Anda di halaman 1dari 17

Metode-Metode Agama

Abstrak
Makalah ini mengkaji tentang metode agama dengan
perbandingannya dengan metode ilmu pengetahuan. Metode
agama mempunyai kesamaan-kesamaan dengan metode
ilmu pengetahuan. Termasuk di dalamnya persamaan dalam
pengalaman dan penafsiran, peran komunitas, dan
paradigmanya. Agama menggunakan pengalaman religius
dalam penafsirannya dengan memulai dari wahyu. Adapun
ilmuwan memulai penafsirannya dengan pengalaman
inderawi. Kedua-duanya berusaha untuk menyatakan
kebenaran masing-masing secara objektif. Dibutuhkan
intersubjective testability dalam menguji kebenarannya.
Akan tetapi ahli teologi menghadapi permasalahan krusial
dalam membuktikan penelitiannya terkait dengan komitmen
beragama iman. Adanya iman menunjukan keterlibatan
personal dalam penelitian yang mempengaruhi hasil.
Dengan menginteraksikan iman dan akal sekiranya
dapat menunjukan objektivitas penelitian. Akal digunakan
untuk menafsirkan wahyu dalam pengalaman beragama,
menguji penafsiran, hingga dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang lain tanpa mengecilkan
komitmen iman. Berdasarkan pengalaman alkitab, kristiani
selalu mengedepankan partikularitas diantara agama lain.
Mengambil sikap merupakan salah satu cara mendamaikan
antar agama. Sehingga dapat mengakui relativisme serta
universalitas.
Kata Kunci: pengalaman religius, rekonsiliasi, keterlibatan
personal, iman, partikularitas, relativisme, universalitas.

Pendahuluan
Dalam
mempunyai

kaitannya

dengan

ilmu

beberapa

kesamaan

pengetahuan,

berkaitan

agama

dengan

ilmu

pengetahuan. Kedua-duanya sama-sama berorientasi kepada


kebenaran yang objektif atau murni. Hanya saja ilmuwan
menggunakan pengalaman indera dalam penelitiannya, adapun
ahli

teologi

menggunakan

pengalaman

agama.

Mereka

menggunakan analogi, model, serta paradigma yang telah


ditentukan oleh komunitas masing-masing. Maka, dibutuhkan
keterujian

intersubjektif

dalam
1

menguji

kebenaran

yang

dihasilkan

oleh

individu

agar

kebenarannya

mendapatkan

pengakuan universalitas. Dalam hal ini, ahli teologi menghadapi


persoalan

yang

krusial

termanifestasikan

dalam

komitmen

religius yaitu iman. Keterlibatan personal dalam iman beragama


sangat

mempengaruhi

penelitiannya.

Dalam

objektivitas

kebenaran

membuktikannya,

ahli

hasil
teologi

mendefinisikan makna objektif tidak senada dengan ilmuwan.


Objektivitas agama adalah subjektivitas sendiri karena segala
hasil penelitian tidak akan terlepas dari subjektifitas peneliti.
Entitas turunnya wahyu dan penafsirannya juga dipengaruhi oleh
subjektifitas tuhan dan manusia. Sehingga dapat diujikan secara
intersubjektif.
Persoalan partikularitas dan universalitas selalu terjadi
pada semua agama kitab-kitab suci. Kemudian mengalami
kesulitan dalam memahami wahyu secara objektif. Maka dalam
masalah ini, penulis berusaha memaparkan beberapa persoalan
di atas dengan keterbatasannya. Dimulai dari interaksi antara
ilmu pengetahuan dan agama, keterlibatan personal dalam iman
beragama, serta wahyu dengan segala keunikannya.
Pengalaman dan Penafsiran dalam Agama
Pengalaman dalam agama atau pengalaman keagamaan
dapat didefinisikan sebagai penyaksian kepada Tuhan atau
perkara-perkara ghaib yang lainnya. Apabila penyaksian tersebut
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat inderawi, maka
disebut dengan pengalaman inderawi. Selanjutnya, apabila
penyaksian tersebut berhubungan dengan tuhan maka disebut
dengan

pengalaman

keagamaan.1

Pengalaman

keagamaan

merupakan substansi agama dengan makna bahwa hakekat


agama adalah perasaan khas yang lahir ketika berhadapan
dengan hakikat tak terbatas itu.
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, diakses pada 30/11/2013.

