Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF

AL-GHAZALI DAN TASAWUFNYA


Dosen Pengampu: Dr. Malik Ibrahim, M.Ag.

Disusun Oleh

Taufik Alfuad 19106060035

R. Ahmad Zuhair Ronaldo 19106060044

Helma Widiya Siregar 19106060049

Rofik Pratama Putra 19106060055

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Berbicara tentang eksistensi Tasawuf, orang akan bertanya, “Apa defenisi Tasawuf itu?
Apa deskripsi sosok mereka?” Upaya pendefenisiannya memang tidak sederhana, mengingat
pada para pelaku Tasawuf atau hukum Sufi itu perilaku dan status spiritual yang dominan pada
masing-masing diri mereka. Sufi adalah orang-orang alim yang mengenal Allah dan menjalankan
hukum-hukum Allah, meghayati, dan mengamalkan apa-apa yang diajarkan Allah, merasakan
apa yang mereka hayati, dan lebur dengan apa yang mereka rasakan.

Jalan Sufi adalah jalan keluar menuju terbebasnya diri ketika manusia terperangkap
dalam naristis dan jeratan duniawi. Imam Al-Ghazali adalah ilmuwan shalih yang sangat intens
mengkritisi masalah jeratan atau perangkap duniawi dan jeritan ilmu pengetahuan. Beliau tidak
menolak arti penting segala ilmu pengetahuan, namun beliau menyadari adanya bidang
kehidupan yang semata hanya bisa dipahami dan disikapi dengan jalan ilmu objektif. Jalan yang
dimaksud beliau adalah jalan sufi. Jalan yang mampu membawa manusia ke dalam suatu dunia
hidup terbebas dari segala materi duniawi.

Jalan sufi memang tidak sederhana, tapi dia akan mudah dipahami ketika kita
membedakan dua jalan untuk mencapai dan memahami Tuhan dengan segala ajaran-Nya. Kedua
jalan tersebut masing-masing adalah, yang pertama jalan syariah (aspek lahiriah) di satu sisi,
yaitu cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah, yang dirujuk oleh Al-Qur’an
sebagai tujuan penciptaan.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
ABSTRAK.....................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3 Tujuan Pembahasan..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2
2.1 Sejarah Hidup Al-Ghazali.................................................................................................2
2.2 Konsep Ajaran Tasawuf Al-Ghazali.................................................................................5
2.3 Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali.........................................................................................7
PENUTUP.....................................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................13
3.2 Saran................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15

ii
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sosio-historis pada masa Imam al-
Ghazali, biografi Imam al-Ghazali, karya-karya Imam alGhazali, pemikiran tasawuf Imam al-
Ghazali, dan terakhir bagaimana pengaruh tasawuf Imam al-Ghazali. Pemikiran tasawuf Al-
Ghazali yang dikenal sebagai orang yang pada mulanya syakk (ragu-ragu) terhadap segala-
galanya. Perasaan syakk ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau
teologi yang diperolehnya dari al-Juwaini. Setelah al-Ghazali, melalui pengembaraannya
mencari kebenaran akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran
yang paling hakiki. Lebih dari itu, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, sementara
buahnya adalah moralitas. Diantara hasilnya adalah bahwa jenjang (maqamat) yang harus dilalui
oleh seorang calon sufi, diantaranya: tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, dan makrifat.
Sedang pengaruh ajaran al-Ghazali telah tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga
sekarang ini. Dengan merumuskan ajaran-ajaran Islam yang dipenuhi muatan-muatan sufistik
dengan bahasa yang mudah, sehingga pemikiran al-Ghazali dapat diterima oleh orang lain.

Kata Kunci:Pemikiran,Tasawuf, al-Ghazali

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akhlak tasawuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara hstoris dan teologis akhlak tasawuf
tampil mengawal dan memadu perjalan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah
berlebihan jika misi utama ke Rasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta agar akhlak dan
keluhuran budi Nabi Muhammad SAW itu dijadikan contoh dalam kehidupan diberbagai
bidang. Mereka yang mematuhi permintaan ini dijamin keselamtan hidupnya di dunia dan di
akhirat.
Khazanah pemikiran dan pandangan dibidang akhlak dan tasawuf itu kemudian
menemukan momentum pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh
munculnya sebagian besar ulama tasawuf dan ulama dibidang akhlak seperti Imam Al-
Ghazali.

1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana sejarah hidup Imam Al-Ghazali?


 Bagaimana konsep ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali?
1.3 Tujuan Pembahasan

 Mengetahui sejarah hidup Imam Al-Ghazali.


