Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirah Allah


Subhanahu wata’ala yang telah menganugerahkan kepada kita, sekian
banyak nikmat, mau’nah, inayah serta hidayah-Nya. Sehingga dengan itu
semua kita mampu menjalankan segala bentuk amanah yang dibebankan
kepada kita, sekaligus kita mampu meningkatkan kwalitas diri dan ujud
manusiawi kita yang nota bene sebagai khalifatullah di muka bumi ini.
Sholawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan
kita, nabi Agung Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita
bagaimana seharusnya mengarungi kehidupan ini, sehingga nantinya kita
bisa meraih derajat “sa’adah”, bahagia dunia-akhirat.
Ucapan terimakasih yang tiada terhingga, penulis sampaikan
kepada bapak dosen atas segala bimbingan, arahan dan ilmu yang
disampaikan, semoga amal ibadah bapak dicatat oleh Allah SWT sebagai
amal jariyah yang pahalanya tiada terputus, aamiin.
Selanjutnya, syukur Alhamdulillah, makalah yang berjudul
“Pemikiran Filosof Al-Ghazali” ini dapat terselesaikan, meskipun masih
banyak terdapat kekurangan di dalam makalah ini. Dengan harapan setelah
dipresentasikan, kekurangan yang ada bisa ditambahi dan disempurnakan.
Demikianlah, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang berkepentingan.

1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................3
B. Rumusan Masalah ............................................................................4
C. Tujuan Pembahasan.......................................................................... 4

BAB II ISI
A. Biografi……...................................................................................... 5
B. Corak Pemikiran Al-Ghazali........................................................... 7

BAB III PENUTUP


Kesimpulan.....................................................................................
Daftar Pustaka................................................................................

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir
beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu
Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para
tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah
kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka
benih-benih filsafat Islam dikembangkan. Bertambah masa, bertambah
berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan perkembangan
filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan
yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak
dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al
Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep
Islam. Dalam makalah ini, pemakalah hanya membatasi pemaparan
mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat
berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah
seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al-
Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari
pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam
hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan
biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim
lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah singkat kehidupan imam Al-Ghazali ?
2. Apa saja karya-karya yang telah dibuat oleh Imam Al-Ghazali ?

3
3. Apa pemikiran-pemikiran filsafat imam Al-Ghazali ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui sejarah singkat imam Al-Ghazali
2. Untuk mengetahui karya-karya imam Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui pemikiran-pemikran filsafat imam Al-Ghazali

4
BAB II
ISI

A. Biografi
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
ibn Ahmad al-Ghazali al-Tusi. Penulisan nama al-Ghazali atau al-Ghazzali
sebagai namanya menjadi kontroversi, tetapi kelahirannya dipastikan pada 450
H/1058 M di Ghazaleh, suatu desa dekat Thus, di daerah Khurasan, Persia.
Sekitar dua puluh tahun setelah kematian Ibnu Sina, dimana pemikiran filsafat
pada saat itu telah berkembang pesat hingga mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi dari teolog, meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–
53 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai
Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi
berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan
tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini
Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i
(Nasution, 1975).
Imam Al-Ghazali lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup
sederhana. Ayahnya seorang pemintal dan penjual wol yang hasilnya digunakan
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan para fuqaha serta orang-orang yang
membutuhkan pertolongannya, dan juga seorang pengamal tasawuf yang hidup
sederhana. Ia sering mengunjungi para fuqaha, memberi nasihat, duduk
bersamanya, sehingga apabila dia mendengar nasehat para ulama’ ia terkagum
menangis dan memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai anak yang seperti
ulama’ tersebut. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal
dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin
Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam
Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan
belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada
tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun. Pribadi al-Ghazali

5
sangatlah terkenal dikalangan ilmuan Islam. Tidak hanya dikenal ahli dalam satu
cabang ilmu melainkan meliputi sederetan cabang ilmu pengetahuan. Imam al-
Ghazali dikenal sebagai ahli Fikih, ahli Ushul, ahli dalam Ilmu Akhlak, ahli
dalam ilmu Tarbiyah dan ilmu Jiwa, ahli ilmu Ekonomi, bahkan juga dikenal
Imam yang Salafi, dan Sufi (Ramayulis & Samsul, 2005).
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada
Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan
orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili
di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia
berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq
(logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam
Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”
(Ramayulis & Samsul, 2005).
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur
untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan
kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk.
Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama
besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali.
Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091
M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada
di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut
selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa,
baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan
diri dari keramaian (Ramayulis & Samsul, 2005)
Dalam banyak hal al-Ghazali adalah penerus langsung peranan al-
Asy’ari, sebagaimana al-Asy’ari dengan meminjam metode Mu’tazilah berhasil
merumuskan dan mengkordinasikan faham Sunni. Demikian juga al-Ghazali,
dengan meminjam metode lawannya yakni Neo-Platonisme dan
Aristotelianisme, ia berhasil membendung bahaya gelombang Hellenisme yang
kedua, sebagaimana sebelumnya al-Asy’ari melakukan hal yang sama untuk

