Anda di halaman 1dari 41

Wasatiyah asyairah

Maghribi - Antara Asy'ariyyah, Salafi, dan Wasatiyyah

Maghribi dan Sistem Negara Islamnya


Morocco atau dikenal juga dengan Maghribi merupakan salah satu dari
negara Islam di dunia moden ini yang masih mempertahankan sistem
kerajaan (monarchy). Walaupun tidak ditolak bahwa percakaran antara
puak Islami dan puak sekularis liberalis tidak dapat dibendung di Morocco,
akan tetapi sesuatu mata tambahan yang perlu diberikan adalah di mana
sistem beraja negara ini berhasil menyelamatkan Islam sebagai agama
rasmi negara dan bahasa Arab sebagai bahasa rasmi pertama negara
dengan meletakkan bahasa Perancis sebagai bahasa kedua - walaupun
bahasa Perancis memiliki peran yang sangat kuat di kalangan rakyat
negara Barat Islam ini.

Islam sudah menjadi agama bagi penduduk Maghribi sejak abad ke 7M


(abad pertama lahirnya Islam) lagi yaitu ketika Sahabat Uqbah bin Nafi'
menyebar Islam sampai ke hujung Barat Afrika merentasi Tunisia dan
Aljazair.Sedangkan akidah Islam aliran Ahli Sunnah Wal Jamaah persepsi
al-Asyariyyah sudah masuk di Maghribi sejak dinasti Almoravid (
)pada kurun ke 10M. Menurut Prof. Dr. Idris bin Ahmad Khalifah
Rektor Kuliyyah Usuluddin, Universiti Qarawiyyin di Tetouan berpendapat
bahwa bukti mazhab Asyariyyah telah menjadi mazhab akidah di
Maghribi walaupun tidak secara rasmi adalah berdasarkan dari fatwa Ibn
Rusyd (w. 520H) seorang ulama fiqh mazhab Maliki terkenal yang
mengarang kitab Bidayah al-Mujtahid yang menetapkan bahwa
Asyariyyah adalah mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah.[1]

Kitab al-Aqidah al-Asy'ariyyah karangan Prof. Dr. Idris Khalifah


Sejak dari itu, Asyariyyah adalah pegangan kuat ulama Maghribi yang
tidak terhitung berapa banyak ulama yang lahir dan memperjuangkan
mazhab ini. Dari bandar Fes yang merupakan University pertama di dunia,
yaitu Jami' Qarawiyyin dalam hal ini melahirkan ulama Asyariyyah
seperti Ibn Rushayd al-Sabti, Ibn Asyir, Ibn al-'Araby, al-Makudi, Imam
Jazuli, Imam al-Tijani, Mohammed Ibn al-Hajj al-Abdari, Abu Imran alFasi, Leo Africanus, dan bahkan seorang filosuf Yahudi terkenal Rabbi
Moshe ben Maimon, serta banyak lagi ulama yang lainnya.

Dengan melihat sistem pemerintahan Morocco serta perlembagaan


negara dan agamanya, maka Morocco pada dasarnya hampir sama
dengan Malaysia. Hanya perbezaannya terletak pada mazhab fiqh di
mana Malaysia memilih bermazhab Syafi'I sedangkan Morocco bermazhab
Maliki serta terdapat sedikit perbezaan dalam sistem politik mereka.
Sedangkan di Indonesia pula, ke-Islaman di Morocco memiliki kemiripan
yang kuat dengan organisasi Islam terbesar dunia yaitu Nahdlatul Ulama.
[2] Di dalam perlembagaan Nahdlatul Ulama ditetapkan bahwa
pandangan akidah berpegang pada akidah al-Asy'ariyyah, atau alMaturidiyyah, sedangkan dalam Fiqhberpegang pada Mazhab empat yaitu

salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali, serta dalam hal
Tasawwuf berpegang pada metode Imam al-Ghazali dan Imam Junaid alBaghdadi.[3]

Akan tetapi, sesuai dengan perubahan zaman serta perkembangan dan


kesurutan sebuah pemikiran yang dinamakan makhluk ini, Morocco tidak
dapat terelak dari masuknya aliran-aliran lain seperti Syiah, Salafi, dan
lain-lain. Walau bagaimanapun, aliran Syiah nampaknya mudah untuk
dibendung oleh kerajaan Morocco yaitu dengan menghalau diplomat dan
apa pun hubungan dengan Republik Iran kerana mereka terbukti telah
menyebarkan ajaran Syiah di Morocco.[4]

Permasalahan yang muncul sekarang di Morocco adalah adanya


percakaran antara puak Salafi dengan Asy'ariyyah di mana secara
pengalaman sejarah sudah lama percakaran ini berlaku di mana saja ia
berada. Tidak mengenal Barat atau Timur, Utara atau Selatan, di negara
Islam atau bukan Islam, Salafi dan Asy'ariyyah memang susah untuk
disatukan. Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan Morocco?

Secara perlembagaan dan sistem politik, Morocco telah mengerakkan


jentera Asyariyyahnya di bahagian Kementrian Wakaf dan Urusan
Keislaman () . Ini dapat dilihat juga di
dalam website rasmi kementrian tersebut. Di dalamnya, terdapat
ketetapan apa dan mengapa akidah Asy'ariyyah, Fiqh Maliki, dan
Tasawwuf al-Junaid di Maghribi.[5] Seperti yang telah masyhur,
dendangan syair Imam Ibn Asyir menjadi dasar:

Dalam akidah al-Asy'ari dan fiqh Maliki dan di dalam jalan al-Junaid jalan
mencari (Allah)

Arus Salafi di Maghribi


Walaubagaimanapun, arus Salafi di Morocco sangat kuat terutama dari
kalangan mahasiswa-mahasiswa universiti sama ada dari universiti Islam
(Qarawiyyin University sendiri) ataupun universiti umum. Kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang memiliki kesadaran agama ketika sudah
dewasa. Arus ini masuk dari buku-buku seperti al-Albani, Ibn Baz, Ibn
Utsaimin dan lain-lain. Selain dari itu, TV parabola yang bebas juga sering
ditonton seperti ceramah oleh Abu Ishaq al-Huwaini dari Mesir. Secara
sekilas, perkara ini sama seperti yang terjadi di Nusantara atau negara
lain. Akan tetapi, perbezaan yang ketara, yang membuat Salafi di
Maghribi menjadi sangat banyak adalah kerana arus lawan yang sangat
lemah.

