Anda di halaman 1dari 24

MASAIL FIQHIYAH MUAMALAH: NUQUD

MAKALAH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
FIQH MUAMALAH

NAMA KELOMPOK:

1. Achmad Fadlil Abidillah (042014553011)


2. M. Sena Nugraha Pamungkas (042014553004)
3. Muhammad Yahya S (042014553008)

MAGISTER SAINS EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemenuhan kebutuhan manusia, tidak bisa dilakukan secara mandiri. Pada
masyarakat yang sederhana atau masyarakat primitif setiap anggota masyarakat
selalu berusaha untuk menghasilkan segala apa yang dibutuhkan. Pada mulanya
masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang memenuhi
kebutuhannya dengan usaha sendiri. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak
dapat di hasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang
yang dimilki dengan dengan barang lain yang dibutuhkan, sehingga muncullah
sistem barter yaitu barang yang ditukar dengan barang. Seiring berkembangnya
zaman, Nuqud (uang) yang kita kenal sekarang telah mengalami proses
perkembangan yang panjang. Benda-benda yang di tetapkan sebgai alat
pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum.
Masuk pada perkembangan zaman, Nuqud (uang) mengalami perkembangan
yang begitu pesat, apalagi didukung oleh perkembangan teknologi yang mutakhir.
Uang Fiat, Uang Elektronik bahkan Cryptocurrency adalah hasil dari
perkembangan tersebut. Pada Kesempatan kali ini, penulis ingin membahas Uang
Fiat, Uang Elektronik, Cryptocurrency, bagaimana dampaknya terhadap
perekonomian dan tinjuan dalam perspektif Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Uang Fiat dan Elektronik?
2. Bagaimana Tinjauan Fiqh Uang Fiat dan Elektronik?
3. Bagaimana Penerapan Akad dalam Uang Elektronik?
4. Bagimana Dampak Uang Elektronik dalam Perekonomian?
5. Studi Kasus 1: Go-Pay pada Go-Jek?
6. Studi Kasus 2: Cryptocurrency?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Uang Fiat & Elektronik
Uang sebagai instrumen sistem pembayaran memerankan peranan yang sangat
penting sebagai penunjang kelancaran transaksi dalam suatu perekonomian.
Dengan adanya uang maka permasalahan dalam transaksi yang mungkin muncul
pada zaman dahulu seperti double coincidence of wants, indivisibility of goods
dan lack of common denominator dapat teratasi. Evolusi uang dalam peradaban
manusia telah melalui sejarah yang panjang selama ratusan tahun. Mulai dari uang
komoditas (seperti kerang, batu dan gigi paus), uang logam (emas dan perak),
uang fiat, hingga sekarang berevolusi menjadi uang elektronik. Perubahan-
perubahan tersebut tentu terjadi disebabkan oleh masalah yang dihadapi oleh
manusia dalam zaman yang berbeda-beda. Seperti halnya saat ini dimana transaksi
internasional sudah menjadi bagian hidup masyarakat, bahkan seorang ibu rumah
tanggapun dapat membeli peralatan memasak yang dikirimkan dari China, serta
ditunjang dengan kemajuan teknologi, sehingga peranan uang yang mudah di
transaksikan menjadi kian penting. Mencuatnya rencana revolusi industri 4.0
dimana industri-industri bergeser ke sektor digitalisasi membuat uang juga
mengalami perubahan dari berbentuk fiat menjadi berbentuk elektronik (e-
money).
Menurut Kalsum (2014) secara normatif, fiat money adalah uang yang
terbuat dari sesuatu, baik terbuat dari kertas ataupun koin yang diakui sebagai alat
tukar yang sah dalam yuridiksi atau negara tertentu meskipun tidak memiliki nilai
atau cadangan (back up) yang setara dengan nilai nominalnya. Uang fiat di
Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu uang kertas dan uang logam (koin)
berdenominasi Rupiah (Rp). Meski sudah jauh lebih praktis dibanding uang
komoditas dan uang logam, tetapi uang fiat juga memiliki kelemahan dalam hal
kepraktisan. Untuk transaksi bernilai besar maka membawa uang kertas dalam
jumlah besar memiliki resiko yang tinggi dan membutuhkan usaha yang cukup
besar untuk menghitung jumlahnya. Karena kekurangan itulah maka masyarakat