6
membendung Hellenisme yang pertama. Maka al-Ghazali mendapat gelar
”hujjatul al Islam” dan menjadi simbol bagi kaum Sunni (Nasution, 1975).
Disamping ia dikenal sebagai tokoh dalam bidang filsafat, al-Ghazali
juga dikenal sebagai teolog dan sufi. Bermula dari keraguannya terhadap
kebenaran yang ia peroleh, ia melakukan pengkajian yang lebih serius dalam
rangka pencarian kebenaran hakiki, kebenaran yang tidak mengandung keraguan
sama sekali. al-Ghazali, setelah melalui perjalanan panjang, menyelidiki secara
seksama hasil yang dicapai dalam empat golongan “pencari kebenaran” yang
ada pada zamannya yakni Mutakallimin (teolog), Bathiniyah (pengikut Syi’ah
Isma’iliyah), filosof dan sufi, akhirnya ia berkesimpulan bahwa kehidupan
sufilah yang dapat mengantarkannya kepada kebenaran sejati (Nasution, 1975).
Adapun karya-karyanya antara lain : 1) Ihya Ulumuddin, 2) al-Adab fi
alDin, 3) al-Arba’in fi Ushul al-Din, 4) Assas al-Qiyas, 5) al-Istidraj, 6) Asrar
Mu’amalah al-Din, 7) al-Iqtishad fi al-I’tiqad, 8) Ilja al-Awwan al-Ilmu al-
Kalam, 9) al-Isma’ ala Musykil al-Ihya, 10) Ayyuha al-Walad, 11) al-Bab al-
Muntahal fi al-Jidal, 12) Bidayah al-Hidayah, 13) al-Basith fi al-Furu’, 14)
Ghayah al-Ghawr fi Dirayah al-Dawr, 15) al-Tawilah, 16) al-Tibral al-Masbuq fi
Nasha’I al-Mulk, 17) Tashim al-Ma’akid, 18) Talbis Iblis, 19) al-Talikaf fi Furu’
al-Mazhab, 20) alTafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah, 21) Tafsir al-Qur’an
al-Azhim, 22) Tazhib al-Ushul, 23) al-Mungkidz min al-Dhalal, 24) Tahafut al-
Falasifah, 25) Maqasid al-Falasifah, 26) al-Wajiz, 27) Lubab al-Nazhar, 28)
Qawashim al-Bathiniyah, 29) Kimiyah al-Sa’adah (Nasution, 1975).

B. Corak Pemikiran Imam Al-Ghazali

Sebagai seorang tokoh dan ulama’ besar Imam Al-Ghazali


memiliki corak pemikiran yang unik sebagai mana terlihat dalam
perkembangan pemikirannya. Corak pemikiran Imam Al-Ghazali dapat
diklarifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu: epistemologi, metafisika,
filsafat, moral, pendidikan, politik, dan filsafat sejarah.

1. Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali


a. Metafisika

7
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan
ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat
dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal
semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat
yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-
Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan
(metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka
(para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut
syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang


rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi
hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode
rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu
pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang
metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang
berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap
memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang
lain, seperti logika dan matematika.

b. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa


dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita
lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang,

8
tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang
dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi
kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki
dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum


pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti
juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat
Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut.

Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti
membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam,
bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena
kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap
hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari
api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang
tidak bisa terbakar oleh api.
c. Etika
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan
menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan
prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan
diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan
sama sekali. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya
yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri


terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam
kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf

9
dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna
mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan
penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di
dalamnya.

2. Pemikiran Pendidikan Imam Al-Ghazali

Terkait konsep pendidikan, Ahmad Fuad al-Ah wani menyatakan bahwa al-
Ghazali banyak menaruh perhatian terhadap pendidikan, karena pendidikanlah
yang menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya (Ibrahim,
1996). Di samping itu M. Arifin juga berpendapat bahwa dari segi filosofis, al-
Ghazali adalah penganut faham Idealisme yang konsekuen terhadap agama
sebagai dasar pandangannya (Arifin,1991). Menurut pandangan alGhazali, jika
anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka ia menjadi baik,
begitu pula sebaliknya. Ada beberapa konsep di bidang pendidikan yang
ditawarkannya, yakni:

1. Tujuan Pendidikan. Menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk


mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan,
dan kemegahan. Jika tujuan pendidikan bukan untuk mendekatkan diri
kepadaNya, maka akan menimbulkan kedengkian, kebencian dan
permusuhan. Rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud dan adanya
sifat qana’ah. Al-Ghazali memandang bahwa dunia ini bukan merupakan
hal pokok, tidak abadi, akan rusak, dan hanya tempat lewat sementara.
Orang yang berakal sehat menurutnya adalah orang yang dapat
menggunakan dunia untuk tujuan akhirat.
2. Pendidik. Agar berhasil mencapai tujuan pendidikan tersebut, alGhazali
memberikan beberapa kriteria seorang pendidik. Antara lain:
a. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya.
b. Guru jangan mengharapkan upah (materi) sebagai tujuan utama dari
pekerjaannya (mengajar), karena upahnya terletak pada terbentuknya
anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus memotivasi muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat,
30 yakni membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

10
d. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat
intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
e. Guru harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya dan memberikan
contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah
hati dan berakhlaq mulia.
f. Guru harus menanamkan keimanan ke pribadi anak didiknya, sehingga
akal pikiran anak didik tersebut dijiwai oleh keimanan itu. Kriteria
ideal guru tersebut, jika dilihat dari perspektif guru sebagai profesi,
nampak pada aspek moral dan kepribadian guru. Hal tersebut
dikarenakan paradigma (cara pandang) yang digunakan dalam
menentukan kriteria tersebut adalah tasawuf yang menempatkan guru
sebagai idola, figur sentral, bahkan mempunyai kekuatan spiritual.
Sedangkan dalam pendidikan di era modern sekarang, posisi guru
bukan merupakan satu-satunya agen ilmu pengetahuan dan informasi –
sebab ilmu pengetahuan dan informasi dapat diperoleh melalui
peralatan teknologi dan penyimpan data serta lainnya-, melainkan
sebagai fasilitator, pemandu atau narasumber. Syaratsyarat ideal guru
tersebut masih relevan dan perlu ditambah dengan persyaratan
profesionalisme dan akademis.
3. Murid. Agar terdapat keselarasan, al-Ghazali juga menetapkan beberapa
hal yang seharusnya dimiliki oleh murid, antara lain:
a. Memuliakan guru dan bersikap rendah hati, atau tidak sombong.
b. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya, sehingga saling
menolong dan menyayangi.
c. Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai aliran (madzhab) yang
mengacaukan pikiran.
d. Mempelajari berbagai ilmu yang bermanfaat, sehingga tercapai tujuan
dari setiap ilmu yang dipelajarinya tersebut.
4. Kurikulum. Secara sederhana kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran
yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan pengetahuan agar
mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum pendidikan
menurut al-Ghazali hendaknya mencakup 3 (tiga) segi, yaitu jasmaniyah,
’aqliyyah dan akhlaqiyyah, serta asas-asas dan prinsip yang dipakai untuk
mendidik anak.

11
5. Pandangan mengenai Ganjaran (reward) dan Hukuman (punishment)
dalam dunia pendidikan, al-Ghazali lebih cenderung dalam bentuk
persuasif dan kekeluargaan. Menurutnya, menegur secara keras/kasar akan
menyingkapkan rasa takut dan menimbulkan keberanian menyerang orang
lain, mendorong keinginan untuk tetap melakukan pelanggaran.
Sedangkan dengan cara persuasif, membuat anak cenderung ke arah
mencintai kebaikan, dan berfikir kreatif dalam memahami suatu kejadian,
dapat mengambil faedah dari kegemaran berfikir kritis terhadap suatu
makna dalam setiap kejadian, bahkan mereka senantiasa mencintai ilmu.
6. Sesuai dengan konsep kurikulum, al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan
dari sudut pandang boleh-tidaknya dipelajari kepada 3 (tiga) kelompok,
yaitu:
a. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu Tauhid dan ilmu
tentang agama Islam. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa
yang suci, bersih dari kerendahan dan keburukan, serta dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya
bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat, bahkan menimbulkan
kemadharatan. Seperti ilmu sihir, nujum dan perdukunan.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, tidak boleh diperdalam manakala
menimbulkan kegoncangan iman serta ilhad (meniadakan Tuhan),
contohnya ilmu Filsafat. Sedangkan dari sisi kepentingannya (hukum
mempelajari), ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: Ilmu yang wajib
(fardlu ’ain) diketahui oleh semua orang, yakni ilmu agama, ilmu yang
bersumber pada al-Qur`an dan Ilmu yang fardlu kifayah, yaitu ilmu
yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi, contohnya ilmu
kedokteran, ilmu pertanian, ilmu teknik dan semisalnya. Sejalan
dengan macam-macam ilmu tersebut, al-Ghazali menawarkan
beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, yakni:
- Ilmu al-Qur`an dan ilmu agama seperti Fiqh, Hadith dan Tafsir.
- Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj karena berfungsi
membantu ilmu agama.
- Ilmu-ilmu fardlu kifayah, termasuk ilmu politik.