Sebahagian Salafi bahkan tidak mengetahui apa isi-isi di dalam Mazhab alAsy'ari dan dengan mudahnya mengklaim bahwa akidah al-Asy'ari adalah
akidah falsafah yang sesat.[6] Bahkan ada juga yang sangat menentang
Asy'ariyyah sehingga berani melakukan korban pada hari yang berbeza
dengan pengumuman rasmi raya oleh Kerajaan Morocco kerana
berpegang pada pengumuman raya Kerajaan Saudi Arabia. Banyak
kejadian di Universiti Qarawiyyin, pelajar-pelajar Salafi ketika melihat ada
orang Asia yang datang belajar di universiti tersebut, mereka akan
bertanya mengapa memilih di Qarawiyyin dan mengusulkan untuk pergi
belajar ke Saudi Arabia kerana di Qarawiyyin ini dianggap sebagai institusi
pendidikan yang mengajarkan ajaran-ajaran yang sesat atau menyimpang
dari Ahli Sunnah wal Jama'ah.[7] Mengagungkan ulama Salafi dan
meremehkan ulama sufi/Asy'ariyyah lainnya juga ketara.[8] Bahkan ada
yang menuduh Yusuf Qardhawi sebagai sesat kerana beliau bertoleransi
dengan aliran Asy'ariyyah. Salah satu ciri-ciri mereka adalah ketika

mereka menolak sama sekali tasawwuf dan mengatakan bahwa semua


jenis sufisme adalah sesat. Mereka menganggap bahwa semua sufi adalah
penyembah kubur (quburiyyun), pengamal bid'ah khurrafat tahayyul,
dan ada yang sampai menanggap mereka sudah keluar dari rambu-rambu
Islam. Na'uzubillah min Zalik.

Sifat-sifat berlebihan ( )yang terjadi di Morocco adalah sama seperti


yang terjadi di Malaysia juga pada dasarnya. Akan tetapi, melihat arus
percakaran yang sangat extreme terjadi di Maghribi, membuat penulis
tertanya-tanya apakah punca dari sifat berlebihan ini? Padahal,
Asy'ariyyah adalah pegangan rasmi Kerajaan Morocco. YA! Salah satu dari
jawaban yang penulis dapatkan adalah pendekatan Wasatiyyah dari
ulama Asy'ariyyah di Morocco sendiri yang seolah-olah memberi ruang
kepada Salafi untuk berkembang dengan pesat dan merasa bagaikan
hanya mereka yang benar, sedangkan sayap Asy'ariyyah tidak memiliki
hujjah dan mereka hanya puak-puak ta'ashub, taklid, dan jahil.

Oleh itu, renungan terhadap konsep wasatiyyah sangat diperlukan untuk


menentukan, bagaimanakah sebenarnya akidah wasatiyyah yang perlu
dipegang umat Islam, yaitu akidah yang benar-benar tidak tafrith dan juga
tidak ifrath.

Pendekatan Wasatiyyah Asy'ariyyah Morocco


Banyak pendekatan wasatiyyah yang telah ditawarkan kepada penulis.
Sama ada dari institusi kerajaan Malaysia, atau dari rakan-rakan
seperjuangan. Secara realistiknya, penulis tidak pernah menemukan
negara yang dapat benar-benar melaksanakannya secara menyeluruh
kecuali di bumi 1000 tembok Maghribi ini. Lihatlah Jordan, sebuah negara
yang penuh dengan ilmuan. Percakaran antara Asy'ariyyah dan Salafi
sangat kuat. Walaupun pendekatan wasatiyyah subur di sana, tapi

pendekatan ini belum tentu diadopsi oleh majority ulama, pensyarah,


pegawai agama, bahkan murid-murid sekalipun. Mesir pula menjadi ajang
tunjuk kekuatan. Kadang-kadang nama ulama dicaci-maki bagaikan anjing
dengan kucing. Hanya al-Azhar yang berusaha menunjukkan
sifat wasatiyyah-nya akan tetapi pertentangan tetap ada.[9] Di Saudi
Arabia pula terlihat kongkongan pemikiran yang tidak menerima
perkembangan dan toleransi pemikiran walaupun ada ulama Salafi di luar
Saudi seperti Malaysia yang mengecam ta'ashub pemikiran untuk
membela aliran tertentu dan menentang aliran lain dengan senjata tauliah
atau institusi agama lainya. Hanya Maghribi menurut hemat penulis
bahwa pendekatan wasatiyyah benar-benar dijalankan secara menyeluruh
sama ada dari pihak kerajaan, penysarah universiti, para murid, sehingga
darwis-darwis sufi lainnya dari kalangan Asy'ariyyah. Akan tetapi, ia masih
hanya dari pihak Asy'ariyyah, bukan dari pihak Salafi, walaupun pihak
Salafi tidak begitu extreme dengan melakukan demonstrasi. Seperti misal:

(1)

Asy'ariyyah di Morocco menerima kenyataan bahwa kitab al-Ibanah

adalah karangan Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Padahal dalam kitab tersebut
terdapat pernyataan-pernyataan yang dianggap tasybih atautajsim oleh
kalangan ulama khalaf Asya'iroh. Bahkan ada kitab yang membahas ini
secara ilmiah yaitu "
" . Kenyataan ini dapat dilihat di dalam website rasmi Kementrian
Wakaf dan Urusan Keagamaan Maghribi.[10] Para ulama Asy'ariyyah juga
bersikap yang sama.[11] Walaubagaimanapun, ruang untuk menetapkan
isi-isi kitab al-Ibanah yang tercetak umum yang dapat ditemukan
sekarang sudah ditahrif atau dipesongkan untuk mendukung
aliran tajsim juga masih terbuka.
(2)

Pensyarah universiti dan para asatidzah di madrasah-

madrasah atiqah bahkan di Jami' Qarawiyyin sekalipun berusaha untuk


tidak membahas firqah Salafiyyah walaupun ada dari kalangan murid
yang memunculkan isu ini. Dengan halusnya, mereka selalu berkata "itu
bukan dalam topik pembahasan".[12]Mereka berusaha untuk tidak

memunculkan pertentangan di kalangan umat Islam demi perpaduan Ahli


Sunnah wal Jama'ah.
(3)

Para murid di madrasah-madrasah atiqah di Maghribi juga tidak

begitu bergairah menentang Salafi. Mereka hanya berkomentar bahwa


Salafi sedikit dan tidak membahayakan. Ada juga yang berpendapat
kebanyakan Salafi hanya dari kalangan orang awam yang belum habis
mengaji kitab-kitab matan dan ketika mereka sudah menghabiskan kitabkitab tersebut maka mereka akan berfikiran berbeza.
(4)

Para sufi tidak begitu peduli dengan Salafi. Mereka juga tidak begitu

sibuk dengan usaha-usaha melawan Salafi. Bahkan hampir setiap


ceramah agama atau tausyiah yang diberikan, tidak pernah menyinggung
Salafi sama sekali. Mereka asyik mendalami amalan mereka,
ketasawwufan mereka, dan makrifat mereka. Ketika ada yang bertanya,
mereka hanya berkata bahwa Salafi di Maghribi ini adalah budak-budak
muda di universiti yang masih mencari-cari. Mereka masih berjiwa muda.
Ketika tiba waktunya maka mereka akan kembali.[13]

Di satu sisi, kenyataan yang tidak dapat ditolak, Maghribi adalah pusat
sufisme di dunia. Banyak tarikat yang lahir di Morocco ini. Sebut saja
tarikat Tijani, Syadzili, Bursyisyiyyah, dan lain-lain. Salah seorang ulama
besar yang mengarang kitab selawat yang diamalkan seluruh dunia
adalah Imam al-Jazuli. Beliau adalah seorang Maghribi yang pernah
menuntut di Qarawiyyin dan Madrasah al-Safarin. Kitab selawatnya tidak
pernah ditolak oleh umat Islam sebelum kedatangan pemikiran Salafi.
Seorang wali yang unggul di Fes yaitu Abdul Aziz al-Dabbagh, yang katakatanya terakam di dalam sebuah kitab bernama al-Ibriz, juga merupakan
seorang ulama yang dihormati di Fes, walaupun ada beberapa
perkataannya yang dianggap susah untuk diterima akal oleh orang
awam. Akan tetapi, dimanakah tindakan pertahanan atau pembelaan
Asy'ariyyah dan sufisme di Maghribi?

