sisanya mengenai Tafsir, Usul al-Fiqh, Ulum al-Quran, dll.[16] Adapun karya yang
dikenal oleh khalayak, antara lain; Al-Mugni fi Abwab at-tawhid wa al-Adl, Fadl
al-Itizal wa Tabaqat al-Mutazilat wa Mubayanatuhum li Sair al-Mukhalifin, AlMuhit bi Taklif atau Majmu fi al-Muhit bi at-Taklif, Syarh al-Usul al-Khamsah, Kitab
al-Ushul al-Khamsah, dan Al-Mukhtasar fi Usul ad-Din.[17]
Sekilas, kandungan beberapa kitab tersebut dapat dipaparkan, sebagaimana
berikut ini. Kitab Al-Mugni fi Abwab at-tawhid wa al-Adl. Kitab yang terdiri dari 20
bagian itu membahas secara panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan
dengan ajaran terpenting Mutazilah . Seperti mengenai, keesaan Allah (atTauhid) dan Keadilan Allah (al-Adl). Adapun tiga ajaran Mutazilah lainnya
dibahas kurang begitu seimbang dari kedua ajaran tersebut.
Al-Muhit bi Taklif atau Majmu fi al-Muhit bi at-Taklif. Di dalamnya membahas
pokok keesaan dan keadilan Tuhan. Kitab ini besar, terdiri dari empat bagian,
namun baru dua bagian yang diterbitkan (1990).
Syarh al-Usul al-Khamsah. Lima prinsip ajaran Mutazilah dibahas dalam kitab
ini. Sehingga tidak heran, jika sebagai handbook of speculative theology (kalam).
Kitab tersebut, telah diedit oleh muridnya sendiri yakni Qawam ad-Din Mankdim
Syasydiw. Dalam versi lain diedit oleh Abd al-Karim Usman (1384/1965).[18]
Dengan mengamati karya-karya ilmu Kalam yang disebut tadi, khususnya AlMugni fi Abwab at-tawhid wa al-Adl dan Syarh al-Usul al-Khamsah, nampak
sekali bahwa al-Jabbar adalah seorang pakar ilmu Kalam yang Mutazili.
Adapun untuk metode ilmu Kalam al-Jabbar, sebagai eksplorasi awal, menurut
hemat penulis, seperti dikatakan Machasin, adalah bahwa manusia itu hanya
dapat mengetahui kegaiban melalui penyimpulan berdasarkan pengetahuannya
atas yang hadir disekitarnya, dan ini pula yang disebutnya sebagai dalil.[19] Jadi,
yang gaib itu selamanya tidak akan dapat diketahui oleh manusia secara
langsung.[20]
Penyimpulan dari tanda atau dalil itulah yang diajukan al-Jabbar sebagai jalan
untuk mengetahui yang gaib. Karena tanda-tanda ini berupa hal-hal yang
diketahui yang ada di sekitar manusia, sementara yang dituju adalah
pengetahuan akan sesuatu yang gaib. Maka, cara itu sering disebut dengan alistidlal bi asy-syahid ala al-gaib atau juga, haml al-gaib ala asy-syahid.[21]
Menurut Al-Jabbar juga, terdapat empat hal yang dapat dipakai sebagai dasar
untuk penyimpulan. Pertama, sama-sama dalam suatu dalil/jalan untuk
mengetahui. Misalnya, keadaan bahwa Allah Mahamampu (qadiran) ditunjukkan
oleh keabsahan perbuatan bagi Allah, sebagiamana kemampuan manusia
ditunjukkan oleh adanya perbuatannya. Kebanyakan sifat-sifat Allah disimpulkan
atas dasar keserupaan seperti ini.
Kedua, sama-sama dalam sebab (illat). Hukum (ketetapan-ketetapan) di dunia
ini yang kita ketahui secara dlaruri, dapat diketahui adanya sebab baginya
dengan bantuan dalil. Manakala kita temukan sbab serupa mengenai hal gaib,
maka mestilah kita simpulkan hukum baginya.
Ketiga, sama-sama dalam apa yang berlaku seperti sebab (illat). Ada hukum
tertentu bagi kita, ketika misalnya kita sedang berkehendak. Sifat
berkehendak ini kita ketahui secara dlaruri, bersamaan dengan adanya hukum
itu. Karenanya, manakala kita mengetahui adanya hukum tertentu pada alam
gaib, kita dapat menetapkan adanya sifat tertentu pula padanya.