Adapun makna penafsiran adalah membaca lebih jauh


dengan bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca. Ketika
sebuah teks hadir di depan kita, maka sebuah teks akan
berbunyi serta berkomunikasi ketika kita membacanya. Demikian
juga ketika memaknai teks sesuai dengan tanda baca yang ada.
Maka dapat dikatakan, ketika menafsirkan teks ada tiga variabel
yang bekerja yaitu teks, otak pengarang, dan otak dalam benak
pembaca.

Ketiganya

mempunyai

titik

pusarannya

sendiri

walaupun saling mendukung ataupun sebaliknya.2


Dalam kaitannya dengan pengalaman dan penafsiran
timbul pertanyaan apakah struktur dasar pengalaman dan
penafsiran dalam agama dimungkinkan untuk disamakan dengan
struktur dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ian G. Baubour
akan merumuskan adanya interaksi antara keduanya dalam
lingkup agama dan ilmu pengetahuan. Dogma-dogma agama
merupakan upaya untuk menformulasikan agama menggunakan
istilah-istilah yang tepat demi mengungkap kebenaran melalui
pengalaman religius dalam realitas wahyu ataupun tuhan.
Seperti halnya ilmu pengetahuan juga upaya merumuskan
dengan menggunakan istilah untuk mendapatkan kebenaran
melalui

pengalaman

inderawi.

Antara

keduanya

memiliki

kesamaan dalam mengungkap realita dengan menggunakan


realitas, walaupun substansinya berbeda yaitu wahyu dan
inderawi.3
Ilmuwan dan ahli teologi sama-sama mencari apa yang
disebut

dengan

tujuan

universal,

sebuah

pengesampingan

kepentingan pribadi untuk memajukan penemuan kebenaran


2 Qamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 42.
3 Ian G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terjemahan Damayanti
dan Ridwan, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006), hal. 282.

publik yang terfokus, yang berupa kebenaran umum dan


kebenaran untuk semua orang. Namun baik ilmuwan dan ahli
teologi adalah manusia yang menciptakan metode di dunia dan
pemahaman dirinya dikaitkan dengan disiplin ilmunya. Apabila
seorang ahli ilmu pengetahuan atau agama mendapatkan
penemuan yang tepat, orang lain akan menilai integritas disiplin
ilmunya dan menjamin hidupnya benar disaksikan ilmuwan dan
teologi lainnya.4
Walaupun demikian, pengalaman religius akan menghadapi
masalah yang krusial dalam hal pengujian intersubjektif atau
intersubjective testibility. Ahli teolog mempunyai unsur khusus
dalam pengalaman religius yang dapat dimungkinkan untuk
mempengaruhi objektivitas penafsiran. Maka kembali lagi kepada
kebutuhan

dalam

pengetahuan.

pengujian

Diantara

intersubjektivitas

unsur-unsur

yang

antar

ilmu

mempengaruhi

objektivitas penelitiannya adalah kekaguman dan rasa hormat


terhadap yang suci dan kudus dihadapannya; rendah hati dan
merasa

bersalah;

menerima

sikap

pengampun;

dan

bertanggungjawab atas tindakan manusia.


Dalam hal penafsiran teologis, wahyu ditafsirkan dalam
bahasa agama menurut konteks sosial pada saat turunnya
wahyu. Proses penafsiran tersebut menggunakan pengalaman
religius dan bahasa masing-masing teologis. Kemudian dikaitkan
dengan konteks kehidupan saat ini agar lebih mendapatkan
makna yang lebih berarti. Tetapi secara tidak langsung akan
mempengaruhi

validitas

keobjektivitasan

penafsiran

juga.

Adapun analisis dalam ilmu pengetahuan menafsirkan data-data


ilmiah sesuai dengan kondisi sejarah dan budaya saat itu,
kemudian data-data tersebut direduksi dalam hal-hal yang
membingungkan

sehingga

mendapatkan

penjelasan

yang

4 Holmes Roston III, Ilmu dan Agama Sebuah Survai Kritis, (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006), hal. 24.