Kitab counter Salafi karangan Ulama Maghribi


Selama penulis berada di Morocco, satu-satunya buku yang mengcounter Salafi terbitan ulama Maghribi[14] adalah hanya terdapat di
kalangan cucu-cicit atau anak-anak murid kepada keluarga al-Muhaddith
al-Ghumari.[15] Itupun kitab tersebut dicetak sendiri oleh penulisnya dan
hanya tersebar di daerah utara Morocco seperti Tangier dan Tetouan.
Apalagi buku itupun masih berbau wasatiyyah dengan meng-counterSalafi
yang berlebihan ( ) sahaja. Sedangkan madrasah yang kuat
mempertahankan Asy'ariyyah dan sufisme serta menentang Salafi juga
hanya berada di daerah Tangier dan sebahagian kecil di Tetouan. Bahkan
bandar Tetouan sendiri sudah menjadi kubu kuat Salafi.

Persepsi wasatiyyah Maghribi memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan


di negara lain. Dalam berakidah wasatiyyah asy'ariyyah, kebanyakan
ulama Maghribi kontemporer menurut perspektif penulis lebih bersikap
bahwa Salafi adalah termasuk dari golongan ahli sunnah wal jamaah yang
memilih pendekatan Salaf seperti mentafwidlkan ayat-ayatmutasyabihah.
Mereka tidak sampai mendakwa Salafi adalahmujassimah.[16] Sedangkan
pertentangan Salafi dalam masalah tabdi'disikapi sebagai hanya
urusan furu'iyyah yang tidak mengancam akidah. Ulama Maghribi

membiarkan Salafi hidup di Maghribi dengan bebas tanpa ada usaha


untuk melawan mereka walaupun dari pihak Salafi sangat kuat
menentang Asy'ariyyah dan sufisme. Mungkin usaha yang dilakukan
adalah seminar-seminar atau konferensi sufi sedunia, tidak lebih. Salah
satu ulama Maghribi yang disanjungi kerana pemikiran wasatiyyahnya
adalah Dr. Farid Anshori, pengarang kitab Majalis al-Qur'an yang masyhur.
[17]

Bagi keseimbangan kepada sufi pula, pemerintah Morocco tidak menutup


kubur-kubur yang dianggap keramat atau merupakan kubur-kubur ulama
besar Morocco pada waktu silam. Kumpulan sufi dapat bebas berziarah
kubur, melakukan ihtifal maulid, berhadrah dalam selawat serta lain-lain
amalan. Hanya saja, dari kalangan Salafi yang kuat menentang praktek ini
dengan menuduh bahwa sufi di Morocco telah melakukan amalan-amalan
yang sesat dan syirik bahkan kufur seperti menyembah kubur Imam Tijani,
Ibn al-Arabi, dan lain-lain. Padahal, secara realitas pengalaman penulis
ketika berziarah ke maqam-maqam tersebut, tidak ditemukan apa-apa
amalan seperti yang didakwa dan dituduhkan. Tidak terlihat ada orang
yang melakukan tawaf dikubur, memberi sajian makanan kepada ahli
kubur, bersujud di kubur, ataupun perempuan yang meraung-raung dan
meminta kepada ahli kubur. Yang ada adalah hanya seperti
tawassul, istighasah, membina kubah di kubur, berzikir, atau solat jama'ah
fardhu atau sunat kepada Allah yang secara kebetulan di zawiyah tersebut
ada kubur pemimpin tarikat tersebut.[18] Sekali lagi, semua perkara ini
adalah khilaf furu'iyyah.[19]

Ulama hanya menentang kalau ada amalan-amalan tarikat yang jelasjelas bertentangan dengan syariat yang sudah pasti diketahui keharaman
tersebut secara ijmak () . Seperti misal, ulama
Morocco menolak keras pemikiran penyatuan manusia dengan Tuhan
seperti kesalahfahaman sebahagian orang terhadap konsep wahdat al-

wujud dan al-ittihad wa al-hulul. Lebih menariknya, banyak tarikat-tarikat


dibantu oleh Kementrian Wakaf dan Urusan Agama secara kewangan dan
fasilitas. Misalnya tarikat Bursyisyiyyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Renungan Bersama
Berpijak dari pengalaman wasatiyyah di Maghribi ini, timbul pertanyaan
kepada penulis dan semoga menjadi renungan kepada pembaca. Apakah
dengan pendekatan wasatiyyah yang ingin kita tanamkan di Malaysia
justru akan mengancam akidah Asy'ariyyah yang sudah lama menjadi
asas bagi umat Islam di Nusantara, sama ada yang awam maupun yang
alim? Tidakkah sejarah telah mencatat bahwa puak Salafi-lah yang paling
awal mengangkat pedang extreme dengan menuduh syirik kepada pelaku
tawassul, tarikat dan sufi lainnya. Bahkan takfir, mengkafirkan juga
menjadi senjata. Berangkat dari extreme inilah muncul
kelompok extreme lainnya sebagai penyeimbang kepada Salafi.

Kalau memang solusi bagi mencapai persatuan umat Islam (


)di Malaysia adalah tetap denganwasatiyyah, maka
makna wasatiyyah itu perlulah diberi definisi yang jelas, terang lagi
bersuluh agar ia benar-benar menjadi panduan umat Islam. Seseorang
tidak boleh menyesatkan sebuah tarikat tertentu dengan alasan yang
masih mubham dan hanya merupakan kesalahan dari satu pengikut yang
awam. Apalagi ada isu yang dituduhkan itu adalah masih dalam
lingkungan khilafiyyah. Ketika orang yang menyesatkan tersebut dibantai
dengan tuduhan sebagai Wahabi kerana menyesatkan tarikat, maka
janganlah memperdagangkan sloganwasatiyyah sebagai pegangannya,
kerana wasatiyyah tidak mungkin berat sebelah.

