Anda di halaman 1dari 23

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Sejarah Pendidikan Islam Indonesia Fajar Rahmadi M.pd

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI


BERKAHIRNYA ORDE LAMA
OLEH :
Kelompok 3

ILMA SUPIA : 190101010817


EKA MARDIYANTI : 190101010812
NURMILA : 190101010689
ZAKARI : 190101010727

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1442 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat dan inayah-Nya.
Shalawat dan salam semoga di limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabat-Nya.
Makalah ini kami buat semata-mata untuk keperluan mahasiswa dan mahasiswi ataupun
masyarakat yang sekiranya dikemudian hari memerlukannya. Makalah ini juga dapat di
manfaatkan oleh para guru sebagai bahan mengajar.
Materi makalah ini disusun dari berbagai sumber buku pembelajaran maupun yang lainnya.
Kami selaku penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa dan
mahasiswi ataupun orang-orang yang membacanya untuk menjadi ladang amal.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas segala bentuk kerjasamanya semoga Allah SWT.
Meridhoi ikhtiar kita dalam membangun generasi Indonesia melalui makalah ini

Banjarmasin, 17 Maret 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................Hal
KATA PENGANTAR............................................................................. 1
DAFTAR ISI ........................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 3
B. Ramusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 5

A. posisi pendidikan Islam awal kemerdekaan RI sampai berakhirnya kekuasaan orde


lama............................................................................................. 5
B. peran dan tokoh-tokoh Islam terhadap pengembangan pendidikan Islam....... 7
C. kebijakan-kebijakan pemerintah berhadap pendidikan Islam ... 9
D. jenis-jenis kelembagaan pendidikan Islam ………………………… 12
BAB III PENUTUP ................................................................................ 15
A. Kesimpulan ................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 17

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan komponen terpenting untuk membentuk dan mewarnai corak
hidup masyarakat. Pendidikan Islam dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
Hingga sekarang. Bahkan, di Indonesia pendidikan Islam telah di sosialisasikan
melalui beberapa metode pembelajaran. Pendidikan Islam sudah diperkenalkan oleh
para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia dan para ulama yang membangun
madrasah atau pondok pesantren.
Dengan mengetahui sejarah pendidikan Islam kita sebagai umat Islam semakin
memiliki sikap tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan para ulama dalam
mengembangkan pendidikan Islam. Setelah merdeka, pendidikan Islam mulai
mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sitem pendidikan nasional. Selain
itu pendidikan agama di sekolah mendapat tempat yang teratur, seksama dan penuh
perhatian. Pendidikan Islam setahap demi setahap dimajukan. Upaya ini merupakan
usaha untuk menata diri ditengah-tengah realitas sosial modern dan kompleks.
Sekolah agama termasuk madrasah ditetapkan sebagai model dan sumber
pendidikan nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian
pendidikan Islam terus ditingkatkan. Tuntutan mendirikan perguruan tinggi pun
meningkat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana posisi pendidikan Islam awal kemerdekaan RI sampai berakhirnya
kekuasaan orde lama?
2. Sebutkan peran dan tokoh-tokoh Islam terhadap pengembangan pendidikan
Islam?
3. Sebutkan kebijakan-kebijakan pemerintah berhadap pendidikan Islam?
4. Apa saja jenis-jenis kelembagaan pendidikan Islam?

C. Tujuan
1. Memahami posisi pendidikan Islam awal kemerdekaan RI sampai berakhirnya
kekuasaan orde lama.
2. Memahami peran dan tokoh-tokoh Islam terhadap pengembangan
pendidikan Islam.
3. Memahami kebijakan-kebijakan pemerintah berhadap pendidikan Islam.
4. Memahami jenis-jenis kelembagaan pendidikan Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Posisi Pendidikan Islam Awal Kemerdekaan RI sampai Berakhirnya


Kekuasaan Orde Lama
Praktik pendidikan zaman merdeka sampai tahun 1965 dapat
dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda.
Peraktik pendidikan zaman Belanda terfokus untuk mengembangkan
kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui penddikan
Barat. Praktik pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi
antara anak pejabat dan anak pada umumnya, yaitu memberikan
kesempatan luas pada anak-anak kalangan atas.
Praktik pendidikan selepas penjajahan mengembangkan jiwa
patriotisme. Dapat dianalisis behwa pendidikan tidak bisa dilepaskan
dari lingkungan, baik lingkungan sosial, ekonomi maupun lingkungan
lainnya.
Pada masa ini lingkungan politik tetap mendominasi praktik
pendidikan. Selain itu upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan sehingga menurunkan kualitas
pendidikan.1
Menjelang kemerdekaaan secara tidak langsung muncul diskursus
pendidikan nasional yang tidak saja terbatas pada pemilihan sistem
atau model, tetapi lebih jauh pada tataran ideologi. Pada tataran
ideologi, wacana yang berkembang dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok pemikiran, yaiatu humanis sosial sekuler, nasionalisme
sekuler, humanisme religius. Intoleransi tertinggi terhadap pendidikan
Islam sebetulnya dari pemikiran humanis sosial sekuler yang
memperlihatkan supremasi filsafat dan science diatas agama.
Kelompok nasionalis, sekalipun mengakui agama, menganggap agama
sebagai kebudayaan belaka. Sisi positif dari kelompok ini ialah masih
menganggap metode yang dikembangkan dipesantren dengan
metode among-nya relevan untuk diadopsi dalam penyelenggaraan
pendidikan
nasional. Adanya pasal 29 (agama), 31 (kebudayaan), dan 32
(pendidikan nasional) pada UUD 1945 menggambarkan kompromi
dari pergulatan diskursus ideologis tersebut.

