Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH MAQOSIDUSSYARI’AH

MAQOSIDUSYARI’AH DALAM PANDANGAN AL GHAZALI

Dosen Pengampu: Usth. Rezkia Zahara Lubis, S.H, MH

Disusun Oleh :

1. Alfrika Sairatih Ardiani (04225159)


2. An- Nisa Jumratun Dilma (04225161)
3. Erra Elva Umama (04225170)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL

YOGYAKARTA

2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufiq dan hidayah-nya, kita dapat menyusun dan menyelesaikan makalah tentang
“Maqosidusyari’ah Dalam Pandangan Al Ghazali” ini dengan baik, meskipun banyak
kekurangan didalamnya dan juga kami selaku penyusun berterimakasih kepada ustadzah di
STIKES Surya Global Yogyakarta yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak, kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terimakasih yang tidak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Aamiin
Yaa Robbal `Alamiin.

i
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Tujuan pembahasan .................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................. 2
1. Biografi Al Ghazali .................................................................................................... 2
2. Karya Karya Imam Al Ghazali ................................................................................... 4
3. Sikap Al Ghazali terhadap Filsuf Islam ....................................................................... 5
4. Sikap al-Ghazali Terhadap Filsafat ............................................................................. 5
5. Konsep Maqosidussyari’ah menurut Imam Al Ghazali ............................................... 6
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep Maqasid Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal
dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali. Lalu kemudian disusun secara sistematis
oleh seorang ahli ushul fikih bermazhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Al-
Shatibi (W. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwwafaqat Fi
Ushul Al-Ahkam, khususnya pada Juz II, yang beliau namakan kitab Al-Maqashid. Menurut
al-Syatibi, pada dasarnya Syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba
(Mashalih Al-‘Ibad), baik di dunia maupun di akhirat.

Al-Juwaini adalah termasuk ulama’ yang menekankan pentingnya memahami Maqasid


Shari’ah dalam memahami hukum Islam. Dia menegaskan bahwa seseorang tidak dikatakan
mampu menetapkan hukum Islam sebelum dia memahami secara utuh tujuan Allah
mengeluarkan perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Dan Menurut Al-Ghazali,
yang dimaksud dengan maslahat adalah upaya memelihara tujuan hukum Islam (Maqasid
Shari’ah), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan hukum Islam yang lima tersebut
disebut Maslahat. Kebalikannya, setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan hukum
Islam yang lima tersebut disebut Mafsadat, yang oleh karena itu upaya menolak dan
menghindarkannya disebut Maslahat.

B. Tujuan pembahasan
1. Biografi Imam Al Ghazali
2. Karya karya Imam Al Ghazali
3. Sikap Al Ghazali terhadap Filsuf Islam
4. Konsep Maqoidussyari’ah menurut Imam Al Ghazali

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Biografi Al Ghazali
Imam Ghazali adalah seorang akademisi serta ahli tasawuf yang telah melahirkan karya-
karya fenomenal. Salah satu karya terkenal dari Imam Ghazali berjudul Ihya Ulumuddin
(Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama). Semasa muda, Al-Ghazali merupakan seorang
pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia pendai dalam ilmu tafsir Al Quran, hadis, ilmu
kalam, dan filsafat. Beberapa sejarawan Muslim menganggapnya sebagai seorang Mujaddid,
yakni seorang pembaru iman yang muncul sekali setiap abad untuk memulihkan iman umat
Islam. Selain itu, Imam Al-Ghazali adalah sosok yang terkenal sebagai Bapak Tasawuf
Modern.

Ia memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Al
Ghazali lahir padatahun 450 H/ 1058 M di Tabaran. Salah atu wilayah di Thus, yakni kota
terbesar ke 2 setelah Naisabur. Kepada nama kota kelahirannya inilah kemudian nam aAl
Ghazali (Al Thusi) dinisbatkan.