subyektif. Maka dari dua perbandingan antara interpretasi


pengalaman

teologi

dan

ilmu

pengetahuan

sama-sama

memungkinkan terdapat kesalahan dalam penafsiran.5


Kaum teolog kristiani berusaha mengadakan rekonsiliasi
sebagai

konsekuensi

reorientasi

adanya

kesalahan

dalam

penafsiran. Semangat rekonsiliasi tersebut muncul sebagai


manifestasi adanya jarak ataupun perasaan bersalah dengan diri
sendiri, orang lain, maupun tuhan. Pertama, jarak dari Tuhan,
seseorang mengakui adanya kehampaan dalam dirinya dengan
maksud tidak bermaknanya kehidupan yang dialaminya. Maka
seorang agamis berusaha mengadakan rekonsiliasi dengan
pengakuan

tuhan

atas

dirinya,

bahwasannya

Tuhan

Maha

Pengasih, Penyayang, dan pengampunannya sangat luas. Kedua,


jarak dari diri sendiri, seseorang merasa bersalah atas kesalahan
yang diperbuatnya sehingga tak sanggup menerima dirinya
dihadapan tuhan. Kemudian rekonsiliasinya merasa lebih aman,
lebih

jujur,

kepada

dirinya

memaafkan

dirinya

sendiri.

seseorang

berusaha

karena
Ketiga,

untuk

tuhan
jarak

sendiri

dari

menyembunyikan

sudah

orang

lain,

perasaan-

perasaannya terhadap orang lain karena khawatir dengan kesan


dirinya

terhadap

membangun

orang

status

lain

dan

tertentu

penampakan

dengan

orang

diri
lain.

dapat
Upaya

rekonsiliasi dengan cara mengasihi orang lain dan melupakan


tentang kesalahan dirinya yang terbebas dari perhatian atas diri
sendiri.6
Konsep jarak dan rekonsiliasi ini seperti konsep dosa dan
keselamatan.

Hubungan

antara

jarak

menuju

rekonsiliasi

mengandung arti memperbaiki kesalahan-kesalahan atas dosa


yang diperbuat. Dalam menafsirkan teks yang berupa wahyu,
5 Ian G. Barbour, op.cit., hal. 283.
6 Ibid., hal. 287-289.

teologis

akan

penafsirannya,

menyadari
sehingga

ketidaksempurnaan

menganggap

dirinya

dalam

terasingkan

dengan diri sendiri, orang lain, maupun tuhan. Pemulihan


hubungan antara jarak menuju rekonsiliasi bertahap sedikit demi
sedikit. Paling tidak dapat mendekati tingkat kesempurnaan dan
peluang dalam membangkitkan rasa hormat, rendah hati, dan
ketaatan.
Seperti halnya ilmuwan, teologis juga memiliki paradigma
dan simbol-simbolnya berupa bahasa maupun jargon. Adanya
paradigma dan simbol tersebut digunakan dalam interaksi untuk
membangun rasa saling percaya, saling membantu, serta saling
mengingatkan. Sembahyang dalam umat kristiani merupakan
salah satu simbol ritual dalam agama yang konkret. Simbol ini
merefleksikan partisipasi dalam lingkup sejarah antar kelompok
sepanjang tahun dalam bentuk ritual ataupun ibadah. Seseorang
tidaklah mengetahui ritual tersebut dengan sendirinya, akan
tetapi adanya interaksi ataupun komunikasi antar individu dan
komunitas dari masa silam ke masa kini.
Dalam

kegiatan

ilmiah,

seorang

ilmuan

mampu

mengembangkan ilmunya tergantung dalam eksistensinya dalam


komunitas ilmiah. Mereka mempunyai bahasa dan paradigma
sendiri

yang

memperkuat

keilmiahannya.

Dalam

kaitannya

dengan perguruan tinggi, kampus adalah lembaga ilmiah yang di


dalamnya terdapat komunitas ilmiah atau biasa disebut-sebut
dengan

civitas

akademika.

Ilmiah

sebagai

simbol

adanya

interaksi-interaksi pergulatan pemikiran dari para mahasiswa


serta dosen yang seyogyanya mengandung takaran keilmiahan.
Segala ide dan gagasan harus mengandung proses ilmiah yang
bersumber

kepada

literatur-literatur

yang

dapat

dipertanggungjawabkan,

bukan

dari

dugaan-dugaan

yang

berkaitan dengan mistis dan intuisi belaka.7


Seperti

halnya

agama,

ilmu

pengetahuan

dapat

dikomunikasikan hanya kepada mereka yang dipersiapkan secara


subjektif. Ilmu pengetahuan hanya dihargai oleh mereka yang
menghargainya yaitu komunitas terdidik. Ilmu pengetahuan
mempunyai logika atau paradigma. Logika tersebut selalu dikaji
terus menerus, adanya interaksi kritis maupun logis. Di dalam
ilmu