1
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam (Dari masa Rasulullah hingga reformasi di Indonesia), CV. PUSTAKA
SETIA, Bandung: 2018, Hlm. 211.
4
Mula-mula memang ada tanda pemihakan terhadap pendidikan Islam,
berkat pembaharuan didalamnya yang menyandingkan bersama
antara ilmu-ilmu umum dan agama. Soekarno yang tergolong
nasionalis tetapi sering digambarkan agamis yang pada kemudian hari
ternyata menjadi presiden pertama menunjukan reaksi positifnya
terhadap gagasan A. Hassan untuk memasukan sebanyak mungkin
ilmu-ilmu umum ke dalam pesantren. Akan tetapi, ternyata
keputusannya yang diambil setelah menjadi presiden menjadikan
lembaga pendidikan Islam atau komunitas muslim sekali lagi terpencil
seperti apa yang sebelumnya telah diperbuat pemerintah kolonial
Belanda, pemerintah ternyata mengadopsi secara total pendidikan
yang sebelumnya telah dikembangkan Belanda.
Tentu, ada alasan-alasan praktis mengapa pemerintah Indonesia
mengadopsi sistem kolonial tersebut. Diantaranya, ada hubungannya
dengan masalah ketenagakerjaan. Namun demikian, satu hal yang
mendasar dibalik keputusan itu diperkirakan menyangkut hubungan
negara dan agama. Pemerintah kala itu umumnya berkeinginan untuk
memonopoli komunitas dinegaranya. Memilih sistem pendidikan
Islam berarti memberikan pengakuan terhadap komunitas muslim
dan secara psikologis meningkatkan martabatnya. Akan tetapi, pada
saat yang bersamaan akan memberikan dampak psikologis yang
negatif terhadap Komunitas sekuler yang selama ini terbina dengan
sekolah kolonial, padahal mereka relatif lebih terdidik dan terampil
untuk menjalankan roda pemerintahan dan pengisian kemerdekaan.
Berdirinya Departemen Agama sering digambarkan sebagai
kompensasi bagi umat Islam untuk mengurangi kekecewaan
menyususl kekalahannya dalam pertempuran ideologis, termasuk
termarginalkannya sistem pendidikan Islam. Berkaitan dengan
pendidikan Islam ini, tugas-tugas Departemen Agama meliputi; (a)
Memberikan pengajaran agama disekolah negeri dan partikulir; (b)
Memberi pengetahuan umum di madrasah; (c) Mengadakan
pendidikan guru agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri
(PHIN). Dalam perkembangannya, Departemen Agama mengurus
semua lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik formal seperti
madrasah hingga perguruan tinggi Islam maupun informal yang
meliputi mesjid, majlis ta’lim, pesantren, madrasah diniyah, TPA, TK,
dan PTAI.
Jika dilihat dari latar belakang kelahirannya, maka berkaitan erat
dengan pendidikan Islam ini, Departemen Agama memiliki dua tugas
sekaligus. Pertama, menjalankan program pemerintah dibidang
pendidikan. Kedua, menjadi representasi umat Islam dalam
memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan Islam yang lebih luas
di Indonesia. Dalam hal yang terakhir ini, terlihat pada perjuangannya
menggolkan aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan
5
disekolah-sekolah dan usahanya untuk meningkatkan secara
kuantitatif dan mengembangkan secara kualitatif madrasah dan
perguruan tinggi Islam.
Pada akhir Orde Lama, yang ditandai dengan dibubarkannya PKI,
peserta pertarungan ideologis menjadi berkurang. Bahkan menyusul
setelah itu kelur TAP MPRS XXVII yang mewajibkan pendidikan agama
di semua tingkat pendidikan. Lebih dari itu, dalam lampirannya
diisyaratkan perlunya perhatian dan yang lebih wajar terhadap
pendidikan Islam termasuk pesantren. Dengan demikian, secara
teknis persaingan di bidang pendidikan ini relatif bertambah ringan. 2