Ayahnya merupakan penenun wol dari kalangan orang yang baik (religius) (Al-Gazzali,
n.d.; Dunya, n.d., 18). Al-Gazzali dan kakaknya dititipkan dan belajar tentang fikih kepada
seorang sufi yang bernama Ah}mad ibn Muhammad ar-Razaka ini. Selain itu ia juga belajar
kepada Yusuf an-Nasaj tentang tasawuf. Sedangkan ia belajar ilmu-ilmu dasar yang lain,
serta belajar bahasa Persia dan Arab kepada Nasr al-Isma‘il.

Pendidikan yang ditempuh Al-Gazzali dan saudaranya setelah itu adalah madrasah
sekaligus untuk menyambung kehidupannya. Al Ghazali pindah ke Jurjan dan menuntut ilmu
dari Imam Abu Nasr al-Isma’il al-Jurjaini ketika usianya belum mencapai lima belas tahun
selama kurang lebih tiga tahun. Catatan-catatan fikih selama dia belajar dengan Abu Nasr dia
kumupulkan dan disebut dengan atta’liqah. Setelah itu, dia kembali pulang ke tempat
lahirnya dan dia menelaah pelajaran-pelajaran serta catatan yang berasal dari Jurjan.

Dia belajar kepada al-Juwaini tentang hukum Islam sebagai keahlian yang utama dan
beberapa keilmuan lain. Beberapa hal ilmu yang Ia dipelajari dari tokoh ini adalah fikih
mazhab Syafi’i, usul fikih, hikmah, dan usuluddin. Al-Juwaini juga mengajarkan kepada al-
Gazzali tentang ilmu teologi As’ariyyah, ilmu kalam, logika dan filsafat alam. Semua
catatan-catatan kuliahnya bersama al-Juwaini dikumpulkannya dan diberikan judul al-
Mankhul min Ta’liqat al Perjalanan pencarian ilmu al-Gazzali tidak berhenti disitu, al-
Gazzali kemudian pergi ke Mu’askar yang dekat dengan pusat pemerintahan Nizam al-Mulk.

Dia mengikuti mengikuti kajian ilmiah yang diadakan Perdana Saljuq Nizam alMulk dan
kajian ini dihadiri oleh para ulama yang terkenal di masanya. Keluasan ilmu yang dimiliki
oleh al-Gazali baik itu kecerdasan, kritis, dan kelincahan dalam berargumentasi menjadikan
dirinya menjadi masyhur dalam kajian tersebut. Oleh karenya, pada tahun 484 H/ 1091 M dia
diangkat oleh Nizam al-Mulk menjadi guru besar pada bidang Hukum Islam di Perguruan
Nizamiah di Baghdad pada usia 34 tahun (Abdullah 1992, 10).

2
Disela-sela kesibukannya mengajar dia belajar filsafat karena watak al-Gazali yang suka
belajar dan haus akan kebenaran. Hingga akhirnya, dia mengalami keraguan terkait
pertentangan klaim kebenaran yang diyakininya karena saat itu muncul berbagai aliran dan
mazhab. Berawal dari keraguannya inilah, dia kemudian berani menelaah secara berani klaim
kebenaran di berbagai pemikiran saat itu. Dia mengalami keraguan pada apa pengetahuan
yang benar dan bagaimana mendapatnya dengan cara yang benar pula; apakah berasal dari
pengalaman ataukah dari rasio. Kegelisahan yang ia rasakan tidak dapat ditenangkan dengan
berbagai ilmu yang ilmu-ilmu yang telah ia pelajari baik itu teologi, filsafat, dan tasawuf.

Ketika itu ada empat klaim kebenaran, yaitu para teolog, filsafat, batiniah, dan tasawuf.
Dalam upaya penyelidikan tasawuf, dia berpendapat tidak hanya secara pengetahuan kognitif
semata. Namun juga harus diikuti praktik sufi itu sendiri dengan membersihkan diri dari
selain Allah, meniadakan dari penyakit hati, zikir kepada Allah, dan meningalkan segala
kehidupan materi dan juga duniawi. Dia mengalami kebimbangan hidup yang luar biasa
antara memilih kehidupan duniawi (karir yang menanjak) waktu itu atau memenuhi dorongan
ukhrawi tentang urusan setelah kematian (spiritual). Kebimbangannya ia alami sejak bulan
Rajab 488 H/ 1095 M hingga Zulkaidah 488 H/ 1095.