 Mengetahui konsep ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali.

1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hidup Al-Ghazali


Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid
Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad1

Ayah Al-Ghazali adalah seoang miskin pemintal kain wol yang sangat taat, sangat
menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang
wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang
sufi. Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya, “Aku menyesal
sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak
kudapatkan itu melalui kedua putraku ini.”

Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya,
sampai suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan
keduanya, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut kepada pengelola sebuah madrasah untuk
belajar sekaigus untuk menyambung hidup mereka.

Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad
Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan
disinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga
menguasai ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat tasawuf dan retorika perdebatan. Al-
Juwaini sangat terkesan dengan kecemerlangan intelektual dan kemampuan analisis Al-Ghazali,
sehingga ia mencalonkan Al-Ghazali sebagai asisten pengajarnya.

Selama berada di Naishabur, Al-Ghazali tidak hanya belajar kepada Al-Juwaini, tetapi
juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj.

1 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 242-246.

2
Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf, kendati pun hal itu belum mendatangkan
pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.

Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk


perbedaan pendapat yang dari para ahli ilmu tersebut, hingga ia mampu memberikan sanggahan-
sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini
menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan
dan keluasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi popoler. Bahkan ada
riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam dihati Imam Haramain timbul rasa iri dan
mendorongnya untuk mengatakan, “Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih
hidup, apakah aku harus menahan diri padahal ketenaranku telah mati.”

Setelah Imam Haramain wafat (487 H/ 1086 M) dan Al-Ghazali diminta menjadi profesor
pemikiran Islam di Universitas Nizamiyah di Kota Baghdad oleh Nizam Al-Mulk (wafat 485 H/
1091 M), perdana menteri Saljuk dan pendiri Universitas Nizamiyah. Kota Baghdad  ini
merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-
ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk
melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Ternyata, ia sering mengalahkan para ulama
ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.

Sejak saat itu, nama Al-Ghazali menjadi termasyhur dikawasan kerajaan Saljuk.
Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di
Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/ 1090 M, meskipun usianya baru 30 tahun.

Sebagai pelindungnya, Nizam Al-Mulk secara rutin mengkonsultasikan semua isu agama
dan politik penting saat itu. Kuliah-kuliah Al-Ghazali di Nizamiyyah menjadi begitu terkenal
sampai-sampai dihadiri oleh 300 orang murid dalam sekali pekuliahannya. Namun, ketika Al-
Ghazali mengira telah mencapai semuanya dalam usia yang begitu muda, tiba-tiba dia merasa
dirinya terdampar ditengah-tengah krisis intelektual. Krisis ini membuat Al-Ghazali gelisah. Dia
sangat terganggu dengan konflik nyata antara pandangan kaum rasionalis dan kaum tradisionalis.
Di satu sisi, kalangan rasionalis menganggap akal manusia lebih unggul dari pada wahyu Ilahi.
Di sisi lain, tradisionalis menilai wahyu Ilahi sudah sempurna, sehingga lebih otoritatif
dibandingkan akal manusia yang tidak sempurna.

3
Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham
golongan-golongan yang berkembang waktu itu.

Kegiatan pedebatan dan penyelamatan berbagai aliran, ternyata menimbulkan pergolakan


dalam dirinya karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah ia
memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya meninggalkan Baghdad menuju Siria,
Palestina, kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki
pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus tanggal
19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah (pada umur
52-53 tahun), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.

Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai


seorang pengarang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan
maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naishabur maupun
setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.

Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai
mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naishabur. Waktu yang ia pergunakan untuk
mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap bulan ia mengahasilkan
karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu
pengetahuan, antara lain filsafat dan ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlak.

Karya-karyanya membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir


kelas dunia yang sangat berpengaruh. Di kalangan islam, banyak yang menilai bahwa dalam hal
ajaran, Al-Ghazali adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. Ini
mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian yang seperti itu.
Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh dikalangan islam, tetapi juga di
kalangan agama Yahudi dan Kristen. “Titisan” Al-Ghazali dalam pemikiran yahudi tampil dalam
pribadi filsuf Yahudi besar, Musa bin Maymun. Karya-karyanya yang amat penting dalam
sejarah perkembangan filsafat Yahudi dapat sepenuhnya dibaca dalam sorotan pemikiran Al-
Ghazali.

