salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali, serta dalam hal
Tasawwuf berpegang pada metode Imam al-Ghazali dan Imam Junaid alBaghdadi.[3]
Dalam akidah al-Asy'ari dan fiqh Maliki dan di dalam jalan al-Junaid jalan
mencari (Allah)
Sebahagian Salafi bahkan tidak mengetahui apa isi-isi di dalam Mazhab alAsy'ari dan dengan mudahnya mengklaim bahwa akidah al-Asy'ari adalah
akidah falsafah yang sesat.[6] Bahkan ada juga yang sangat menentang
Asy'ariyyah sehingga berani melakukan korban pada hari yang berbeza
dengan pengumuman rasmi raya oleh Kerajaan Morocco kerana
berpegang pada pengumuman raya Kerajaan Saudi Arabia. Banyak
kejadian di Universiti Qarawiyyin, pelajar-pelajar Salafi ketika melihat ada
orang Asia yang datang belajar di universiti tersebut, mereka akan
bertanya mengapa memilih di Qarawiyyin dan mengusulkan untuk pergi
belajar ke Saudi Arabia kerana di Qarawiyyin ini dianggap sebagai institusi
pendidikan yang mengajarkan ajaran-ajaran yang sesat atau menyimpang
dari Ahli Sunnah wal Jama'ah.[7] Mengagungkan ulama Salafi dan
meremehkan ulama sufi/Asy'ariyyah lainnya juga ketara.[8] Bahkan ada
yang menuduh Yusuf Qardhawi sebagai sesat kerana beliau bertoleransi
dengan aliran Asy'ariyyah. Salah satu ciri-ciri mereka adalah ketika
(1)
adalah karangan Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Padahal dalam kitab tersebut
terdapat pernyataan-pernyataan yang dianggap tasybih atautajsim oleh
kalangan ulama khalaf Asya'iroh. Bahkan ada kitab yang membahas ini
secara ilmiah yaitu "
" . Kenyataan ini dapat dilihat di dalam website rasmi Kementrian
Wakaf dan Urusan Keagamaan Maghribi.[10] Para ulama Asy'ariyyah juga
bersikap yang sama.[11] Walaubagaimanapun, ruang untuk menetapkan
isi-isi kitab al-Ibanah yang tercetak umum yang dapat ditemukan
sekarang sudah ditahrif atau dipesongkan untuk mendukung
aliran tajsim juga masih terbuka.
(2)
Para sufi tidak begitu peduli dengan Salafi. Mereka juga tidak begitu
Di satu sisi, kenyataan yang tidak dapat ditolak, Maghribi adalah pusat
sufisme di dunia. Banyak tarikat yang lahir di Morocco ini. Sebut saja
tarikat Tijani, Syadzili, Bursyisyiyyah, dan lain-lain. Salah seorang ulama
besar yang mengarang kitab selawat yang diamalkan seluruh dunia
adalah Imam al-Jazuli. Beliau adalah seorang Maghribi yang pernah
menuntut di Qarawiyyin dan Madrasah al-Safarin. Kitab selawatnya tidak
pernah ditolak oleh umat Islam sebelum kedatangan pemikiran Salafi.
Seorang wali yang unggul di Fes yaitu Abdul Aziz al-Dabbagh, yang katakatanya terakam di dalam sebuah kitab bernama al-Ibriz, juga merupakan
seorang ulama yang dihormati di Fes, walaupun ada beberapa
perkataannya yang dianggap susah untuk diterima akal oleh orang
awam. Akan tetapi, dimanakah tindakan pertahanan atau pembelaan
Asy'ariyyah dan sufisme di Maghribi?
Ulama hanya menentang kalau ada amalan-amalan tarikat yang jelasjelas bertentangan dengan syariat yang sudah pasti diketahui keharaman
tersebut secara ijmak () . Seperti misal, ulama
Morocco menolak keras pemikiran penyatuan manusia dengan Tuhan
seperti kesalahfahaman sebahagian orang terhadap konsep wahdat al-
Renungan Bersama
Berpijak dari pengalaman wasatiyyah di Maghribi ini, timbul pertanyaan
kepada penulis dan semoga menjadi renungan kepada pembaca. Apakah
dengan pendekatan wasatiyyah yang ingin kita tanamkan di Malaysia
justru akan mengancam akidah Asy'ariyyah yang sudah lama menjadi
asas bagi umat Islam di Nusantara, sama ada yang awam maupun yang
alim? Tidakkah sejarah telah mencatat bahwa puak Salafi-lah yang paling
awal mengangkat pedang extreme dengan menuduh syirik kepada pelaku
tawassul, tarikat dan sufi lainnya. Bahkan takfir, mengkafirkan juga
menjadi senjata. Berangkat dari extreme inilah muncul
kelompok extreme lainnya sebagai penyeimbang kepada Salafi.