Terakhir, yang keempat adalah adanya sesuatu yang menjadi sandaran hukum di
dunia yang ada disekitar kita, lalu ditemukan sesuatu yang lebih kuat di alam
gaib. Misalnya, kebaikan pembebanan orang yang sudah diketahui dari
keadaannya bahwa ia tidak akan menerima pembebanan itu. Di dunia nyata ini,
menyajikan makanan pada orang lapar yang disangka tidak akan memakannya
adalah baik. Karena itu, penyajian seperti itu dengan pengetahuan (bukan hanya
sangkaan) bahwa orang yang lapar itu tak akan melakukannya, baik juga.[22]
Demikian salah satu metode ilmu kalam yang dapat pembahas paparkan dari alQadi Abd al-Jabbar. Akhirnya, sebagai eksplorasi awal tersebut, diharapkan
kajian singkat ini mampu memberikan sesuatu yang berarti dalam menggali
timbunan khazanah intelektual untuk metode ilmu Kalam, khususnya melalui
Abd al-Jabbar.
terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan
mengobarkan api inquisisi bahwa Al Quran adalah makhluk.
Memang pada awalnya Mutazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk
tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat
dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut
Mutazilah. Mutazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika
imamah sebagai sumber perpecahan pertama- tetapimengambil sikap tengah
dengan mengajukan teori al manzilah bainal manzilatain. Akan tetapi di bawah
tekanan Asyariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.
Penamaan Mutazilah
Mutazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok
Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabiin. Asy-Syihristani
berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri
seraya berkata: Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini
kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa
tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya
sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa
tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka,
suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh
terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap
kekafiran, mereka adalah Murjiah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam
permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam
beragama)?
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum
beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha berseloroh:
Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir,
bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan
juga tidak kafir. Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid
sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al
Washil telah
Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata:
memisahkan diri dari kita, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan
sebutan Mutazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri
dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: Sesungguhnya pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya.
Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia
disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan
temannya,Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya
karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang
yang berdosa besar.Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakanMutazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Damah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis
Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri
dan meninggalkan tempat sambil berkata,ini kaum Mutazilah. Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mutazilah.Al-Masudi memberikan keterangan
tentang asal-usul kemunculan Mutazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan
peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mutazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (almanzilah bain al-manzilatain).
Gerakan Kaum Mu`tazilah
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu :
a.
Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid
dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini
berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H
wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim
bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
b.
Di Bagdad (iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar
salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat
dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi
Daud dll. Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke 2 dan ke 3 H. Di Basrah
dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan menganut dan
mendukung aliran ini adalah:
1. Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2. Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Diantara golongan ulama Mu`tazilah lainya adalah :
1)
2)
3)
Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4)
5)
Ajaran dasar Mutazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk
menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil.Faham
ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik.
Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang
mensucikan Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah
telah mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah,
sedang Mutazialah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam
segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas perbuatan
dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.
Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan
melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya
sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi
peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang
yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya
bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan
dosa.
4.
5.
Al Amr bi Al Maruf wa Al Nahi an Al Munkar (Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini
merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh
orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab
Mutazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata
pelaksanaanya. Menurut Mutazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
I.
PENDAHULUAN
Mutazilah yang lahir abad ke-2 Hijrah membawa dimensi baru dalam pemikiran
teologi. Ia membawa masalah-masalah teologi lebih mendalam bila dibanding
dengan teologi lain. Pembahasan teologis yang dilakukan oleh Mutazilah lebih
rasional, karena kaum Mutazilah lebih banyak menggunakan akal dalam
pembahasannya. Jika ada arti ayat yang tidak dapat ditangkap oleh akal, maka
mereka melakukan tawil hingga ada kesejajaran antara arti ayat Al-Quran
dengan akal. Hal itu pula yang menyebabkan golongan ini dikenal dengan
sebutan Kaum rasionalis islam (Harun Nasution, 1972 : 36).
Kaum Mutazilah merupakan kelompok yang berfikir rasional yang pertama
dalam Islam. Mereka berjasa dalam menyusun teologi yang sistimatis dan
filosofis sehingga dapat mempertahankan serangan-serangan yang datang dari
orang luar, meskipun pada akhirnya banyak orang yang tidak setuju dengan
pendapatnya. Kadangkala mereka mendapat caci makian yang sangat berlebihlebihan dari lawannya karena tidak mampu menangkap pemikiran yang
dilontarkan oleh kaum Mutazilah itu. Dampak lebih jauh dari adanya perbedaan
pendapat dengan kelompok lain itu menimbulkan ajaran-ajaran atau faham
masing-masing. Ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Mutazilah dikenal
dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah atau dikenal sebagai Pancasila Mutazilah
(Harun Nasution, 1972 : 42).