12
- Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang
filsafat.
(Arifin, 1991)

Abudin Nata menyatakan bahwa pembagian ilmu-ilmu tersebut menurut


al-Ghazali didasarkan pada 2 (dua) pendekatan, pertama, pendekatan Fiqh yang
melahirkan ilmu pada wajib ’ain dan fardlu kifayah. Kedua, pendekatan Tasawuf
yang melahirkan pembagian ilmu menjadi terpuji dan tercela. Hal ini semakin
jelas manakala dihubungkan dengan tujuan pendidikan yakni untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Konsep pendidikan al-Ghazali nampak selain sistematik
dan komprehensif, juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya
sebagai seorang sufi. Konsep pendidikan tersebut, merupakan aplikasi dan respon
atas jawaban permasalahan sosial-kemasyarakatan (kondisi) yang terjadi saat itu.
Konsep tersebut jika diterapkan di masa sekarang nampak sebagian masih sesuai,
dan lainnya ada yang perlu disempurnakan (Abudin, 1997). Menurut penulis
konsep pendidikan yang ditawarkan oleh al-Ghazali di era modern sekarang masih
signifikan untuk diadopsi dan diaplikasikan. Tentunya, diperlukan berbagai
inovasi dan penyempurnaan yang disesuaikan dengan nilai dan kearifan lokalitas
di mana pendidikan tersebut dilaksanakan.

3. Pemikiran Politik Imam Al-Ghazali

Dengan mengkaji pemikirannya dalam al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk al-
Ghazali hendak melakukan reformasi moral terhadap pemerintahan. Reformasi
moral ini bagi al-Ghazali menjadi kewajiban bagi ’alim dan cendekiawan ahli
syari’ah. Ia mengatakan: ”Seorang faqih adalah orang yang menguasai aturan-
aturan politik Islam dan mengetahui cara sebagai mediator diantara manusia
(pejabat negara) jika berselisih dengan hukum yang tidak benar. Maka seorang
fakih hendaknya menjadi guru dan membimbing sultan.”

Kegelisahan yang membuat al-Ghazali memeras pikiran, adalah fenomena Syiah


Batiniyah yang pelan-pelan merebak di saentero negeri. Meskipun Sultan dan

13
Khalifah tidak terpengaruh oleh ideologi Batiniyah – akan tetapi al-Ghazali
merasa nasihat-nasihat tentang tauhid sangat perlu bagi pejabat negara dalam
situasi seperti itu.

Dalam awal naskah nasihatnya, al-Ghazali memulai dengan kaidah-kadiah Iman.


Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang
benar, al-Ghazali ingin mengingatkan sultan bahwa kekuasaan tertinggi di dunia
ini adalah al-Khalik (Allah SWT). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit
al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah
SWT. Allah memberi amanah kepada sultan untuk menstabilkan negeri sesuai
dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub babnya, al-Ghazali menulis tentang Keesan-
Nya, tiada satu pun yang menyamai-Nya, sifat-sifat Allah, mengingatkan tentang
akhirat, dan tugas Nabi Muhammad.

Pembahasan tersebut adalah pembahasan utama dalam rangka menjaga basicfaith


para pejabat negara agar stabil loyal dalam pandangan hidup Islam. Disamping
itu, untuk mempertahankan basicfaith warga negara saat itu al-Ghazali
melakukannya dengan mengkritik dan menjawab syubhat-syubhat Syi’ah. Hal itu
diwujudkan dengan menulis kitab al-Fadaih al-Batiniyyah. Al-Ghazali merupakan
pemikir aktif. Di satu sisi ia memberi penguatan iman baik kepada pejabat negara
maupun kepada masyarakat dengan mengajar ilmu di madrasah Nizamiyah juga
melakukan kritik terdapat pemikiran yang menyimpang. Penguatan dan kritik
(istbat wa nafyu ) ini merupakan dua kewajiban yang memang mestinya berjalan
sinergis.

Oleh karena itu al-Ghazali menentang setiap klaim-klaim golongan Batiniyah baik
klaim teologis maupun politis. Klaim teologis Batiniyah sangat jelas bertolak
belakang dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Mereka meyakini bahwa
semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin.

Klaim politis – yang sebenarnya juga berkait dengan telogi Syi’ah yang
mengatakan bahwa keimamahan itu diwariskan yang harus dipegang oleh para

14
Imam keturunan Ali r.a. Jika imam telah meninggal dunia maka, yang
menggantikan adalah wakil imam.

Nasihat-nasihat al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik sultan


Seljuk. Terutama sekali meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Nizam al-Muluk
menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut sultan tujuan
utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirna Islam Sunni.

Selanjutnya di pembahasan berikutnya, al-Ghazali memulai dengan adab dan etika


seorang pemimpin. Yang pertama-tama harus dipahami, menurut al-Ghazali
adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya –
jika tidak amanah.

Al-Wilayah adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT jika digunakan
untuk kemaslahatan umat manusia. Maka apabila seseorang diberi kenikmatan
tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut
dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya serta mengikuti
hawa nafsunya, maka pemimpin yang demikian, menurut al-Ghazali telah
menempatkan posisinya sebagai musuh Allah.