3
mengembangkan metode pembayaran melalui lembaga keuangan yaitu Bank
sehingga munculah uang giral.
Sistem pembayaran terus mengalami kemajuan seiring dengan semakin
canggihnya teknologi di berbagai bidang, hingga munculah sistem pembayaran
yang menggantikan peranan uang tunai menjadi berupa saldo-saldo elektronik
yang dapat di pindah bukukan dengan mudah, dikenal dengan istilah non tunai.
Disebut non tunai karena fisik uang tidak berpindah secara riil saat terjadi
transaksi tetapi melalui pengurangan saldo pembeli yang di pindahkan ke saldo
penjual sehingga menambah saldo penjual, pengurangan dan penambahan saldo
tersebut terjadi di lembaga keuangan yang terkait. Karena proses ini terjadi
melalui penggunaan alat-alat elektronik (komputer) dan melalui jaringan
komputer yang terintegrasi maka uang yang digunakan dalam sistem ini dikenal
sebagai uang elektronik (electronic money/e-money)
Bank for International Settlement mendefinisikan uang elektronik (e-
money) sebagai produk stored-value atau prepaid card dimana sejumlah nilai
uang (money value) disimpan secara elekronis dalam suatu peralatan elektronis.
Pembayaran elektronis yang dikenal sebagai uang elektronik (e-money) memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pembayaran elektronis berupa APMK (kartu
ATM, kartu debit dan kartu kredit). Uang elektronik tidak memerlukan proses
otorisasi dan keterkaitan langsung (online) dengan rekening nasabah di bank
karena uang elektronik merupakan produk stored value yang telah menyimpan
nilai dana tertentu dalam alat pembayaran yang digunakan (Suharni, 2018).
Menurut Kalsum (2014) mengenai uang fiat, dalam Islam para ulama dan
cendekiawan muslim terbagi menjadi dua golongan. Golongan yang pertama
adalah mereka yang menyatakan bahwa mata uang harus berbasis emas dan perak
atau standar moneternya harus berupa emas dan perak dan golongan yang kedua
menyatakan bahwa mata uang tidak terbatas pada emas dan perak saja, termasuk
uang fiat juga boleh di gunakan dalam perekonomian. Terdapat beberapa alasan
yang melatarbelakangi pendapat golongan pertama yaitu:
a. Pertama, uang emas/perak atau uang yang berbasiskan emas/perak
cenderung lebih adil karena uang tersebut memiliki nilainya sendiri (nilai

4
instrinsik) sehingga saat uang ditukarkan dengan barang maka keduanya
sama-sama memiliki nilai. Hal ini berbeda dengan uang fiat dimana uang
fiat memiliki nilai interinsik yang sangat kecil sehingga nilainya tidak
sebanding dengan nilai barang/jasa yang ditukarkan.
b. Kedua, ketika adanya larangan praktik menimbun harta (kanz al-mal),
Islam hanya mengkhususkan larangan kanz al-mal untuk emas dan perak.
Dalilnya ada pada penggalan Q.S Al-Taubah ayat 34 yang artinya "...Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) adzab yang pedih".
c. Ketiga, Islam mengaitkan hukum-hukum syara' dengan emas dan perak
dalam bentuk nash, yakni ketika berhubungan dengan masalah ukuran atau
uang. Sebagai contoh dalam kasus pencurian adanya hukuman potong
tangan ditentukan ukurannya dalam bentuk emas. Diriwayatkan dari
Aisyar r.a bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Tidak
boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar
atau lebih" hadits ini Muttafaq Alaihi dan lafadz tersebut adalah menurut
riwayat Imam Muslim.
d. Keempat, diamnya Rasulullah terhadap transaksi yang dilakukan
masyarakat ketika itu yang mempergunakan emas dan perak.
e. Kelima, hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (sharf, money
changer) yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas
dan perak. Dalil mengenai hal tersebut adalah hadits Nabi Muhammad
sallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim, diriwayatkan dari Abu Bakar r.a bahwa Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam melarang
jual beli perak dengan perak dan emas dengan emas, kecuali dengan nilai
setara (sama nilainya), beliau membolehkan membeli perak dengan emas
menurut kehendak kita, serta membolehkan membeli emas dengan perak
menurut kehendak kita.