Ajaran dasar Mutazilah itu adalah (1). al-Tauhid, (2). al-Adl, (3). al-Waad, wa alWaid, (4). al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan (5). al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahy
an al-Munkar.
Sehubungan dengan ajaran dasar Mutazilah itu, tulisan ini secara singkat akan
membahas ke lima ajaran dasar dimaksud.
II.
Al-Tauhid
berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat oleh Mutazilah. Tuhan bagi mereka
tetap Maha Tahu, Mengetahui, Mendengar dan sebagainya, tetapi itu bukan
berarti sifat.
Selanjutnya Mutazilah membagi sifat itu pada dua sifat, yaitu sifat zatiah yang
merupakan essensi Tuhan seperti : al-wujud, al-qidam, al-hayah, dan al-qudrah.
Sedangkan sifat filiah adalah sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan
Tuhan dalam hubungannya dengan makhluk seperti : al-iradah, al-adl, dan
kalam (Harun Nasution, 1972 : 50)
Penolakan terhadap sifat Tuhan dalam faham Mutazilah apabila sifat-sifat itu
berdiri terpisah dari zat; zat di satu pihak dan sifat di pihak yang lain. Komposisi
seperti ini melahirkan dua qadim, yaitu zat dan sifat. Adanya dua yang qadim
berarti adanya dua Tuhan. Inilah yang tidak dapat diterima oleh kaum Mutazilah.
Wasil sebagai tokoh utama Mutazilah menegaskan bahwa orang yang
menetapkan makna sifat sebagai sesuatu yang Qadim berarti orang tersebut
menetapkan adanya dua Tuhan (Al-Syahrastani, tt. : 46). Faham ini karena
bertujuan semata-mata untuk mentanzihkan Allah.
Untuk mentauhidkan Allah, Mutazilah juga mengemukakan pemikiran tentang
Al-Quran tiu baharu, bukan qadim. Argumentasi yang dikemukakannya adalah
Kalam Tuhan bukanlah sifat tetapi perbuatan tuhan. Karena itu kalam Tuhan tidak
kekal, tetapi baharu yang diciptakan Tuhan (Harun Nasution, 1972 : 137).
Menurut mereka, Quran tersusun dari beberapa ayat dan surat, ayat yang satu
mendahului yang lain. Adanya sesuatu yang bersifat terdahulu dan yang datang
kemudian, membuat sesuatu itu tidak qadim (Harun Nasution 1972 : 137). Kalau
bukan Qadim maka sesuatu itu tidak kekal, sebab yang kekal hanya yang qadim
saja.
Mutazilah juga menolak Tuhan memiliki sifat jasmani (jism), meskipun dalam
Quran banyak ditemukan ayat yang menggambarkan seolah-olah Tuhan itu
berjism. Mereka mentawilkan ayat-ayat tersebut dengan mengambil arti yang
sesuai dengan akal atau pemikiran mereka. Tuhan menurut Abd al-Jabbar tidak
mempunyai badan (materi) dan karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani.
Misalnya, kata al-arsy, tahta kerajaan, diberi interpretasi kekuasaan, al-ain,
mata, diartikan pengetahuan, al-wajh, muka, ditawilkan essensi, dan al-yad,
tangan, diinterpretasikan kekuasaan (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 227-228).
Masih banyak ayat-ayat yang serupa itu ditemukan dalam Qur-an dan mereka
diinterpretansikan sesuai dengan akal.
2.
Al Adl
Ajaran dasar Mutazilah yang kedua adalh al-Adl yang berarti keadilan. Ajaran
kedua ini ada hubungannya dengan ajaran yang pertama, karena Mutazilah
ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk.
Kaum Mutazilah membanggakan dirinya sebagai ahlu al-adlu wa al-tauhid
(Ahmad Amin, 1963 : 44). Tuhan al-adl dalam konsep Mutazilah mengandung
arti bahwa Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan
sesuatu yang buruk. Tuhan juga tidak akan meninggalkan sesuatu yang wajib
dikerjakannya (Ahmad Amin, 1963 : 132).
Konsep al-Adl Tuhan bagi Mutazilah adalah Tuhan tidak suka kepada keburukan.