Sebagaimana para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali berpendapat bahwa


wujud sebuah pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika tidak ada pemerintahan
yang memegang otoritas publik, maka hal tersebut menyebabkan kekacauan,
permusuhan, pertumpahan darah, kemiskinan, dan tidak stabilnya ekonomi
masyarakat . Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada dikotomi
antara agama dan negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat signifikan dalam
mewujudkan masyarakat dan perdamaian.

Ilmu dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan politik adalah model
perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat negara tidak saja menguasai
teori-teori politik akan tetapi mereka juga harus faqih. Yang ditekankan adalah
tidak saja seorang politikus itu paham ilmu-ilmu fardlu kifayah akan tetapi ia juga
harus menguasai ilm-ilmu fardlu ’ain.

15
Poin penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran politik al-
Ghazali adalah seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti membina
hubungan baik dengan ulama. Karena dari mereka akan diperolah kebaikan-
kebaikan. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh
ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan
nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan moral.

4. Pemikiran Epistemologi Imam Al-Ghazali

Fase Epistemologi

Fase ini terdiri dari tiga tahap :

a. Tahap ketujuh : pengamalan ilmu praksis

Semua ilmu yang dihasilkan dengan epistemologi adalah ilmu praksis, dalam arti
bahwa ilmu teoritis yang pasti dan tentatif merupakan landasan, sedang hukum
merupakan kaidah formal perbuatan praksis manusia, dan etika merupakan ilmu
praksis dari sudut internal.

b. Tahap kedelapan : tercapainya kasyf

Menurut Al-Ghozali, ilmu kasyf bukan merupakan hasil usaha langsung,


melainkan karunia Allah yang didahului oleh persiapan diri berupa mujahadah dan
riyadah tersebut. Cara kasyf pun bermacam-macam. Kadang dengan cara ilham
yakni tiba-tiba ilmu itu muncul tanpa diketahui sebabnya. Kadang lewat mimpi
yang benar, dan kadang dalam keadaan terjaga dengan cara tersingkapnya makna-
makna dengan simbol-simbol seperti dalam tidur.

c. Tahap kesembilan : tercapainya kebahagiaan abadi

16
Kasyf merupakan kebahagiaan. Akan tetapi yang dimaksud kebahagiaan denagn
tercapainya wus}ul (sampai) yakni berada sedekat mungkin dengan Allah sejak
dunia sampai akhirat. Artinya derajat kedekatan dengan Allah dan kebahagiaannya
serta ketertutupan dan kesengsaraannya yang dicapai didunia, itulah pula yang
diperoleh diakhirat.

Mengenai kaidah penerapan ilmu, al-Ghazali juga memiliki tujuh prinsip yakni:

1. Objektivitas-kontekstualitas, ilmu dalam dimensi aksiologisnya harus


mempertimbangkan konteks dan implikasi-implikasinya sesuai tuntutan norma-
norma etis-yuridis. Dengan kata lain, objektivitas ilmu dibatasi oleh nilai-nilai
etis-yuridis yang mengacu kepada kesejahteraan-kebahagiaan yang merupakan
tujuan akhir dari pada ilmu. Ilmu dalam ontologi dan epistemologinya bebas nilai
sedangkan dalam aksiologinya sudah terikat dengan nilai, sehingga tidak semua
ilmu faktual dapat diimplikasikan dan semua fakta dapat diungkapkan.

2. Ilmu untuk amal dan kebahagiaan, landasan ilmu amali yakni ilmu-ilmu
faktual dasar, sedangkan metode praktisnya dalam rangka mencapai kebahagiaan
abadi yakni dengan amal. Orientasinya dapat kita lihat dalam sistem atau etika
pendidikannya, baik pada komponen guru dan murid, materi, proses dan
tujuannya.

3. Prioritas, prinsip ini perlu diperhatikan dalam penerapan ilmu. Dalam


penerapan ilmu harus mendahulukan kepentingan individual dari kewajiban
komunal, mengutamakan mayoritas daripada minoritas, dan mengutamakan yang
lebih penting atau mendesak.

4. Proporsionalitas, ilmu harus ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya,


yakni yang pasti pada kepastiannya dan yang tidak pasti pada ketidakpastiannya.

5. Ikhlas

6. Tanggung jawab moral dan profesional. Hal ini sesuai dengan pemaparan
tanggung jawab ilmuwan di atas.

17
7. Kerja sama ilmu dengan politik. Bagi al-Ghazali, otoritas dan objektivitas
ilmiah tidak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan
ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan
asa, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Otoritas politik hanya terbatas
pada dimensi aksiologisnya, karena hanya merupakan alat untuk melindungi,
mengembangkan, dan merealisasikan ilmu.

Contoh-Contoh Fase Epistemologi

1. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain

Perkemabangan sain di dalam paham Humanisme. Humanisme adalah paham


filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).

Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia


menunjukkan bila alam tidak di atur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan
manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan
sebaiknya –kalau dapat –manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya.
Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.

Itu dibuat berdasarkan agama atau mitos,maka akan sulit sekali menghasilkan
aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencakupi untuk dijadikan
sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat
tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam.

Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu
yang ada pada manusia.alat itu ialah akal. Pertama, karena akal dianggap mampu,
kedua, karena akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama.
Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat
dn sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan
rasionalisme.

Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan
pengukur pengetahuan. Pengetahuan di cari dengan akal, temuannya di ukur

18
dengan akal pula.Yang diperoleh ialah berfikir logis tidak menjamin diperolehnya
kebenaran yang di sepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau
begitu di perlukan alat lain .alat itu ialah empirisisme.

Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang
logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisisme yang benar adalah bergerak,
sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak.

Empirisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Empirisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisme ialah karena ia
belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata
empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi
yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisime, kelereng ini kecil, bulan lebih
besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya.
Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum.konsep itu belum
operasional, karena belum terukur. Jadi masih di perlukan alat lain. Alat lain itu
ialah positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya,
yang terukur. “terukur” ialah sumbangan penting positivisme. Positivisme sudah
dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia
dan mengatur alam. Kata positivisme ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya
yang terukur Alat lain itu ialah metode ilmiah. Metode ilmiah sebenarnya tidak
mengajukan sesuatu yang baru; metode ilmiah hanya mengulangi ajaran
positivisme, tetapi lebih operasional. Metode ilmiah mengatakan untuk
memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-
hypothetico-verificartif. Maksutnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis,
kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan
pembuktian hipotesis itu secara empiris.

Dengan rumus metode ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode ilmiah itu
secara teknis dan rinci di jelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode
Riset. Metode Riset menghasilkan model-model penelitian. Model-model

19
penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir-dan memang operasional- dalam
membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam). Dengan menggunakan
model penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah
yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai
bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang
lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik.

5. Pemikiran Moral Imam Al-Ghazali


Bagi al-Gazali, tujuan hidup manusia sebagai individu adalah
untuk mencari kebahagiaan. Kebahagian yang paling penting adalah
merealisasikan kebahagiaan di kehidupan yang akan datang atau
kehidupan akhirat. Pencapaian tujuan ini dapat dicapai melalui perilaku
yang baik sesama manusia berdasarkan tuntunan agama, serta
mengupayakan secara batin untuk mencapai keutamaan jiwa. Tujuan
pendidikan moral bagi al-Gazali adalah mempro-duksi manusia sempurna
yang memiliki kepribadian yang baik, kesucian jiwa dan mendekatkan diri
kepada Allah swt. Amin Abdullah mengungkapkan bahwa al-Gazali
menempatkan wahyu sebagai petunjuk utama atau bahkan cenderung satu-
satunya dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi
rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk
al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, sumber pendidikan
moral menurut al-Gazali adalah wahyu al-Qur’an sebagai otoritas utama
dalam pembentukan moral. Adapun peran rasio (akal) hanya sebagai
sumber pendukung dalam tindakan etis-manusia. Dalam hal ini, rasio
(akal) berperan memberikan keseimbangan dan rohani yang bersih kepada
seseo-rang sehingga melahirkan moral yang baik.
Pendapat al-Gazali tersebut juga diperkuat dengan sebuah hadis
yang menyebutkan bahwa sewaktu hendak mengutus Muaz bin Jabal ke
negeri Yaman sebagai qadi (hakim Islam), Nabi saw. bertanya kepada
Muaz: “Dengan apakah engkau menetapkan hukum?” Jawabannya,
“Dengan kitab Allah,” kemudian Nabi bertanya: “Jika engkau tidak

20
mendapatkan dalam kita Allah?” “Dengan sunnah Rasul,” jawabnya lagi,
Jika engkau juga tidak mendapatkan keterangan dalam sunnah Rasul?”
tanya Rasul “Saya menggunakan akalku dan tidak berputus asa,” kata
Muaz. Kurikulum pendidikan moral al-Gazali didasarkan pada dua
kecenderu-ngan yaitu, Pertama, kecederungan agama dan tasawuf.
Kecenderungan ini membuat al Gazali menempatkan ilmu-ilmu agama di
atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri
dan membersihkan seseorang dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan
kecenderungan ini, al-Gazali sangat mementingkan pendidikan moral
karena ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama. Kedua,
kecenderungan pragmatis. Kecederungan ini tampak dalam karya tulisnya.
Al-Gazali beberapa kali mengulang penilaiannya terhadap ilmu
berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia,
maupun kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral/non
syariat yang tidak dipergunakan pemiliknya pada hal-hal yang bermanfaat
merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi alGazali, setiap ilmu harus dilihat
dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah. Setiap amaliah
yang disertai ilmu itu harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat
yang tulus ikhlas. Hal ini terlihat dalam ungkapannya berikut yang
Artinya: Seluruh manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh
orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal, dan seluruh orang
yang beramal akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Dengan melihat sisi
pemanfaatan dari suatu ilmu ini, al-Gazali tergolong sebagai penganut
paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan
keagamaan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang
sufi yang memiliki tren praktis dan faktual. Adapun syarat pendidik moral
bagi al-Gazali adalah sebagai uswatun hasanah. Pendidik dalam
pendidikan merupakan komponen yang sangat menentukan
keberlangsungan proses pembelajaran.
Selain dikenal sebagai sosok yang lebih bersimpati terhadap bentuk
mistis Islam yang ditemukan di dalam Tasawuf, al-Ghazali juga

