SIYASAH SYAR’IYYAH
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
1. Lismonowati ( 1723212003 )
2. Rofiqotul Mukaromah ( 1623211058 )
3. Sri Astuti ( 1623211083 )
4. Tita Anjayani ( 1623211005 )
FAKULTAS TARBIYAH
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Siyasah Syar’iyah
Menurut Abu Al Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah berarti suatu tindakan yang
dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari
kerusakan, kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT juga
tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya. Dalam redaksi yang berbeda
Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan, siyasah berarti pengaturan
kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta pengambilan
kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.
Dari uraian diatas, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan siyasah
syar’iyah adalah ilmu yang membahas tentang tata cara pengaturan masalah
ketatanegaraan Islam semisal (bagaimana mengadakan) perundang-undangan
dan berbagai peraturan (lainnya) yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
kendatipun mengenai penataan semua persoalan itu tidak ada dalil khusus
yang mengaturnya.
Ditinjau dari sumber pembentukannya, siyasah syar’iyah dalam proses
penyusunannya memperhatikan norma dan etika agama. Dasar pokok siyasah
syar’iyah adalah wahyu dan agama. Nilai dan norma transendental
merupakan dasar bagi pembentukan peraturan yang dibuat oleh institusi-
institusi kenegaraan yang berwenang. Syari’at adalah sumber pokok bagi
kebijakan pemerintah dalam mengatur berbagai macam urusan umum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sumber lainnya ialah
manusia sendiri dan lingkungannya. Peraturan-peraturan yang bersumber
pada lingkungan manusia sendiri, seperti pandangan para ahli, hukum adat,
pengalaman manusia, dan warisan budaya, perlu dikaitkan atau dinilai
dengan nilai dan norma transendental agar tidak ada yang bertentangan
dengan kehendak dan kebijakan Tuhan seperti ditetapkan dalam syari’at-Nya.
Jadi, sumber dari siyasah syar’iyah ada dua macam yaitu sumber dari atas
3
yakni wahyu (agama) dan sumber dari bawah yaitu manusia sendiri serta
lingkungannya.
Siyasah syar’iyah merupakan berbagai peraturan yang dilahirkan oleh
umara dan atau ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan perundang-
undangan (qawanin), semisal konstitusi, dan lain-lain, yang bersifat mengikat
dan memaksa, sehingga siapapun yang melanggar atau tidak mematuhinya
akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, yang
berwenang menyusun siyasah syar’iyah adalah umara atau ulama negeri yang
duduk di lembaga legislatif, bukan ulama swasta yang tidak memiliki otoritas
politik untuk menyusun qanun.
B. Khilafah
1. Definisi Khilafah
4
dan Sunnah pernah dilaksanakan. Dimana hukum-hukum Al-Qur’an dan
Sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh
kaum muslimin. Adanya khilafah memang sangat dibutuhkan oleh umat
Islam, sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam sendiri.
Tanpa adanya khilafah, kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur,
kemakmuran bersama tidak akan tercapai, bahkan eksistensi Islam dan
umatnya dapat terancam.
Namun, kehidupan umat Islam didunia ini sudah sangat majemuk,
sehingga terkadang sangat sulit untuk dicarikan kesepakatan yang bulat
mengenai bentuk negara, apalagi yang menyangkut ideologi. Maka dalam
kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dalam bernegara, konsep khilafah
Islam atau negara Islam mengandung dua pengertian yang berbeda, yaitu
sebagai berikut:
a. Negara Islam, yaitu negara yang sumber hukum dan undang-
undangnya Al-Qur’an dan Sunah dan dilaksanakan secara konsisten.
Misalnya Arab Saudi.
b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, undang-undangnya tidak secara eksplisit berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi umat Islam menjalankan agamanya
dengan sebaik-baiknya. Misalnya, negara-negara Arab, Indonesia,
Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara anggota OKI
(Organisasi Konferensi Islam).
2. Tujuan Khilafah
5
perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Allah SWT
berfirman sebagai berikut:
ْ َ َ َ َ َ َّ ََ َ ِ ْ ُ َّ َّ َّ ْ َ ْ َّ
َوا َم ُر ْو ِابال َم ْع ُر ْو ِف لصالة َو َءات ُواا َّلزكا ة ض اق ُامواا ِ ر ْ اال ال ِذ ين ِان مكنهم ِف
ُ ُ َ َََ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ه
لِل عا ِق َبة اال ُم ْو ِر
ِ ِ ونهواع ِن المنك ِرو
Artinya:
3. Dasar-Dasar Khilafah
6
Artinya:
“Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu dan mengerjakann amal-amal yang shaleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka telah menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa
yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-
orang yang fasik.