B. Peran dan Usaha Tokoh - tokoh Islam Terhadap Pengembangan


Pendidikan Islam
Dalam mengenal tokoh-tokoh pendidikan islam di Indonesia, maka
kita akan mengenal beberapa nama tokoh yang terkenal. Diantara
para tokoh tersebut, sangat andil besar dalam memperbaharui
konsep dan sistem pendidikan di Indonesia khususnya mengenai
pendidikan Islam. Diantara mereka, ada yang merubah atau
mengabungkan konsep pendidikan Kolonial Belanda (modern) dengan
konsep pendidikan pesantren (tradisional), dimana menambahkan
mata pelajaran yang tidak hanya pelajaran agama saja, tetapi juga
mata pelajaran umum.
Pendidikan Islam berkembang dengan pesat sejak dari peninggalan
Rasulullah hingga sampai pada masa kita saat ini. Banyak para tokoh
Pendidikan Islam yang tampil sebagai pembaharu, dan dibedakan
menjadi dua generasi, yaitu: Pertama generasi klasik terdiri dari tokoh
di luar Indonesia, Kedua generasi modern dikhususkan dalam Negara
Indonesia. Berikut akan dijelaskan secara mendalam.
A. Generasi Klasik
1. Imam Ghazali
a. Riwayat Hidup
Foto Al Ghazali Oleh Unik SegiEmpatNama lengkapnya adalah Abu
Hamid bin Muhammad Al-Ghozali. Ia dilahirkan di Thus, sebuah kota
di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M.(footnote : Al-Rasyid
dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Ciputat
Press,2005, hlm 85). Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta
ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki,
sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan
sengsara.
b. Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya
2
Sarno Hanipudin, Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Journal of Islam and Muslim Society vol 1
no 1 (2019), hlm. 44-45.
6
pada Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan
untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan
dunia.Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam
Ghazali berpendapat “sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah
mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.
Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti
tradisi umum kaum sufi. Memeng ia pernah menyebutkan bahwa
secara etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak
keberatan atas pemakaian terma Ma’rifah untuk konsep (tasawuf),
dan ‘ilm untuk assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia
sering memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama.(Footnote :
Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:
Ciputat Press,2005, hlm 86).
2. Ibn Sina
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah.Di barat
populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H /
980 M di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di
kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu
kota termasyhur dikalangan orang-orang Yunani. Diwafatkan di
Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia
yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali
menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina
terbagi menjadi 2, yaitu:
1. ilmu yang tak kekal
2. ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika.
Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu
yang praktis dan ilmu yang teoritis.
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu :
1. Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki
seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan
fisik, intelektual maupun budi pekerti.
2. Diarahkan pada upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang
agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan melakukan
pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
3. Tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan, yang artinya
mencetak tenaga pekerja yang profesional.(Footnote :
http://pustakaazham.blogspot.com/2012/05/konsep-pendidikan-
menurut-ibnu-sina.html)
3. Ibn khaldun
7
a. Riwayat Hidup
Hasil gambar untuk ibn khaldunDi tengah konflik yang terjadi diantara
Kerajaan-kerajaan kecil, Kerajaan bani Abdul Wad Az-zanatiyah
terkena musibah dan bencana yang berasal dari Kerajaan
tetangganya, yakni Kerajaan Bani Hafzh yang berada di Tunisia. Dalam
suasana seperti itu ibn Khaldun lahir di Tunisia, awal Ramadhan tahu
732 H, dari kjeluarga besar berbangga dengan nasab Arabnya yang
berasal dari Hadromaut, Yaman. (footnote : Djalaludin dan Usman
Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT.Raja Grafindo, 1994, hlm,
139)
b. Pemikiran Pendidikan
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut priunsip
keseimbangan. Dia inginanak didik mencapai kebahagiaan duniawi
dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap
rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara
jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan islam yaitu sifat
moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan
tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara
umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang
pendidikan telah sesuai dengan perinsip-perinsip pendidikan Islam
yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.
Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah
memberikan kesempatan kepada aqal untuk lebih giat dan melakukan
aktivitas.
4. Ikhwan As-Shafa
a. Riwayat Hidup
Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan) adalah organisasi dari para filsuf Arab
Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak yang saat itu merupakan
ibukota Kekhalifahan Abassiyah sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok
yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan
Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat
mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa
Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah buku yang
sangat mereka hormati “Kalilah wa Dimnah”.
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya
sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit
intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk
menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militant untuk beramar
ma'ruf nahi mungkar.
b. Pemikiran Pendidikan
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus
diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak
pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah
8
(harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran
idealisme.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba
meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka
mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu
pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah)
semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal
ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja
sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan
filsafat.
B. Generasi Moderen
1. KH. Ahmad Dahlan
a. Riwayat Hidup
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama
Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari
pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah pada tahun 1285
H (1868 M ). Kyai Haji Abu Bakar adalah khatib di Majid Agung
Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ayahnya Siti Aminah adalah
penghulu besar di Yogyakarta.
KH Ahmad Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk
pesantren. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil
otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari
belajar kepada ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya dan
iparnya. Ia di didik sendiri melalui cara pengajian yaitu dengan
menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya.
b. Pemikiran Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan
umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang
dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya
ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan
ummat.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan
pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur,
alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:
1) Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek
serta antara dunia dengan akhirat.
9
3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
2. KH. Hasyim Asy’ari
a. Riwayat Hidup
Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur. Pada hari
Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14
Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn
Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar
Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn
Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan
Giri.Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim
Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim
Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan. Hasyim
Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya
berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu.
b. Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab
Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif, di mana beliau
mengwali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat al-
qur’an. Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengadung
hikamah.dengan cara ini. K.H. Hasyim Asy’ari memberi pembaca agar
menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau
sendiri. Namun demikaian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari
bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan beliau.
Tujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah
untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul
karimah). rumusan ini secara implisit dapat terbaca dari beberapa
hadits dan pendapat ulama yang dikutipnya. Beliau menyetir sebuah
hadits yang berbunyi: “diriwayatkan dari Aisyah r.a. dari Rasulullah
SAW bersabda : kewajiban orang tua terhadapnya adalah
membaguskan namanya, membaguskan ibu susuannya dan
membaguskan etikanya.
3. K.H. Imam Zarkasyi
a. Riwayat Hidup
KH. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada
tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal pada tanggal 30 Maret 1985
dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak. Sejak usia
kanak-kanak Imam Zarkasyi sudah hidup sebagai anak yatim, karena
saat ia berusia delapan tahun ayahnya meninggal dunia. Tidak lama
kemudian ibunya juga meninggal yaitu pada tahun 1920.
Kemudian Imam Zarkasyi mulai belajar agama (mondok) di Pesantren
Joresan. Karena proses belajar di Pesantren diselenggarakan pada
sore hari, maka di pagi harinya ia belajar Sekolah Desa Nglumpang.

