Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SIYASAH SYAR’IYYAH

Dosen Pengampu:

Bpk. Nasrul Umam, M. Pd.I

Disusun Oleh:

1. Lismonowati ( 1723212003 )
2. Rofiqotul Mukaromah ( 1623211058 )
3. Sri Astuti ( 1623211083 )
4. Tita Anjayani ( 1623211005 )

FAKULTAS TARBIYAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI

TAHUN AKADEMIK 2018/2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu Wata’aala,


karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad Shalallahu ‘alaihiwasallam atas perjuangan beliau kita dapat
menikmati pencerahan iman dan Islam dalam mengarungi samudera kehidupan
ini. Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai “Siyasah Syar’iyyah”
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Siyasah dan Jinayah.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh Karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang dapat membangun bagi kami. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Cilacap, 15 November 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
A. Siyasah Syar’iyah.................................................................................................... 3
B. Khilafah................................................................................................................... 4
1. Definisi Khilafah ................................................................................................. 4
2. Tujuan Khilafah .................................................................................................. 5
3. Dasar-Dasar Khilafah.......................................................................................... 6
4. Perbedaan Khilafah dan Khalifah ....................................................................... 9
5. Syarat-Syarat Menjadi Khalifah.......................................................................... 9
6. Metode Pengangkatan dan Bai’at Khalifah....................................................... 10
7. Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Islam .............................................. 11
8. Hikmah Khilafah ............................................................................................... 15
C. Majlis Syura dan Ahlul Halli wal ’Aqdi ............................................................... 16
1. Definisi dan Pengertian Majlis Syura .............................................................. 16
2. Definisi dan Pengertian Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ................................................. 17
3. Persyaratan Anggota Majlis Syura .................................................................... 18
4. Hak Dan Kewajiban Majlis syura ..................................................................... 19
5. Hikmah Majlis syura ......................................................................................... 20
BAB III ............................................................................................................................. 21
PENUTUP ........................................................................................................................ 21
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 21
B. Saran ..................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam tidak hanya sebuah kepercayaan dan sistem ibadah, tetapi


juga sistem kemasyarakatan. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak hanya sebagai nabi, tetapi juga sebagai
seorang kepala negara. Demikian pula para Khulafaur Rasyidin adalah
pemimpin agama sekaligus pemimpin negara secara terintegrasi. Ayat Al-
Qur’an tentang aspek kemasyarakatan dan kenegaraan memang terbatas
dan hanya dalam garis besar saja. Para ulamalah yang kemudaian berupaya
melakukan ijtihad tentang berbagai persoalan kehidupan bernegara, yang
tentu saja banyak juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan politik
masing-masing. Sehingga terdapat perbedaan diantara satu ulama dengan
lainnya, terutama antara masa klasik dengan masa kontemporer.
Hubungan agama dan politik menjadi topik pembicaraan menarik,
baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh
golongan yang berpandangan sekuler. Munculnya masalah tersebut
dipandang wajar disebabkan karea risalah Islam yang dibawa Nabi
Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-
undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Siyasah syar’iyah dipandang sebagai sebuah proses yang tidak
pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergaulan sosial dan
pergumulan budaya. Pemecahan atas berbagai masalah yang terkait
dengan ihwal Siyasah syar’iyah lebih bersifat kontekstual, sehingga
dengan demikian gejala Siyasah syar’iyah menampakan diri dalam sosok
yang beragam sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Siyasah syar’iyah ?


2. Apa pengertian Khilafah ?
3. Apa saja hal yang bekaitan dengan Khilafah ?
4. Apa pengertian Majlis Syura dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi ?
5. Apa saja hal yang bekaitan dengan Majlis Syura dan Ahlul Halli wal
‘Aqdi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Siyasah syar’iyah.


2. Untuk mengetahui pengertian Khilafah.
3. Untuk mengetahui hal yang bekaitan dengan Khilafah.
4. Untuk mengetahui Majlis Syura dan Ahlul Halli wal ‘Aqd.i
5. Untuk mengetahui hal yang bekaitan dengan Majlis Syura dan Ahlul
Halli wal ‘Aqdi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Siyasah Syar’iyah