sedikit perdebatan yang tidak begitu penting, si Salafi dan penulis serta
yang lain berangkat ke Masjid untuk menunaikan solat Zuhur. Ketika di
dalam si Salafi masih menegur penulis untuk tidak mengaji di Jami'
Qarawiyyin. Penulis tetap berhujjah berbagai alasan lain. Akan tetapi,
perbincangan ini berubah ketika seorang kawan dari Mali datang
bermusafahah dengan penulis. Lalu si Salafi bertanya kepada si Mali kitab
apa yang dipelajari sekarang. Ketika itu, demi takut akan si Mali
beranggapan buruk terhadap penulis, maka penulis menjawab kepada si
Salafi: "Sekarang kitab Jauhar al-Tauhid karangan al-Luqqani". Barulah si
Salafi terkejut dan berkata: "Mengapa engkau mengaji kitab Asya'iroh?".
Penulis menjawab: "Kerana Aku bermazhab Asy'ari". Si Salafi berkata: "Itu
akidah yang bahaya, kau harus menjauhinya". Penulis menjawab: "Apa
yang sesat di dalam Asy'ari? Bagi Aku Asy'ari dan Salafi adalah sama,
walaupun ada banyak yang berbeza, tapi itu hanya masalah furu'iyyah.
Sedangkan masalah akidah tidak jauh berbeza". Lalu si Salafi tanya:
"Berikan aku satu masalah yang berbeza!". Penulis menjawab:
"Masalah ta'wil dan tafwidl. Kalau kami Ta'wil, kalau Salafi Tafwidl". Salafi
menjawab: "Di situlah kesalahan kamu, mana boleh kita menafikan sifat
Allah. Yadd adalah sifat bagi Allah. Asya'iroh telah salah dan berdosa.
Mereka Mu'athillah". Ketika itu penulis menjelaskan kenapa Asya'roh
memilih untuk Ta'wil sesuai dengan kata "
( " Jalan Salaf adalah lebih selamat dan jalan Khalaf lebih berilmu
dan lebih bijak). Penulis bertanya: "Kalau seumpama saya orang muallaf
baru masuk Islam, tidak faham bahasa Arab dan saya bertanya pada
engkau apa itu makna Yadd dalam ayat tersebut, apa engkau akan
menjawab?". Si Salafi lalu berkata "Yadd adalah Yadd". Penulis menambah,
"Saya tak tahu apa itu Yadd". Maka si Salafi pun menunjukkan tangannya:
"Ya Ini". Na'uzubillah, penulis pun berkata: "Disebabkan ini kami
menakwilnya kerana ini sudah tajsim". Sedangkan si Salafipun terpingapinga mendengar pernyataan penulis.
[7] Sebagai contoh: Pengalaman penulis ketika datang ke Kuliyyah
Usuluddin Qarawiyyin University Tetouan, penulis bertanya kepada salah
satu pelajar tempat untuk bertemu dengan salah seorang musyrif di
Akan tetapi, kalau ditanya kepada para pengikut tarikat Tijani di situ,
mereka tidak pernah bersolat atau menyembah Imam Tijani. Hanya saja
zawiyah tersebut memang dijadikan tempat solat fardhu, dan maqam
Imam Tijani pun berada di belakang saf Imam dan sebagian makmum. Ini
seperti di maqam Rasulullah SAW di Madinah Munawwarah.
[19] Baca kitab seperti Mafahim Yajib an Tushahhah, al-Ajwibah alGhaliyyah, al-Durar al-Saniyyah, dan lain-lain.
ternyata pernah menganut agama yahudi, dan dia masuk islam kendati
dari desakan kaum Asyariyah.