5
Adapun para cendekiawan muslim yang menyetujui pendapat ini
diantaranya adalah Ahmad al-Husaini, Syaikh Muhammad Amin al-Syantiq dan
Habib Abdullah binti Sumayth. Mereka tidak mengakui mata uang kertas kecuali
jika mata uang kertas tersebut nilainya di dasarkan pada emas atau perak (Kalsum,
2014).
Sementara itu ulama yang cenderung pada pendapat kedua mengenai
kebolehan uang fiat diantaranya adalah Syaibani, Ibn Taymiyah, Ibn Hazm, Laith
ibn Sa'ad, al-Zuhri, Yusuf Qardhawi dan Muhammad Taqi Usmani. Dalil
pembolehan penggunaan mata uang selain emas dan perak yang digunakan
kelompok ini adalah bahwa persetujuan Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam
dalam penggunaan dinar dan dirham bukan berarti membatasi uang pada jenis ini
saja. Selain itu, pemikiran Khalifah Umar bin Khattab yang hendak mencetak
mata uang yang terbuat dari kulit unta juga menguatkan pendapat kedua ini.
(Kalsum, 2014)
Pemikiran-pemikiran yang menguatkan pendapat kedua ini menurut
Muflih dalam Kalsum (2014) diantaranya adalah:
a. pertama, analisis yang disampaikan oleh Imam Malik bin Anas bahwa jika
masyarakat membolehkan dan menganggap kulit sebagai media transaksi
sehingga dijadikan cek dan mata uang maka beliau akan memakruhkan
jual beli yang menggunakan emas dan perak.
b. Kedua, Ibn Taymiyah juga mengemukakan pendapat yang kurang lebih
sama dengan pendapat Imam Malik bahwa penggunaan mata uang
ditetapkan pada kebiasaan adat istiadat manusia saja atau 'urf sebab
menurutnya tidak ada ketentuan hukum syariah baik dari Al-Quran
maupun Sunnah yang mewajibkan umat Islam untuk menerapkan dinar
dan dirham sebagai mata uang. Salah satu dalil yang mendasari pemikiran
beliau adalah firman Allah subhanahu wata 'ala dalam Al-Quran surat Al-
Kahfi ayat 19, Dalam surat itu para pemuda di dalam gua meminta salah
seorang diantara mereka untuk pergi ke pasar dengan membawa uang
peraknya untuk membeli makanan sesudah mereka tertidur dalam jangka
waktu yang lama. Dalam ayat itu menurut Ibn Taymiyah Allah

6
menggunakan kata wariq (uang perak) untuk menggambarkan uang yang
berlaku saat itu, bukan uang perak (dirham) secara spesifik.
c. Ketiga, Ibn Qayyim al-Jawzi berpendapat bahwa mata uang tidak mesti
sesuatu yang terbuat dari emas dan perak dan tidak mesti sesuatu yang
ditimbang seperti dinar dan dirham. Tetapi yang dilihat adalah dari
urgensinya sebagai alat tukar yang dapat memenuhi kebutuhan dalam
transaksi.
Ketiga pemikiran diatas juga dapat mendasari bolehnya penggunaan uang
elektronik dalam kehidupan umat muslim saat ini. Dengan semakin
berkembangnya teknologi elektronik dan meningkatnya perekonomian baik
dalam hal luasnya maupun intensitasnya maka kebutuhan akan uang elektronik
yang lebih efisien dibanding uang fiat menjadi suatu hal yang mendesak.