4
Di kalangan Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat
Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai
“titisan” Kristen dari Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga
memperoleh salurannya dalam mistisisme kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah
ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan islam, memiliki orientasi ilmiah yang
lebih kuat dibanding ordo-ordolainnya, seperti ungkapan dalam novel reseller-nya Umberto Eco,
the name of the rose.2

Banyak literatur yang menyebutkan jasa-jasa Al-Ghazali bagi peradapan islam. Cryrill
glasse, misalnya menyebutkan, “peradaban islam telah mencapai kematangannya berkat Al-
Ghazali.” Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Akan tetapi, tidaklah demikian pada
pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang
sempurna, Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.

2.2 Konsep Ajaran Tasawuf Al-Ghazali


Al- Ghazali memilih tasawuf sunni (tasawuf akhlaki) yang berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia menjauhkan semua kecendrungan gnostis yang
memengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, ikhwan Ash-Shafa. Ia
menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan
sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat
dalam karya-karyanya seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah
Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad.3

Menurut Al- Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat
lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT. Dan berhias dengan selalu mengingat jalan
kepada Allah SWT, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang
paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik

2 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 128-132.
3 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 246-249

5
lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian, di dunia initidak ada
lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.

Al-Ghazali menilai negative Syahadat karena dianggap mempunyai dua


kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata
yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah
swtdapat disaksikan. Kedua,syahadat  merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi
sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semifilsafat meskipun ia mau memaafkan Al-
Hallaj dan Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-
orang Nasrani salah menilai Tuhannya, seakan-akan ia berada pada diri Al-Masih.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru
tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas.
Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah swt.
Makrifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan
menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal).

Oleh karena itu Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam,
yang sebelumnya mengalami ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk
berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu menciptakan 
(sa’adah)

 Pandangan Al-Ghazali tentang Makrifat


Pandangan Al-Ghazali tentang makrifat berbeda dengan orang awam ataupun makrifat
ulama atau mutakallim, tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan
kasyf Ilahi. Makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para Khasawh auliya’ tanpa melalui
perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari
Allah walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi
Muhammad saw mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat sedangkan walu
mendapat ilmu melalui ilham sekalipun demikian keduanya sama-sama memperoleh ilmu
dari Allah Swt.

6
 Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’dah
Menurut Al-Ghazali kelelezatan dan kebahiagaan yang paling tinggi adalah melihat
Allah, didalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah ia menjelaskan bahwa as-sa’dah (kebahagiaan)
itu sesuai dengan watak, sedangkan watak sesuai dengan ciptaanya. Nikmatnya mata
terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmat telingan terletak ketika
mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, masing-masing
mempunyai kenikmatan sendiri. Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat-
makrifat terletak ketika melihat Allah swt. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung
pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan
melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah
mati, sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah karena dapat keluar
dari kegelapan menuju cahaya terang.
Dalam karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali menjelaskan berbagai ajaran tasawuf
yang dicoba dikombinasikan dengan syariah dengan baik berikut adalah metode Tasawuf
Akhlaki menurut Imam Al-Ghazali seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal,
mahabbah, dan rida4.

2.3 Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali

Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya memilih jalan


tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi,
menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah
moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka
ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan
khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan
ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian,
menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil5.

Jalan (at-Thariq)

Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang calon
sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah

4 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), halaman 197-202.


5 (al-Taftazani, 2003, hal. 165).

7
pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan
sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan
dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu
daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan
dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan dorongan berbuat baik dapat
mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang sudah dapat
dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran. Yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal
yang diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan sesuatu, seperti
makanan, namun makanan yang diberikan kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah
halal, haram, atau syubhat (diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan
itu harus ditolaknya, kendatipun makanan itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat
motivasi orang yang memberinya. Keempat, zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus
meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi.

Kelima, tawakal. Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan
kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia.
Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha pengasih, tak
pilih kasih kepada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya
dengan sepenuh hati.Dalam penyerahan diri kepada Allah swt.seorang sufi merasakan dirinya
tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan
mayat.Keenam,ma’rifat. Yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-
Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih bermutu daripada
pengetahuan yang diperoleh akal.Ma’rifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah
(mencintai Tuhan)6.

Seorang murid yang menempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali, harus konsisten
menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam hari. Hal ini semua
dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat
hidup menyendiri menurut al-Ghazali adalah untuk mengosongkan kalbu dari berbagai pesona
duniawi yang menghambat dalam jalan para sufi. Sebab pelaksanaan jalan para sufi tidak lain

6 Ensiklopedi Islam, 2002, hal. 27-28

8
ialah penaklukan hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan menuju Allah kecuali
tabiat-tabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona duniawi7.