Menurut Abu Al Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah berarti suatu tindakan yang
dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari
kerusakan, kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT juga
tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya. Dalam redaksi yang berbeda
Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan, siyasah berarti pengaturan
kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta pengambilan
kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.
Dari uraian diatas, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan siyasah
syar’iyah adalah ilmu yang membahas tentang tata cara pengaturan masalah
ketatanegaraan Islam semisal (bagaimana mengadakan) perundang-undangan
dan berbagai peraturan (lainnya) yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
kendatipun mengenai penataan semua persoalan itu tidak ada dalil khusus
yang mengaturnya.
Ditinjau dari sumber pembentukannya, siyasah syar’iyah dalam proses
penyusunannya memperhatikan norma dan etika agama. Dasar pokok siyasah
syar’iyah adalah wahyu dan agama. Nilai dan norma transendental
merupakan dasar bagi pembentukan peraturan yang dibuat oleh institusi-
institusi kenegaraan yang berwenang. Syari’at adalah sumber pokok bagi
kebijakan pemerintah dalam mengatur berbagai macam urusan umum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sumber lainnya ialah
manusia sendiri dan lingkungannya. Peraturan-peraturan yang bersumber
pada lingkungan manusia sendiri, seperti pandangan para ahli, hukum adat,
pengalaman manusia, dan warisan budaya, perlu dikaitkan atau dinilai
dengan nilai dan norma transendental agar tidak ada yang bertentangan
dengan kehendak dan kebijakan Tuhan seperti ditetapkan dalam syari’at-Nya.
Jadi, sumber dari siyasah syar’iyah ada dua macam yaitu sumber dari atas

3
yakni wahyu (agama) dan sumber dari bawah yaitu manusia sendiri serta
lingkungannya.
Siyasah syar’iyah merupakan berbagai peraturan yang dilahirkan oleh
umara dan atau ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan perundang-
undangan (qawanin), semisal konstitusi, dan lain-lain, yang bersifat mengikat
dan memaksa, sehingga siapapun yang melanggar atau tidak mematuhinya
akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, yang
berwenang menyusun siyasah syar’iyah adalah umara atau ulama negeri yang
duduk di lembaga legislatif, bukan ulama swasta yang tidak memiliki otoritas
politik untuk menyusun qanun.

B. Khilafah

1. Definisi Khilafah

Khilafah secara etimologi berasal dari kata ‫ خال فه – يخلف – خلف‬yang


berarti menggantikan atau menjadi khalifah/penguasa. Kata ‫ خال فه‬juga
dapat diartikan kekuasaan atau pemerintahan.
Adapun secara terminologi, khilafah yaitu susunan pemerintahan
yang diatur menurut ajaran Islam, dimana aspek-aspek yang berkenaan
dengan pemerintahan secara menyeluruh berlandaskan ajaran Islam.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di
dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam dan
menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang
juga disebut Imamah, dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan
banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan
khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di dunia
Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya
menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada
sekarang.
Pada masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin, bentuk
khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al-Qur’an

4
dan Sunnah pernah dilaksanakan. Dimana hukum-hukum Al-Qur’an dan
Sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh
kaum muslimin. Adanya khilafah memang sangat dibutuhkan oleh umat
Islam, sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam sendiri.
Tanpa adanya khilafah, kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur,
kemakmuran bersama tidak akan tercapai, bahkan eksistensi Islam dan
umatnya dapat terancam.
Namun, kehidupan umat Islam didunia ini sudah sangat majemuk,
sehingga terkadang sangat sulit untuk dicarikan kesepakatan yang bulat
mengenai bentuk negara, apalagi yang menyangkut ideologi. Maka dalam
kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dalam bernegara, konsep khilafah
Islam atau negara Islam mengandung dua pengertian yang berbeda, yaitu
sebagai berikut:
a. Negara Islam, yaitu negara yang sumber hukum dan undang-
undangnya Al-Qur’an dan Sunah dan dilaksanakan secara konsisten.
Misalnya Arab Saudi.
b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, undang-undangnya tidak secara eksplisit berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi umat Islam menjalankan agamanya
dengan sebaik-baiknya. Misalnya, negara-negara Arab, Indonesia,
Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara anggota OKI
(Organisasi Konferensi Islam).

