Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN QAWAIDUL FIQH DENGAN PROBLEMATIKA

KONTEMPORER HES

Disusun Oleh:

Awwaliatus Sholicha (C02217006)

Husnah Umniati Maf’ula (C92217016)

Youngky Fernanda (C92217114)

Abstrak: Qowaid fi qiyyah merupakan hal yang sangat penting dalam pengaplikasian
hukum Islam kontemporer, hal ini dikarenakan nilai-nilai yang terkandung dalam qowaid
fi qiyyah tersebut merupakan nadi dalam setiap fi qh yang di-istinbath-kan oleh para ahli
hukum Islam kontemporer. Tidak hanya itu qowaid fi qiyyah juga merupakan suatu
parameter kemaslahatan perlu atau tidaknya suatu hukum, disamping peran utamanya
untuk memastikan bahwa setiap fi qh yang di istinbathkan tidak bertentangan dengan nash
yaitu Al-Quran dan Sunnah. Dengan mengaplikasikan qowaid fi qiyyah kedalam setiap
upaya pembuatan atau pun penafsiran suatu hukum, maka dapat dipastikan hukum tersebut
telah memenuhi standar untuk di aplikasikan kedalam masyarakat kontemporer, sehingga
tidak dikahawatirkan hukum tersebut akan menimbulkan persoalan baru atau menimbulkan
konfl ik norma dalam pengaplikasiannya

Kata kunci: Qawa’idul fiqh, Islam, Ekonomi.

Pendahuluan

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi


kita semuakhususnya mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu,
saya selaku penulismencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari
pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah


yangmenguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh,
dan lebiharif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adatkebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapimasalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Pengertian Qawa’id Fiqhiyah

Qawa’id fiqhiyah di bentuk dari 2 kata yaitu qawa’id (‫ )قواعد‬dan fiqhiyah (‫)فقهيه‬
. kata qawai’id merupakan kata yang berasal dari bahasa arab berbentuk jamak yang
memiliki makna Asas-Asas atau pondasi. Kata qawa’id diserap oleh bahasa
indonesia menjadi “Kaidah” yang menurut KBBI memiliki arti rumusan asas-asas
yang menjadi hukum; aturan tertentu; patokan; atau dalil dalam sebuah ilmu1.
Menurut ahli fiqh qawaid adalah dasar dasar yang dibentuk susunan kalimat yang
ringkas dan mengandung hukum-hukum syariah yang bersifat spesifik atau
terperinci2. Kata fiqh menurut bahasa berarti faham. Sedangkan menurut istilah
berarti hukum praktis yang diambil dalil-dalil yang terperinci3.

Menurut As-Subki, kaidah fiqh adalah suatu rumusan prinsip-prinsip hukum


yang bersifat umum dan dapat mencakup berbagai permasalahan Furu’iyah untuk
mengetahui ketentuan hukum pada masalah yang serupa.

Menurut Al-Hamawi, kaidah fiqh adalah sebuah kerangka hukum mayoritas


yang mencakup banyak permasalahan serta berfungsi untuk mengetahui hukum-
hukumnya, dan masih terdapat pengecualian-pengecualian.

Menurut Abdurahman Asy-Sya’ilani, kaidah fiqh adalah aturan umum dalam


fiqh yang bersifat universal dan membahas tentang cabang-cabang dari beberapa
bab bahasan fiqh.

Qawaid Fiqhiyah merupakan rumusan umum dari beragam persoalan fiqh


(furu’iyah) yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki kesamaan ‘illat, dimana
keserupaan ‘illat itu bersesuaian dengan dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat,
hukum-hukum hasil generalisasi itu kemudian dirumuskan dalam sebuah prinsip
dasar yang berfungsi untuk menalaah persoalan-persoalan lain yang memiliki
‘illat.4

1
Pudjiaharjo, kaidah-kaidah fikih untuk ekonomi islam, malang: UB press, 2017, hlm. 2
2
Ibid, hlm. 3. lihat juga, Ali ahmad An-Nawawi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, damaskus suriah: Darul
Qalam, 1999, hal. 41
3
Moh. Mufid, kaidah fiqh ekonomi syariah : teori dan aplikasi, google book, hlm.9
4
Ahmad fathan aniq, filsafat hukum bisnis islam, surabaya: UIN sunan ampel Press, 2014, hlm.
105. Lihat juga Abdul haq, et. Al, formulasi nalar fiqh : telaah kaidah fiqhiah konseptual,
(surabaya: khalista: 2005, hlm. 7
Qawa’id fiqhiyah disusun karena cakupan fiqh begitu luas dimana untuk
memahaminya secara keseluruhan akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Dengan berpegang pada Qawa’id fiqhiyah para mujtahid akan lebih mudah dalam
mengistimbatkan hukum pada suatu masalah. karena Qawa’id fiqhiyah merupakan
kaidan dasar dalam pengsitimbatan hukum.