[1] Idris bin Ahmad Khalifah, al-Aqidah al-Asyariyyah Taisir Adillah


Tahqiq Mafahim Tausi Madlamin (Tetouan: Jamiah al-Qarawiyyin Kuliyyah
Ushul al-Din, 2010), 2-3 dan 312.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama &
http://www.nu.or.id/page/id/static/12/Basis_Pendukung.html
[3] http://www.nu.or.id/page/id/static/10/Paham_Keagamaan.html
[4] http://www.moroccoboard.com/viewpoint/68-hassan-massiki/436-iranmorocco-severance-of-relations-why
[5] http://www.marocislam.com/ar/index.aspx
[6] Seperti contoh: Pengalaman penulis ketika mengaji di Jami'
Qarawiyyin, penulis pernah terjumpa dengan seorang kawan Salafi yang
belajar di Universiti Qarawiyyin. Ketika bertemu, beliau bertanya: "Kenapa
engkau belajar di sini? Ini institusi yang sesat". Demi mengelak
perbalahan, penulis menjawab: "Aku mengaji kitab nahwu di sini, sebab
Alfiyyah Ibn Malik sangat terkenal ilmunya di Jami' ini". Lalu si Salafi
membalas: "Kenapa mengaji Alfiyyah, bukankah al-Ajjurumiyyah sudah
cukup?". Penulis menjawab: "Semakin besar kitabnya semakin banyak
ilmunya". Si Salafi menambah: "Lebih baik kau memperdalam ilmu akidah,
kerana ia lebih penting". Demi mengelakkan perbalahan penulis pun
cukup diam dan mengatakan: "Ia benar, akidah memang penting, dan aku
juga masih mengaji akidah". Lalu penulis dan yang lain lanjut menuju ke
warung kerana penulis dan kawan yang mengaji sama merasa lapar.
Dalam perjalanan si Salafi bertanya kepada penulis: "Kitab akidah apa
yang kau belajar di Indonesia". Penulis menjawab: "Kitab Akidah al-Awam,
Kifayat al-Awam, al-Husun al-Hamidiyyah, dan lain-lain".[6] Kerana si
Salafi tidak pernah dengar, ia bertanya lagi: "Engkau pernah mengaji
(dirasah) kitab al-Tauhid oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab, atau kitab
tulisan Ibn Taimiyyah". Maka penulis pun menjawab: "Kalau mengaji tidak,
tapi baca sudah. Aku memang suka saj baca kitab-kitab dari semua aliran
bahkan aliran Syiah sekalipun untuk menambah wawasan". Mendengar ini
ia terus memuji-muji akidah Salafiyyah. Ketika selesai dari warung dengan

sedikit perdebatan yang tidak begitu penting, si Salafi dan penulis serta
yang lain berangkat ke Masjid untuk menunaikan solat Zuhur. Ketika di
dalam si Salafi masih menegur penulis untuk tidak mengaji di Jami'
Qarawiyyin. Penulis tetap berhujjah berbagai alasan lain. Akan tetapi,
perbincangan ini berubah ketika seorang kawan dari Mali datang
bermusafahah dengan penulis. Lalu si Salafi bertanya kepada si Mali kitab
apa yang dipelajari sekarang. Ketika itu, demi takut akan si Mali
beranggapan buruk terhadap penulis, maka penulis menjawab kepada si
Salafi: "Sekarang kitab Jauhar al-Tauhid karangan al-Luqqani". Barulah si
Salafi terkejut dan berkata: "Mengapa engkau mengaji kitab Asya'iroh?".
Penulis menjawab: "Kerana Aku bermazhab Asy'ari". Si Salafi berkata: "Itu
akidah yang bahaya, kau harus menjauhinya". Penulis menjawab: "Apa
yang sesat di dalam Asy'ari? Bagi Aku Asy'ari dan Salafi adalah sama,
walaupun ada banyak yang berbeza, tapi itu hanya masalah furu'iyyah.
Sedangkan masalah akidah tidak jauh berbeza". Lalu si Salafi tanya:
"Berikan aku satu masalah yang berbeza!". Penulis menjawab:
"Masalah ta'wil dan tafwidl. Kalau kami Ta'wil, kalau Salafi Tafwidl". Salafi
menjawab: "Di situlah kesalahan kamu, mana boleh kita menafikan sifat
Allah. Yadd adalah sifat bagi Allah. Asya'iroh telah salah dan berdosa.
Mereka Mu'athillah". Ketika itu penulis menjelaskan kenapa Asya'roh
memilih untuk Ta'wil sesuai dengan kata "
( " Jalan Salaf adalah lebih selamat dan jalan Khalaf lebih berilmu
dan lebih bijak). Penulis bertanya: "Kalau seumpama saya orang muallaf
baru masuk Islam, tidak faham bahasa Arab dan saya bertanya pada
engkau apa itu makna Yadd dalam ayat tersebut, apa engkau akan
menjawab?". Si Salafi lalu berkata "Yadd adalah Yadd". Penulis menambah,
"Saya tak tahu apa itu Yadd". Maka si Salafi pun menunjukkan tangannya:
"Ya Ini". Na'uzubillah, penulis pun berkata: "Disebabkan ini kami
menakwilnya kerana ini sudah tajsim". Sedangkan si Salafipun terpingapinga mendengar pernyataan penulis.
[7] Sebagai contoh: Pengalaman penulis ketika datang ke Kuliyyah
Usuluddin Qarawiyyin University Tetouan, penulis bertanya kepada salah
satu pelajar tempat untuk bertemu dengan salah seorang musyrif di

Kuliyyah tersebut. Ketika pelajar itu sedang menunjukkan tempat, pelajar


tersebut bertanya mengapa memilih Qarawiyyin. Padahal lebih baik
belajar di Saudi Arabia. Penulis tanpa menyadari kenyataan ini, terus
menjawab bahwa orang-orang Malaysia berpegangan dengan akidah
Asy'ariyyah. Setelah mendengar jawaban penulis, pelajar tersebut seolaholah setengah hati hendak menolong. Ketika penulis terpaksa menunggu
ustaz tersebut, penulis berusaha untuk berkenalan lebih dengan pelajar
tersebut. Akan tetapi keengganan dari pelajar tersebut terlihat sehingga
ia sendiri berkata kepada penulis: "Sebaiknya kau tunggu di sana".
[8] Contoh: Penulis pernah ketika menziarahi kawan, bertemu di rumah
mereka seorang Maghribi. Ketika itu, di TV parabola ada rancangan
seorang ulama Mesir yaitu Abu Ishaq al-Huwaini. Dengan bangganya
orang Maghribi tersebut berkata, beliau ada Muhaddith zaman ini. Di kota
lain pula, penulis bertemu dengan salah seorang kawan Maghribi yang
dahulu terkenal dengan kesalafiannya. Setelah beberapa waktu tinggal
bersama penulis, beliau sudah sangat lembut untuk memahami amalanamalan penulis yang berpegang pada hujjah-hujjah Asy'ariyyah dan
Syafi'iyyah. Ketika banyak berdiskusi, penulis sentiasa menunjukkan
kepada beliau rujukan dan hujjahnya. Dengan ini beliau sudah banyak
berlembut. Akan tetapi pernah pada satu waktu, perdebatan terjadi antara
ulama-ulama di Mesir. Beliau sampai mengeluarkan pandangan yang
negative terhadap Prof. Dr. Ali Jum'ah dengan istilah mufti diktator Hosni
Mubarak, dan lain-lain. Di satu sisi, keta'asuban terhadap Abu Ishaq alHuwaini juga terlihat padanya.
[9] Lihat nukilan Youtube demonstrasi Salafi terhadap Mufti Ali
Jum'ah: http://www.youtube.com/watch?v=TfbAUtQm62o dan lihatlah
bagaimana kesederhanaan ulama ASWAJA dalam membela Prof. Dr. Ali
Jum'ah:http://www.youtube.com/watch?v=ejn7VC6gDFk&feature=colike .
Bagi yang tidak memahami Arab sila baca:
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/34532/Warta/Solidaritas_Al_Az
har_Dukung_Mufti_Mesir_atas_Pelecehan_Kelompok_Wahhabi.html
[10] http://www.marocislam.com/ar/detail.aspx?id=1793&z=29

[11] Idris bin Ahmad Khalifah, al-Aqidah al-Asyariyyah, 342.