pengetahuan

dan

agama

sangat

bergantung

kepada

komunitas terdidik ini. Selalu ada elemen pengakuan kesalahan,


profesional, kualifikasi, dan lain sebagainya.8
Bentuk-bentuk simbolisme religius seperti yang disebutkan
di atas dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, antara
lain ritual seperti penjamuan kudus dan mitos religius. Dari
bentuk simbol-simbol religius tersebut dapat dianalogikan dalam
penafsiran, yaitu dengan menyelaraskan atau memperluas
hubungan-hubungan melalui pengalaman religius. Penyelarasan
dapat berupa persamaan dalam karakter, sifat, kelebihankelebihan, maupun dengan cara perumpamaan. Dari kumpulan
beberapa analogi yang sistematis serta diambil dalam situasi
yang relevan dinamakan dengan model dalam agama. 9 Seperti
halnya dengan ilmu pengetahuan juga terdapat istilah-istilah
simbol, analogi, dan model, yang berakhir dengan teori.
Namun penggunaan model ini mempunyai kelemahan juga
pada hal picturability, sebab gambaran visual tidak sepenuhnya
dapat dideskripsikan. Dalam mendeskripsikan entitas tuhan,
7 Trinanda, Makalah Budaya Ilmiah dalam Komunitas Ilmiah.
/trinanda.files.wordpress. com. Diakses pada 30/11/2013.
8 Holmes Roston III, op.cit., hal. 24.
9 Ian G. Barbour, op.cit., hal. 298.

tidak bisa divisualisasikan dengan patung ataupun hal lainnya


dengan tujuan kemiripan. Tetapi dapat dimungkinkan untuk
digunakan simbol audiotori firman Tuhan yang disabdakan
melalui penyampaian makna tanpa gambaran deskriptif. Selain
itu, tuhan selalu berada di luar gambaran nalar kita yang tidak
bisa

dideskripsikan.

Adapun

kelebihannya

memberikan

kegamblangan, kesiapan, dan kesatuan pemahaman mental


sehingga dapat menyelasarkan pengalaman di luar situasi serta
menghasilkan rumusan konseptual dan proporsional.
Keterlibatan Personal dan Iman Beragama
Banyak

berbagai

kesamaan

ataupun

interaksi

antara

penelitian ilmu pengetahuan dan agama. Namun keterlibatan


personal dalam penelitian agama merupakan perbedaan yang
sangat menonjol. Urusan agama adalah urusan utama yang
selalu dipegang oleh teologis karena menyangkut masalah iman
seseorang. Urusan utama ini mempunyai beberapa karakteristik,
antara lain mempunyai komitmen terbuka, kesetiaan, loyalitas,
urusan kesungguhan;

memberikan

nilai tertinggi

sebagai

pembenaran dan pengaturan dari nilai-nilai lain; menuntut


perspektif

inklusif

atau

orientasi

kehidupan

karena

menghubungkan semua bidang kehidupan dan melibatkan orang


yang bersangkutan secara utuh. Maka dalam penelitian agama
melibatkan personal yang mempunyai jiwa taat dan loyal, atau
bisa kita namakan dengan observer as participant.
Dari segi khusus penelitian dalam agama melibatkan
pendekatan sejarah internal dan eksternal. Pendekatan sejarah
internal bersangkutan dengan tubuh suatu komunitas, adapun
secara

eksternal

memiliki

pandangan

pemerhati

lain

dari

berbagai aspek. Melalui dialog antar ilmuwan dan teologis dalam


percakapan akan saling menumbuhkan saling terbuka, sadar,
dan tanggungjawab. Sehingga subjektifitas penelitian agama
dapat teruji, terverifikasi, dan terlukiskan. Dari sinilah terciptakan
8

adanya

interaksi

menghadapi

ataupun

objek

yang

komunikasi
berbicara

intersubjektif

dan

bertindak

dalam
sebagai

subjek.10
Mempertahankan iman merupakan komitmen dan simbol
kepercayaan seorang teologis, bukan hanya menerima doktrin
secara otoritas. Karena beriman berarti percaya dengan sesuatu
yang berkonsekuensi kepada ketergantungan, kesetiaan, dan
ketaatan sebagai reorientasi dan rekonsiliasi dalam mengatasi
jarak. Maka bisa dilihat aspek-aspek dalam agama sangat erat
dengan aspek kepribadian seseorang kepada tuhan.
Berikut ini akan dijelaskan eksistensi tuhan versi teologi
alam dan teologi alkitab. Menurut teologi alam eksistensi tuhan
sebagai inferensi dari dunia, karena dialah penggerak yang
bergerak sendiri dan tidak digerakan oleh siapa pun. Ia
mempunyai