Ia tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, melainkan memberikan
kebebasan pada manusia untuk mengerjakan atau idak mengerjakan sesuatu
dengan kekuasaan yang dijadikan Allah pada dirinya. Allah tidak menyuruh
kecuali dengan sesuatu yang Ia kehendaki dan tidak melarang kecuali hal-hal
yang Ia tidak sukai. Ahmad Amin mengemukakan konsep keadilan itu meliputi
tiga hal, yaitu;
a.
b.
c.
Allah tidak menjadikan perbuatan-perbuatan hamba itu baik atau buruk,
tetapi manusia itu mempunyai kebebasan dan dialah (manusia) yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya. Karena itu manusia akan memperoleh
pahala karena perbuatan baiknya, dan memperoleh siksaan karena perbuatan
jahatnya (Ahmad Amin, 1963 : 45).
Tuhan itu Maha sempurna, tidak memiliki kekurangan apapun jua. Tuhan mesti
berbuat adil, mustahil berlaku zalim, karena kezaliman menunjukkan
ketidaksempurnaan Tuhan. Tuhan tidak zalim dalam memberikan hukuman, tidak
menyiksa anak orang yang musyrik karena dosa orang tuanya, tidak
memberikan mujizat kepada pendusta, dan tidak membebani manusia dengan
beban yang tidak terpikul olehnya. Dengan demikian, Allah bukanlah sumber
kejahatan, bila Nampak suatu perbuatan yang tidak baik haruslah dilihat hikmah
di belakang perbuatan tersebut (Abd. al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 132). Penyakit
dan penderitaan yang menimpa manusia tidak selamanya buruk. Mungkin
penderitaan itu merupakan suatu ujian bagi manusia. Jika mereka sabar dan
syukur pada Allah, Allah akan memberi pahala. Cobaan atau penderitaan yang
dirasakan manusia itu menurut Mutazilah merupakan langkah untuk menuju
kepada kebaikan. Bahkan menurut kelompok Nazamiah, salah satu sekte dalam
Mutazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melakukan perbuatan buruk
(Al-Syarahstani.tt ; 54). Tetapi bukan berarti bahwa Tuhan tidak dapat berbuat
buruk, namun mustahil Tuhan akan melakukannya, karena pekerjaan yang
demikian itu mengurangi kesempurnaan Tuhan. Pendapat inilah yang melahirkan
al-salah wa al-aslah dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang
terbaik untuk kemaslahatan manusia. Sebab, kalau Tuhan memberikan siksaan
tidak untuk kemaslahatan manusia, berarti Tuhan tidak menunaikan
kewajibannya (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, 1965 : 153). Dan, Tuhan sebagai Zat
yang Maha Sempurna tidak bisa berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya
semuanya wajib bersifat baik. Dengan demikian Tuhan selalu berbuat adil atas
mahkluknya.
Perbuatan al-Adl itu ada hubungannya dengan faham lutf (Semua hal yang akan
membawa manusia kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari
maksiat. (Harun Nasution, 1972 : 52) atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib
menurunkan rahmat, seperti wajib mengutus Rasul atau Nabi untuk membawa
petunjuk bagi manusia. Tidak mungkin Tuhan itu akan membiarkan hamba-Nya
yang hidup di dunia yang penuh cobaan, tanpa memberikan bimbingan. Wahyu
tetap diperlukan oleh manusia --sungguhpun akalnya dapat mencapai
pengetahuan tentang Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukankarena tidak semua dapat dicapai dengan akal, terutama yang
berkaitan dengan hal-hal yang rinci dan alam gaib.
3. Al-Wadu wa al-Waid
Al-wadu wa al-waid, merupakan ajaran dasar yang ketiga bagi Mutazilah.
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari ajaran keadilan. Tuhan tidak akan disebut
adil kalau Ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat baik, dan kalau
tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Jika Tuhan tidak menepati janji dan
tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan
manusia. Karena itumenepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi
Tuhan. Jika Tuhan tidak menepati janji dan ancaman itu, maka Tuhan berarti
mempunyai sifst berdusta (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad , 1965 : 135). Ajaran ini
erat hubungannya dengan di hari akhir dari segi dosa dan pahala. Orang yang
berdosa besar kekal dalam neraka. Kekekalannya tidak bisa diubah dengan
syafaat atau melalui doa keluarga, dan tidak juga oleh permohonan dari orangorang yang mencintainya.