10
Adapun kitab yang diajarkan di Pesantren tersebut diantaranya adalah
Ta’lim al-Muta’allim, al-Sullam, Safinah al-Najah dan al-Taqrib.
b. Pemikiran Pendidikan
1. KH. Imam Zarkasyi adalah seorang ulama yang mempunyai gagasan,
komitmen dan kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan Islam di
Indonesia. Pondok Pesantren Modern Gontor yang didirikannya
mampu mengakomodir keberagaman masyarakat Islam Indonsia.
2. Sistem Pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Modern
Gontor adalah menganut sistem klasikal yang terpimpin secara
terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dan jangka waktu yang
ditetapkan. Di samping itu diperkanalkan kegiatan ekstra kurikuler,
dan tidak menghilangkan tradisi pesantren yaitu pengajaran kitab-
kitab klasik.
3. Dalam Struktur dan Manajemen, Pondok Pesantren Modern Gontor
memiliki struktur organisasi mulai dari Badan Wakaf, Pimpinan
Pondok, sampai lembaga-lemabaga lain yang berada di bawah
koordinasi pimpinan pondok.
4. Pola pikir dan kebebasan, para santri diberi arahan melalui
pembiasaan, keteladanan, dan pengenalan lingkungan.
Dengan demikian diharapkan para santri memiliki jiwa berdikari,
bebas untuk menentukan masa depannya, memiliki jiwa keikhlasan
dan jiwa kesederhanaan dalam hidup. Dan Pondok Pesantren Modern
Gontor sebagai lembaga pendidikan tetap independen, steril dari
kepentingan politik dan golongan apapun.(footnote : Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 2018: 154-160
4. Hamka
a. Riwayat Hidup
“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan
bangsa-bangsa Asia Tenggara”.Begitulah kata mantan Perdana
Menteri Malaysia,Tun Abdul Rozak.Nama aslinya ialah Haji Abdul
Malik Karim Amrulloh biasa disebut dengan HAMKA yang
merupakan singkatan dari nama panjang beliau. Beliau lahir di
Maninjau,Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M/ 13
Muharrom 1326 H.Belakangan ia diberikan sebutan Abuya,yaitu
panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata
abi,abuya yang berarti ayahku atau orang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syech Abdul Karim ibn Amrulloh,yang dikenal
dengan Haji Rosul dan merupakan pelopor Gerakan Islah(tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada 1906.
b. Pemikiran Pendidikan
Pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi 2 bagian yaitu:
1. Pendidikan jasmani,pendidikan untuk pertumbuhan &
kesempurnaan jasmani serta,

11
2. Pendidikan ruhani,pendidikan untuk kesempurnaan fitrah
manusia dengan ilmu pengetahuan & pengalaman yang
didasarkan pada agama.
Keduanya memiliki kecenderungan untuk berkembang dengan
melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang
paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal
kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam kedua unsur
tersebut dikenal dengan istilah fitrah.Titik sentral pemikiran
Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak
saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”.
Fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa
berbuat kebajikan& tunduk mengabdi sebagai kholifah fi al-ardh
maupun ‘abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati, &
pancaindra yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga
unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi
kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.
Tujuan Pendidikan dalam Pandangan HAMKA adalah “mengenal
dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk
beraklhlaq mulia” serta “mempersiapkan peserta didik untuk
hidupsecara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas
sosialnya”.
5. Mahmud Yunus
a. Riwayat Hidup
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus Dilahirkan di Batu Sangkar pada
tanggal 10 Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982.
Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan
kecenderungannnya yang kuat untuk memperdalam ilmu Agama
Islam. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar membaca al-Qur’an di
bawah bimbingan kakeknya Muhammad Thahir yang dikenal
dengan nama Engku Gadang. Setelah menamatkan al-Qur’an, ia
menggantikan kakeknyas sebagai guru ngaji al-Qur’an. Dua tahun
kemudian, ia melanjutkan studi ke sekolah desa dan kemudian
melanjutkan studi ke Madras School. Selanjutnya padatahun 1917,
ia bersama teman-temannya mengajar di Madras School dengan
memperbaru isi sitem belajar mengajar dengan menambah sistem
halaqah di samping sistem madrasah dengan menggunakank itab-
kitabmutakhir.
Dengan bekal kemampuan bahasa Arab yang sangat baik,
padatahun 1924 Mahmud Yunus melanjutkan studinya ke
Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir. Di sana ia memperdalam ilmu-
ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah lulus dari Universitas al-
Azhar, ia melanjutkan studinya ke Daru lUlum dan mendapatkan
gelar diploma dengan spesialisasi dalam bidang pendidikan.
12
b. Pemikiran Pendidikan
Menurut Mahmud Yunus, pendidikan adalah suatu bentuk
pengaruh yang terdiri dari ragam pengaruh yang terpilih
berdasarkan tujuan yang dapat membantu anak-anak agar
berkembang secara jasmani, akal dan pikiran.dalam prosesnya ada
upaya yang harus dicapai agar diperoleh hasil yang maksimal dan
sempurna, tercapai kehidupan harmoni secara personal dan
sosial.segala bentuk kegiatan yang dilakukan menjadi lebih
sempurna, kokoh, dan lebih bagus bagi masyarakat.
Dari aspek tujuan pendidikan islam. Berkaitan dengan tujuan
pokok pendidikan Islam, Mahmud Yunus merumuskan dua hal,
yaitu untuk kecerdasan perseorangan dan kecerdasan
mengerjakan pekerjaan. Ada yang berpendapat bahwa
tujuanpendidikan Islam ialah mempelajari serta mengetahui ilmu-
ilmu agama Islam dan mengamalkannya, seperti ilmu tafsir, hadis,
fikih, dan lain sebagainya. Tujuan inilah yang dipaka ioleh
madrasah-madrasah di seluruhdunia. Bahkan ada ulama yang
mengharamka nmempelajari ilmu pengetahuan umum seperti
Fisika dan Kimia. Tujuan seperti inilah menurut Mahmud Yunus
yang membuat Islam lemah dan tidak bisa mempertahanan
kemerdekaannya.
Tujuan pendidikan islam menurut Mahmud Yunus ialah
menyiapkan anak-anak didik agar dewasa kelak mereka sanggup
dan cakap melakukan pekerjaan dan amalan akhirat , sehingga
tercipta kebahagiaan dunia dan akhirat.