2. Tujuan Khilafah

Ada beberapa tujuan khilafah, diantaranya adalah sebagai berikut:


a. Terwujudnya kehidupan beragama yang mantap pengamalannya
dengan segala aspek kehidupan umat, baik dalam kehidupan pribadi,
masyarakat dan negara. Umat Islam dapat dengan bebas dan leluasa
menjalankan syari’at Islam tanpa adanya gangguan dan hambatan.
Menjadi manusia-manusia yang bertakwa yang selalu melaksanakan

5
perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Allah SWT
berfirman sebagai berikut:
ْ َ َ َ َ َ َّ ََ َ ِ ْ ُ َّ َّ َّ ْ َ ْ َّ
‫َوا َم ُر ْو ِابال َم ْع ُر ْو ِف‬ ‫لصالة َو َءات ُواا َّلزكا ة‬ ‫ض اق ُامواا‬ ِ ‫ر‬ ْ ‫اال‬ ‫ال ِذ ين ِان مكنهم ِف‬
ُ ُ َ ‫َََ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ه‬
‫لِل عا ِق َبة اال ُم ْو ِر‬
ِ ِ ‫ونهواع ِن المنك ِرو‬

Artinya:

“....(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka


dimuka bumi ini niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(QS. Al-
Hajj/22:41)

b. Tercipta kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa.


Terwujudnya kemakmuran diseluruh lapisan masyarakat. Masyarakat
merasa aman dan tenteram, jauh dari rasa ketakutan.

3. Dasar-Dasar Khilafah

Umat Islam telah sepakat bahwa hukum mendirikan khilafah Fardhu


Kifayah atas semua umat Islam, dengan beberapa alasan diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Nash Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan
khilafah serta janji Allah SWT berupa kebaikan yang akan diberikan
kepada orang-orang yang menaatinya. Allah berfirman sebagai
berikut:
َ ِ ْ ُ َّ َ ْ ْ َ َ
ْ ‫اال‬ َّ ‫الِل َّالذ ْي َن َء َام ُن ْوام ْن ُك ْم َو َعم ُل‬
َ ‫واالصل‬ ُ ‫َو َع َد ه‬
‫ض‬ ِ ‫ر‬ ‫ف‬ِ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ف‬‫ل‬ِ ‫تخ‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ات‬ِ ِ‫ح‬ ِ ِ ِ
َ َ َ َّ َ َ َِّ َِ ِّ َ ُ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ
‫ن ل ُه ْم د ْين ُه ُم ال ِذ ْي ْارت ِض ل ُه ْم‬ ‫كما استخلف ال ِذين ِمن قب ِل ِهم وليمك‬
َ َ َ ً َ َ ُ ْْ ُ َ ِ َ ُ ُ ْ َ . ً ْ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ْ ُ َّ َ ِّ َ ُ َ َ
‫ َو َم ْن كف َر َب ْعد‬.‫شك ْون ِب ش ْيئا‬ ِ ‫وليبدلنهم ِمن بع ِدخو ِف ِهم امنا يعبدون ِن الي‬
َ ُ َْ ُ َ َ َُ َ َ
‫ذ ِلك فأول ِئك ه ُم الف ِسق ْون‬

6
Artinya:
“Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu dan mengerjakann amal-amal yang shaleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka telah menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa
yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-
orang yang fasik.

Allah SWT juga menganjurkan kepada seluruh Umat Islam agar


bersatu, sesuai dengan firman-Nya sebagai berikut:
ُ ََ َ ‫ه‬ َْ َ
‫الِل َج ِم ْي ًعا َوال تف َّرق ْوا‬ َ ْ
ِ ‫واعت ِص ُموا ِبح ْب ِل‬
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai...”(QS.Ali Imran/3:103)
Allah SWT juga memerintahkan kepada hamba-hambaNya agar
mereka taat dan patuh terhadap pemimpin mereka, sebagaimana
firman-Nya sebagai berikut:
ُ َْ ُ َ َ ْ ُ َّ ُ ْ َ َ َ ‫َ َ ُّ َ َّ ْ َ َ َ ُ ْ َ ْ ُ ه‬
.‫وِل اال ْم ِر ِم ْنك ْم‬
ِ ‫ياايهاال ِذين ءامنواا ِطيعواالِل وا ِطيعواالرسول و‬
‫ا‬
َ ُ ُْ ُُْ ْ ‫َ ْ َ َِ َِ ْ ُ ْ ِ َ ْ ئ َ ُّ ْ ُ َ ه‬
َّ ‫الِل َو‬
‫الر ُس ْو ِل ِان كنت ْم تؤ ِمن ْون‬ ِ ‫ن ف ُردوه ِاِل‬ ٍ ‫ف ِان تنعتم ِف ش‬
ً َ َ َ َ َ َْ ْ ‫ه‬
‫ ذ ِلك خ ْ ٌن َوا ْح َس ُن ت ِأو ْيال‬.‫لِل َوال َي ْو ِم اال ِخ ِر‬
ِ ‫ِبا‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT

7
(Al-Qur’an) dan rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat diatas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu
Al-Haakim (penguasa). Perintah ini, berarti perintah pula untuk
mengadakan atau mengangkat Ulil Amri.
b. Nash Hadits yang menganjurkan kepada Umat Islam agar senantiasa
taat dan patuh kepada pemimpinnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai,
dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat
berlindung.”(HR. Muslim).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Bila seseorang melihat sesuatu yang
tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab
barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam)
walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati
jahiliyah.”(HR. Muslim).
Hadits diatas merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah
SAW bahwa seorang khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan
ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum Muslimin. Pernyataan
Rasulullah SAW bahwa seorang Imam itu laksana perisai
menunjukan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan
seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab).
c. Ijma’ sahabat, mereka mendahulukan permusyawaratan khilafah
daripada urusan jenazah Rasulullah SAW. Ketika itu ramai
dibicarakan soal khilafah oleh pemimpin-pemimpin Islam berupa
perdebatan dan pertimbangan. Akhirnya tercapai kata sepakat untuk
memilih Abu Bakar Ash Shidiq sebagai khalifah, kepala negara Islam
yang pertama setelah Rasulullah SAW wafat.
Jika kita mengamati khilafah pada zaman Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin, maka ada dasar-dasar khilafah yang dicontohkan oleh
mereka, antaralain:

8
1) Persatuan (Ukhuwah Islamiyah)
2) Keadilan yang mutlak terhadap segala lapisan masyarakat.
3) Tauhid (mengesakan Allah)
4) Kejujuran dan keikhlasan serta tanggung jawab dalam
menyampaikan amanah kepada ahlinya (rakyat) dengan tidak
membeda-bedakan ras dan warna kulit.
5) Kedaulatan rakyat, yang dapat dipahami dari perintah Allah yang
mewajibkan kita taat kepada Ulil Amri.

4. Perbedaan Khilafah dan Khalifah

Kata khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti kedudukan yang


ditinggalkan pendahulunya. Khalifah dapat juga diartikan orang yang
memegang pemerintahan atau orang yang diberi tugas menjalankan
pemerintahan. Khalifah dalam arti khusus yaitu kepala negara setelah
Rasulullah SAW atau pengganti-pengganti Rasulullah SAW sebagai
kepala negara, tetapi tidak menggantikan kedudukannya sebagai Nabi dan
Rasul Allah SWT. Misalnya Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya.
Dengan demikian, perbedaan khilafah dengan khalifah adalah
kalau khilafah adalah pemerintahan, kepemimpinan, sedangkan khalifah
adalah orangnya, yaitu pemimpin atau pemerintah. Khilafah berbentuk
masdar sedangkan khalifah adalah isim sifat.

5. Syarat-Syarat Menjadi Khalifah

Syarat-Syarat Menjadi Khalifah diantaranya adalah:


a. Taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, yaitu melaksanakan segala
perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, dan memahami
syari’at dengan baik.
b. Berakhlak mulia, bersikap adil dan jujur serta bertanggung jawab
terhadap tugas-tugasnya.

9
c. Teguh pendiriannya dalam menjalankan roda pemerintahan,
membangun negara dan mengembangkan kehidupan beragama.
d. Memiliki kecerdasan akal pikiran serta berpengetahuan luas, baik
pengetahuan umum yang berkenaan dengan politik, sosial, ekonomi,
maupun dalam soal-soal keagamaan.
e. Betul-betul merupakan pilihan rakyat, ini berarti seorang khalifah
adalah orang yang disukai oleh seluruh umat Islam, atau paling tidak
oleh sebagian besar umat Islam.
Adapun Abdul Qadir sudah menetapkan syarat khalifah/kepala negara
dengan delapan syarat, yaitu:
a. Islam
b. Pria
c. Taklif
d. Ilmu pengetahuan
e. Adil
f. Kemampuan dan kecakapan
g. Sehat jasmani dan rohani
h. Keturunan Quraisy

6. Metode Pengangkatan dan Bai’at Khalifah

a. Cara Pengangkatan Khalifah


Pengangkatan khalifah dianggap sah apabila melalui cara-cara
dibawah ini:
1) Melalui pengangkatan dengan pernyataan taat setia yang
dilakukan oleh orang-orang cerdik (ulama) yang terkemuka atau
mereka yang tergabung dalam Ahlul halli wal aqdi, seperti Abu
Bakar ketika diangkat menjadi khalifah.
2) Melalui Istikhlaf, yaitu pengangkatan dengan cara penetapan dari
khalifah atau pemimpin yang masih hidup terhadap penggantinya
bila ia mati. Seperti pemilihan Umar bin Khattab atas usulan Abu
Bakar Ash Shidiq sebelum beliau wafat.