kekuasaan

super

luas

yang

ditunjukkan

alam

seisinya. Dengan menggunakan bahasa pengamat dalam analisis


linguistik,

seorang

ilmuwan

meneliti

alam

melalui

pengalamannya. Seluruh data digunakan untuk menunjukkan


eksistensi tuhan, sehingga dapat mengenal tuhan sebagai syarat
moral dan intelektual. Kebenaran eksistensi tuhan dibuktikan
secara

rasional

dan

menggunakan

dalil-dalil,

serta

menumbuhkan rasa yakin kepada diri sendiri atas kesalehan


suatu golongan, kelas atau bangsa, maupun yang menyesatkan
persepsinya. Dengan demikian model penelitian yang digunakan
oleh teologi alam adalah menjadikan tuhan sebagai objek.
Teologi Alkitab memulai penelitian dari rasa yakin yang
dimanifestasikan

dengan

iman.

Kemudian

iman

tersebut

direfleksikan dalam ibadah dan ritual keagamaan sebagai


pelayanan dan loyalitas kepada tuhan. Teologis menempatkan
dirinya sebagai observer as participant dan menggunakan
10 Zainal Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan
Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 79.

bahasa-bahasanya. Dengan keimanan teologi alkitab, ia percaya


bahwa tuhan mempunyai andil dalam aktivitas dan eksistensi
kealaman. Maka pada akhirnya ia dapat mengenal tuhan sebagai
objek sekaligus subjek, atau dapat dikatakan adanya keterlibatan
personal dalam kegiatan penelitian.
Dari dua sudut pandang antara teologi alam dan teologi
alkitab dapat dipisahkan antar keduanya. Teologi alam bermula
dari penafsiran alam melalui realitas yang dipahami dengan
pengalaman inderawi (akal). Adapun teologi alkitab memulai
dalam menafsirkan alam melalui iman dengan menggunakan
wahyu. Kemudian sama-sama mengakhiri penelitian dengan
membuktikan kebenaran menggunakan rasio dan dalil sehingga
mendapatkan keyakinan secara penuh. Perbedaannya hanya
dalam menempatkan tuhan sebagai objek ataupun objek plus
subjek.11
Dalam konteks pembicaraan antara metode agama dan
ilmu pengetahuan sama-sama menuju kepada objektivitas hasil
dalam

penelitian.

Objektivitas

kebenaran

dalam

penelitian

lingkup agama tidak sama dengan objektivitas ilmu pengetahuan


yang menanggalkan semua unsur-unsur subjektivitas, melainkan
kebenaran agama adalah subjektivitas. Kebenaran subjektif
tersebut diuji melalui intersubjectif testibility, tanpa mengecilkan
peranan iman dalam

beragama.

Iman beragama

memiliki

sejumlah aplikasi kognitif dalam membangkitkan perspektif baru


dalam memandang dunia. Iman selalu membangkitkan dan
memotivasi diri, meyakinkan pribadi, serta mengakui kebesaran
tuhan atas eksistensi-Nya yang ditafsirkan dalam entitas alam
semesta dan isinya. Maka dari itu, iman adalah syarat utama
dalam

pemahaman,

karena

ia

11 Ian G. Barbour, op.cit., hal. 302.

10

memberikan

kunci

menuju

pandangan terpadu yang sangat kompleks dan bermakna, asas


kunci adalah asas iman.
Menurut
menafsirkan

agama,

peran

pengalaman

akal

dalam

beragama

dan

penelitian

untuk

peristiwa-peristiwa

dalam sejarah yang membukakan pikiran secara sistematis;


menguji

penafsiran-penafsiran

atas

kriteria

konsistensi,

kedalaman, dan kelayakan pada pengalaman manusia secara


lengkap serta mengevaluasi hasilnya menggunakan perspektif
penafsiran-penafsiran

lain;