C. Pengertian kebijakan
Kata kebijakan yang dikaitkan dengan kata pendidikan maka akan menjadi kebijakan
pendidikan (educational policy). Pengertian kebijakan pendidikan sebagaimana dikutip oleh
Ali Imran dari Carter V. Good bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu pertimbangan yang
didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat
situasional. Pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan
pendidikan yang bersifat melembaga serta merupakan perencanaan umum yang dijadikan
sebagai pedoman untuk mengambil keputusan agar tujuan yang bersifat melembaga dapat
tercapai.

Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan negara di samping kebijakan-


kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik, pertahanan, agama dan sebagainya. Dengan
demikian, dapat dakatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan sub sistem dari
kebijakan negara atau pemerintah secara keseluruhan.

13
Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Islam
Secara historis lembaga pendidikan Islam tertua yang ada di Indonesia adalah pesantren.
Terlepas dari pengaruh Hindu-Budha atau Arab, pesantren merupakan produk interaksi dan
akulturasi Islam dengan budaya dalam konteks budaya asli.

Pesantren saat itu masih dalam bentuk sederhana, salaf, dan nonklasikal. Setelah
pemerintah kolonial, Belanda memperkenalkan sistem klasikal, muncullah madrasah yang
tidak hanya memuat pelajaran agama, tetapi juga pelajaran umum. Selama periode Belanda
dan Jepang, pendidikan Islam diorganisasikan oleh umat Islam sendiri melalui pendirian
sekolah swasta dan pusat-pusat latihan. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut sampai
saat ini masih tetap eksis.

Institusi pesantren, sekolah, dan madrasah di Indonesia memiliki karakteristik


tersendiri yang dapat dibedakan satu dengan lainnya, khususnya porsi materi pelajaran
agama serta afiliasinya dengan kementerian terkait. Pesantren, memuat materi agama
secara dominan, sedangkan sekolah umum memberikan alokasi waktu dua jam pelajaran
agama dalam satu minggunya, sementara madrasah sebelum tahun 1975 meliputi materi
agama 70% dan materi umum 30%. Setelah SKB 3 menteri pada tahun 1975, komposisinya
di balik menjadi 30% materi agama dan 70% materi umum. Meskipun demikian, khusus
untuk madrasah, pada tahun 1986 diselenggarakan madrasah pilot project (MAN PK) yang
mengikuti komposisi materi agama 70% dan materi umum 30%.12 Keberadaan madrasah ini
dibatasi hanya pada beberap daerah.

Dalam hal afiliasinya terhadap lembaga pemerintah, pesantren merupakan ben-tuk


lembaga pendidikan Islam mandiri yang umumnya diselenggarakan oleh masyarakat. Oleh
karena itu, kurikulumnya dapat berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain
sebab progrm pendidikannya disusun sendiri.13 Satuan pendidikan, mulai jenjang SD, SLTP,
SMA, hingga perguruan tinggi berada di bawah Ke menterian Pendidikan Nasional.
Sedangkan madrasah, baik tingkat MI, MTs, mupun MA, dikelolah oleh Kementerian Agama.
Adapun perguruan tinggi Agama saat ini, sebahagian besar dikelolah oleh Kementerian
Agama, kecuali Universitas Islam Negeri yang berafiliasi ke Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan Nasional, khususnya untuk jurusan atau prodi umum. Oleh karena
itu, kurikulum di sekolah dan madrasah bersifat sentral serta seragam secara nasional,
meskipun dalam bebe-rapa aspek terjadi desentralisasi kebijakan.

Perkembangan kelembagaan Pendidikan Islam ditangani oleh Kementerian Agama


melalui Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam yang dibentuk pada pada tahun 1978.
Dalam hal ini, diadakan kategorisasi kebijakan kelembagaan PAI dalam beberapa jenis.
Pertama, PAI yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagai pendidikan jalur luar sekolah
seperti pesantren. Kedua, PAI di perguruan agamaIslam (dari MI, MTs., sampai MA) Tinggi
14
dan PAI di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Ketiga, PAI di lingkungan sekolah umum
(dari SD, SLTP, sampai SMA) dan PAI di Perguruan Tinggi (PT).

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam jalur pendidikan luar sekolah yang
diselenggarakan oleh masyarakat, eksistensinya pada masa kolonial Belanda mengalami
penekanan, tidak dapat tumbuh subur, tidak dapat tumbuh tegak, bahkan direndahkan.
Pesantren mendapat pengawasan ketat melalui berbagai ordonasi yang diberlakukan oleh
Belanda. Peran serta pesantren pada masa ini sebatas pada praktek ibadah, dakwah, sosial,
dan pendidikan. Meskipun tidak diperkenankan bergerak di bidang politik, pada
perkembangan selanjutnya, pihak pesantren ikut serta berperan aktif dalam pergerakan
nasional dalam perlawanan terhadap penjajah. Hal ini lebih tampak pada masa penjajahan
Jepang.

Pada masa awal kemerdekaan, sebelum peresmian Kementerian Agama pada tanggal 3
Januari 1946, BP KNIP menyampaikan usulan dan rencana pengembangan kelembagaan
agama Islam, baik di lingkungan pesantren maupun madrasah kepada Kementerian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K). Di antara usulan itu adalah perbaikan
kualitas pesantren dan madrasah, modernisasi pengajarannya dan diberikan bantuan.
Setelah Kementerian Agama dibentuk dengan K.H. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama,
perhatian terhadap pesantren semakin bertambah. Siswa, kiyai, dan pesantren semakin
bertambah banyak dan pada akhir periode Orde Baru jumlah pesantren tercatat 8.376 buah.