10
3) Melalui Istilak, yaitu menguasai dan mengalahkan, maksudnya
melakukan perebutan kekuasaan dengan kekuatan.
b. Bai’at Khalifah
Bai’at secara etimologi ialah berjabat tangan atas terjadinya
jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Bai’at secara istilah adalah
“berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbai’at memberikan
perjanjian kepada amir (pemimpin)nya untuk menerima pandangan
tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum Muslimin, tidak
akan menentang sedikitpun dan selalu menaatinya untuk
melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan
suka atau terpaksa.
Bai’at banyak dikenal sekarang sebagai pelantikan. Adapun
isinya berupa ikrar pengangkatan seseorang menjadi khalifah
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta janji melaksanakan kegiatan
dalam arti yang sesungguhnya. Contohnya, ikrar Umar bin Khattab
kepada Abu Bakar Ash Shidiq berikut ini “Wahai Abu Bakar,
bukankah nabi telah menyuruhmu supaya mengganikan beliau
memimpin kaum Muslimin mendirikan shalat? Engkaulah
penggantinya (khalifah), sekarang kami memilih engkau. Memilih
orang yang paling banyak tersinggung. Memilih orang yang paling
disukai oleh Rasulullah SAW.”
Naskah bai’at itu bisa bermacam-macam yang penting
prinsipnya sama yaitu pelantikan khalifah dan kesetiaan rakyat.
Contoh lain misalnya, bai’at Utsman bin Affan yang diucapkan
Abdurrahman bin Auf, “Saya membai’at engkau dengan syarat
engkau memegang teguh kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dan
mengikuti jejak khalifah yang telah wafat.”

7. Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Islam

Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum.


Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam

11
kalimat “hirasat ad-din wa siyasat ad-dunya”. Negara bertanggung
jawab atas kemaslahatan kehidupan rakyatnya, baik dari sisi agama,
sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, serta keadilan. Kalau kita
mencermati negara ideal Madinah maka kita akan tercengang, betapa
bertanggungjawabnya negara atas rakyatnya.
Rakyat, sebagaimana negara, juga memiliki kewajiban-kewajiban.
Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada negara selama tidak
bermaksiat kepada Allah SWT. Hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa
Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-
kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak
setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak
akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang hak-hak warga
negara dalam negara Islam dan hak-hak negara (khalifah). Hak-hak warga
negara dalam negara Islam bisa dibedakan atas Hak-Hak Politik dan Hak-
Hak Umum. Hak-hak politik warga negara diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Hak memilih (haqq al-intikhab)
b. Hak untuk diajak bermusyawarah (haqq al-musyawarat). Bagaimana
jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih
harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawabannya adalah ya,
dengan beberapa alasan berikut ini:
1) Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara
sengaja atau tidak, mungkin saja menetapkan kebijakan yang
merugikan rakyat. Apabila kebijakan sudah ditetapkan dan
dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk menghalau
kerugian yang ditimbulkan (karena sudah terlanjur).
2) Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat
merupakan perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat).

12
Diantara pengikat-pengikatnya adalah kewajiban kepala negara
untuk bermusyawarah dengan rakyat.
Para ulama mengatakan bahwa jika kepala negara tidak mau
bermusyawarah dengan ahlul ‘ilmi wad din, maka menurunkannya
adalah wajib. (Tafsir Qurthubiy Juz 4 hlm 249).
c. Hak mengawasi/mengontrol (haqq al-muraqabat). Karena khilafah
merupakan wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa
sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa.
Bahkan, pada dasarnya pengawasan/pengontrolan rakyat atas
penguasa bukan saja hak akan tetapi kewajiban.
d. Hak menurunkan khalifah (apabila keadaan mengharuskan) (haqq al-
‘azl). Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-
sebab syar’i yang mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah
melalui kekuasaan ahlul hall wal ‘aqd. Namun, apabila ahlul hall wal
‘aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak
mengindahkan ahlul hall wal ‘aqd, maka rakyat bisa langsung turun
tangan dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah.
e. Hak untuk mencalonkan (haqq al-tarsyih). Seorang warga negara
berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan
politik. Namun, seorang warga negara pada dasarnya tidak berhak
(dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi
melarang yang demikian. Namun, jika keadaannya darurat (seperti
dizaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki
keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri
menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya.
f. Hak untuk dipilih/memangku jabatan-jabatan umum (haqq tawalliy
al-wazha if al-‘ammat). Sebetulnya, memangku jabatan politik
bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya
untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (karena
ambisi) [Tafsir al-Wushul Juz I Hal 18]. Apabila menuntut jabatan
politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah selanjutnya? Jawabannya,

13
hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para
penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari
orang-orang yang terbaik (al-ashlah).