Orang yang berdosa besar dapat bersih kembali dengan melakukan taubat
nasuha. Taubat bukan saja dengan kata-kata, tetapi harus diiringi dengan
penyesalan dan berniat tidak akan mengulangi prbuatan tersebut. Taubat juga
tidak akan diterima bila dilakukan setelah tidak kuat lagi berbuat masiyat atau
sudah dekat ajalnya (Ahmad Mahmud Subhi, 1969 : 92). Jadi, Tuhan Maha Adil
dan Maha Bijaksana. Karena itu, Tuhan tidak akan menyalahi janjinya. Janji Tuhan
berupa pahala dan ancaman pasti berlaku (Muhammad Abu Zahrah,tt, : 142).
Dari ajaran Mutazilah tentang ajaran yang ketiga ini dapat diambil dua hal poko,
yaitu:
a.
Tuhan tidak mutlak dalam berbuat sesuatu. Perbuatan Tuhan dibatasi oleh
janjinya-Nya.
b.
Mutazilah berusaha membawa manusia agar berbuat baik, dengan hanya
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat.
4. Al-Manzilah bain Al Manzilatain
Al-Manzilah bain al-manzilatain berarti posisi di antara dua posisi. Posisi
menengah bagi pembuat dosabesar yakni diantara mumin dan klafir, tidak
posisi surge dan tidak posisi siksa berat di neraka, tetapi posisi ringan yang
terletak di antara keduanya.
Ajaran tentang al-manzilah bain al-manzilatain merupakan ajaran Mutazilah
yang pertama ketika aliran ini muncul. Ketika ada orang yang bertanya kepada
Hasan Basri tentang posisi orang yang melakukan dosa besar. Sebelum Ia
menjawab, Wasil bin Atha member jawaban terlebih dahulu, mengatakan bahwa
orang yang melakukan dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi ia
berada pada posisi diantara dua posisi itu (Al-Syahrastani, tt. : 48). Sejak itu
pendapatnya dikenal al-manzilah bain al-manzilatain.
Kaum Mutazilah beranggapan bahwa dosa itu ada dua, yaitu dosa besar dan
dosa kecil. Kebanyakan yang mashur dikalangan mereka menyatakan bahwa
dosa bewsar itu mendatangkan ancaman, sedangkan dosa kecil tidak. Kemudian
mereka berkata : Sebagian dosa besar itu bisa membawa kekufuran, seperti
merupakan Allah dengan mahkluk atau membangkang pada hukumNya dan
mendustakan beritaNya. Pembuat dosa besar dihukum fasiq, sedangkan fasiq itu
terletak di antara dua posisi, tidak kafir dan tidak mukmin (Ahamd Amin, 1963 :
62-63).
Orang yang melakukan dosa besar tidak kafir, karena ia masih percaya kepada
Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi tidak pula mukmin karena imannya tidak
sempurna (Harun Nasution, 1972 : 52). Namun ia tetap berkedudukan sebagai
orang mukmin dalam aqidah dan seperti orang kafir dalam perbuatan. Mereka
berbuat dosa besar akan ditempatkan pada neraka yang lebih ringan azabnya
(Muhammad Abu Zahrah, tt. : 143), sedang orang yang berbuat baik masuk
surge.
5. Al-amr bi al-Maruf wa al-Nahyan al-Munkar.
Ajaran dasar yang kelima adalah perintah berbuat baik dan larangan berbuat
jahat, yang dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mutazilah saja, tetapi
juga oleh golongan umat Islam lainnya. Tetapi sejak zaman sahabat hingga
sekarang pandangan mengenai pelaksanaanya oleh masing-masing kaum
muslimin berbeda pendapat. Sebahagian pendapat bahwa kewajiban
pelaksanaan amar marufnahy munkar itu cukup dalam hati dan lisan jika kuasa,
tidak perlu harus didukung dengan menggunakan kekuatan pedang. Orang
berpendirian seperti hal itu adalah Saad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Ibnu
Umar dan Muhammad bin Maslamah. Karena itu diketahui mereka mengasingkan
diri dan tidak turut campur tangan dalam peperangan antara Ali dan Muawiyah.
Yang menganut faham ini ialah kebanyakan para Muhaddisin dan juga Ahmad bin
Hambal (Ahmad Amin, 1963 : 64), sementara yang memandang perlu dengan
kekerasan adalah Khawarij, sedang Mutazilah berpendapat kalau dapat cukup
dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan (Harun Nasution, 1972 :
53).
Syarat-syarat untuk melaksanakan amr maruf nahy munkar bagi orang beriman
menurut Abd al-Jabbar adalah :
a.
Ia mengetahui bahwa yang disuruh itu memang sesuatu yang maruf dan
yang dilarang itu memang perbuatan munkar.
b.
c.