Al- maturidi, nama aslinya adalah Abu Mansur Muhammad bin Mansur
al- Hanafi al-mutakallimin al-maturidi al-samarkandy, ia lahir di matured,
ubzekistan, pada paruh kedua abad ke-9. (w. samarkhan,333H,/944 M ),
beliau adalah salah seorang mutakallim (ahli kalam)dan teolag yang telah
banyak menghasilakan pemikiran mengenai masalah kalam.pemikirannya
banyak dianut oleh kaum muslimin yang disebut dengan maturidiyah,
kelompok ini termasuk kelompok Ahlu sunnah wal jamaah.
mulai pudar dari mata masyarakat pada masa kholipah Al-Ma'mun, maka
dalam situasi ini muncullah al-Asy'ari yang tumbuh besar dan dididik
dalam lingkungan mu'tazilah yang membawa paham barunya itu. Alasy`ari menyalelami ajaran-ajaran mu'tazilah melalui gurunya, al-jubba'I,
seorang tokoh muktazilah yang terkenal. Karena ketekunan dan
kemampuan intelekualnya yang begitu tinggi,ia menjadi murid
kesayangan al-jubba'I. asy'ari dalam menjalani kehidupan menuntut ilmu ,
beliau sering di utus oleh gurunya (al-jubbai) untuk mengikuti berbagai
forum diskusi dan perdebatan. Dengan begitu, al-asy'ari menjadi terlatih
dan terampil dalam berdebat dan beradu argumentasi. Ketika berusia 40
tahun, al-asy'ari menyatakan diri keluar dari kelompok mu'tazilah.
Berbagai pendapat telah di ajukan mengenai sebab-sebab al-asy'ari
meninggalkan muktazilah dan bahka berbalik menjadi penentang mu'
Tazilah bebapa di antaranya adalah;
1. al-asy'ri mimpi bertemu Rasulullah dan meyuruh meniggalkan aliran
yang dianutnya dan selanjutnya ia diperintahkan umtuk membela sunnah
Rasullah
2. al-asy'ari tidak puasa dengan jawaban dan penjelasan-penjelasa yang
diberikan gurunya, al-jubba'I tentang brbagai masalahkeagamaan
3. ia melihat bahwa aliran mu'tazilah tidak dapat diterima umumnya umat
islam yang bersifat sedarhana dalam pemikiran, sementara ketika itu
belum ada aliran teologhi lain yang dapat di andalkan
4. al-asy'ari kalah bersaing dengan Abu Hasyim (anak al-jubba'i) dalam
menggantikan posisi al-jbba'I sebagai tokoh mu'tazilah
dan al-ibadah `an usul ad-diniyah. Ajaran-ajaran pokok asy'ari ada tujuh
dan begitu pula dengan maturidi karna dia adalah murid dari imam Abu
Hasan al-Asyari.
1. tentang sifat Allah Swt dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan
mu'tazilah. Baginya Allah mempunyai sifat-sifat 20 sdeperti; al'lim
(megetahui), al-qudrah (kuasa), as-sama' (mendengar)dll. Sifat-sifat
tersebut berada di luar dzat tuhan dan bukan dzat tuhan itu sendiri, oleh
karena itu tuhan mengetahui bukan dengan dzatnya, seperti pendapat
mu`tazilah melainkan mengetahui dengan pengtahuannya. Demikian pula
denga sifat-sifat yan lainya.
2. tentang keduduka al-Qur'an. Alqur'an adalah kalamullah danbukan
mahluk dalam arti diciptakan. Karena al-Qur'an adalah firman Allah
pastilah ia bersifat qadim.
3. tentang melihat Allah di akhirat. Allah Swt akan dapat dilihat dengan
mata kepala. Karena Allah mempunyai wujud.
4. tentang perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia di ciptakan
oleh Allah Swt. Walaupun al-asy'ari mengaku adanya daya dalam diri
manusia. Daya itu tidak efektif. paham inilah dikenal dengan istlah alkasb.
5. tentang antropomorfisme. Al-asy'ari berpendapat bahwa Allah Swt
mempunyai mata, muka, tangan dsb, seperti yan disebut dalam al-Qur'an
(QS. 55.27 dan QS. 54: 14) akan tetapi tidak dapat diketahui bagaimana
bentuk-Nya.