7
(Al-Qur’an) dan rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat diatas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu
Al-Haakim (penguasa). Perintah ini, berarti perintah pula untuk
mengadakan atau mengangkat Ulil Amri.
b. Nash Hadits yang menganjurkan kepada Umat Islam agar senantiasa
taat dan patuh kepada pemimpinnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai,
dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat
berlindung.”(HR. Muslim).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Bila seseorang melihat sesuatu yang
tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab
barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam)
walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati
jahiliyah.”(HR. Muslim).
Hadits diatas merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah
SAW bahwa seorang khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan
ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum Muslimin. Pernyataan
Rasulullah SAW bahwa seorang Imam itu laksana perisai
menunjukan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan
seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab).
c. Ijma’ sahabat, mereka mendahulukan permusyawaratan khilafah
daripada urusan jenazah Rasulullah SAW. Ketika itu ramai
dibicarakan soal khilafah oleh pemimpin-pemimpin Islam berupa
perdebatan dan pertimbangan. Akhirnya tercapai kata sepakat untuk
memilih Abu Bakar Ash Shidiq sebagai khalifah, kepala negara Islam
yang pertama setelah Rasulullah SAW wafat.
Jika kita mengamati khilafah pada zaman Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin, maka ada dasar-dasar khilafah yang dicontohkan oleh
mereka, antaralain:
8
1) Persatuan (Ukhuwah Islamiyah)
2) Keadilan yang mutlak terhadap segala lapisan masyarakat.
3) Tauhid (mengesakan Allah)
4) Kejujuran dan keikhlasan serta tanggung jawab dalam
menyampaikan amanah kepada ahlinya (rakyat) dengan tidak
membeda-bedakan ras dan warna kulit.
5) Kedaulatan rakyat, yang dapat dipahami dari perintah Allah yang
mewajibkan kita taat kepada Ulil Amri.
9
c. Teguh pendiriannya dalam menjalankan roda pemerintahan,
membangun negara dan mengembangkan kehidupan beragama.
d. Memiliki kecerdasan akal pikiran serta berpengetahuan luas, baik
pengetahuan umum yang berkenaan dengan politik, sosial, ekonomi,
maupun dalam soal-soal keagamaan.
e. Betul-betul merupakan pilihan rakyat, ini berarti seorang khalifah
adalah orang yang disukai oleh seluruh umat Islam, atau paling tidak
oleh sebagian besar umat Islam.
Adapun Abdul Qadir sudah menetapkan syarat khalifah/kepala negara
dengan delapan syarat, yaitu:
a. Islam
b. Pria
c. Taklif
d. Ilmu pengetahuan
e. Adil
f. Kemampuan dan kecakapan
g. Sehat jasmani dan rohani
h. Keturunan Quraisy
10
3) Melalui Istilak, yaitu menguasai dan mengalahkan, maksudnya
melakukan perebutan kekuasaan dengan kekuatan.
b. Bai’at Khalifah
Bai’at secara etimologi ialah berjabat tangan atas terjadinya
jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Bai’at secara istilah adalah
“berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbai’at memberikan
perjanjian kepada amir (pemimpin)nya untuk menerima pandangan
tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum Muslimin, tidak
akan menentang sedikitpun dan selalu menaatinya untuk
melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan
suka atau terpaksa.
Bai’at banyak dikenal sekarang sebagai pelantikan. Adapun
isinya berupa ikrar pengangkatan seseorang menjadi khalifah
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta janji melaksanakan kegiatan
dalam arti yang sesungguhnya. Contohnya, ikrar Umar bin Khattab
kepada Abu Bakar Ash Shidiq berikut ini “Wahai Abu Bakar,
bukankah nabi telah menyuruhmu supaya mengganikan beliau
memimpin kaum Muslimin mendirikan shalat? Engkaulah
penggantinya (khalifah), sekarang kami memilih engkau. Memilih
orang yang paling banyak tersinggung. Memilih orang yang paling
disukai oleh Rasulullah SAW.”
Naskah bai’at itu bisa bermacam-macam yang penting
prinsipnya sama yaitu pelantikan khalifah dan kesetiaan rakyat.
Contoh lain misalnya, bai’at Utsman bin Affan yang diucapkan
Abdurrahman bin Auf, “Saya membai’at engkau dengan syarat
engkau memegang teguh kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dan
mengikuti jejak khalifah yang telah wafat.”