Ia akhirnya meninggalkan perguruan Nizamiyah, Baghdad dan posisinya digantikan oleh


saudara kandungannya, Ahmad. Al-Gazzali meninggalkan Baghdad (dan dia bahkan
berkeinginan tidak kembali Baghdad ) dengan alasan pergi ke Mekah untuk melaksanakan
haji. Hal ini hanyalah alasan baginya saja supaya tidak ada pertentangan khalifah dan
sahabatnya tentang kepergiannya. Walaupun, pada hakikatnya yang dia inginkan adalah
meninggalkan karirnya, dan mendekatakan diri kepada Tuhan sebagai seorang sufi. Dia
meninggalkan kehidupan dunia, keluarga, menjadi sufi yang fakir dan zuhud terhadap dunia.

Sejak bulan Zulkaidah 488 H/ 1095 M dia melakukan pengembaraan meninggalkan


Baghdad dengan hidup sebagai sufi, menghabiskan waktu untuk selalu menyendiri, meditasi,
dan melakukan pelatihan ruhaniah. Dalam pengembaraan inilah dia menulis kitab Ihya “ulum
ad-din kemudian pada tahun 489 H dia melaksanakan ibadah haji di Mekah dan Madinah dan
menziarahi beberapa tempat-tempat suci di Hijaz. Perjalanannya kemudian dilanjutkan ke
Damaskus dan tinggal disana beberapa sekitar dua tahun(Abdullah 1992, 11), kemudian
dilanjut ke Baitul Maqdis dan kembali ke Damaskus lagi. Disinilah dia bergabung dalam
perguruan sufi yang dipimpin oleh Abu al-Fath Nashr Ibn Ibrahim al-Maqdisi (w. 490 H/
1197). Ketika gurunya Abu al-Fath meninggal dia kemudian pergi ke Mesir dan Iskandariyah
hingga beberapa saat.

Al-Gazzali meninggal dunia tidak lama sejak dia kembali di kampungnya, yaitu pada 14
Jumadi Akhir 505 H atau bertepatan dengan 19 Desember 1111 M. Dia dimakamkan di
Tabran, dekat makan Al-Firdausi seorang penyair besar. Usianya saat itu masih relatif muda
sekitar 55 tahun (Anwar 2003, 39)

3
2. Karya Karya Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali memiliki banyak karya dalam bergbagai bidang pula, seperti: 1

Filsafat:

 Al-Qistas Al Mustaqim (The Correct Balance)


 Maqasid Al Falasifa (Aims Of Philosophers)
 Mihak Al Nazar Fi Al Mantiq (Touchstone Of Reasoning In Logic)
 Miyar Al Ilm Fi Fan Al Mantiq (Criterion of Knowledge in the Art of Logic)
 Tahafut Al Falasifa (The Incoherence of the Philosophers)
Ilmu Agama

 Al-Munqidh min al-Dalal (Rescuer from Error)


 Al-Iqtisad fil-I`tiqad (Median in Belief)
 Faysal al-Tafriqa bayn al-Islam Wal-Zandaqa (The Criterion of Distinction between
Islam and Clandestine Unbelief)
 Hujjat al-Haq (Proof of the Truth)
 Jawahir al-Qur'an wa Duraruh (Jewels of the Qur'an and its Pearls)

Sufisme

 Al-Munqidh min al-Dalal (Rescuer from Error)


 Bidayat al-Hidayah (Beginning of Guidance)
 Ihya' Ulum al-Din Kimiya-ye Sa'adat (The Alchemy of Happiness)
 Minhaj al-'Abidin (Methodology for the Worshipers)
 Nasihat al-Muluk (Counseling Kings)