6. tentang dosa besar. Orang mukmin yang berdosa besar tetap di anggap
mukmin selam ia masih beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Ia
hanya digolongkan sebagai orang durhaka. Tentang dosa besarnya di
serahkan kepada Allah Swt, apakah di ampuni atau tidak.
7. tentang keadilan Allah Swt. Allah Swt adalah pencipta seluruh alam. Dia
memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, ia dapat
berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia
kedalam neraka.
PAHAM ASYARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASYARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul
Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi
Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
Amir bin Abi Musa Al-Asyari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok
Asyariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi
pendiri madzhab Asyariyah.
Abul Hasan Al-Asyaari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu
Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafii di Masjid Al-Manshur, Baghdad.
Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubbai, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali AlJubbai, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah
dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya
dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok
Muktazilah.
Al-Asyari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi
Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul
Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan
untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah
perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubbai seputar masalah ash-shalah dan
ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia
bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama
bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika
pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil
keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asyari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia
keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun
300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinankeyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karyakaryanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah,
Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia
berpegang pada Al-Quran, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabiin, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang
perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
berbeda
dan
merupakan
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah.
Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira
melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat
kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu?
Ia menjawab, Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan)
yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka
menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran
Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan
bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk
membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang
ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau
umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul
Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah
terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang
berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah,
Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap
berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan
untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak
hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan
keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah
ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok
terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir
(pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan
haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan
meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan
dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan
Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul
Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah.
Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang
berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran
ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan
pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din
dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan
Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai
pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum
mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, Pada hari yang di waktu itu ada
muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram. [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah
wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul
Ahwa' wa Dhalalah.
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu
tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di
arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah
sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah
firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin
berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan
dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan
manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah
digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan
istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap pahampaham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau
718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh
kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman
khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813
M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah
diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Quran tidak bersifat
qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah.
Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah.
Menurut mereka Al-Quran adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai
konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan
hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul
Hasan Al-Asyari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah
wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada
kelompok pahan teologi Asyariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini.
Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus
Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal
Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asyariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa
perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif
sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan
sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan
sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu
sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang
secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu sematamata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya
sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim.
Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran
itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk
menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang
digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang
menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan
dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham
Asyariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasyatul Asyariyyah wa
Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua
makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai
lawan dari Syiah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan
Asyairah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asyariyah tanpa selainnya
dari
aliran-liran
kalam
dalam
pemikiran
filsafat
Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari
kelompok Syiah, Muktazilah, dan bahkan Asyariyah itu sendiri. Adapun makna
khususnya digunakan untuk menyebut Asyariyah untuk membedakannya dengan
aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASYARIYAH
Adapun pandangan-pandangan
Muktazilah, di antaranya ialah:
Asyariyah
yang
berbeda
dengan
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti
yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti
yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Quran itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan
diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang
kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham
Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus
juga menjadi tokohnya antara lain:
Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah
wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Diposkan oleh Rudi Arlan Al-farisi di 13.14 20 komentar:
Label: Ilmu Kalam - Aliran Asy'ariyah
Aliran Khawarij
KHAWARIJ
A. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari
barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah
menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Muawiyyah yang dikomandoi oleh
Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual
(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS.
Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka,
seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura,
dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat la
hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau la hakama illa Allah
(tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,
Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam bersabda:
Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh
pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan
mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti
keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah
mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari
kiamat. (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang
sangat jelek yaitu anjing-anjing neraka sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa
bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
Khawarij adalah anjing-anjing neraka. (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan
dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
C. Sejarah Kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir
dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer
pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa
sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Muawiyah ra. yang
merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang
saudara itu dengan Tahkim dibawah Al-Quran.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan
hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil
dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Muawiyah
ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan
yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu
lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa
al-Asyary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui
tawaran kubu Muawiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim.
Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Muawiyah ra. Sebagai
khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan
senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah
mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara, karena telah melanggar prinsip
dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (l hukma illa lillh). (Abu
Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa
maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar
prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk
bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam
proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok
paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab
utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya
dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (arbu al-bdiyah). Mereka
cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun
keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan
pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu
kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan
komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian.