11
kalimat “hirasat ad-din wa siyasat ad-dunya”. Negara bertanggung
jawab atas kemaslahatan kehidupan rakyatnya, baik dari sisi agama,
sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, serta keadilan. Kalau kita
mencermati negara ideal Madinah maka kita akan tercengang, betapa
bertanggungjawabnya negara atas rakyatnya.
Rakyat, sebagaimana negara, juga memiliki kewajiban-kewajiban.
Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada negara selama tidak
bermaksiat kepada Allah SWT. Hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa
Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-
kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak
setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak
akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang hak-hak warga
negara dalam negara Islam dan hak-hak negara (khalifah). Hak-hak warga
negara dalam negara Islam bisa dibedakan atas Hak-Hak Politik dan Hak-
Hak Umum. Hak-hak politik warga negara diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Hak memilih (haqq al-intikhab)
b. Hak untuk diajak bermusyawarah (haqq al-musyawarat). Bagaimana
jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih
harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawabannya adalah ya,
dengan beberapa alasan berikut ini:
1) Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara
sengaja atau tidak, mungkin saja menetapkan kebijakan yang
merugikan rakyat. Apabila kebijakan sudah ditetapkan dan
dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk menghalau
kerugian yang ditimbulkan (karena sudah terlanjur).
2) Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat
merupakan perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat).
12
Diantara pengikat-pengikatnya adalah kewajiban kepala negara
untuk bermusyawarah dengan rakyat.
Para ulama mengatakan bahwa jika kepala negara tidak mau
bermusyawarah dengan ahlul ‘ilmi wad din, maka menurunkannya
adalah wajib. (Tafsir Qurthubiy Juz 4 hlm 249).
c. Hak mengawasi/mengontrol (haqq al-muraqabat). Karena khilafah
merupakan wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa
sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa.
Bahkan, pada dasarnya pengawasan/pengontrolan rakyat atas
penguasa bukan saja hak akan tetapi kewajiban.
d. Hak menurunkan khalifah (apabila keadaan mengharuskan) (haqq al-
‘azl). Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-
sebab syar’i yang mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah
melalui kekuasaan ahlul hall wal ‘aqd. Namun, apabila ahlul hall wal
‘aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak
mengindahkan ahlul hall wal ‘aqd, maka rakyat bisa langsung turun
tangan dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah.
e. Hak untuk mencalonkan (haqq al-tarsyih). Seorang warga negara
berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan
politik. Namun, seorang warga negara pada dasarnya tidak berhak
(dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi
melarang yang demikian. Namun, jika keadaannya darurat (seperti
dizaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki
keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri
menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya.
f. Hak untuk dipilih/memangku jabatan-jabatan umum (haqq tawalliy
al-wazha if al-‘ammat). Sebetulnya, memangku jabatan politik
bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya
untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (karena
ambisi) [Tafsir al-Wushul Juz I Hal 18]. Apabila menuntut jabatan
politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah selanjutnya? Jawabannya,
13
hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para
penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari
orang-orang yang terbaik (al-ashlah).
14
i. Didasarkan atas itikad yang baik dan niat yang tulus.
ii. Tidak boleh ditujukan untuk menjatuhkan pihak lain,
membuka aib-aib orang lain, memprovokasi dan mengadu
domba, atau sekedar untuk mencari popularitas.
iii. Tidak bertentangan dengan asas-asas ajaran Islam.
iv. Hendaknya disampaikan dengan akhlaq (etika) yang baik.
c) Hak menuntut ilmu/mendapatkan pengajaran. Perhatian yang
besar dari negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita lihat
dalam Sirah Nabawiyah. Pada suatu ketika, Nabi selaku kepala
negara, mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan
Badar adalah empat puluh auqiyat. Barang siapa tidak mampu
dengan tebusan itu, maka tebusannya adalah dengan mengajarkan
tulis menulis kepada sepuluh orang muslim.
d) Hak memperoleh tanggungan (al-Kafalat) dari negara. Apabila
ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib
bagi ‘a-ilat (keluarga dekat penerima waris)-nya untuk
membantunya. Apabila yang demikian masih belum mencukupi
maka negara wajib menanggungnya. Negara wajib memberikan
pekerjaan yang halal dan layak kepadanya.