Kaidah-kaidah dasar Qaqa’id Fiqhiyah

1. Kaidah pertama
‫األ ُ ُمو ُر ِب َمقا ِصدِها‬
“ Segala sesuatu tergantung pada niatnya”
Di kalangan ulama syafiiyah, niat diartikan sebagai maksud untuk melakukan
sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada allah ataupun dia
melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada allah.
Niat berada di hati, sedangkan niat lisan berfungsi untuk menegaskan niat di
dalam hati. Tetapi ada melafadzkan niatnya dengan lisan, namn apa yang dia
lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat di dalam hatinya, maka hal tersebut
bukanlah niat yang sebenarnya karena niat niat yang sebenarnya ialah yang di
dalam hatinya bukan apa yang dilafadzkannya.
Adapun fungsi niat ada tiga yaitu :
- Untuk membedakan antara ibadah dan adatkebiasaan
- Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
- Untuk menentukan sah tidaknya perbuatan ibadah tertentu serta membedakan
yang wajib dari yang sunnah
2. Kaidah Kedua
‫اليَ ِقينُ ال يُ َزا ُل ِبالش َِّك‬
“ keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan ”
Kaidah ini menegaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan
tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang
muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah
ada sebelumnya. Misalnya, seseorang yang sebelumnya telah yakin dia
memiliki hutang, kemudian ragu-ragu apakah hutangnya tersebut sudah di
lunasi atau belum di lunasi, maka berarti hutangnya belum dilunasi. Sebab
sebelumya ada keraguan dia sudah yakin bahwa ia telah yakin bahwa dia telah
berhutang. Dan keyakinan tersubut tidak bisa hilang dengan akan keraguan.
3. Kaidah ketiga
‫ِير‬ ُ ‫شقَّةُ تَجْ ِل‬
َ ‫ب التَّ ْيس‬ َ ‫ال َم‬
“kesulitan akan mendorong kemudahan”
Makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan
maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapanya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah
meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakanya tanpa kesulitan
dan kesukaran.
Kaidah ini menegaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seorang mukallaf,
baik dalam bidang ibadah maupun muamalah.
4. Kaidah keempat
‫الض ََرر يُ َزا ُل‬
“ kemudaratan harus dihilangkan”
Makna kaidah ini bermakna bahwa segala sesuatu yang dianggap akan,
sedang atau bahkan memang menimbulkan bahaya, maka keberadaanya wajib
dihilangkan. Inti kaidah ini merupakan bagian dari upaya syariat untuk
menciptakan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Contoh penerapannya terdapat pada bidang jual beli dimana disyariatkan
khiyar, atau hak untuk memilih bagi pembeli. Dengan adanya khiyar, maka
kemungkinan si pembeli dirugkarena barang yang dibelinya tidak dalam
keadaan baik bisa dihindari.
5. Kiadah kelima
‫العادةُ ُم َحكَّمة‬
“ adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Kaidah ini berkaitan dengan adat atau kebiasaan dimana dalam bahasa arab
terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-
‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan
oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘urf ialah suatu perbuatan atau perkataan dimana
jiwa merasakan ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan
dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaanya
Tidak semua adat atau kebiasaan dapat dijadika hukum, sebab ‘urf ada dua
macam yaitu ‘urf sahih dan ‘urf fasid. ‘urf sahih adalah suatu kebiasaan yang
tidak menyalahi dalil syara’ sedangkan urf fasid adalah suatu kebiasaan yang
melahai dalil syara’
Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalah yaitu transaksi jual
beli di mesin otomatis.

