami lebih lanjut, maka ada tiga hal yang dapat diambil dari
ayat-ayat tentang sabar ini :
a) Harus adanya kesadaran pada diri seseorang bahwa dirinya adalah milik
Allah dan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya adalah kehendak Allah,
dan segala sesuatunya akan kembali kepada Allah.

35
Tengku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta: Cakrawalal
Publishing, 2011), cet. 1, j. 2, h. 446

36
Sofrianisda, Konsep Sabar dalam Al-Qur’an dan Implementasinya dalam Mewujudkan
Kesehatan Mental, (Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam), vol.6, no.1, Edisi Januari-Juni 2017, h.137-
148

18
b) Bersikap tenang, tidak lekas marah, tidak cepat naik darah, tidak gusar,
tidak mengeluh, tidak suka bermenung, tidak cepat berputus asa, pantang
menyerah, teguh dalam berusaha, dan tidak berhenti di tengah jalan sampai
apa yang dicita-citakan berhasil.
c) Mampu menghadapi kesulitan, mau memaafkan kesalahan orang lain,
memahami keterbatasan orang lain, dan tidak pendendam
f. Tidak Sombong / Rendah Hati
Informasi tentang hal ini dapat kita temukan dalam surat al-Isra’ ayat
37, surat al- furqan ayat 63, surat Luqman ayat 18, surat an-Nisa ayat 36, ayat
172-173, surat an-Nahl ayat 22-25 dan ayat 29, surat az-Zumar ayat 60 dan
surat Ghafir ayat 35 dan ayat 76. Salah satu bunyi ayatnya adalah, surat
Luqman ayat 18 yang berbunyi :

َ ۡ ُ َّ ُ ُّ ُ َ َ َّ َّ ً َ َ َۡ َ َ َّ ‫َو َٗل تُ َصع ۡر َخ َّد َك ل‬


ِّ ‫اس َوٗل ت ۡم ِّش ِِّف ٱِل‬
‫ۡرض مرحا إِّن ٱّلل ٗل ُيِّب ُك ُمتا ٖل‬ ِّ ‫ِّلن‬ ِّ
َ
١٨ ٖ‫ف ُخور‬

Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena


sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.

Ayat di atas melarang kita untuk memalingkan muka atau menoleh ke


arah yang lain dari orang yang sedang diajak berbicara, atau karena
kesombongan. Allah tidak menyukai orang yang bermegah-megah , baik
dengan harta mereka, kemulian maupun kekuatan, karena itulah Allah
mencegah kita berlaku sombong.37
g. Taat/Patuh
Ayat yang terkait dengan patuh / taat terdapat dalam surat an-Nisa’
ayat 59, surat al-Isra’ ayat 23, surat Luqman ayat 15. Berikut bunyi ayat yang
terdapat dalam surat Luqman ayat 15:

37
Ibid., j. 3, h.449

19
ُ ََ ۡ َ َ َ ۡ ُ َ َٰٓ َ َ َ َ َ َٰ َ
‫م فَل ت ِّط ۡع ُه َما َو َصاح ِّۡب ُه َما ِِّف‬ٞ ‫ۡش َك ِِّب َما ل ۡي َس لك بِّهِّۦ عِّل‬
ِّ ‫ِإَون جهداك لَع أن ت‬
ُ ‫كم ب َما ُك‬ ُ ُ َ ُ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َّ َ َّ ُ َّ َ َ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َّ َ ّٗ ُ ۡ َ َ ۡ ُّ
‫نت ۡم‬ ِّ ‫جعكم فأنبِّئ‬ ِّ ‫ٱدلنيا معروفا وٱتبِّع سبِّيل من أناب إَِّل ُۚ ثم إَِّل مر‬
َ ُ َ
١٥ ‫ت ۡع َملون‬
Artinya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat di atas memerintahkan kita untuk patuh kepada orang tua, dan
apabila mereka bukanlah muslim, maka kita tetap harus berbakti kepada
mereka. Kata taat pada ayat di atas diawali dengan adanya larangan untuk
mentaati, dikarenakan orang tua dalam kondisi musyrik. Maka apabila
kondisi orang tua bukanlah musyirik, maka kita wajib untuk mentaatinya.38
Kata taat berasal dari bahasa Arab yang berarti; taat, tunduk, patuh.39