Prinsip dasar bahwa tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan mereka tafsirkan secara
dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada kepentingan lain yang mendorong dualisme
sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan
pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullh bin Wahab ar-Rsiby yang diluar
golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij,
menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam
(diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW. (Abu
Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja
keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Muawiyah ra. namun dari
mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat
pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah
di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut
kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana
disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk
mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut
Haruriyah yang merujuk pada Harurah sebuah tempat di pinggiran sungai Furat
dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra.
saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok Muhakkimah. Sebagai kelompok dengan
prinsip dasar l hukma illa lillh. (Syalabi: 309).
D. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag
ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai Ali ibn Abi Thalib
salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat Ali menjadi kafir. Mereka memaksa
Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu Ali
menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka
menyatakkan keluar dari pasukan Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan
kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya Ali bi Abi Thalib
sendiri, tapi juga Muawiyah ibn Abi Sufyan, Amru ibn Ash, Abu Musa al-Asyari dan lainlain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan
apakah Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi,
mereka menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya
menyatakan Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nsi man yujibuka
qauluhu fi al-hayh ad-dunya wa yusyhidullah ala m fi qalbihi wa huwa aladdu alkhshm) diturunkan Allah mengenai Ali sedangkan tentang Abdurrahman ibn Muljam
yang membunuh Ali Allah menurunkan ayat (wa minannsi man yasyri nafsahu ibtigha
mardhtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk
menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka
memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu
melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurr atau Ahl al Qurr, sebutan
mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Quran
atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka
persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan
picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial
politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar
belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat AlQuran yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka,
maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurr bukan sebagai para penghafal
Al-Quran, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di
McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurr lebih tepat diartikan sebagai
para penetap walaupun Ahl al-Qurr bisa juga berarti para penghafal Al-Quran.
Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah alQurr ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat
Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan
di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij.
Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn Atsam cenderung
menafsirkan al-Qurr sebagai para penghafal Al-Quran. Kekeliruan itu mungkin muncul
terpegaruh dengan ucapan Saidi ibn Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di
Kufah yang mengatakan; Ahabbukum ilayya akramukum li kitbillah.
Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang
sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrf, wujh, sufah,
rijl min qur ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jamaah ahli al kufah dan lain-lain yang
tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Quran. Tetapi yang
jelas ialah bahwa al-Qurra itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari
Khawarij tidak hanya mengkafirkan Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah
Utsman ibn Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap
Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan),
tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang
ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu,
tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi
dikelola oleh kelompok Qurr, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para
veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurr itu
menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas
kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. Utsman tidak berani menentang hak
yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara
berangsur-angsur. Antara lain Utsman menyatakan bahwa para veteran yang
telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas
tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurr dalam jawabannya menegaskan bahwa
tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraqkekayaan-kekayaan ini
sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan
bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat
dari pelaksanaan kebijaksanaan Utsman itu kelompok Qurr belakangan
mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan
karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak
mereka.
Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada Utsman kelompok ini
menghalang-halangi kedatangan Said ibn Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh
Utsmanmemasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asyary sebagai
Gubernur dan memaksa Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
E. Sifat-sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang-orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim
lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau
terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap
Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka
mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak
bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka
mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang-orang Khawarij adalah kaum yang
paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa
beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak
mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah
saw. melebihkan pembesar-pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan
Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan taliful qulub. Mereka juga menuduh Utsman
sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih-lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat
sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat-seratnya karena cuma satu dan sering
dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama
dalam sujud, tangan dan kaki mereka kapalan. Mereka disebutquro karena bacaan AlQurannya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah
orang-orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih
tidak ada apa-apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa
sangat berlebih-lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah
kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang
Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, Ketika
Abdullah bin Habbab bin Al-Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang
Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits-hadits yang
didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang
terjadinya fitnah,
Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari
yang berjalan.
Mereka bertanya, Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah? Ya, jawab
Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya
dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh
kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain
mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan
kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka
bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung
saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta
maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang-orang Khawarij umurnya masih
muda-muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh),
berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al-Quran dan kembali padanya, tetapi
mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa
Al-Quran akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang-orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah
saw., Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. Mereka akan senantiasa keluar
sampai yang terakhir keluar bersama Al- Masih Ad-Dajjal
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk
makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. Jika
engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.