Ma’rifah

Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tahun).Ma’rifahmerupakan hasil


penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang ada akhirnya akan
mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah
ibarat cahaya yang memancar dari nyala api tersebut.

Ma’rifah secara etimologis, adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam
terminologi kaum sufi, ma’rifah disebut pengetahuan yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya
ketika pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika ditanya,
“Apa yang dimaksud dengan ma’rifahZat dan apa pula maksud dari ma’rifah sifat?” Maka
jawabnya: “ma’rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya keagungan yang bersemayan dalam
diri-Nya dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun ma’rifahsifat, adalah mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha
Mendengar, Maha Melihat dan dengan segala sifat kemahasempurna lainnya,”8.

Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan sendirinya adalah zikir kepada Allah Swt. karena
ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-Nya. Tanda-tanda ma’rifah, pada
mulanya, munculnya kilatan-kilatan kecermelangan cahaya lawa`ih, tawali’, lawami’ dan barq.
Kata-kata tersebut masing-masing sinonim yang berarti kilatan cahaya dan kecemerlangan. Beda
antara al-barq dan al-wajd, adalah al-barq lebih merupakan proses memasuki jalan
tauhid,sedangkan al-wajd (perasaan) adalah yang menyertai di dalamnya. Baru setelah
keduannya mendarah daging maka jadilah zauq (rasa sukma)9.

Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukannya perasaan dan
bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak pada
bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri dada seorang manusia, tapi adalah percikan
rohaniah ke-Tuhan-an yang merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi belum mampu

7 al-Taftazani, 2003,hal. 170


8 Al-Ghazali, 2002, hal. 221
9 Al-Ghazali, 2002, hal. 236

9
memahami perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan cermin. Sementara
ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu tidak
bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Menurutnya lagi, yang membuat
cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta
keterpalingan dari tuntutan hawa-nafsu itulah yang justru membuat kalbu berlinang dan
cemerlang10.

Tujuan-tujuan pengetahuan, menurut al-Ghazali adalah moral yang luhur, cinta pada Allah,
fana di dalam-Nya dan kebahagiaan. Karena itu, menurutnya pengetahuan diarahkan pada
tujuan-tujuan moral, sebab ia tergantung dari kebersihan dan kebeningan kalbu. Dan
pengetahuan adalah tanda-tanda petunjuk dan setiap kali pengetahuan bertambah, moral luhur
serta kebeningan kalbu pun semakin meningkat. Cinta kepada Allah dipandang al-Ghazali
sebagai buah pengetahuan. Sebab tidak terbayangkan adanya cinta kecuali adanya pengetahuan
serta pemahaman, karena seseorang tidak mungkin jatuh cinta kecuali pada sesuatu yang telah
dikenalinya. Dan tidak ada sesuatu yang lebih layak dicintai yang selain Allah. Karena itu,
barang siapa mencintai yang selain Allah, jika bukan karena dinisbatkan kepada Allah, hal itu
timbul karena kebodohan-kebodohan dan kekurangtahuannya terhadap Allah11.

Tingkatan Manusia

Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: Pertama,
kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang
akalnya tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl)12.

Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-
hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi
dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk (al-mauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat
dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat
dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).

10 al-Taftazani, 2003, hal. 171


11 al-Taftazani, 2003, hal. 175
12 Maftukhin, 2012, hal. 137

10
Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi
manusia ke adalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya kepada
golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya,
pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi
acapkali berbeda, berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa
yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat13.

Kebahagiaan

Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai
buah pengenalan terhadap Allah. Tentang kebahagiaan ini al-Ghazali mengemukakan teorinya
dalam karyanya, Kimia al-Sa’adah. Di samping itu teori kebahagiaan ini juga telah
dikemukakannya secara terinci dalam karyanya Ihya Ulum al-Din14.

Menurut al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia menjelaskan
bahwa seandainya anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya melihatnya bagaikan begitu
lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. Anda pun niscaya mendapatkannya
sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiannya dan juga sebagai jalan mendekatkan diri
kepada Allah. Namun, hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu tersebut. Dan yang paling
tinggi peringkatnya, sebagai hak umat manusia adalah kebahagiaan abadi. Sementara yang
paling baik adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang mengantarnya kepada kebahagiaan
tersebut dan kebahagiaan tersebut mustahil tercapai dengan ilmu cara beramal. Jadi, asal
kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu. Teori kebahagiaan, menurut al-Ghazali
didasarkan pada semacam analisa psikologis dan dia menekankan pula bahwa setiap bentuk
pengetahuan itu asalnya bersumber dari semacam kelezatan atau kebahagiaan15.