Adapun hak-hak umum warga negara diantaranya adalah sebagai


berikut:
a) Hak persamaan (al-musawat). Allah SWT berfirman, “Wahai
manusia! Sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan Aku menjadikan kalian
berkelompok-kelompok dan bersuku-suku adalah agar kalian
saling mengenal (al-ta’aruf). Sesungguhnya yang paling mulia
diantara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS Al-
Hujurat/49 : 13)
b) Hak kebebasan (al-hurriyat) sebagai berikut:
1) Kebebasan individu (al-hurriyat al-syakhshiyyat). Dalam
Islam terdapat prinsip bara’at al-dzimmat, yakni suatu
ketetapan bahwa setiap individu pada asalnya adalah bebas
(dari segala beban dan tuntutan).
2) Kebebasan berkeyakinan (beraqidah) dan beribadah. Allah
SWT berfirman, “Tidak ada paksaan dalam beragama.
Sungguh telah jelas antara petunjuk dan kesesatan.” (QS Al-
Baqarah : 256)
3) Kebebasan bertempat tinggal. Setiap waga negara dalam
negara Islam bebas bertempat tinggal dan menjadikan tempat
tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya.
4) Kebebasan bekerja
5) Kebebasan pemilikan
6) Kebebasan berpikir dan berpendapat. Namun perlu diketahui
bahwa kebebasan berpendapat tidaklah bersifat mutlak tanpa
batasan. Kebebasan ini tetap mempunyai batasan-batasan,
antara lain sebagai berikut:

14
i. Didasarkan atas itikad yang baik dan niat yang tulus.
ii. Tidak boleh ditujukan untuk menjatuhkan pihak lain,
membuka aib-aib orang lain, memprovokasi dan mengadu
domba, atau sekedar untuk mencari popularitas.
iii. Tidak bertentangan dengan asas-asas ajaran Islam.
iv. Hendaknya disampaikan dengan akhlaq (etika) yang baik.
c) Hak menuntut ilmu/mendapatkan pengajaran. Perhatian yang
besar dari negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita lihat
dalam Sirah Nabawiyah. Pada suatu ketika, Nabi selaku kepala
negara, mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan
Badar adalah empat puluh auqiyat. Barang siapa tidak mampu
dengan tebusan itu, maka tebusannya adalah dengan mengajarkan
tulis menulis kepada sepuluh orang muslim.
d) Hak memperoleh tanggungan (al-Kafalat) dari negara. Apabila
ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib
bagi ‘a-ilat (keluarga dekat penerima waris)-nya untuk
membantunya. Apabila yang demikian masih belum mencukupi
maka negara wajib menanggungnya. Negara wajib memberikan
pekerjaan yang halal dan layak kepadanya.

8. Hikmah Khilafah

a. Khilafah dapat memajukan kesejahteraan umat, karena segala potensi


umat dapat terorganisir, dikembangkan dan disalurkan serta
dimanfaatkan oleh rakyatnya sesuai bidang keahlian masing-masing.
Hasilnya dapat dirasakan seluruh umat secara merata, sehingga umat
Islam akan menjadi umat yang modern dan besar.
b. Dengan khilafah maka segala aturan agama dapat dijalankan dengan
baik. Karena untuk melaksanakan aturan dan ajaran agama perlu
adanya kekuatan dan wewenang dari penguasa, jika tidak, maka akan
sulit menerapkan dan mengamalkan ajaran dan aturan agama dengan
totalitas.

15
c. Dengan khilafah, maka persatuan dan kesatuan umat dapat dengan
mudah terealisir. Dibawah satu pimpinan penguasa tertinggi yang
baik dan bijak maka umat akan patuh dan bersatu memberikan suara
dan dukungannya.
d. Khilafah dapat menumbuhkan keamanan, ketertiban, dan
kesejahteraan serta kemaslahatan umat.
e. Memperluas objek dakwah dan syiar Islam kepada seluruh dunia.
f. Memberikan uswah atau contoh kepemimpinan yang baik kepada
seluruh dunia. Sehingga secara tidak langsung memberikan
pembelajaran kepada dunia bahwa sistem khilafah yang berlandaskan
Al-Qur’an dan Sunah merupakan jaminan terselenggaranya
pemerintahan yang baik dan benar, sehingga dapat menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan.