Ia mengetahui bahwa melakukan amr maruf atau nahy munkar itu tidak
akan membawa mudlarat yang lebih besar.
d.
e.
Ia mengetahui atau mengira setidaknya bahwa apa yang ia lakukan tidak
akan membahayakan bagi dirinya atau hartanya (Abd. Al-Jabbar bin Ahmad,
1965 : 142).
III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Ajaran dasar Mutazilah yang dirumuskan dalam Al-Usul al-Khamsah
merupakan intisari dari pemikiran Mutazilah.
2.
Dari kelima ajaran dasar tersebut dapat diperas lagi menjadi dua ajaran
pokok yaitu : Al-Tauhid dan Al-Adl, sebab tiga ajaran lainnya hanyalah
merupakan penjabaran saja.
3.
Mutazilah disamping menggunakan rasio, juga tidak meninggalkan nas AlQuran dan Hadits mutawatir.
4.
Dari ajaran kelima tersebut terlihat bahwa Mutazilah lebih mendalam
membahas maslah teologi, terutama dalam menggunakan akal untuk
mensucikan Tuhan.
Demikian tulisan ini disamapikan semoga bermanfaat adanya.
...
.
*********
--------------------------------------------------------------------------------
"
" ] . : - :
1406[.
]
) ( "
"[:
.
:.
: .
: .
: .
..
.
.
] [
} {
:
.
.
- :
.
- :
.
:
.
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para peneliti berbeda pendapat mengenai penamaan kaum Mu'tazilah dengan
sebutan Mu'tazilah. Perbedaan pendapat itu begitu tajam, sehingga Mu'tazilah
sendiri menjelaskan pola pikir mereka dengan panjang lebar. Penamaan tersebut
erat kaitannya dengan banyak permasalahan sejarah yang sempat
menggemparkan dunia Islam dalam waktu cukup lama. Setiap peneliti berusaha
mengemukakan pandangan-pandangan mereka yang berkaitan dengan asal usul
munculnya kaum Mu'tazilah, dasar-dasarnya dan karakteristiknya yang spesifik.
Kalau kata I'tizaal secara bahasa berarti meninggalkan, menjauh, dan
memisahkan diri. Maka secara istilah kata ini bisa diartikan bermacam-macam
sesuai dengan interpretasi dari para peneliti itu sendiri.
Patut dipertimbangkan juga pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa
nama Mu'tazilah yang diberikan oleh Ahli Sunnah kepada mereka, berkaitan
dengan kasus menyingkirnya Washil bin 'Atha al-Ghazzal dari forumnya Hasan alBashri ketika memanasnya perdebatan seputar tempat kembalinya pelaku dosa
besar. Kasus ini sempat meerepotkan pikiran umat Islam pada massa itu. Bahkan
mengalahkan perhatian terhadap masalah Imamah seperti pertumpahan darah
dan pertentangan-pertentangan yang menakutkan antar umat Islam sendiri.
Akibatnya umat Islam terpecah-pecah menjadi berbagai macam aliran yang satu
sama lainnya saling mengkafirkaan dan memurtadkan. Kemungkinan besar
penyebab yang membuat umat Islam terpecah-pecah ke dalam berbagai kaum,
sumbernya adalah fitnah yang pertama.
Prinsip Al-Manzilah baina al-Manzilatain ini sangat penting yang karenanya Wasil
bin! Ata' memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan bahwa orang
yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik.
Jadi kefasikan adalahsuatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir.
Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah berdirinya Muktazilah
kata Mutazilah berasal dari kata uzlah dengan kata kerja azala, yazilu
(mencabut, memisahkan diri). Pendirinya bernama Wasil bin Atha (79H/699M139H/748M) Ia keluar dari majelis pengajian di masjid Kufah dibawah bimbingan
al-Hasan al-Basri, ke pojok lain didalam masjid itu. Keluarnya Wasil didahului oleh
ketidakpuasannya atas jawaban gurunya dalam masalah kedudukan mukmin
yang melakukan dosa besar.
Kaum muktazilah menjauhkan diri (itazala) dari kesepakatan kaum muslimin
pada msa-masa awal bahwa pelaku dosa besar dihukum sebagai fasik.
kesepakatan atas status kefasikan itu mereka gugat setelah kaum khawarij
memandang pelaku dosa besar sebagai kafir, sementara kaum murjiah
karena di antara kaum Muktazilah ada yang berbuat kebaikan kepada Allah
seperti Abu Bakar bin al-Asham dan ada yang bermaksiat.