8. Hikmah Khilafah
15
c. Dengan khilafah, maka persatuan dan kesatuan umat dapat dengan
mudah terealisir. Dibawah satu pimpinan penguasa tertinggi yang
baik dan bijak maka umat akan patuh dan bersatu memberikan suara
dan dukungannya.
d. Khilafah dapat menumbuhkan keamanan, ketertiban, dan
kesejahteraan serta kemaslahatan umat.
e. Memperluas objek dakwah dan syiar Islam kepada seluruh dunia.
f. Memberikan uswah atau contoh kepemimpinan yang baik kepada
seluruh dunia. Sehingga secara tidak langsung memberikan
pembelajaran kepada dunia bahwa sistem khilafah yang berlandaskan
Al-Qur’an dan Sunah merupakan jaminan terselenggaranya
pemerintahan yang baik dan benar, sehingga dapat menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan.
Secara bahasa kata majlis syura terdiri dari kata majlis dan syura.
Majlis berarti tempat, adapun syura berarti musyawarah. Jadi secara
bahasa majlis syura berarti tempat musyawarah. Majlis syura berarti
lembaga permusyawaratan yaitu badan atau lembaga tempat
bermusyawarah para wakil rakyat dan orang-orang yang berilmu.
Dalam pengertian istilah majlis syura adalah suatu majlis
(lembaga) yang bertugas memberikan pertimbanagan-pertimbangan
kepada kepala negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga
ini hanya bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan
sedangkan pengambilan keputusan tetap ditangan kepala negara.
Meskipun demikian, para ulama memiliki banyak pendapat
tentang kondisi dimana kepala negara berbeda dengan majlis syura.
Semua ulama sepakat bahwa dalam kasus pada QS. Al-Nisa :
59,”...Apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikan
16
masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya apabila kalian beriman kepada
Allah dan hari akhir....” Apabila dengan merujuk pada Allah ( kitabullah)
dan Rasul (as Sunah) , masalah masih belum bisa diselesaikan maka
terdapat tiga kemugkinan solusi seperti berikut ini:
a. Metode tahkim, maksudnya panitia khusus dibentuk, beranggotakan
para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus inilah
yang akan menengahi perbedaan anatara kepala negara dan majlis
syura.
b. Mengambil pendapat terbanyak (voting)
c. Mengambil keputusan kepala negara secara mutlak.
Rasullulah belum menentukan bentuk majlis syura di zamannya.
Semuanya diserahkan pada umat sesuai dengan yang dipandang relevan
dan baik untuk kemaslahatan umat. Adapun mengenai musyawarah,
Allah SWT dan Rasul-Nya sangat menganjurkan. Sebagaimana firman-
Nya berikut ini:
َِ ْ الِل ُيح ُّب ْال ُم َت َو ِّكل َ َ ُ ِ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ ه
َ الِل ا َّن ه
ن ِ ِ ِ ِ وشا ِو ْره ْم ِف اال ْم ِر ف ِإذا عز ْمت فت َوك ْل عَل
Artinya :
17
c. ‘Aqdun, yang berarti mengikuti, mengadakan transaksi, membentuk
Menurut istilah adalah orang-orang yang berhak membentuk
suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika
dipandang perlu.
Ahlul halli wal ‘aqdi adalah wakil –wakil rakyat yang
menjadikan anggota majlis syura. Ahlul halil wal ‘aqdi, juga
diinterpretasikan yaitu para ulama, cerdik pandai dan pemimpin-
pemimpin yang mempunyai kedudukan yang tinggi di masyarakat,
dipercaya oleh seluruh rakyat sehingga buah pikiran mereka nanti akan
ditaati oleh seluruh rakyat.
Tugas Ahlul hali wal ‘aqdi dalam negara islam identik dengan
tugas DPR/MPR di dalam negara sekuler, walaupun tidak secara mutlak.
Seperti halnya didalam menggangkat dan menurunkan seorang imam,
membuat undang–undang, mempelajari problematika umat dan mencari
solusinya dan lain- lain.
18
mumpuni, umpamanya ahli tata negara, penyelidikan kasus serta
pengetahuan yang berhubangan dengan keadaan rakyat.
c. Berbudi luhur, jujur, kuat cita-cita dan tidak mudah patah hati serta
tidak mudah terpengaruh dengan sesuatu yang menyesatkan dan
bertentangan dengan agama.
d. Berpendirian teguh, bijaksana,serta pandai menarik perhatian, pandai
meneliti permasalahan rakyat sehingga dapat mengatur dan
mempertimbangkan kemaslahatan.
19
4. Mengangkat dan memberhentikan khalifah (kepala negara).
5. Merumuskan garis-garis besar program yang dilaksanakan
khalifah.
6. Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya tujuan
negara.
7. Menghadiri sidang majlis syura.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Syarif, M. I., & Zada, K. (2008). Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Erlangga.
22