[12] Walaubagaimanapun, ustaz-ustaz di Jami' Qarawiyyin tidak lupa
untuk mengukuhkan hujjah-hujjah Asy'ariyyah seperti menyangkal yang
berpendapat semua bid'ah adalah sesat. Bahkan Dr. Marini, seorang
pensyarah di University Sidi Muhammad Ben Abdillah, dan juga tenaga
pengajar di Masjid Qarawiyyin ketika mengajar pernah menerangkan
kesalahpahaman tentang konsep bid'ah. Dr. Muha Ouso'u, yang juga
mengajar di University Sidi Muhammad Ben Abdillah, dan Masjid
Qarawiyyin, pernah menyatakan bahwa dengan adanya Rasulullah SAW
tidak melakukan sesuatu bukan berarti perkara itu haram secara syarak.
[13] Salah satu pernyataan ini, penulis dapatkan dari istri kepada salah
satu dari cucu-cicit Imam al-Jazuli, pengarang Dalail al-Khoirat, di kota
Fes.
[14] Ini adalah pengecualian buku-buku al-Ghumari sendiri.
[15] Untuk mengenali beliau sila layari:
http://akitiano.blogspot.com/2011/10/kenali-ulama-ulama-maghribi.html
[16] Mungkin pemahaman doktrin Salafi yang diserapi oleh ulama
Maghribi adalah seperti tafsiran beberapa ulama abad awal ke 20 seperti
Abd al-Rahman Hasan Jabnakeh al-Midani. Lihat: Abd al-Rahman Hasan
Jabnakeh al-Midani, al-Aqidah al-Islamiyyah wa Ususuha (Damascus: Dar
al-Qalam, 2010), 218-219.
[17] Beliau dikenal sebagai ulama yang disukai sama ada dari golongan
Asy'ariyyah ataupun puak Salafi di Maghribi ini. Sila baca biografi tentang
beliau di wikipedia: http://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%81%D8%B1%D9%8A
%D8%AF_
%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%86%D8%B5%D8%A7%D8%B1%D9%8A
[18] Semua amalan ini adalah perkara yang masih khilaf bahkan majority
ulama berpendapat bahwa ia adalah boleh. Sila baca kitab al-Ajwibah alGhaliyyah. Untuk masalah kubur yang berada dalam zawiyah adalah
zawiyah Imam tijani di mana, maqam Imam Ahmad Tijani berada di situ.

Akan tetapi, kalau ditanya kepada para pengikut tarikat Tijani di situ,
mereka tidak pernah bersolat atau menyembah Imam Tijani. Hanya saja
zawiyah tersebut memang dijadikan tempat solat fardhu, dan maqam
Imam Tijani pun berada di belakang saf Imam dan sebagian makmum. Ini
seperti di maqam Rasulullah SAW di Madinah Munawwarah.
[19] Baca kitab seperti Mafahim Yajib an Tushahhah, al-Ajwibah alGhaliyyah, al-Durar al-Saniyyah, dan lain-lain.

ASY'ARIYAH DAN MATURIDIYAH/AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH


BIQOLAM:APRIYANTO
PEMAHAMAN YANG BENAR MENGENAI AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH
Yang imaksud dengan as-Sunnah adalah:
1. Jalan, artinya ahlu sunnah adalah golongan yang mengikuti jalan para
sahabat, thabien, dan thabiut thabien dalam masalah yang berkaitan
dengan aqidah, seperti bersikap menyerahkan mana dan maksud ayat
mutasyabihat kepada Allah tanpa mentawilkannya kepada mana atau
maksud lain dari pengetian lahirnya.Hadist nabi,
2. yani golongan yang berpegang kepada hadist yang shohih.
Sedangkan yang dimaksud dengan al-jamah adalah yang dikaitkan
dengan sunnah adaalah karena mereka dalam berdalil dan berhujjah
mempergunakan kitab Allah, sunnah rasul, dan ijma serta qiyas. Mereka

memandang keempat landasan itu sebagai asas syariat islam. Disamping


itu mereka menahan diri untuk mengkafirkan sesamanya. Istilah ahlu
Sunnah wal Jamaah adalah istilah yang sudah luas dikenal dan
dipergunakan dalam kalangan unnat islam, malah kata sebagian penulis
sudah sejak lahirnya islam itu sendiri. Kedalam istilah ni masuklah para
sahabat, tabiin, para ulama dan imam madzhab dan juga para ulama
hadist. Adapun khawarij, syiah, mutazilah dan lain-lain, tidak termasuk
kedalam golongan ini karena mereka menolak adanya ijma ulama atau
sahabat nabi.Syhrastani dan bagdadi menyebutkan bahwa golongan
syifatiyah yang sudah dikenaldalam zaman sahabat dan tabiin adalah
pendahulu golongan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Jika dibandingkan dengan aqidah yang dianut dalam berbagai firqoh islam
yang lain, maka aqidah ahlu sunnah wal jamaah mempunyai sifat
kesederhanaan. Memang sejak mula Al-Asyari berusaha agar mazhab
yang dibangunnya itu engambil jalan tengah dalam masalah aqidah,
dan tidak mempercayai sepenuhnya kepada kemampuan akal seperti
yang dianut dalam kalangan mutazilah, dan tidak juga berpegang
terhadap mana lahir dari sebuah nash al-Quran dan hadist seperti yang
dianut oleh kalangan ahlul hadist, aqidah haruslah dilekatkan kepada
wahyu sebagai sumbernya, sedangkan akal bertugas member tafsiran
yang rasional supaya dapat dimengerti, akal tidak mempunyai wewwnang
untuk mengkaji keshohihan wahyu dan cukuplah bagi akal member
penghargaan dengan disertakan dalam memahami dan menefsirkan
wahyu.
BIOGRAFI IMAM ASYARI DAN MATURIDY
Asyari mempunyai nama lengkap Ali bin ismail bin bisyir ishaq bin
salim bin Abdillah bin musa bin bilal bin abi burdah bin abi musa alasyari, beliau lebih popular dengan nama Abu hasan, dengan demikian
Al-Asyari adalah keturunan sahabat nabi yaitu Abu musa Al-Asyari, tetapi
setelah ditinjau dari sejarah kehidupannya, yang sebenarnya ternyata
gelombang kehidupan Astari cacat; seperti bahwa kakeknya abu bisyir

ternyata pernah menganut agama yahudi, dan dia masuk islam kendati
dari desakan kaum Asyariyah.
Al- maturidi, nama aslinya adalah Abu Mansur Muhammad bin Mansur
al- Hanafi al-mutakallimin al-maturidi al-samarkandy, ia lahir di matured,
ubzekistan, pada paruh kedua abad ke-9. (w. samarkhan,333H,/944 M ),
beliau adalah salah seorang mutakallim (ahli kalam)dan teolag yang telah
banyak menghasilakan pemikiran mengenai masalah kalam.pemikirannya
banyak dianut oleh kaum muslimin yang disebut dengan maturidiyah,
kelompok ini termasuk kelompok Ahlu sunnah wal jamaah.