menyelidiki

implikasi-implikasi

kepercayaan beragama dalam hubungannya dengan budaya,


sosial, wilayah pemikiran lain yang dijelajahi secara rasional;
berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa, struktur
rasional, simbol, analogi, atau gagasan-gagasan konseptual.
Maka peran akal sebagai alat untuk reorientasi personal dalam
pemahaman. Iman akan selalu mencari pemahaman melalui
akal, tanpa akal iman bergerak statis. Penafsiran-penafsiran
dalam memahami agama dapat diverifikasi sesuai dengan
situasi-situasi yang senantiasa berubah.
Ilmuwan menerima hipotesis secara tentatif. Kemudian
mengambil tindakan berdasarkan kebenaran hipotesa dengan
pengujian, atau bisa dikatakan sebagai pengujian hipotesis. Akan
tetapi dalam penelitian agama konsep ujian digunakan untuk
menjalani hidup sesuai dengan pilihan. Ujian agama yang terjadi
dalam hidup berkisar pada tujuan-tujuan kepercayaan seorang
manusia serta tanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya.
Iman

merupakan

komitmen

agama

sebagai

ujian

untuk

mempercayai dan meyakini-Nya. Maka bisa dikatakan adanya


ketegangan diantara komitmen agama dan penyelidikan reflektif.
Ketegangan antara komitmen yang diharuskan dalam
agama

dan

ketantifan

yang

diharuskan

dalam

penelitian,

diperlukan gabungan antara keduanya. Manusia bisa memahami


sesamanya apabila ada hubungan keterlibatan personal juga

11

refleksi kritis terhadap hubungan. Maka diperlukan pemahaman


antara sejarah internal dan sejarah eksternal. Doroty Emmet
mengatakan kesulitan seseorang dalam menjaga jarak yang
cukup dari dunia agar kemampuan berfikir dan merenungkan
mampu berkembang serta tidak terjadi stagnasi. Komitmen saja
tanpa penyelidikan cenderung fanatisme dan penyelidikan tanpa
komitmen cenderung berakhir sia-sia, tidak relevan dengan
kehidupan nyata.
Iman

atau

percaya

bermula

dari

keraguan-keraguan.

Keraguan merupakan bahan dasar dari semua penyelidikan dan


sebagai

ungkapan

integritas

seseorang

akibat

dari

pengabdiannya kepada kebenaran. Keraguan mempunyai fungsi


dalam penyelidikan agama, yaitu menghancurkan gambarangambaran yang tak sempurna tentang tuhan yang terkonsep
dalam persepsi kita; membebaskan kita dari ilusi yang telah
memerangkap

kemuliaan

tuhan

dalam

sebuah

keyakinan;

mempertanyakan simbol yang digunakan untuk menunjuk tuhan


yang hidup, yang tidak mungkin dipenjarakan di dalam model
ataupun konseptual.12
Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan personal dalam
agama merupakan segi utama dalam pemahaman sebuah iman
sebagai komitmen dan kepercayaan. Akan tetapi dalam ilmu
pengetahuan tidak ada keterlibatan personal walaupun bukan
permasalahan

yang

mutlak.

Agama

membuat

pernyataan-

pernyataan kognitif yang maksudnya universal, agama sejajar


dengan ilmu pengetahuan. Akal digunakan untuk berinteraksi
dengan iman, walaupun ada ketegangan dalam sikap komitmen
beragama dengan penyelidikan reflektif. Adanya dialog antara
keduanya bisa membatasi permasalahan konflik diantaranya.
Wahyu dan Keunikannya
12 Ibid., hal. 304.

12

Peristiwa turunnya wahyu terjadi dalam peristiwa lalu yang


melibatkan tuhan dan manusia. Tuhan selalu menampakan
dirinya dalam berbagai peristiwa serta mengambil inisiatif dalam
kehidupan manusia secara individu dan komunitas. Adapun
manusia

berusaha

menafsirkan

peristiwa

turunnya

wahyu

menggunakan pengalaman religiusnya yang melibatkan konteks


sejarah saat itu. Seperti halnya alkitab, ia adalah catatan murni
manusia tentang turunnya wahyu. Opini seorang penulisnya
kadang-kadang