Muktazilah telah muncul pada masa khilafah Bani Umayyah. Namun aliran ini
tidak mendapat simpati umat Islam pada masa tersebut. Umat Islam juga tidak
melakukan tindakan ekstrim dan tidak melakukan perlawanan fisik terhadap
kaum Muktazilah ketika itu, karena mereka tidak menimbulkan kegelisahan bagi
kalangan umat Islam. Melainkan mereka adalah sebuah kelompok dengan fokus
aktivitas berupa dialektika, pengembangan pemikiran ilmiah dan pengembangan
rasional saja yang tidak memberikan pengaruh terhadap perpolitikan bani
Umayyah.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama di kalangan
intelektual pada masa pemerintahan Khalifah al-Mamun[4], pemimpin Abbasiah
(198-218 H/ 813-833 M). Kedudukan Muktazilah menjadi semakin kokoh setelah
al-Mamun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan alMamun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu
pengetahuan dan falsafah.
Pemahaman Muktazilah masih menjadi pegangan dan mazhab bagi
pemerintahan khalifah al-Mutashim billah (218-228 H/833-842M) dan al-Watsiq
billah (228-232 H/842-847 M), namun pada masa khalifah al-Mutawakkil Ala alAllah (232 H/847 M-247 H/861 M), dominasi aliran Muktazilah menurun dan
menjadi semakin tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk
setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Muktazilah sebagai
mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asyariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Muktazilah muncul kembali di zaman
berkuasanya dinasti Buwaihi di Bagdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak lama,
karena Bani Buwaihi digulingkan Bani Seljuk yang pemimpinnya cenderung pada
Asyariyah. Selama berabad-abad kemudian, Muktazilah tersisih dari panggung
sejarah, yang mempercepat hilangnya aliran ini antara lain adalah buku mereka
tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20
berbagai karya Muktazilah kembali muncul, dan pemahaman-pemahamannya
pun menebar ke berbagai negara-negara mayoritas muslim, seperti Indonesia.
B. Tokoh-Tokoh Awal Muktazilah
Aliran Muktazilah melahirkan banyak pemimpin dan tokoh-tokoh penting. Karena
pusat pengembangan Muktazilah berada di Basra dan Baghdad, pemimpinpemimpinnya pun terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Basra dan
Baghdad.
Pemimpin-pemimpin yang tergolong dalam kelompok Basra:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. al-Nazzam (185-231 H)
9. Bisyr al-Mutamir (w. 210 H) yang nantinya beliau sebagai pendiri ajaran
Muktazilah di Baghdad.
10. al-Jahizh Abu Usman bin Bahar (w. 256)
11. Abu Ali al-Jubbai (235-303 H)
12. Abu Hasyim al-Jubbai (277-321 H)
Sedangkan para pemimpin kelompok Baghdad antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
C. Al-Ushul al-Khamsah
Al-Ushul al-Khamsah terdiri dari lima prinsip yang disebutkan secara urut oleh alQadhi Abdul Jabbar; Tauhid, al-Adl, al-Wadu wa al-Waid, al-Manzilah baina alManzilatain dan Amar Maruf Nahi Mungkar. Namun urutan ini belum menjadi
konsesus dan bila merujuk pada kronologi sejarah, maka al-Manzilah baina alManzilatain ditempatkan pada posisi pertama, lima prinsip ini kemudian
disempurnakan oleh ulama-ulama Mutazilah seperti Abu Huzail al-Allaf, Jafar
bin Harb, Qadhi Abdul Jabbar dan yang lainnya. Walau demikian, semua tokoh
Mutazilah bersepakat bahwa barang siapa tidak mempercayai salah satu prinsip,
atau mengurangi atau menambahi kelima prinsip di atas, maka tidak layak
digolongkan sebagai Mutazilah.
Al-Khayyath al-Mutazili berkata: Dan tidak ada seorang pun yang layak diberi
label Itizal sehingga ia mengumpukan ushul al-khamsah; al-Tauhid, al-Adl, alWadu wa al-Waid, al-Manzilah baina al-Manzilatain dan Amar Maruf Nabi
Mungkar dalam dirinya.
Selanjutnya kami paparkan penjelasan al-Ushul al-Khamsah tersebut dan
kemudian kami paparkan secara ringkas mazhab Ahlu al-Sunnah sehingga
semakin jelas perbedaan antara mazhab Ahlu al-Sunnah dengan mazhab
Mutazilah.