B. Tinjauan Fiqh
Di Indonesia, DSN MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai uang elektronik
melalui Fatwa DSN-MUI No 116/DSN-MUI/IX/2017. Dalam fatwanya tersebut
selain dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadits DSN-MUI juga mendasarkan hukum
mengenai uang elektronik pada beberapa pendapat ulama zaman dulu diantaranya:
a. pendapat Imam Malik dalam kitab Al-Mudawanah al-Kubra jilid 3, Hal 90
yang artinya "Andaikan masyarakat membolehkan uang terbuat dari kulit
dan dijadikan sebagai alat tukar, pasti saya melarang uang kulit itu
ditukar dengan emas dan perak secara tidak tunai". Dari pendapat ini
maka kita dapat memahami beberapa hal yaitu:
1) Imam Malik membolehkan penggunaan uang selain berdasarkan
emas dan perak pada suatu masyarakat asalkan seluruh masyarakat
itu bersepakat tentang hal tersebut.
2) Imam Malik mensyaratkan pertukaran antara uang non komoditas
(fiat dan elektronik) dengan emas dan perak harus secara tunai. Hal
ini berarti Imam Malik mengqiyaskan uang fiat dengan uang yang
berasal dari emas dan perak sesuai dengan hadits Nabi Muhammad
sallallahu 'alaihi wa sallam riwayat Imam Muslim yang artinya

7
"(jual beli/pertukaran) emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan
kurma, dan gaam dengan garam (disyaratkan harus dalam ukuran
yang) sama (jika yang dipertukarkan) satu jenis dan (harus)
secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika
dilakukan secara tunai".
b. pendapat Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, jilid 8, hal. 477 yang artinya
"Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan boleh digunakan sebagai
alat bayar, dan tidak terdapat satu nash pun yang menyatakan bahwa
uang harus terbuat dari emas dan perak"
c. Uang yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud (jamak
dari naqd), didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut:
1. "Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media
pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam
kondisi seperti apa pun media tersebut." (Abdullah bin Sulaiman
almani, Buhuts fi al-iqtishad al-islami, Mekah: al-Maktab al-
Islami, 1996. h. 178).
2. "Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh
masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak
maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga
keuangan pemegang otoritas," (Muhammad Rawas Qal'ah Ji, al-
Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah fi Dhau' al-Fiqh wa al-
Syar'iah, Beirut: Dar al-Nafa'is, 1999, h. 23).
Dalam fatwa tersebut DSN-MUI mendefinisikan uang elektronik sebagai
alat pembayaran yang memenuhi beberapa unsur yaitu:
a. diterbitkan atas dasar jumlah nominal uang yang disetor terlebih dahulu
kepada penerbit;
b. jumlah nominal uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang
teregistrasi;

8
c. jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan
merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang, yang
mengatur mengenai perbankan; dan
d. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut.

C. Penerapan Akad Dalam Uang Elektronik


Adapun akad yang diterapkan antara penerbit dengan pemegang uang
elektronik berdasarkan fatwa DSN-MUI mengenai uang elektronik adalah akad
wadi'ah atau akad qardh. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad wadi'ah,
maka berlaku ketentuan dan batasan akad wadi'ah sebagai berikut:
a. Jumlah nominal uang elektronik bersifat titipan yang dapat
diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja;
b. Jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan
oleh penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu;
c. Dalam hal jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh
penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadi'ah) berubah
menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan
sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.
d. Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana titipan
dari pemegang kartu (dana float).
e. Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah dan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu dalam hal akad yang digunakan adalah akad qardh, maka
berlaku ketentuan dan batasan akad qardh sebagai berikut:
a. Jumlah nominal uang elektronik bersifat hutang yang dapat
diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja;
b. Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan) uang hutang dari
pemegang uang elektronik;
c. Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok piutang pemegang uang
elektronik kapan saja sesuai kesepakatan;