Lanjut al-Ghazali bahwa segala sesuatu memilikirasa bahagia, nikmat dan kepuasan. Rasa
nikmat akan peroleh bila ia melakukan semua yang diperintahkan oleh tabiatnya. Tabiat segala
sesuatu adalah semua yang tercipta untuknya.Kenikmatan mata pada gambar-gambar indah,
kenikmatan telingga pada bunyi-bunyi yang merdu dan demikian semua anggota badan.
Kenikamatan hati hanya dirasakan ketika mengetahui Allah (ma’rifah Allah), sebab ia diciptakan

13 Maftukhin, 2012, hal. 138


14 al-Taftazani, 2003, hal. 182
15 al-Taftazani, 2003, hal. 182-183

11
untuk melakukan hal itu. Semua yang tidak diketahui manusia, tatkala ia mengetahuinya maka ia
akan berbahagia, seperti permainan catur, ketika mengetahuinya ia pun senang, jika ia dijauhkan
dari permainan itu, maka ia tak akan meninggalkannya dan tak akan sabar untuk kembali
memainkannya. Begitu juga mereka yang telah sampai pada ma’rifah Allah, pun merasa senang
dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab kenikmatan hati adalah ma’rifat, setiap kali
ma’rifat bertambah besar, maka nikmat pun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia
mengetahui sang menteri, maka ia akan senang, lebih-lebih jika tahu sang raja, maka
kebahagiaannya tertentu besar lagi16.

Tak ada satu eksistensi pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt., sebab kemuliaan yang
dimiliki, semua oleh sebab-Nya dan dari-Nya, semua keajaiban alam adalah karya-Nya, ada
pengetahuan (ma’rifah) yang lebih mulia selain pengetahuan tentang-Nya, tak ada kenikmatan
yang melebihi nikmat ma’rifat-Nya, tak ada pemandangan indah yang melebihi hadirat-Nya.
Semua nikmat dari nafsu duniawi, tergantung pada jiwa, ia akan berakhir bersama kematian,
sedang pengetahuan (ma’rifah) tentang ketuhanan tergantung pada hati, ia tidak lenyap bersama
kematian, sebab hati tidak akan hancur dan bahkan kenikmatannya akan lebih banyak, cahayanya
lebih besar, karena ia keluar dari rahim kegelapan manuju alam cahaya17.

16 Al-Ghazali, 2002, hal. 118-119


17 Al-Ghazali, 2002, hal. 119

12
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.Akhlak erat
hubungannya dengan prilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan
tempat tinggalnya. Jadi tasawuf akhlak dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf
dan ibadah kepada Allah Swt dibuktikan dalam kehidupan sosial. Tasawuf akhlak ini juga
dikenal dengan tasawuf Sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an
dan Al-Hadist secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan
Rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut.

Tokoh sufi yang termasuk tasawuf akhlaki adalah Imam Al-Ghazali atau nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-
Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, yang dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan,
Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M. Ia mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-
Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan
disinilah ia berguru kepada Imam Haramain.

Demikian pula ketika Al-Ghazali lebih mengutamakan ilmu tasawuf ketimbang ilmu-
ilmu lainnya, menyebabkan tumbuhnya pandangan pada sebagian umat islam yang meremehkan
ilmu-ilmu umum. Banyak kaum muslim selamjutnya lebih memfokuskan pada ilmu-ilmu
ukhrawi demi keselamatan diakhirat dan melalaikan ilmu-ilmu duniawi yang bersifat umum.
Sehingga tidak mengherankan jika Al-Ghazali sering diasosialisasikan dengan sikap-sikap pasif
yang mengajarkan sekap menyendiri dan melepaskan diri dari keterlibatan dan persoalan-
persoalan duniawi18.

18Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 154-
156.

13
3.2 Saran
Belajar merupakan hal yang wajib untuk dilakukan tiap manusia. Untuk itu setiap ilmu
yang dipelajari sangat baik jika keduanya seimbang, ilmu dunia (sains) begitu juga dengan ilmu
agama. Dengan mempelajari ilmu tauhid, juga mencerminkan ketaatan seorang hamba dalam
menggali pengetahuan tentang Tuhan-Nya.

14
DAFTAR PUSTAKA

 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).


 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016).
 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006).
 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002).
 Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam Dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013).
 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia,  (Jakarta: Rajawali Pers,
2014).
 Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta: Pustaka Sufi.
 Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu
Pengantar tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani
dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka.
 Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
 Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras. Tim Penyusun. 2002.
Ensiklopedi IslamJilid 2, 4, 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

15

Anda mungkin juga menyukai