terbatas,

dipengaruhi

dengan

pemikiran-

pemikiran pada masa mereka. Wahyu dan respon tuhan saling


mempengaruhi,

perjumpaan

dengan

tuhan

yang

dialami

ditafsirkan dan dilaporkan oleh manusia yang dimungkinkan


melakukan kekeliruan. Selain itu, alkitab juga merupakan catatan
interaksi

peristiwa

dengan

tuhannya

yang

berperan

di

dalamnya.13
Karena

merupakan

catatan

manusia

yang

ditafsirkan

menurut pengalamannya, maka wahyu tersebut tidak dapat


dipisahkan dari reorientasi dan rekonsiliasi. Wahyu bukan hanya
paket doktrinal yang dapat dimiliki manusia terlepas dari
pengalamannya sendiri dengan tuhan, melainkan wahyu dapat
menolong manusia untuk memahami hidupnya saat itu. Pada
umumnya fakta-fakta pengalaman tidak hanya mengatur dirinya
sendiri, akan tetapi diperlukan banyak kategori pengalaman
dalam penafsiran dan gagasan krusial.
Gambaran tentang wahyu dapat dipahami menjadi dua
aspek yang berbeda, yaitu Tuhan dan manusia terlibat dalam
semua aspek wahyu dan tidak ada wahyu satupun yang tidak
bisa ditafsirkan; dan pembicaraan tentang wahyu harus merujuk
kepada masa lalu maupun masa sekarang. Walaupun peristiwa
turunnya wahyu terjadi pada masa lalu, tetapi dapat dijadikan
13 Ibid., hal. 307.

13

pertimbangan kepada seseorang yang mengerti hal tersebut


dalam kaitannya dengan masa sekarang.
Pengalaman manusia kontemporer mengenai wahyu dalam
penafsirannya selalu merujuk kepada peristiwa lalu. Peristiwa lalu
membuka

jalan

pikiran

bagi

masa

sekarang

sebagai

pertimbangan. Di samping itu, wahyu bersifat universal bagi


manusia khusus dan umum. Apakah antara khusus dan umum
tersebut berlaku pada ilmu pengetahuan ataupun sejarah.
Wilayah kajian ahli teologi merupakan kajian dalam peristiwaperistiwa khusus seperti turunnya wahyu dan lain sebagainya.
Tidak

sama

wilayah

kajiannya

dengan

ahli

sejarah

yang

menggunakan banyak sumber termasuk generalisasi implisit


menyangkut watak

dasar

manusia

dan

perilakunya.

Maka

tidaklah sama kajian ahli teologi dan ilmu dalam masalah ini.14
Akan tetapi ada kemiripan atau kesamaan dalam kajiannya
yaitu kemiripan dalam prosedur penelitian. Keduanya sama-sama
memusatkan kajian dalam hal-hal yang khusus walaupun secara
implisit mengambil dari hal-hal umum, seperti pengetahuan
tentang tuhan melalui pengalaman religius, struktur bumi dan
seisinya,

kehidupan

orang-orang

suci

dan

nabi,

dan

lain

sebagainya. Maka sebaiknya hal-hal yang khusus tersebut


dijadikan konfigurasi penafsiran atau pusatnya.
Konfigurasi turunnya wahyu seluruhnya boleh dikatakan
benar-benar khas. Tidak bisa dihindari, ahli teologi menafsirkan
turunnya wahyu menggunakan ilmu sejarah dimaksudkan agar
lebih luas pembahasannya. Bukan berarti meninggalkan hal-hal
yang khusus seperti yang dilakukan oleh ahli ilmu pengetahuan
dengan pendekatan nomotetis. Tetapi yang lebih penting adalah
adanya hubungan atau interaksi antara yang khusus dan umum.
Meskipun demikian, ahli teologi memiliki perhatian universalitas.
14 Ibid., hal. 307.