9
d. Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana
pinjaman (utang) dari pemegang kartu (dana float);
e. Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah dan peraturan perundang-undangan.
Berkenaan dengan akad qardh yang digunakan dalam uang elektronik
teradapat pandangan yang menyatakan bahwa akad ini tidak dapat digunakan
dalam uang elektronik karena dapat menyebabkan terjadinya riba dalam transaksi.
Adapun riba yang dimaksud berasal dari berbagai macam diskon, promo, ataupun
cashback yang diterima oleh pemegang uang elektronik saat melakukan transaksi.
Akad qardh merupakan suatu akad tabarru / tolong menolong dimana si pemberi
pinjaman hanya mengharapkan pahala dari sisi Allah subhanahu wa ta'ala saja dan
tidak boleh mengharapkan apalagi mensyaratkan adanya tambahan dari
pengembalian pinjaman yang diberikannya.
Oleh karena itu kelebihan manfaat yang didapatkan dari pengguna uang
elektronik - dimana kelebihan manfaat tersebut dapat berupa diskon, promo,
cashback ataupun jenis manfaat lainnya - dapat dikategorikan sebagai riba dan
riba telah secara tegas dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dalam berbagai dalil.
Jika pengguna uang elektronik tidak mendapatkan berbagai macam kelebihan
manfaat tadi maka hukum menggunakan uang elektronik menjadi boleh. Hal ini
juga tentu sangat menguntungkan bagi penerbit karena berbagai macam kelebihan
manfaat tersebut sebenarnya adalah biaya promosi perusahaan artinya perusahaan
penerbit uang elektronik dapat memangkas biaya promosi mereka.
Di antara akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam
penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, pedagang [merchant],
penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir) adalah akad ijarah,
ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah. Sedangkan akad yang dapat digunakan
antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad
ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

10
D. Dampak Uang Elektronik Terhadap Perekonomian
Di dalam perkembangannya, uang elektronik sekarang ini telah menjadi bagian
penting bagi perekonomian. Hampir semua jenis transaksi di dalam perekonomian
sudah memaksimalkan sistematika penggunaan uang elektronik. Beberapa tahun
yang lalu, Bank Indonesia (2006) telah mempublikasikan paper yang membahas
mengenai dampak penggunaan uang elektronik terhadap perekonomian.
Pembahasan terkait dampak tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa hal, sebagai
berikut:
1. Dampak Uang Elektronik dan Transaksi Non Tunai terhadap Perekonomian
Jika kita menengok kembali pada sejarah penggunan uang sebagai alat tukar,
salah satu kunci diterimanya suatu jenis uang sebagai alat pembayaran adalah
pertimbangan praktis dan ekonomis. Bagi masyarakat, uang elektronik merupakan
fasilitas yang dapat mempermudah proses transaksi seperti penarikan tunai,
transfer, dan pembayaran tagihan. Dampak uang elektronik terhadap
perekonomian sejatinya bisa dipandang dari dua sisi, yakni keuntungan dan risiko
bagi perekonomian.
a. Keuntungan Bagi Perekonomian
Uang elektronik memberikan manfaat efisiensi berupa penurunan biaya
transaksi bagi konsumen dan produsen serta meningkatnya kepuasan masyarakat
karena terpenuhinya kebutuhan akan alat pembayaran yang lebih praktis. Atas
penurunan biaya tersebut, maka pendapatan disposibel masyarakat secara tidak
langsung ikut meningkat (Dias dalam Pramono dkk, 2006). Dari sisi lembaga
penerbit alat pembayaran non tunai, peningkatan penggunaan pembayaran non
tunai merupakan sumber pendapatan berbasis biaya (fee-based income) karena
nasabah akan dikenakan biaya administrasi setiap bulannya. Khusus untuk alat
pembayaran non tunai berbentuk prepaid cards atau e-money, penerbit
memperoleh pendapatan tidak hanya dari fee-based income namun juga dalam
bentuk pembiayaan tanpa bunga (interest-free debt financing) sebesar saldo e-
money yang ada di penerbit.
Menurut Dias (dalam Pramono dkk, 2006), adanya tambahan pendapatan
karena turunnya biaya atas digunakannya uang elektronik akan mendorong