21
menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menulis. Karya-karya al-
Ghazali lah yang membuatnya sampai hari ini menjadi sosok yang
penting. Di antara seluruh karyanya, yang mempunyai pengaruh paling
besar adalah Tahāfut al-Falāsifa (Kerancuan Para Filsuf) (Eamon, 2016).
Dengan dukungan penuh dari penguasa, maka dapat dijelaskan
dengan mudah kenapa Tahāfut al-Falāsifa—yang diterbitkan Al-Ghazali
saat berusia sekitar 33 tahun—dapat menjadi salah satu buku paling
penting yang pernah ditulis. Pada akhirnya, karya tersebut akan
menentukan bagaimana perkembangan teologi Islam ke depannya (Eamon,
2016).
Titik tekan dari buku Tahāfut al-Falāsifa adalah kritik terhadap
perkembangan filsafat di masa sebelumnya yang dia anggap tidak
memiliki komponen keimanan, yang mana padahal menurut al-Ghazali
keimanan adalah elemen terpenting dari agama. Secara spesifik, yang
dikritik adalah ide-ide Neoplatonis yang terinspirasi dari Plato (filsuf
Yunani) (Eamon, 2016).
Tahāfut al-Falāsifa merupakan titik balik dalam sejarah intelektual
dunia secara umum dan juga sejarah Islam pada khususnya pada abad
pertengahan. Karya tersebut membahas konflik di antara ilmu kalam dan
filsafat. Namun, bukan berarti al-Ghazali mengatakan para filsuf itu atheis
—jauh dari itu, kritik al-Ghazali adalah bahwa seluruh sistem pemikiran
filosofis para filsuf bergantung pada penegasan keberadaan Tuhan, yang
darinya semua eksistensi lainnya terpancar. Tapi, menurut para filsuf, para
makhluk ciptaan Tuhan ini merupakan konsekuensi dari esensi Ilahi,
seolah-olah para makhluk merupakan “kebutuhan” dari kekuasaan Tuhan
(Michael E, 2000).
Hal itulah yang dikritik oleh al-Ghazali, bahwa sudut pandang
filsuf tersebut melihat Tuhan layaknya benda mati. Al-Ghazali
mengumpamakan bahwa Tuhan dalam sudut pandang filsuf seperti benda
mati, misalnya seperti matahari yang secara alamiah memancarkan cahaya.
Dengan kata lain, Tuhan menciptakan makhluk dengan kebutuhan yang
sama seperti benda mati yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi

22
tertentu dari keberadaannya, yang tentu saja berada di luar kendalinya
(Michael E, 2000).
Al-Ghazali menilai bahwa ide-ide tersebut berarti menyangkal
otoritas ilahi tentang kehidupan, kehendak, kekuatan, dan pengetahuan.
Al-Ghazali menilai bahwa Tuhan dalam sudut pandang filsuf di masa itu
bukanlah seperti Tuhan yang digambarkan di dalam al-Quran. Namun
terlepas dari itu semua, al-Ghazali mengatakan bahwa yang menjadi
permasalahan bukanlah pertanyaan tentang eksistensi Tuhan, melainkan
tentang sifat ke-Tuhanan (Michael E, 2000).
Pemikir Muslim terkemuka yang terpengaruh oleh teologi
Neoplatonis adalah Ibnu Sina (di Barat dikenal dengan nama Avicenna).
Karya filsafat Ibnu Sina merupakan sebuah karya yang berusaha untuk
mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam. Tujuannya adalah
untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui akal dan logika saja, dan
itulah yang ditentang al-Ghazali. Tahāfut al-Falāsifa ditulis dalam 20 bab,
masing-masing bab merupakan sanggahan terhadap gagasan Ibnu Sina dan
para pengikutnya (Michael E, 2000).
Secara keseluruhan, dari 20 bab yang ditulis oleh al-Ghazali, 17 di
antaranya membahas kesalahan-kesalahan Ibnu Sina yang masih dalam
batas toleransi dan dapat “dimaafkan”. Sementara 3 bab terakhir
merupakan kritikan keras al-Ghazali terhadap Ibnu Sina karena berbahaya
bagi keimanan dan menyesatkan (Michael E, 2000).
Berikut ini adalah penjelasan dari 3 bab terakhir tersebut (Michael
E, 2000):
Pertama, dilihat dari sudut pandang al-Ghazali, para filsuf melihat
bahwa dunia ini abadi. Dalam artian, di mana ada Tuhan, maka di sana ada
penciptaan. Bagi al-Ghazali, ini sama sekali tidak dapat diterima karena
bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa Tuhan menciptakan dunia
pada suatu waktu, dan sebelumnya tidak ada.
Kedua, al-Ghazali mengecam bahwa para filsuf “tidak agamis”,
karena beranggapan bahwa Tuhan tidak mengetahui segalanya. Al-Ghazali
mengutuk pandangan ini secara mutlak, karena gagasan tentang ke-
MahaTahuan Allah adalah salah satu ajaran sentral di dalam teologi Islam.