14

Apa yang ditemukan dalam penelitian agama diungkapkan


adanya tuhan segala-galanya. Baginya makna universal dalam
hal khusus sangat signifikan. Wahyu adalah kunci penentu dalam
memberikan kategori penafsiran yang relevan dengan semua
situasi kehidupan.
Kaum kristiani selalu menghadapi persoalan partikularisasi
yaitu mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan
umum. Menurut mereka tidak ada pengetahuan tentang tuhan
yang benar kecuali melalui kristus dan menganggap di luar
gereja salah. Sikap yang demikian ini dianggap kurang adanya
tenggang rasa antar agama. Pada esensinya, cara pandang antar
agama berbeda-beda. Menurut Budha dan Hindu manusia sendiri
adalah yang menjadi masalah, manusia seharusnya lepas dari
hasrat dan emosi sehingga mendapatkan kebenaran. Menurut
Kristen, yang menjadi persoalan bukan diri manusia, akan tetapi
mementingkan kepentingan diri sendiri dan menunjukan kasih
kepada tuhan serta manusia dalam pemenuhan individualitas
yang sesungguhnya. Maka tidak semua agama sama dalam
peletakan makna kebenaran.
Salah satu cara dalam menunjukan perbedaan tanpa
mengumbar unsur superioritas adalah dengan mengambil sikap
mengakui. Yaitu mengakui relativisme dan keterbatasan sudut
pandang serta mempertahankan sikap mental iman dalam diri
sendiri. Maka yang harus ditimbulkan dalam diri sendiri adalah
bersikap kritis atas diri sendiri (self critism), dan berusaha
memahami diri sendiri dalam agamanya (self knowledge). Tugas
agama adalah mengkaji diri sendiri dalam hubungannya dengan
dunia, ilusi yang tampak dan kepedulian diri yang salah,
mereformasi diri dari pemusatan diri, memusatkan diri dari apa
yang menjadi nilai pokok.15
15 Holmes Roston III, Ilmu dan Agama Sebuah Survai Kritis,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006), hal. 46.

15

Kemudian bagaimana cara menimbulkan rasa kritis dalam


diri sendiri dan memperkaya pengetahuan tentang diri. Salah
satunya

adalah

dengan

mendinamiskan

wahyu

dengan

melihatnya dari banyak segi keilmuan, seperti antropologi,


sosiologi,

ataupun

sejarah.

Pengenalan

wahyu

dengan

menggunakan fakta sejarah juga termasuk prinsip objektivitas.


Selagi orang kristen mengedepankan partikularitasnya akan
mengalami kesulitan dalam mengenali wahyu. Dengan sebab itu
mereka mulai mengakui relativisme dan menegaskan bahwa
hasil yang subjektif selalu tidak murni sesuai dengan situasi yang
berubah-ubah. Dan akhirnya menghasilkan bukti-bukti yang lebih
bermakna.

Penutup
Penelitian agama

dilandaskan melalui wahyu adapun

penelitian ilmu pengetahuan berlandaskan atas pengalaman


inderawi. Keduanya mendapatkan hasil yang subjektif dan
kebenaran

tentatif.

Untuk

mendapatkan

objektifitas

dalam

penelitian harus diadakan keterujian intersubjektif diantaranya.


Pada keterujian ini, agama mengalami permasalahan yang
krusial sebagai manivestasi dari pengalaman religius. Akan tetapi
untuk

menyatakan

keobjektivitasannya,

teolog

berupanya

mengadakan rekonsiliasi atas diri sendiri. Diperlukan kacamata


ganda untuk membuktikan objektivitas melalui penelitian internal
atau participant dan eksternal atau observer. Penelitian internal
berlandaskan utama kepada wahyu dan eksternal menggunakan
akal sebagai alat rasional. Dalam memahami agama diperlukan
keduanya sebagai alat utama. Wahyu ditafsirkan menggunakan
akal dengan merujuk ke masa lalu dan diaplikasikan kepada
masa sekarang. Maka dibutuhkan kategori penafsiran atau

16

gagasan yang sesuai dengan masa kontemporer. Karena wahyu


bersifat universal bukan hanya untuk masa lampau.
Lagi-lagi umat kristiani mengalami masalah partikulasi
yang menunjukan kurang adanya tenggang rasa antar umat
beragama. Cara pandang setiap agama berbeda-beda. Maka
jalan satu-satunya adalah tidak mengumbar superioritas dalam
kristiani. Ditunjukan dengan mengakui sikap relativisme dan
keterbatasan sudut pandang. Akan tetapi tidak mengabaikan
keimanan diri sendiri, yaitu dengan menumbuhkan sikap kritis
atas diri sendiri atau self critism dan keilmuannya sendiri atau
self knowledge. Dengan cara mendinamiskan wahyu menurut
prespektif antropologi, sosiologi, sejarah, dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, terjemahan
Damayanti dan Ridwan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2006.
Bagir Zainal Abidin, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi
dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.
Hidayat , Qamaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
Roston , Holmes III, Ilmu dan Agama Sebuah Survai Kritis,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
Trinanda, Makalah Budaya Ilmiah dalam Komunitas Ilmiah.
trinanda.files.
wordpress. com. Diakses pada 30/11/2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, diakses pada 30/11/2013.

17

Anda mungkin juga menyukai