C. Majlis Syura dan Ahlul Halli wal ’Aqdi

1. Definisi dan Pengertian Majlis Syura

Secara bahasa kata majlis syura terdiri dari kata majlis dan syura.
Majlis berarti tempat, adapun syura berarti musyawarah. Jadi secara
bahasa majlis syura berarti tempat musyawarah. Majlis syura berarti
lembaga permusyawaratan yaitu badan atau lembaga tempat
bermusyawarah para wakil rakyat dan orang-orang yang berilmu.
Dalam pengertian istilah majlis syura adalah suatu majlis
(lembaga) yang bertugas memberikan pertimbanagan-pertimbangan
kepada kepala negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga
ini hanya bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan
sedangkan pengambilan keputusan tetap ditangan kepala negara.
Meskipun demikian, para ulama memiliki banyak pendapat
tentang kondisi dimana kepala negara berbeda dengan majlis syura.
Semua ulama sepakat bahwa dalam kasus pada QS. Al-Nisa :
59,”...Apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikan

16
masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya apabila kalian beriman kepada
Allah dan hari akhir....” Apabila dengan merujuk pada Allah ( kitabullah)
dan Rasul (as Sunah) , masalah masih belum bisa diselesaikan maka
terdapat tiga kemugkinan solusi seperti berikut ini:
a. Metode tahkim, maksudnya panitia khusus dibentuk, beranggotakan
para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus inilah
yang akan menengahi perbedaan anatara kepala negara dan majlis
syura.
b. Mengambil pendapat terbanyak (voting)
c. Mengambil keputusan kepala negara secara mutlak.
Rasullulah belum menentukan bentuk majlis syura di zamannya.
Semuanya diserahkan pada umat sesuai dengan yang dipandang relevan
dan baik untuk kemaslahatan umat. Adapun mengenai musyawarah,
Allah SWT dan Rasul-Nya sangat menganjurkan. Sebagaimana firman-
Nya berikut ini:
َِ ْ ‫الِل ُيح ُّب ْال ُم َت َو ِّكل‬ ‫َ َ ُ ِ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ ه‬
َ ‫الِل ا َّن ه‬
‫ن‬ ِ ِ ِ ِ ‫وشا ِو ْره ْم ِف اال ْم ِر ف ِإذا عز ْمت فت َوك ْل عَل‬
Artinya :

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,kemudian


apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”(QS.Ali imran: 159 )

Meskipun pada zaman Rasullulah belum ada majlis syura seperti


sekarang, tetapi beliau dapat menggunakan musyawarah dengan para
sahabatnya untuk menyelesaikan masalah kenegaraan dan
kemasyarakatan.

2. Definisi dan Pengertian Ahlul Halli Wal ‘Aqdi

Secara bahasa terdiri dari 3 kata berikut:


a. Ahlul, yang berarti orang yang berhak (yang memiliki)
b. Hallun, yang berarti melepaskan, menyelesaikan, memecahkan

17
c. ‘Aqdun, yang berarti mengikuti, mengadakan transaksi, membentuk
Menurut istilah adalah orang-orang yang berhak membentuk
suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika
dipandang perlu.
Ahlul halli wal ‘aqdi adalah wakil –wakil rakyat yang
menjadikan anggota majlis syura. Ahlul halil wal ‘aqdi, juga
diinterpretasikan yaitu para ulama, cerdik pandai dan pemimpin-
pemimpin yang mempunyai kedudukan yang tinggi di masyarakat,
dipercaya oleh seluruh rakyat sehingga buah pikiran mereka nanti akan
ditaati oleh seluruh rakyat.
Tugas Ahlul hali wal ‘aqdi dalam negara islam identik dengan
tugas DPR/MPR di dalam negara sekuler, walaupun tidak secara mutlak.
Seperti halnya didalam menggangkat dan menurunkan seorang imam,
membuat undang–undang, mempelajari problematika umat dan mencari
solusinya dan lain- lain.