Pesantren telah banyak melakukan modernisasi dengan mengembangkan bentuk


alternatif kelembagaannya. Tidak hanya aspek kurikulum, manajemen, kegiatan, ataupun
sistem pengajarannya yang dikembanghkan, tetapi sebagian pesantren saat ini telah
memadukan madrasah ke dalam pesantren, bahkan, tidak sedikit di antara madrasah swasta
yang ada sekarang didirikan di lingkungan pesantren.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, madrasah berjalan sesuai dengan kemam-puan


para pengasuh dan masyarakat pendukungnya masing-masing. BP KNPI menganjurkan agar
pendidikan di madrasah berjalan terus dan dipercepat, serta diberi subsidi. Di samping itu,
ijazah dari madrasah swasta (MIS) dihargai dan diakui sama dengan ijazah dari madrasah
negeri (MIN) serta tamatannya memiliki civil effectyang sama dengan madrasah negeri.

Pembaruan madrasah dimulai sejak Orde Lama (1945-1965). Tahun 1958/1959


misalnya, Kementerian Agama melakukan upaya pembaharuan sistem pendidikan di
madrasah dengan memperkenalkan madrasah wajib belajar (MWB) dengan spe-sifikasi:
lama belajar 8 tahun18 (berarti 8 kelas) untuk murid usia 6 sampai 14 tahun, bertujuan
untuk menunjang kemajuan ekonomi, industri, dan transmigrasi; materi meliputi
pengetahuan agama, umum, dan keterampilan; dan berbasis pada pembangunan

15
masyarakat pedesaan (rural development). Guna memenuhi tenaga guru MWB, didirikanlah
pusat pelatihan guru MWB di Pacet, Cianjur, Jawa Barat, pusat pelatihan yang bersifat
nasional. Peserta pelatihan adalah para tamatan PGAA (Pendidika Guru Agama Atas) di
seluruh Indonesia. Kurikulum pelatihan mencakup pertanian, peter-nakan, perikanan,
kerajinan, koperasi, pendidikan olah raga, dan agama. Sayangnya, MWB ini tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan karena hanya bertahan beberapa tahun karena faktor
keterbatasan sarana, peralatan, guru, respons masyarakat yang kurang, dan pihak
penyelenggara madrasah yang tidak profesional hinggga program ini tidak berlanjut.

Pada masa awal Orde Baru antara tahun 1967-1970 dilakukan penegerian di lingkungan
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) serta mengubah nama dan struktur
madrasah negeri. Selanjutnya, tahun 1975, melalui SKB 3 Menteri,19 madrasah ditingkatkan
mutu pendidikannya.

SKB 3 Menteri menempatkan pendidikan islam pada perguruan agama menjadi sejajar
dengan sekolah umum. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan
madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum mulai dari jenjang SD
sampai PT. Di samping itu, status dan kedudukan madrasah sama dengan sekolah.
Konsekuensi SKB 3 Menteri ini adalah bahwa seluruh madrasah harus melakukan perubahan
kurikulum, yakni 70% merupakan ilmu pengetahuan umum dan 30% ilmu pengetahuan
agama dengan ini pula diharapkan LPI dapat meningkatkan kualitasnya sehingga mampu
berkompetisi dengan sekolah umum. Bedanya, madrasah berada di bawah Kementerian
Agama, sementara sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, di samping
perbedaan proporsi materi pelajaran agama Islam.

Keberadaan Pendidikan Agama Islam di sekolah umum berubah-ubah menurut


kebijakan pemerintah yang berkuasa saat itu. Pada masa kolonial Belanda, sekolah umum
tidak diperkenankan memasukkan agama Islam sebagai mata pelajaran dengan alasan
pengajaran di sekolah umum itu bersifat netral. Pelajaran agama hanya boleh diberikan di
luar jam belajar sekolah. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Belanda.

Pada masa pemerintahan Jepang terjadi perubahan kebijakan. Jepang membolehkan


pendidikan agama di sekolah umum sebagai efek dari ditiadakannya diskriminasi menurut
golongan penduduk, keturunan, dan agama sehingga semua lapisan masyarakat mendapat
kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan.22 Meskipun demikian, guru agama tidak
digaji oleh pemerintah Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dinyatakan dengan tegas bahwa pendidikan agama perlu
dijalankan di sekolah-sekolah negeri. Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran memutuskan
bahwa pelajaran agama diberikan pada semua sekolah dalam jam pelajaran, sedangkan di

16
SR (SD) diajarkan mulai kelas IV.23 Guru agama disediakan oleh Kementerian Agama dan
dibayar oleh pemerintah, dengan ketentuan bahwa guru agama harus mempunyai
pengetahuan umum. Berdasarkan alas an tersebut diperlukan pendidikan guru agama.

Tahun-tahun berikutnya, searah dengan kebijakan pemerintah Orde Baru,


pengembangan sekolah diarahkan pada penambahan sarana dan prasarana keagamaan
karena pendidikan agama merupakan bagian dari pembentukan manusia seutuhnya. Hingga
UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 diberlakukan, pengadaan dan peningkatan sarana dan
prasarana terus dilakukan,26 meskipun karena problema sosial-ekonomi jumlahnya naik-
turun, tetap dapat disepakati bahwa animo masyarakat untuk sekolah kian meningkat. Kini,
tidak mengherankan bila jumlah sekolah, siswa, dan guru sejak kemerdekaan hingga
sekarang terus melaju dengan perkembangan jumlah lembaga yang meningkat.

Kemajuan zaman dan perkembangan teknologi menyebabkan tuntutan masyarakat


juga berubah. Kalau pada masa kolonial Belanda pesantren hadir menawarkan porsi agama
secara penuh, madrasah memberi alternatif model klasikal dengan memberi pengetahuan
agama plus umum, sementara sekolah bentukan Belanda tetap dengan misinya yang
bersifat netral agama, sepenuhnya menyelenggarakan pendidikan umum. Kini, tiga bentuk
lembaga pendidikan tersebut saling berinteraksi membentuk pola pembaruan. Pesantren
telah memperkenalkan materi umum dan menggunakan jasa teknologi modern dalam
pengelolaannya. Pesantren salaf (tradisional) ber-kembang menjadi khalaf (modern), dari
daerah pedesaan ke perkotaan, dari yang bernaung di bawah ormas Islam menuju ke
manajemen yayasan, dari figur individual kiyai beralih ke kepemimpinan kolektif, dan
seterusnya.