D. Al-Manzilah baina al-Manzilatain
Al-Manzilah baina al-Manzilatain, ajaran ini merupakan ajaran dasar pertama
yang lahir di kalangan Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan
oleh kaum Mutazilah untuk merespon fenomena yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat pada masa pemerintahan Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni
ketika terjadi selisih paham antara kaum khawarij dan Murjiah menyangkut
perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan
dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa digolongkan
kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja dengan
orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh
walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia
masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana saja, bahwa
urusan hati siapa pula yang tahu? Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang
hatinya masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mutazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan bahwa
untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang
melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni
antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah
termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam
golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Konsep Al Manzilah baiyna al Manzilatain
Hubungan erat antara munculnya kaum Mu'tazilah dengan konsep Manzilatain ini
adalah karena konsep dasar yang hampir disepakati aliran Mu'tazilah.
Ajaran ini muncul setelah terjadi peristiwa antara Washil bin Atha dan Hasan alBasri di Basra. Bagi Muktazilah orang yang melakukan dosa besar bukan
termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya,
menempati kedudukan antara mukmin dan kafir. Orang berdosa besar tidak
dapat dikatakan mukmin lagi karena ia telah menyimpang dari ajaran Islam,
sementara itu belum pula dapat digolongkan kafir, kareana masih mempercayai
Allah s.w.t dan rasulNya. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan
adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik
di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini diambilnya dari:
1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil jalan
tengah dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan (fadilah;
virtue) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.
Golongan Muktazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga dijadikannya
suatu prinsip rasionalis-etis filosofis, yaitu pengambilan jalan tengah antara dua
ujung-nya yang berlebih-lebihan.
Golongan Muktazilah membagi maksiat kepada dua bagian, yaitu besar dan
kecil. Maksiat besar dibagi dua:
1. Yang merusak dasar agama, yaitu syirik (memperse-kutukan Tuhan) dan orang
yang mengerjakannya menjadi kafir.
2. Yang tidak merusak dasar agama, dan orang yang mengerjakannya bukan lagi
orang mukmin, karena ia melanggar Agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia
masih mengucapkan syahadat. Karenanya ia menjadi fasik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Manzilah baina al-Manzilatain prinsip ini didasarkan pada al-quran surat alisra ayat 110 yaitu:
Artinya Katakanlah: "Serulah Allah atau Serulah Ar-Rahman. dengan nama yang
mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu".
Dan dalil dari hadis Khair al-umru atsathuha (sebaik-baiknya perkara adalah
yang ditengah-tengah)
Kaum Mutazilah tampil ditengah-tengah konfilka antara khawarij dan murjiah
dengan mengatakan bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal
manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada
diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan
perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan
bukan pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi
itu.
Hasan al-Bashri mempunyai forum yang membuka konsultasi bagi kaum
muslimin, mengajarkan agama kepada mereka, menjelaskan masalah-masalah
yang ditetapkan Al-qur'an dan Sunnah, memberikan fatwa kepada yang bertanya
tentang berbagai masalah yang merepotkan umat atau sesuatu yang bisa
memperbaharui kehidupan agama mereka khususnya dan perkara-perkara
keduniawian pada umumnya. Suatu saat, seseorang bertanya kepadanya :
"Wahai Pemimpin Agama! Pada masa kita ini telah muncul orang-orang yang
mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka adalah golongan Khawarij. Ada juga
kaum yang menangguhkan terhadap pelaku dosa besar. Mereka adalah kaum
Murji'ah. Bagaimana kami menyikapi hal ini?". Maka Hasan al-Bashri mulai
memikirkan pertanyaan tersebut. Sebelum beliau sempat menjawabnya, Washil
bin 'Atha, salah satu muridnya yang cerdas, berkata : "Menurut saya tidak
demikian. Pelaku dosa besar itu bukan mukmin sebenarnya dan tidak benarbenar kafir. Ia berada dalam satu tempat di antara dua tempat (al-Manzilah
baiyna manzilatain), tidak mukmin dan tidak kafir. Masalah inilah yang membuat
Hasan al-Bashri marah dan mengusir Washil bin 'atha dari forumnya. Hal ini pula
yang membuat Washil bin 'Atha menyingkir. Kemudian ia menuju ke sekumpulan
orang yang berada di masjid Bashrah untuk mengikrarkan pendapatnya. "Amr
bin Ubaid dan beberapa orang lainnya menyepakati pendapatnya. Dari sinilah
mereka berdua dan orang-orang yang mengikutinya disebut Mu'tazilah, karena
mereka menyalahi umat Islam tidak mukmin dan tidak kafir.