C. PENUTUP
Ranah afektif merupakan ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.
apabila hal ini dibahas dari perspektif Al-Qur’an, maka ranah afektif yang
dimaksud adalah nilai-nilai afektif yang terdapat dalam Al-Qur’an, tentu yang
berkenaan dengan akhlak seorang muslim. Pada dasarnya ayat Al-Qur’an telah
membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan akhlak muslim, sehingga
ditemukan banyak hal yang terkait dengan akhlak seorang muslim. Namun dalam
makalah ini penulis baru membahas bagian dari akhlak yang dimaksudkan yaitu :
1. Berkata baik dan benar
2. Memelihara amanah
3. Bersyukur
4. Pemaaf / memaafkan kesalahan orang lain
5. Sabar

38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,…ibid., vol. 10, h.303-304

39
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah,
1973), h. 242

20
6. Tidak sombong
7. Taat / patuh
Ada banyak hak yang dijelaskan dalan al-Qur’an terkait dengan ranah
afektif ini, namun berdasarkan penjelasan terhadap tujuh hal akhlak yang telah
penulis paparkan sebelumnya, penulis berkesimpulan bahwa antara teori tentang
ranah afektif yang telah dibahas sejak lama oleh ilmuwan pendidikan adakalanya
bisa disesuaikan dengan ayat, namun adakalanya belum dapat disesuaikan dengan
ayat. Sehingga dalam makalah ini penulis tidak mencoba untuk membuat analisa
ayat sesuai dengan keterangan ranah afektif (taksonomi Bloom) yang sudah ada.
Penulis cenderung membuatnya sebagai bahagian yang terpisah.

DAFTAR PUSTAKA
Al- Ashfahaaniy, Abi al-Qasyim al-Husain Muhammad bin al-Mufadhil al-Ma’ruf
al-Raaqib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Leibanon, Daar al-Kotob
al-Ilmiyah, 2008.

Ash-Shiddieqy, Tengku Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, (Jakarta:


Cakrawalal Publishing, 2011), cet. 1, j. 3, h.156-158

Ash-Shiddieqy, Tengku Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, Jakarta:


Cakrwalal Publishing, 2011.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 1990.

Fishbein, M and Ajzen, Beliefe, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction


to Theory and Research, Reading M.A. 1975.

Hadhiri, Choiruddin, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani


Press, 1995.

Hadi, Amirul, dkk., Teknik Mengajar Secara Sistematis, Jakarta : Rineka Cipta,
2001.

Kartono, Kartini, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung :
Mandar Maju, 1989.

Krathwohl, David R., Taxonomy of Educational Objectives; Handbook II : Affective


Domain, London : Longman Group Ltd., 1956.

Nurkancana, Wayan, Evaluasi Pendidikan, Usaha Nasional : Surabaya, 1986.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,


Jakarta, Lentera Hati, 2011.

21
Silverius, Suke, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta: PT. Grasindo,
1991.

Slameto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2001.

Sofrianisda, Konsep Sabar dalam Al-Qur’an dan Implementasinya dalam


Mewujudkan Kesehatan Mental, (Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam),
vol.6, no.1, Edisi Januari-Juni 2017.

Sudjana, Nana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya: 2008.

Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1995.

Syah, Djalinus, dkk., Kamus Pelajar (Kata Serapan Bahasa Indonesia), Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.

Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung:


Rosdakarya, 1997.

Thoha, M. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka


Pelajar,1996.

Woolfolk, Anita E., Educational Psychology, America : Allyn &Bacon, 1980.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia,Jakarta, Yayasan Penyelenggara


Penterjemah, 1973.

22

Anda mungkin juga menyukai