PENYEBAB MASUKNYA ASYARI KE PAHAM AHLU SUNNAH WAL JAMAAH


Terlepas dari perbedaan yang di permasalahkan siapa yang sebenarnya
yang menjadi paham ahlu sunnah wal jama'ah, disisni kami akan
membahas tentang as'ariyah dan maturidiyah, dan bagaimana pendapat
mereka dan keyakinan mereka terhadap persoalan yang terdapat dalam
tubuh islam itu sendiri, dan yang terpenting adalah siapa yang berpegang
teguh terhadap Al-Qu'ran dan hadist Rasul merekalah ahlu sunnah wal
jama'ah, sesuai dengan sabda rasulullah ketika ditanya, " siapakah Ahlu
sunnah itu, beliau menjawab, siapa yang seperti aku hari ini dan
sahabatku."
Asy'ariyah adalah satu aliran yang terpenting dalam teology islam, aliran
ini disebut juga Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, golongan yang mayoritas yang
berpegang teguh terhadap sunnah Rasul, nama aliran ini dinisbahkan
kepada nama pendirinya, Abu Hasan Al-Asy'ari(260 H/873 M- 324 H/ 935
M), aliran ini muncul pada awal abad ke-9, ketika aliran mu'tazilah berada
pada tahap kemunduran.
Aliran ini mucul sebagai reaksi terhadap paham mu'tazilah yag dianggap
menyeleweng dan menyesatkan ummat islam. Ketika aliran mu'tazilah

mulai pudar dari mata masyarakat pada masa kholipah Al-Ma'mun, maka
dalam situasi ini muncullah al-Asy'ari yang tumbuh besar dan dididik
dalam lingkungan mu'tazilah yang membawa paham barunya itu. Alasy`ari menyalelami ajaran-ajaran mu'tazilah melalui gurunya, al-jubba'I,
seorang tokoh muktazilah yang terkenal. Karena ketekunan dan
kemampuan intelekualnya yang begitu tinggi,ia menjadi murid
kesayangan al-jubba'I. asy'ari dalam menjalani kehidupan menuntut ilmu ,
beliau sering di utus oleh gurunya (al-jubbai) untuk mengikuti berbagai
forum diskusi dan perdebatan. Dengan begitu, al-asy'ari menjadi terlatih
dan terampil dalam berdebat dan beradu argumentasi. Ketika berusia 40
tahun, al-asy'ari menyatakan diri keluar dari kelompok mu'tazilah.
Berbagai pendapat telah di ajukan mengenai sebab-sebab al-asy'ari
meninggalkan muktazilah dan bahka berbalik menjadi penentang mu'
Tazilah bebapa di antaranya adalah;
1. al-asy'ri mimpi bertemu Rasulullah dan meyuruh meniggalkan aliran
yang dianutnya dan selanjutnya ia diperintahkan umtuk membela sunnah
Rasullah
2. al-asy'ari tidak puasa dengan jawaban dan penjelasan-penjelasa yang
diberikan gurunya, al-jubba'I tentang brbagai masalahkeagamaan
3. ia melihat bahwa aliran mu'tazilah tidak dapat diterima umumnya umat
islam yang bersifat sedarhana dalam pemikiran, sementara ketika itu
belum ada aliran teologhi lain yang dapat di andalkan
4. al-asy'ari kalah bersaing dengan Abu Hasyim (anak al-jubba'i) dalam
menggantikan posisi al-jbba'I sebagai tokoh mu'tazilah

PEMAHAMAN AQIDAH ASY'ARIYAH DAN MATURIDIYAH


setelah keluar dari kelompok mu'tazlah ia merumuskan pandangan
teologhnya dalam kitab Al-luma fi ar-rodd `ala az-ziyag wa al-bida' (bekal
dalam menjawab orang-orang yang menyimpang dan melakukan bid'ah),

dan al-ibadah `an usul ad-diniyah. Ajaran-ajaran pokok asy'ari ada tujuh
dan begitu pula dengan maturidi karna dia adalah murid dari imam Abu
Hasan al-Asyari.
1. tentang sifat Allah Swt dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan
mu'tazilah. Baginya Allah mempunyai sifat-sifat 20 sdeperti; al'lim
(megetahui), al-qudrah (kuasa), as-sama' (mendengar)dll. Sifat-sifat
tersebut berada di luar dzat tuhan dan bukan dzat tuhan itu sendiri, oleh
karena itu tuhan mengetahui bukan dengan dzatnya, seperti pendapat
mu`tazilah melainkan mengetahui dengan pengtahuannya. Demikian pula
denga sifat-sifat yan lainya.
2. tentang keduduka al-Qur'an. Alqur'an adalah kalamullah danbukan
mahluk dalam arti diciptakan. Karena al-Qur'an adalah firman Allah
pastilah ia bersifat qadim.
3. tentang melihat Allah di akhirat. Allah Swt akan dapat dilihat dengan
mata kepala. Karena Allah mempunyai wujud.
4. tentang perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia di ciptakan
oleh Allah Swt. Walaupun al-asy'ari mengaku adanya daya dalam diri
manusia. Daya itu tidak efektif. paham inilah dikenal dengan istlah alkasb.
5. tentang antropomorfisme. Al-asy'ari berpendapat bahwa Allah Swt
mempunyai mata, muka, tangan dsb, seperti yan disebut dalam al-Qur'an
(QS. 55.27 dan QS. 54: 14) akan tetapi tidak dapat diketahui bagaimana
bentuk-Nya.
6. tentang dosa besar. Orang mukmin yang berdosa besar tetap di anggap
mukmin selam ia masih beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Ia
hanya digolongkan sebagai orang durhaka. Tentang dosa besarnya di
serahkan kepada Allah Swt, apakah di ampuni atau tidak.
7. tentang keadilan Allah Swt. Allah Swt adalah pencipta seluruh alam. Dia
memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, ia dapat
berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia
kedalam neraka.

Pemikiran-pemikiran al-Asy'ari tersebut dapat diterima oleh kebanyakan


umat islam karena sedrhana dan tidak filosofis. Akibatnya dalam waktu
yang singkat pendapat-pendapatnya itu memperoleh pendukung yang
tidak sedikit jumlahnya. Faktor lain yag mempercepat proses
perkembangan aliran ini adalah dukungan pihak pemerintah Bani Abbas
yang berkuasa saat itu. Aliran asy'ariyah berkmbang di dunia timur,
seperti; India, Afganistan, Pakistan sampai ke Indonesia berkat jasa dan
dukugan * Mahmud Gaznawi (971-1030), pendiri Dinasti Gaznawi yang
berpusat di India.

TOKOH-TOKOH PAHAM ASY'ARI


Adapun tokoh-tokoh yang banyak mempunyai andil dalam penyeberan
paham ini ialah:
1. al-Baqillani(w. 403 H/ 1013 M)
2. Abdul Ma'ali al-Juwaini dan bergelar imam haromain.
3. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali bergelar hujjah AlIslam.
4. Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi(833-895 H/ 1427-1490
M).
5. Al-maturidy.