11
Penulis kumparan/ Deretan Karya Imam Ghazali, Seorang Filsuf Kenamaan Asal Persia/,
https://kumparan.com/berita-terkini/deretan-karya-imam-al-ghazali-seorang-filsuf-kenamaan-asal-persia-
1waQwdVexQ6. Diakses pada September 2021

4
3. Sikap Al Ghazali terhadap Filsuf Islam
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dan al-Munqiz Min ad-Dlalal, Al-Ghazali menentang
para filsuf Islam, bahkan mengafirkan mereka dalam tiga soal:

a. Pengingkaran kebangkitan jasmani.


b. Membataskan ilmu Tuhan kepada hal-hal yang besar saja.
c. Kepercayaan tentang qadim-nya alam dan ke-azali-annya.

Namun dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan al-Amal, dikatakan bahwa ketiga
persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf. Akan tetapi dalam bukunya
yang lain, Mi’raj as-Salikin, dia menentang orang-orang tasawuf yang mengatakan adanya
kebangkitan rohani saja. Jadi Al-Ghazali menentang kepercayaan dalam tiga soal tersebut
dalam beberapa bukunya, tetapi memercayai dalam bukunya yang lain. Adapun dalam
Tahfud al-Falasifa, ia bertindak selaku orang Muslim yang berhadapan dengan filsuf-filsuf
pada umumnya dan filsuf-filsuf Islam pada khususnya. Dalam Mizan al-Amal, di mana
pendapatnya kadang-kadang sesuai dengan golongan taswuf atau aliran asy‘ariyah atau aliran
ilmu kalam lainnya. Menurut hemat kami, meskipun al-Ghazali bisa dikatakan sebagai orang
yang bebas berpikir tanpa mengikuti sesuatu aliran tertentu, karena pembahasannya yang
mendalam dan pandangannya yang tetap kritis yang telah menandai pembahasan-
pembahasannya, namun ia lebih condong kepada aliran asy‘ariyah, sebagaimana yang dapat
kita lihat di dalam kedua bukunya tersebut, yang ditulis pada tahun-tahun terakhir dari
hidupnya. Meskipun demikian aliran ini tidak menjadi halangan baginya untuku
mengikutsertakan aliran-aliran lain dalam menghadapi golongan filsuf.

4. Sikap al-Ghazali Terhadap Filsafat


Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali mendalami filsafat dan yang sanggup
mengkritiknya pula. Hasil peninjauan terhadap filsafat dibukukannya dalam Maqashid al-
Falasifa dan Tahafud al-Falasifa. Buku Maqashid al-Falasifa berisi tiga persoalan filsafat,
yaitu logika ketuhanan dan fisika yang diuraikannya dengan sejujurnya, seolah-olah dia
seorang filsuf yang menulis tentang kefilsafatan. Sesudah itu, dia menulis buku berikutnya,
yaitu Tahafud al-Falasifa, di mana ia bertindak bukan sebagai seorang filsuf, melainkan
sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-
kelemahan serta kejanggalan-kejanggalannya, yaitu hal-hal yang berlawanan dengan agama.
Menurut al-Ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika, logika, fisika, metafisika
(ketuhanan), politik, dan etika.

5
5. Konsep Maqosidussyari’ah menurut Imam Al Ghazali
Secara etimologis maqasahid al-syari’ah berarti tujuan Allah (Pembuatan hukum)
menetapkan hukum terhadap hambanya, yang inti dari penerapan syari’at itu berorintasi
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Menurut al-Ghazali, maslahat makna
asalnya merupakan maslahat dalam hukum Islam adalah setiap hal yang di maksudkan untuk
memelihara tujuan syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah
yaitu perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql),
keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd almaal). Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat, dan setiap hal yang membuat hilangnya
lima unsur ini disebut mafsadah.