Hubungan antara Problematika Hes dengan Qawaid Fiqhiyyah

Banyak sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan


jasa. Tentu sekarang dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan
masyarakat yang makin meningkat, melahirkan model-model transaksi baru yang
membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang di satu
sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah kehidupan. Cara
menyelesaikannya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah.
Kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan muamalah dari kaidah asasi dan
cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-
ulama Turki zaman kekhalifahan Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang
termuat dalam Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Kesembilan puluh Sembilan kaidah
tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari 1851 pasal tentang transaksi yang
tercantum dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah.5
Dalam karangan Ali Ahmad Al-Nadwy yang berjudul Jamharah al-Qawâid al-
Fiqhiyyah dan Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-
‘Amm, ditemukan kaidah-kaidah ekonomi yang berkaitan dengan akad. Kemudian
akad ini akan melahirkan perikatan yang merupakan seperangkat kaidah hukum
yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan ar-ra’yu yang mengatur hubungan
antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek
suatu transaksi.

5
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta : Kencana 2014) hal.129
Didalam Muamalah akad merupakan bagian dari tasharruf. Tasharruf adalah
segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’
menetapkan beberapa hak. Tasharruf dibagi menjadi dua, yaitu tasharruf fi’li dan
tasharruf qauli. Tasharruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga
dan badannya, selain dari lidah, seperti memanfaatkan tanah yang tandus, menerima
barang dalam jual beli. Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah
manusia ang dibagi menjadi dua, yaitu aqdi dan bukan aqdi. Tasharruf qauli aqdi
adalah sesuatu yang dibentuk dari ucapan kedua belah pihak dan saling mengikat
seperti jual beli, sewa menyewa.
Ada beberapa kaidah dibawah ini yang berkaitan dengan akad transaksi dan
akibat hukum untuk mereka yang saling bertransaksi, yaitu :
1. ‫ و فى العقود اللزوم‬، ‫األ صل فى المعامالت الصحة‬
“Pada dasarnya hukum bermuamalah adalah sah dan hukum bertransaksi
adalah mengikat pihak-pihak yang bertransaksi.”
Kaidah pertama menjelaskan dalam berinteraksi baik dalam bidang
ekonomi maupun dalam bidang muamalah lainnya adalah sah. Dan bagi setiap
pihak yang bertransaksi memiliki hukum yang mengikat bagi pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Hukum islam memberikan kesempatan luas
bagi perkembangan bentuk dan jenis muamalah (bisnis) baru sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan
transaksi ekonomi di lembaga keungan syariah. Selain itu di zaman modern
sekarang ini, segala macam barang kebutuhan hidup dapat dibeli walau hanya
tetap tinggal dirumah yaitu dengan belanja online. Selagi transaksi ini tidak
menyalahi aturan syar’i dan memberikan manfaat bagi penjual dan pembeli
maka hukumnya mubah. Setiap orang yang bermuamalah harus dilakukan
berdasarkan pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudarat
(jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid) atau sering disebut mashlahah
(kemaslahatan).
2. ‫األ صل فى العقد رضى المتعاقد ين و نتيجته ما التزماه بالتعاقد‬ .
“Suatu transaksi pada dasarnya harus dilandasi kerelaan kedua belah pihak
dan hasilnya adalah sah dan mengikat kedua belah pihak terhadap yang
ditransaksikan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak.
Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa
atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah
saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang
keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
Perjanjian yang mereka buat akan mengikat kedua belah pihak yang telah
melakukan transaksi tersebut. Orang-orang yang melakukan pemaksaan dalam
menjalankan akad jual beli sungguh bertentangan dengan perintah Nabi SAW,
yaitu : Nabi SAW melarang jual beli secara paksa, jual beli dengan tipuan dan
menjual buah yang belum ada. Jual beli dengan paksaan dapat terjadi dalam
dua bentuk, yaitu, Pertama: terdapat dalam akad, yaitu paksaan untuk
melakukan akad, jual beli ini adalah rusak dan dianggap tidak sah. Kedua:
adanya keterpaksaan untuk menjual sesuatu karena sedang dililit utang yang
bertumpuk atau beban berat sehingga menjual apa saja yang dimiliki meskipun
dengan harga yang rendah karena kondisi darurat.6
3. ‫كل شرط كان من مصلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز‬
Setiap syarat dalam suatu transaksi yang bertujuan untuk kesuksesan dan
tujuan transaksi tersebut, maka dibolehkan.
Kewajiban memenuhi persyaratan yang diminta salah satu dari kedua
belah pihak yang bertransaksi dan disepakati bersama. Namun akad ini harus
sesuai dengan kemampuan dari pihak yang memenuhi syarat tersebut. Jika
diluar kemampuan maka tidak wajib dipenuhi.
Jika dalam bertransaksi kedua belah pihak meminta bank sebagai pihak
ketiga dalam mengelola dana mereka, maka hal ini boleh karena dianggap
memiliki tujuan dalam mencapai kemaslahatan bersama. Contoh lain seperti
dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak
ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk
menjualnya.
Dalam beberapa kaidah diatas dapat kita lihat bahwa dalam menghadapi
isu ekonomi kontemporer, kita dapat menggunakan kaidah tersebut dalam