3. Persyaratan Anggota Majlis Syura

Anggota majlis syura adalah wakli-wakli rakyat yang membawa


aspirasi rakyat, membawa mandat dan amanah rakyat. Mereka adalah
orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dan bukan orang
sembarangan, melainkan orang yang diangkat melalui seleksi yang ketat.
Menurut Rasyid Ridha, untuk jabatan anggota majlis syura harus
memenuhi beberapan persyaratan diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Memiliki sikap adil dalam pengertian yang luas, yaitu selalu
mengerjakan kewajibannya dan meninggalkan serta menjauhkan diri
dari segala macam maksiat dan dapat menjaga kehormatan diri.
b. Memiliki ilmu yang mapan, artinya berpengetahuan tinggi dan
berpengalaman luas di dalamnya. Menurut Rasyid Ridha, ilmu
haruslah yang sesuai dengan keadaan sekarang. Jika sekarang adalah
masa kemajuan, maka ahlul halli wal ‘aqdi adalah orang yang

18
mumpuni, umpamanya ahli tata negara, penyelidikan kasus serta
pengetahuan yang berhubangan dengan keadaan rakyat.
c. Berbudi luhur, jujur, kuat cita-cita dan tidak mudah patah hati serta
tidak mudah terpengaruh dengan sesuatu yang menyesatkan dan
bertentangan dengan agama.
d. Berpendirian teguh, bijaksana,serta pandai menarik perhatian, pandai
meneliti permasalahan rakyat sehingga dapat mengatur dan
mempertimbangkan kemaslahatan.

4. Hak Dan Kewajiban Majlis syura

a. Hak Majlis syura

1) Dalam posisinya sebagai warga negara (anggota masyarakat), ia


mempunayai hak yang sama dengan anggota masyarakat lain.

2) Dalam posisinya sebagai majlis syura, ia mendapat hak-hak


tertentu , antara lain sebagai berikut:

a. Mendapat pengalaman dari negara, karena ia sebagai orang


penting yang melaksanakan aspirasi rakyatnya .
b. Mendapatkan fasilitas yang sewajarnya, sesuai dengan
anggota majlis. Contonya : menempati majlis, rumah jabatan
yang dekat dengan tempat bertugas , alat transportasi yang
mempercepat sampai ketempat lain,dan lain lain.
c. Mendapatkan jasa penghidupan dari majlis. Karena seorang
anggota majlis tidak akan dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik jika ia tidak mrndapatkan apapun untuk
kehidupannya.
b. Kewajiban Majlis syura
1. Membuat undang-undang bersama khalifah.
2. Menetapkan anggaran belanja negara dengan memperhatikan
kepentingan rakyat.
3. Mengawasi jalannya pemerintahan.

19
4. Mengangkat dan memberhentikan khalifah (kepala negara).
5. Merumuskan garis-garis besar program yang dilaksanakan
khalifah.
6. Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya tujuan
negara.
7. Menghadiri sidang majlis syura.

5. Hikmah Majlis Syura

a. Memilih dan mengangkat pemimpin negara dengan tepat dan sesuai


aspirasi rakyat.
b. Menghindari permusuhan, perpecahan, dan pertentangan dalam
masyarakat.
c. Mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan, baik dalam
memutuskan, merencanakan, maupun melaksanakan sesuatu. Karena
pendapat orang banyak lebih mendekati kebenaran dari pada pendapat
dan putusan perorangan.
b. Menyadarkan manusia akan keadaan dirinya yang lemah, yang
mempunyai sifat ketergantungan pada orang lain.
c. Melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan siyasah syar’iyah adalah ilmu


yang membahas tentang tata cara pengaturan masalah ketatanegaraan Islam
semisal (bagaimana mengadakan) perundang-undangan dan berbagai
peraturan (lainnya) yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, kendatipun
mengenai penataan semua persoalan itu tidak ada dalil khusus yang
mengaturnya.
Khilafah secara etimologi berasal dari kata ‫ خال فه – يخلف – خلف‬yang
berarti menggantikan atau menjadi khalifah/penguasa. Kata ‫ خال فه‬juga dapat
diartikan kekuasaan atau pemerintahan.
Adapun secara terminologi, khilafah yaitu susunan pemerintahan yang
diatur menurut ajaran Islam, dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan
pemerintahan secara menyeluruh berlandaskan ajaran Islam.
Dalam pengertian istilah majlis syura adalah suatu majlis syura ialah
suatu majlis yang bertugas memberikan pertimbanagan-pertimbangan kepada
kepala negara,baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga ini hanya
bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan sedangkan
pengambilan keputusan tetap ditangan kepala negara.

B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
penulisan makalah selanjutnya agar lebih baik lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Djazui, P. (2003). Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam


Rambu-Rambu Syariah. Jakarta: Kencana.

El-Muzaffar, H. (2011). FIQIH Untuk Kelas XII. Bekasi: Uranus.

Syarif, M. I., & Zada, K. (2008). Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Erlangga.

22

Anda mungkin juga menyukai