Jadi Konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia amat dipengaruhi berbagai hal, di
antaranya berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat, dan kebudayaan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca
kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru tampak tidak menguntungkan pendidikan Islam,
bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam. Namun, berkat semangat juang
yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu
diredam hingga lahirnya Undang-undang RI Nomor 20, tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Pada masa kolonial Belanda, kebijakan pemerintah tidak memperkenankan agama


Islam diajarkan di sekolah-sekolah. Karenanya pendidikan Islam hanya dilaksanakan oleh
masyarakat, baik perorangan maupun melalui lembaga atau oranisasi Islam dengan
pengawasan yang sangat ketat. Hal ini berbeda ketika masa kolonial Jepang yang

17
memberikan keluasan untuk pengajaran agama Islam di sekolah meskipun guru yang
mengajar tidak digaji oleh pemerintah.

Pada masa Orde lama pendidikan Islam mulai diperjuangkan untuk diadakan
pembaruan dengan diterbitkannya berbagai kebijakan tentang perbaikan pendidikan Islam,
di antaranya madrasah wajib belajar (MWB). Perbaikan pendidikan Islam ber-lanjut pada
masa Orde Baru yang diawali oleh kebijakan pemerintah dengan penegrian madrasah (MIN,
MTsN, dan MAN), hingga lahirnya SKB Tiga Menteri yang me-nyamakan lulusan sekolah
dengan madrasah, pendirian MAPK dan lain-lain. Kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan Islam semakin membaik pada masa orde reformasi dengan munculnya
universitas-universitas Islam negeri yang tidak hanya bernaung di bawah Kementerian
Agama, tetapi juga di bawah Kementerin Pendidikan Nasional yang memungkinkan
pendidikan Islam mendapat perhatian dari berbagai pihak tanpa menonjolkan dikotomi
umum dan agama.3

D. Jenis-jenis Kelembagaan Pendidikan Islam


Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada
yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan
atau melakukan suatu usaha.4Secara terminologi, dari kutipan Ramayulis oleh Hasan
Langgulung, bahwa lembaga pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat abstrak,
suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya,
baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok
manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk
mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan
tersebut adalah: masjid, sekolah, dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam menurut Hasbullah adalah
wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses
pembudayaan. Kelembagaan pendidikan Islam merupakan subsistem dari masyarakat atau
bangsa. Dalam operasionalitasnya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan
perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat
menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah menjadi salah satu sumber
konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang
intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
lembaga-lembaga pendidikan Islam haruslah sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat,
sebab tanpa memperhatikan hal tersebut, barangkali unutk mencapai kemajuan dalam
perkembangannya menjadi sulit.
Ditinjau dari aspek penanggung jawab, lembaga pendidikan islam terbagi menjadi 3 jenis,
yaitu:
1. Lembaga Pendidikan Islam Informal (Keluarga)
3
M. Shabir, Kebijakan Pemerintahan dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Lentera
Pendidikan Vol. 16 No. 2 Desember 2013: 166-177.
4
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo), h. 367
18
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah persekutuan antar
sekelompok orang yang mempunyai pola-pola kepentingan masing-masing dalam
mendidik anak yang belum ada di lingkungannya. Kegiatan pendidikan dalam
lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat. Tanpa ada program waktu dan
evaluasi.
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Sejalan dengan
pengertian diatas, keluarga juga dapat diperoleh lewat persusuan dan pemerdekaan.
Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam telah tertulis
di dalam Alquran Surah At-Tahrim ayat 6:
ۤ
‫ َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَّل يَ ْعصُوْ نَ هّٰللا َ َمٓا اَ َم َرهُ ْم‬Zِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا قُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم َواَ ْهلِ ْي ُك ْم نَارًا َّوقُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْيهَا َم ٰل ِٕٕى‬
َ‫َويَ ْف َعلُوْ نَ َما ي ُْؤ َمرُوْ ن‬

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Hal ini juga dipraktekkan Nabi dalam Sunnahnya, diantara orang yang dahulu
beriman dan masuk Islam adalah anggota keluarganya, yaitu: Khadijah, Ali bin Abi
Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Keluarga merupakan orang pertama, dimana sifat
kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Seseorang akan menjadi warga masyarakat
yang baik, bergantung pada sifatnya yang tumbuh dalam kehidupan keluarga, dimana
anak dibesarkan.
Melihat peran yang dapat dimainkan oleh lembaga pendidikan keluarga, maka tidak
berlebihan jika Sidi Ghazalba mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan
primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah.
Dalam lembaga ini sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan
sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik juga berfungsi sebagai penanggung
jawab.5
2. Lembaga Pendidikan Islam Formal (Sekolah/Madrasah)
Pengertian lembaga pendidikan islam formal adalah bila dalam pendidikan tersebut
diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam
kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi, dan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Sementara Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan formal kepada
lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja,
berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan
potensinya agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.6
Sedangkan Gazalba memasukkan lembaga pendidikan formal ini ke dalam jenis
pendidikan sekunder, sementara pendidiknya adalah guru yang profesional, di Negara
Republik Indonesia ada tiga lembaga pendidikan yang diidentikkan sebagai lembaga