6
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta : Kencana 014) Hal.44
mengistinbathkan hukum. Pada dasarnya semua transaksi adalah boleh selama
tidak ada pelanggaran hukum syar’i. Di zaman sekarang, transaksi jual beli
memiliki banyak jenis diakibatkan dengan perkembangan teknologi. Penjual
dan pembeli tidak saling mengetahui wajah, bentuk badan dan warna kulit,
barang yang diperjual belikan pun tidak nampak secara nyata, namun proses
jual beli dapat berlangsung dengan baik. Proses pembayaran juga memiliki
banyak macamnya, hal-hal ini bisa kita lakukan asal memenuhi kaidah
fiqhiyyah dan antara penjual serta pembeli sama-sama ridho.
Keridhoan penjual dan pembeli menjadi hal yang penting juga, tidak boleh
ada pemaksaan disini. Dalam bertransaksi kedua belah pihak dapat
mendiskusikan bagaimana proses transaksi yang diinginkan. Tidak boleh ada
unsur ketidaksenangan dalam mencapai sebuah perjanjian. Jika perjanjian telah
dilakukan, maka perikatan akan muncul bagi kedua belah pihak dan
menyebabkan adanya hak dan kewajiban. Misalnya pembeli wajib mentransfer
sejumlah uang sesuai harga barang dan ongkos kirimnya, penjual wajib
mengirim barang sesuai pesanan yang diterima dan barang wajib sesuai dengan
apa yang telah penjual tawarkan kepada pembeli.
Namun jika dalam bertransaksi ternyata suatu pihak wanprestasi dan
menimbulkan ketidaksenangan pihak lain dan perjanjian itu batal. Maka hal ini
menggugurkan hak dan kewajiban antara keduanya, tidak ada lagi keterikatan
antara keduanya. Dalam proses jual beli yang halal maka akan mendapatkan
hasil keuntungan yang halal juga. Umat Islam wajib memenuhi unsur-unsur
syar’i dalam bertindak, tidak boleh menjual barang/jasa yang haram dan tidak
boleh memakan hak orang lain. Jadi kaidah-kaidah ini menjadi panutan kita
dalam memproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsi.

Penutup

Qawa’idul fiqh merupakan landasan yang berkaitan dengan asas hukum yang
dibangun oleh syariat Islam serta tujuan – tujuan yang dimaksud dalam
pensyariatannya. Dapat dikatakan qawa’id fiqh adalah panduan bagi masyarakat
untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Qawa’idul fiqh merupakan
komponen penunjang terpenting bagi mujtahid dalam menentukan hukum – hukum
Islam termasuk dalam kaitannya dengan muamalah.
Maka, dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan ekonomi
syariah, qawa’idul fiqh harus menjadi landasannya supaya tetap mengedepankan
kemaslahatan umat Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan as-sunnah. Selain itu,
dengan menerapkan qawa’idul fiqh ke dalam setiap upaya pembuatan atau
penafsiran hukum, dapat dipastikan hukum tersebut telah memenuhi standar untuk
diaplikasikan ke dalam masyarakat kontemporer sehingga tidak menimbulkan
permasalahan baru atau konflik norma dalam penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA

Pudjiaharjo, 2017, Kaidah-Kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam, Malang: UB


press.

Ali ahmad An-Nawawi, 1999, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, Damaskus Suriah: Darul


Qalam.

Moh. Mufid, 2014, Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah : Teori dan Aplikasi, google
book .

Ahmad Fathan Aniq, 2014, Filsafat Hukum Bisnis Islam, Surabaya: UIN sunan
ampel Press.

Abdul Haq, 2005, Formulasi Nalar Fiqh : Telaah Kaidah Fiqhiah Konseptual,
Surabaya: Khalista.

Anda mungkin juga menyukai