Dikuti dari Buku Menggagas Etika Islami Untuk Abad Ke 21: Sebuah Ekplorasi
Pemikiran Etika Tariq Ramadhan karya Muhammad Fuad, maslahat di bagi menjadi 3 jenis
yaitu:2

a. Maslahat Mutabarah

Maslahat yang berdaar dalam alquran dan sunnah, dan tdk dapat di perdebatkan, contohnya
spt larangan khamr

b. Malahat Mulgha

Maslahat yang bertentangan dengan alquran dan sunnah, dan sudah pasti tidak bisa dijadikan
sumbar hukum.

c. Maslahat Mursalah

Menurut Prof. Dr. Ahmad Qorib dan Dr. Isnaini Harahap, maslahah mursalah adalah sesuatu
yang baik menurut akal. Namun dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan bagi manusia. Contohnya, Tuntunan beribadah di masa pandemi
covid seperti tidak melakukan sholat Jumat dan sholat tarawih berjamaah di masjid, menutup
masjid untuk sementara, dan sholat menggunakan masker.

Menurut al-Ghazali, menjaga kelima kelima pokok yang telah disebut di atas
(perlindungan terhadap agama, jiwa, akal keturunan dan harta) merupakan peringkat al-
Dharurat (sangat urgen). Dan ini merupakan tingkat yang tertinggi dari al-mashlahat yang
perlu dijaga.

Kelima dari hal di atas diletakkan oleh Al Gazzali pada tingkatan Darurah Sebagai
contoh, syari’at menetapkan hukuman membunuh bagi orang kafir yang menyesatkan orang
banyak, begitu juga pembuat bid’ah yang menyuru orang lain mengikuti bid’ahnya; sebab
perbuatan-perbuatan tersebut merusak agama. Begitu pula, syariat mewajibkan hukum
qishash, karena dengan terpeliharanya diri (jiwa) manusia. Diwajibkannya had (hukuman

2
Rahmah Ambar Nabilah/ Apa itu Maslahat? Ini pengertian, jenis, dan contohnya/,
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6939378/apa-itu-maslahat-ini-pengertian-jenis-dan-contohnya.
Diakses pada September 2023

6
cambuk) minuman khamar, karena dengannya akan terpelihara akal pikiran. Diwajibkannya
had zina, karena dengannya terpelihara garis keturunan. Dan diwajibkannya menghukum
perampok dan pencuri, karena dengannya akan terpelihara harta benda yang merupakan
sumber penghidupan manusia dan memenuhi keperluan hidup mereka (Abu Ishaq al-
Syathibi, 1982).

Sedangkan tingkatan al-hajjiyat dijelaskan oleh Al-Gazzali dengan contoh kasus


perwalian. Menurutnya, pemberian kekuasaan wali yang mengawinkan anaknya yang masih
kecil tidak dalam mencapai tingkat darurat. Tetapi diperlukan kemaslahatan dengan cara
memberikan kesetaraan (kafa’ah) agar dapat dikendalikan dan tercapai kebaikan dalam
kehidupan di waktu yang akan mendatang (AlGazzali 1997: 418).

Kemudian Imam al-Ghazali menerangkan peringkat yang ketiga dari maslaha, yaitu
perkara yang tidak termasuk ke dalam al-Dharurat dan tidak pula termasuk ke dalam katagori
al-hajjiyat, tetapi digolongan ke dalam kelompok al-Tahsin (menambah baik) dan al-Tazyin
(memerindah), gunanya adalah untuk menjaga dan memelihara cara-cara yang terbaik dalam
adat (tradisi) dan mu’amalat (interaksi) yang berlaku dalam masyarakat. Contoh yang beliau
kemukakan adalah tidak dibenarkan hamba sahaya menjadi saksi, walaupun fatwa dan
riwayatnya diterima, karena level atau posisi hamba sahaya lebih rendah dibandingkan orang
yang merdeka. Hal ini disebabkan kedudukan mereka lemah dan di bawah kuasa pemiliknya,
sehingga tidak bisa dijadikan saksi dengan asumsi adanya tekanan- tekanan dan pihak
majikan (Abu Ishaq al-Syathibi, 1982).