Pembahasan kesembilan; dua pemikiran yang kontradiktip antara Asyari


dan pengikutnya(Asyariyah) dengan ahlu sunnah wal jamaah
Akibat perkembangan yang sangat pesat dari pemikiran pada masa itu,
segera muncul polemik pertanyaan yang sangat krusial,yaitu apakah
metode berpikir imam Asyari sesuai dengan metode berpikir ahlu sunnah

wal jamaah..??? ataukah sebaliknya..?? sejauh ini masih dalam


perdebatan, terutama persoalan yang menyangkut masalah ayat tentang
sifat-sifat Allah, yang berkaitan erat dengan dalil aqli dan naqli, maupun
dalam masalah tawil serta tathil dan seterusnya.
Dalam kitab Al Ibanah, menyebutkan bahwa Allah bersemayam di atas
Arsy, sementara Arsynya terletak diatas langit , imam Asyari
mentawilkan kata istawa(bersemayam), dengan kata istila(penguasaan),
yang oleh mutazilh ditolak mentah-mentah. Sembari ia menambahkan
bahwa persemayamannya Allah tidak bisa diragukan lagi, dengan alasan
firman Allah dalam surat Al-Mulk:16
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit
bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga
dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang
Begitu juga dengan pendapat pengikutnya kebanyakan dari mereka
mentawilkan kata istawa, dengan kata Al-mulk dan pendapat ini
dikemukakan oleh salah seorang tokoh kenamaan As-Syariyah yang
bernama Abdul Qohir Al- Bagdady(wafat 429H). sedangkan tokoh
Asyariyah yang lain seperti halnya Abu hamid al-Ghozali(wafat 505H), ia
lebih condong kepada pendapatnya imam asyari mentawilkan kata
istawa. Dan banyak lagi pemikiran Asyariyah yang bertentangan dengan
kaum ahlu sunnah wal jamaah, dan adapun factor yang membuat
pemikiran mereka bertolak belakang dengan pemikiran ahlu sunnah wal
jamaah adalah karenpemikiran mereka sudah bercapur dengan system
pemikiran filsafat dan ilmu kalam.

PAHAM ASYARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASYARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul
Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi
Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
Amir bin Abi Musa Al-Asyari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok
Asyariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi
pendiri madzhab Asyariyah.

Abul Hasan Al-Asyaari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu
Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafii di Masjid Al-Manshur, Baghdad.
Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubbai, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali AlJubbai, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah
dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya
dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok
Muktazilah.
Al-Asyari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi
Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul
Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan
untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah
perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubbai seputar masalah ash-shalah dan
ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia
bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama
bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika
pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil
keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asyari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia
keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun
300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinankeyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karyakaryanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah,
Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia
berpegang pada Al-Quran, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabiin, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang
perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.

berbeda

dan

merupakan

a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah.
Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira

selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk


akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham
Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah
beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15
hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk
mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat
untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
Al-Hayah (hidup)
Al-Ilmu (ilmu)
Al-Iradah (berkehendak)
Al-Qudrah (berketetapan)
As-Sama' (mendengar)
Al-Bashar (melihat)
Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya.
Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya
kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran.
Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah
dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua
sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima
dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya
wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki

tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu


tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan
makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah."
Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis
beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asyariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada
waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam
mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang
bisa dicerna akal.
Al-Asyari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam
menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode
akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli
dan
aqli.
Munculnya kelompok Asyariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus
kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan
dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu
mempertahankan hubungan Tuhanmanusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti
bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asyariyah semakin
berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun
dikota Naisabur.
Madrasah
Nizhamiyah
yang
di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab
Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali
bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer
dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASYARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah


menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang
selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan AlFudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke
dalam perutnya dari (makanan) yang halal. Karena tanpa memakan yang haram
termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh
Nabi
dan
para
shahabat
radhiyallahu
'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits
dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhatsyubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah,
para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam
masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka
menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah
ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang
menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang
sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul
Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu
Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunahsunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih
dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan
perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh
sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama AsSunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu
i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah
itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa
sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah
adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak
pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama)
mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia

melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat
kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu?
Ia menjawab, Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan)
yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka
menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran
Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan
bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk
membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang
ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau
umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul
Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah
terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang
berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah,
Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap
berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan
untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak
hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan
keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah
ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok
terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir

(pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan
haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan
meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan
dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan
Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul
Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah.
Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang
berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran
ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan
pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din
dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan
Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai
pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum
mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram. [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah
wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul
Ahwa' wa Dhalalah.
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu
tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di
arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah
sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah
firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin
berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan
dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan
manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah
digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan
istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap pahampaham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau
718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh
kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman
khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813

M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah
diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Quran tidak bersifat
qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah.
Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah.
Menurut mereka Al-Quran adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai
konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan
hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul
Hasan Al-Asyari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah
wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada
kelompok pahan teologi Asyariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini.
Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus
Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal
Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asyariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa
perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif
sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan
sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan
sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu
sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang
secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu sematamata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya
sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim.
Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran
itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah.


Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah
dan pandangan
Maturidiyah
sama-sama
mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi
kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa
orang itu berada pada tempat diantara dua tempat Manzilatun baina
manzilatain.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti
memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang
berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang
mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil
dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang
dimaksud
dengan
mereka
itu
adalah
Asy'ariyah
dan
Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus
Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari
dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orangorang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang
yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya."
Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus
Sunnah
wal
Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua.
Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asyariyah adalah ahlus sunnah wal
jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam
majalah Al-Bayan bahwa:
1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orangorang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat
kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak
sebab.

2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk
menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang
digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang
menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan
dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham
Asyariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasyatul Asyariyyah wa
Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua
makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai
lawan dari Syiah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan
Asyairah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asyariyah tanpa selainnya
dari
aliran-liran
kalam
dalam
pemikiran
filsafat
Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari
kelompok Syiah, Muktazilah, dan bahkan Asyariyah itu sendiri. Adapun makna
khususnya digunakan untuk menyebut Asyariyah untuk membedakannya dengan
aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.

C. PANDANGAN-PANDANGAN ASYARIYAH
Adapun pandangan-pandangan
Muktazilah, di antaranya ialah:

Asyariyah

yang

berbeda

dengan

1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti
yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti
yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Quran itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan
diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang

konsep janji dan ancaman (al-wad wa al-waid).


6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti
yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti
apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba
tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan,
tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi
mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir.
Mereka berkata, Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau
memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu
satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa
Al-Quran itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa
sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab
kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman
kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin
mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut
mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia
kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa
orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak
terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar
menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh
memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka
berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asyari

Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asyari, banyak yang mengkritik


paham Asyari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima
ajaran-ajaran Asyari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia.
Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai
dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan
bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat
Asyari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asyari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul
Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang
anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah
harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus
dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud
Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus,
sepertidikatakan
Asyari.
Pengikut Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam
yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham
teologi cenderung kembali pada paham-paham Asyari. Al-Ghazali meyakini
bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Quran bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan
perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat
dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah)
manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi
beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asyari dengan sunah wal jamaahnya berhasil
berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di
bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah
mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari

kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham
Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus
juga menjadi tokohnya antara lain:
Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah
wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Diposkan oleh Rudi Arlan Al-farisi di 13.14 20 komentar:
Label: Ilmu Kalam - Aliran Asy'ariyah

Aliran Khawarij
KHAWARIJ
A. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari
barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah
menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Muawiyyah yang dikomandoi oleh
Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual
(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS.
Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka,
seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura,
dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat la
hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau la hakama illa Allah
(tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,

Bidah yang pertama muncul dalam Islam adalah bidah Khawarij.


Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah
hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mutazilah
dan Syiah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini
menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah
ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik
secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerahOman dan
Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana-mana. Hal seperti inilah yang
membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi
buku-buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw.
menyuruh kita agar berhati-hati terhadap firqah ini.
B. Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa
Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan
perang di desa Juronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta
kepada Aqra bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada
beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang
diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul
Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: Demi
Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah. Atau
dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!.
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi
terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang
dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak berbuat adil.
Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dengan wajah yang
memerah bersabda:
Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil?
Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.
(HR. Bukhari Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu anhu meminta izin untuk membunuhnya,
namun Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan
munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan
dalam riwayat berikutnya:
Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian
akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan
puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari
buruannya. (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syariah, hal. 33)

Demikianlah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya


generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah
puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar
dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi
dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun
kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan alQurannya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca alQuran tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini
sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan
kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk. (HR. Muslim)
Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka
dapat membaca al-Quran dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan
benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan
hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Ciri khas mereka lainnya adalah: Mereka membunuh kaum muslimin dan
membiarkan orang-orang kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca
al-Quran, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin
dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini
sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui
mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum Aad. (HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan
keluarganya yaitu Abdullah anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu anhu.
Mereka membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu
dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma milik
seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: Ambillah seluruhnya apa yang
kalian mau! Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif: Kami tidak akan
mengambilnya kecuali dengan membayar harganya. (Lihat al-Milal wan Nihal)
Maka kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari
niat mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah
kaum muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan
teror, pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
Ciri berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh
pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan
semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang.

Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam bersabda:
Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh
pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan
mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti
keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah
mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari
kiamat. (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang
sangat jelek yaitu anjing-anjing neraka sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa
bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
Khawarij adalah anjing-anjing neraka. (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan
dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
C. Sejarah Kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir
dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer
pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa
sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Muawiyah ra. yang
merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang
saudara itu dengan Tahkim dibawah Al-Quran.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan
hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil
dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Muawiyah
ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan
yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu
lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa
al-Asyary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui
tawaran kubu Muawiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim.
Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Muawiyah ra. Sebagai
khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan
senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah
mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara, karena telah melanggar prinsip
dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (l hukma illa lillh). (Abu
Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa
maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar
prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk

bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam
proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok
paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab
utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya
dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (arbu al-bdiyah). Mereka
cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun
keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan
pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu
kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan
komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian.
Prinsip dasar bahwa tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan mereka tafsirkan secara
dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada kepentingan lain yang mendorong dualisme
sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan
pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullh bin Wahab ar-Rsiby yang diluar
golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij,
menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam
(diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW. (Abu
Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja
keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Muawiyah ra. namun dari
mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat
pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah
di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut
kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana
disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk
mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut
Haruriyah yang merujuk pada Harurah sebuah tempat di pinggiran sungai Furat
dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra.
saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok Muhakkimah. Sebagai kelompok dengan
prinsip dasar l hukma illa lillh. (Syalabi: 309).
D. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag
ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai Ali ibn Abi Thalib
salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat Ali menjadi kafir. Mereka memaksa
Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu Ali
menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka

menyatakkan keluar dari pasukan Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan
kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya Ali bi Abi Thalib
sendiri, tapi juga Muawiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn Ash, Abu Musa al-Asyari dan lainlain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan
apakah Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi,
mereka menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya
menyatakan Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nsi man yujibuka
qauluhu fi al-hayh ad-dunya wa yusyhidullah ala m fi qalbihi wa huwa aladdu alkhshm) diturunkan Allah mengenai Ali sedangkan tentang Abdurrahman ibn Muljam
yang membunuh Ali Allah menurunkan ayat (wa minannsi man yasyri nafsahu ibtigha
mardhtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk
menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka
memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu
melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurr atau Ahl al Qurr, sebutan
mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Quran
atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka
persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan
picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial
politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar
belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat AlQuran yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka,
maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurr bukan sebagai para penghafal
Al-Quran, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di
McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurr lebih tepat diartikan sebagai
para penetap walaupun Ahl al-Qurr bisa juga berarti para penghafal Al-Quran.
Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah alQurr ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat
Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan
di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij.
Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn Atsam cenderung
menafsirkan al-Qurr sebagai para penghafal Al-Quran. Kekeliruan itu mungkin muncul
terpegaruh dengan ucapan Saidi ibn Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di
Kufah yang mengatakan; Ahabbukum ilayya akramukum li kitbillah.
Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang
sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrf, wujh, sufah,
rijl min qur ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jamaah ahli al kufah dan lain-lain yang
tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Quran. Tetapi yang
jelas ialah bahwa al-Qurra itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari

golongan asyrf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal


atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang
bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam
masa pemerintahan Khalifah Utsman.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya
terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat
mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta
berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak
gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaranajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Hadits, mereka artikan
menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham
mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal
serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini
membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut
paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak
penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongangolongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus
mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada
di zaman mereka.

Khawarij tidak hanya mengkafirkan Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah
Utsman ibn Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap
Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan),
tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang
ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu,
tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi
dikelola oleh kelompok Qurr, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para
veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurr itu
menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas
kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. Utsman tidak berani menentang hak
yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara
berangsur-angsur. Antara lain Utsman menyatakan bahwa para veteran yang
telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas
tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurr dalam jawabannya menegaskan bahwa
tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraqkekayaan-kekayaan ini
sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan
bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat
dari pelaksanaan kebijaksanaan Utsman itu kelompok Qurr belakangan
mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan
karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak
mereka.
Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada Utsman kelompok ini
menghalang-halangi kedatangan Said ibn Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh
Utsmanmemasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asyary sebagai
Gubernur dan memaksa Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.

E. Sifat-sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang-orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim
lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau
terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap
Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka
mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak
bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka
mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang-orang Khawarij adalah kaum yang
paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa
beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak
mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah
saw. melebihkan pembesar-pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan
Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan taliful qulub. Mereka juga menuduh Utsman
sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih-lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat
sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat-seratnya karena cuma satu dan sering
dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama
dalam sujud, tangan dan kaki mereka kapalan. Mereka disebutquro karena bacaan AlQurannya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah
orang-orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih
tidak ada apa-apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa
sangat berlebih-lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah
kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang
Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, Ketika
Abdullah bin Habbab bin Al-Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang
Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits-hadits yang
didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang
terjadinya fitnah,
Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari
yang berjalan.

Mereka bertanya, Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah? Ya, jawab
Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya
dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh
kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain
mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan
kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka
bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung
saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta
maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang-orang Khawarij umurnya masih
muda-muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh),
berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al-Quran dan kembali padanya, tetapi
mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa
Al-Quran akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang-orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah
saw., Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. Mereka akan senantiasa keluar
sampai yang terakhir keluar bersama Al- Masih Ad-Dajjal
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk
makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. Jika
engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.

Anda mungkin juga menyukai