23
Ketiga, pandangan filsuf yang mempertanyakan tentang
dibangkitkannya tubuh material pada hari kebangkitan adalah
perilaku bid’ah. Bagi al-Ghazali, dibangkitkannya tubuh material manusia
pada hari kebangkitan pada saat kiamat adalah keyakinan dalam Islam
yang tidak terbantahkan.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad


ibn Ahmad al-Ghazali al-Tusi. Kelahirannya pada 450 H/1058 M di
Ghazaleh, suatu desa dekat Thus, di daerah Khurasan, Persia. Gelar dia al-
Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal
bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus,
Khurasan, Persia (kini Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa
dia bermazhab Syafi'i
2. Adapun karya-karyanya antara lain : 1) Ihya Ulumuddin, 2) al-Adab fi alDin,
3) al-Arba’in fi Ushul al-Din, 4) Assas al-Qiyas, 5) al-Istidraj, 6) Asrar
Mu’amalah al-Din, 7) al-Iqtishad fi al-I’tiqad, 8) Ilja al-Awwan al-Ilmu al-
Kalam, 9) al-Isma’ ala Musykil al-Ihya, 10) Ayyuha al-Walad, 11) al-Bab al-
Muntahal fi al-Jidal, 12) Bidayah al-Hidayah, 13) al-Basith fi al-Furu’, 14)
Ghayah al-Ghawr fi Dirayah al-Dawr, 15) al-Tawilah, 16) al-Tibral al-
Masbuq fi Nasha’I al-Mulk, 17) Tashim al-Ma’akid, 18) Talbis Iblis, 19) al-
Talikaf fi Furu’ al-Mazhab, 20) alTafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah, 21)
Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 22) Tazhib al-Ushul, 23) al-Mungkidz min al-
Dhalal, 24) Tahafut al-Falasifah, 25) Maqasid al-Falasifah, 26) al-Wajiz, 27)
Lubab al-Nazhar, 28) Qawashim al-Bathiniyah, 29) Kimiyah al-Sa’adah
3. Pemikiran-pemikiran filsafat Imam Al-Ghazali diantaranya yaitu:

24
Metafisika yang berarti mempergunakan akal semata-mata dalam soal
ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi
kebutuhan.
Iradat tuhan yang berarti Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan.
Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus
dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia
sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti
pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‘asy al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abi Daud, Kitab
al Aqdiyah fi al-Sulh Bab Ijtihad al-Ra’yi fi al-Qada’, Jilid II, Beirut: Dar
al-Fikr, 1994, h. 168.

Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,diterjemahkan ke Bahasa Inggris


oleh Michael E. Marmura, (Brigham Young University Press: Utah,
2000), pengantar oleh penerjemah.

Amin Abdullah. (2002). Filsafat Etika Islam: Antara Al-Gazali dan Kant, cet. II.
Bandung: Mizan. h. 11.
Arifin, H.M. (1991). Filsafat Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Bumi Aksara

Eamon, Gearon. (2016). Turning Points in Middle Eastern History. Virginia: The
Great Courses.

Fuad Mahbub Siraj. (2012). Al-Gazali Pembela Sejati Kemurnian Islam, cet. I.
Jakarta: Dian Rakyat.

25
Hadi, Hardono. (2000). Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius.
Madkour, Ibrahim. (1996). Filsafat Islam; Metode dan Penerapan, penerjemah
Yudian Wahyudi, dkk, cet. 4. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Nasution, Harun, (1975). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Cet. V, Jakarta:
Bulan Bintang.
Nata, Abudin. (1997). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ramayulis dan Samsul Nizar. (2005). Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam di
Dunia Islam dan Indonesia. Ciputat: Quantum Teaching.
Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusial-Gazali, Ih}ya’
‘Ulum al-Din, Jilid IV, Kairo: al-Sya‘b, t.th., h. 599.
Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusial-Gazali, Ih}ya’
‘Ulum al-Din, Jilid IV, Kairo: al-Sya‘b, t.th., h.86.

26

Anda mungkin juga menyukai