5
Ibid., h. 281-282.
6
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipata,
1991) h. 171-172.

19
pendidikan Islam, yaitu: pesantren, madrasah dan sekolah milik organisasi Islam
dalam setiap jenis dan jenjang yang ada.
Lembaga pendidikan Islam formal di Indonesia adalah:
a. Raudhatul Athfal atau Busthanul Athfal, atau nama lain yang disesuaikan dengan
organisasi pendirinya.
b. Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Islam (SDI).
c. Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), atau
nama-nama lain yang setingkat dengan pendidikan ini, seperti Madrasah
Mu’allimin Mu’allimat (MMA), atau Madrasah Mu’allimin Atas (MMA).
d. Perguruan Tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institus
Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), atau lembaga
sejenis milik yayasan atau organisasi keIslaman, seperti Sekolah Tinggi,
Universitas atau Institut milik swasta, milik organisasi atau yayasan tertentu.
Demikian beberapa lembaga pendidikan Islam yang dapat dikategorikan kepada
pendidikan formal.
3. Lembaga Pendidikan Islam Non Formal (Masyarakat)
Lembaga pendidikan Islam non formal merupakan lembaga yang teratur namun tidak
mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Menurut Abu Ahmadi
mengarikan lembaga pendidikan non formal kepada semua bentuk pendidikan yang
diselenggarakan dengan sengaja, tertib, dan terencana diluar kegiatan lembaga
sekolah (lembaga pendidikan formal) dengan tetap menumbuhkan nafas islami di
dalam proses penyelenggaraannya.
Menurut Gerhana Sari Limbong yang mengkuti pernyataan Muhammad Dahrin,
lembaga pendidikan non formal adalah jalur pendidikan diluar lembaga pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Selanjutnya dalam
Undang-Undang SISDIKNAS dijelaskan bahwa pendidikan non formal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah atau pelengkap.7
Lembaga pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidik atau guru pada Lembaga
pendidikan non formal adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan
diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan non formal juga dikelompokkan ke dalam pendidikan luar sekolah yang
hal ini diatur dalam PP No. 73 tahun 1991. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan
yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak. 8 Yang
termasuk jalur pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di
luar sekolah baik di lembaga pemerintah, non pemerintah, maupun sektor swasta dan
masyarakat.

7
Gerhana Sari Limbong, Peranan Pendidikan Islam non formal di Indonesia,
(http://www.scribd.com/doc/23945591/Print-Peranan-Pendidikan-Islam-Nonformal-
Terbaru: Makalah Pasca IAIN Sumut Medan, Diakses 16 Maret 2021), h.2.
8
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, (Medan: IAIN
Press, 2002). h. 167.
20
Lembaga pendidikan Islam non formal merupakan mekanisme yang memberikan
peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasi masyarakat
dipicu oleh arus bersar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi
dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tidak
mau pendidikan dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-
luasnya bagi partisipasi masyarakat dan tetap mengelola kebutuhan-kebutuhan
lembaga pendidikan Islam di masyarakat yang didasari, digerakkan dan
dikembangkan oleh jiwa islam (Alquran dan as-Sunnah).
Berdasarkan pada tanggung jawab pada masyarakat diatas, lahirlah lembaga
pendidikan Islam yang dapat dikelompokkan dalam jenis pendidikan non formal,
yaitu:
a. Masjid, Mushalla, Langgar, dll.
b. Madrasah Diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi.
c. Majelis Taklim, Taman Pendidikan Al-Qur’an, dll.
d. Kursus-kursus keIslaman.
e. Badaan pembinan rohani.
f. Badan-badan konsultasi keagamaan.
g. Musabawah Tilawati Al-Qur’an
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
 Praktik pendidikan zaman merdeka sampai tahun 1965 dapat
dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda.
Peraktik pendidikan zaman Belanda terfokus untuk
mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-
cepatnya melalui penddikan Barat.
 Dalam mengenal tokoh-tokoh pendidikan islam di Indonesia, maka
kita akan mengenal beberapa nama tokoh yang terkenal. Diantara
para tokoh tersebut, sangat andil besar dalam memperbaharui
konsep dan sistem pendidikan di Indonesia khususnya mengenai
pendidikan Islam.
 Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan negara di
samping kebijakan-kebijakan lainnya seperti ekonomi, politik,
pertahanan, agama dan sebagainya. Dengan demikian, dapat
dakatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan sub sistem
dari kebijakan negara atau pemerintah secara keseluruhan.
 Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang
memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang
21
bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan atau
melakukan suatu usaha.9Secara terminologi, dari kutipan
Ramayulis oleh Hasan Langgulung, bahwa lembaga pendidikan
adalah suatu sistem peraturan yang bersifat abstrak, suatu konsepsi
yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan
sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan
material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri
dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak,
untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu
melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah,
dan sebagainya.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, masih banyak hal-hal yang harus
dijelaskan lebih rinci dan mendetail agar maksud yang disampaikan oleh
penyusun dapat dimengerti oleh pembaca. Penyuusn berharap kedepannya
akan bisa menghasilkan makalah yang lebih bagus dengan sumber data
yang lebih variatif dan dapat dipertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam (Dari masa Rasulullah hingga reformasi di Indonesia), CV.
PUSTAKA SETIA, Bandung: 2018.

Sarno Hanipudin, Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Journal of Islam and Muslim
Society vol 1 no 1 (2019)

http://www.smaitarrahmahlumajang.sch.id/2019/02/tokoh-tokoh-pendidikan-islam-dari-
masa.html?m=1

M. Shabir, Kebijakan Pemerintahan dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Islam di


Indonesia, Jurnal Lentera Pendidikan Vol. 16 No. 2 Desember 2013.

Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo).

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipata, 1991).

Gerhana Sari Limbong, Peranan Pendidikan Islam non formal di Indonesia,


(http://www.scribd.com/doc/23945591/Print-Peranan-Pendidikan-Islam-Nonformal-Terbaru:
Makalah Pasca IAIN Sumut Medan, Diakses 16 Maret 2021).
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, (Medan: IAIN
Press, 2002).

9
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo), h. 367
22

Anda mungkin juga menyukai