Sedangkan tingkatan al-hajjiyat dijelaskan oleh Al-Gazzali dengan contoh kasus


perwalian. Menurutnya, pemberian kekuasaan wali yang mengawinkan anaknya yang masih
kecil tidak dalam mencapai tingkat darurat. Tetapi diperlukan kemaslahatan dengan cara
memberikan kesetaraan (kafa’ah) agar dapat dikendalikan dan tercapai kebaikan dalam
kehidupan di waktu yang akan mendatang (AlGazzali 1997: 418).

Persyaratan lain yang dikemukakan oleh Al-Gazzali supaya maslahat dapat dijadikan dalil
hukum adalah harus sejalan (mulaimah) dengan tindakan syariat (tasrifa tas-syar’i). Adapun
pedoman tindakan tersebut bisa bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma. Sehinga jika
persyaratan ini tidak dipenuhi, maslahat tersebut termasuk dalam kategori yang maslahat
asing (almasalih al-garibah) dihukumi batil dan harus dihilangkan(Al-Gazzali 1997: 430).

7
KESIMPULAN

Al-Gazzali adalah intelektual muslim yang belajar berbagai cabang ilmu dengan
sejumlah guru dan di beberapa daerah dan negara. Perjalanan Al-Gazzalisebagai seorang
pencari ilmu telah menghantarkan dirinya menjadi ulama besar hingga mengajar di Perguruan
Nizamiah. Namun, sifat kehausan Al-Gazzali terhadap ilmu pengetahuan justru
menjadikannya mengalami keraguan akan kebenaran yang telah menjadi tradisi
kehidupannya. Hingga akhirnya dirinya keluar dari dunia intelektualnya dan menjadi seorang
sufi. Namun, tidak lama setelah itu dia masuk sebagai sufi yang mengajar kembali di
Perguruan Nizamiah. Setelah itu, Al-Gazzali kemudian pergi kekampung kelahirannya dan
mengabdikan dirinya dengan mendirikan dan mengajar madrasah yang ia dirikan sendiri
hingga akhir hayatnya.

Menurut al-Ghazali, maqasahid al-syari’ah berarti tujuan Allah (Pembuatan hukum)


menetapkan hukum terhadap hambanya, yang inti dari penerapan syari’at itu berorintasi
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan makna asalnya merupakan
maslaha dalam hukum Islam adalah setiap hal yang di maksudkan untuk memelihara tujuan
syariat yang pada intinya terangkum dalam al-mabaadi’ alkhamsyah yaitu perlindungan
terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd alnafs) akal (hifzd –‘aql), keturunan (hifdz al-nasl),
dan harta (hifzd al-maal). Maslahat dalam pandangan Al-Gazzali tidak dapat menjadi hujjah
apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu maslahah harus sejalan dengan penetapan hukum
islam, dan kedudukan maslahah tersebut dalam tingkatan darurat atau pada tingkatan
dibawahnya (hajiiyat dan tahsiniyat) yang didukung dengan dalil.

8
DAFTAR PUSTAKA

Aris Setyanto, Danu. “Maqasid As-Syariah Dalam Pandangan Al-Gazzali (450-505 H/ 1058-
1111 H)” 2019

Haq, Nashirul dan Paryadi. “Maqasid Al-Syariah Menurut Al-Ghazali Dan Ibnu Qoyyim Al-
Jauziyah.” Vol. 3 No. 2 Juli-Desember 2020, page 302-31

Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).

Suansar, Khatib. 2018. “Konsep Maqashid AlSyariah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-
Ghazali Dan Al-Syatibi.” Mizani 5 (Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan): 471.

Ambar Nabilah, Rahmah. 2023 “apa itu maslahat? Ini pengertian, jenis dan contohnya”

Kumparan, penulis. 2021 “Deretan Karya Imam Ghazali,Seorang Filuf kenamaan asal Persia”

Soetikno. Filsafat Hukum. Jakarta: Pradya Paramita

Sulaiman, Fathiyyah Hasan. Alam pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu.
Bandung: CV Diponegoro

Khatib, S. (2018). Konsep Maqashid Al-Syariah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-Ghazali


dan Al-Syathibi. Jurnal Ilmiah Mizani : Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan,5(1)

Anda mungkin juga menyukai