11
konsumsi dan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang kemudian
berpotensi mendorong aktivitas sektor riil. Pada saat ini, orang-orang cenderung
enggan membawa uang dalam jumlah yang besar di dalam dompetnya, karena
dianggap kurang aman dan kurang praktis. Besar kecilnya uang yang dapat dibawa
oleh masyarakat dalam dompet atau sakunya dapat dipertimbangkan sebagai
kendala bagi masyarakat untuk melakukan konsumsi. Oleh karenanya, hadirnya
uang elektronik dapat menghilangkan kendala tersebut, dan bahkan berpotensi
untuk mendorong kenaikan tingkat konsumsi.
Naiknya tingkat konsumsi masyarakat menyebabkan meningkatnya
perputaran uang (velocity of money). Dari sisi produsen, peningkatan konsumsi
yang diikuti dengan efisiensi biaya transaksi akan meningkatkan profit bagi
produsen yang kemudian berpotensi untuk mendorong aktivitas usaha dan
eskpansi usaha. Semakin efisien biaya transaksi yang diperoleh dari penggunaan
uang elektronik, semakin besar pula potensi peningkatan output. Hal ini pada
gilirannya akan mendongkrak peningkatan produksi di sektor riil yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.
b. Risiko Bagi Perekonomian
Selain memberikan keuntungan, terdapat pula beberapa risiko dari penerbitan
dan penggunaan uang elektronik yang dapat mempengaruhi ekonomi dan sistem
keuangan, antara lain sebagai berikut:
1) Peningkatan default risks yang ditimbulkan dari penerbitan kartu
kredit atau kartu pra bayar. Kedua jenis kartu ini memiliki potensi
permasalahan pada penyelesaian tagihan atau penyelesaian kliring
bilamana terjadi wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat, baik
oleh konsumen maupun lembaga bank penerbit kartu.
2) Peningkatan risiko keamanan terkait dengan IT dapat menyebabkan
kegagalan dalan penyelesaian transaksi. Peningkatan risiko default dan
reriko IT dapat menyebabkan kegagalan dalam sistem pembayaran.
3) Kegagalan sistem pembayaran pada gilirannya dapat menyulut
terjadinya ketidakstabilan dalam sistem keuangan karena saling
bergantungnya antara sistem pembayaran dan sistem keuangan.

12
2. Dampak Uang Elektronik dan Pembayaran Non Tunai Terhadap Kebijakan
Moneter
Menurut Woodford (dalam Pramono dkk, 2006) inovasi alat pembayaran
non tunai dapat menimbulkan komplikasi dalam penggunaan target kuantitas pada
pengendalian moneter. Untuk mengkaji dampak perkembangan alat pembayaran
non tunai, perlu dilakukan pembedaan jenis alat pembayaran non tunai mengingat
adanya perbedaan karakteristik beberapa jenis alat pembayaran non tunai tersebut.
a. Dampak ATM dan Kartu Debet pada Pengendalian Moneter
Perkembangan alat pembayaran non tunai berupa kartu ATM dan kartu debet
memberi implikasi perubahan konsep perhitungan uang beredar dalam arti sempit
(M1) dan dalam arti luas (M2). Saat ini komponen dan perhitungan besaran
moneter M1 dan M2 tersebut adalah:

M1 = Uang Kartal di luar bank umum + Uang Giral (D)


M2 = M1 + Uang Kuasi (tabungan (S) dan deposito (T))

Perkembangan alat pembayaran non tunai menggunakan kartu seperti


ATM dan kartu debet dengan tabungan sebagai underlying-nya menyebabkan
terjadinya pergeseran fungsi tabungan dari simpanan yang tidak dapat ditarik
sewaktu-waktu menjadi jenis simpanan yang dapat ditarik sewaktu-waktu
sebagaimana halnya simpanan giral. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
pengklasifikasian tabungan mana yang menggunakan ATM atau kartu debet
sebagai bagian dari narrow money (M1) dalam kategori uang giral bukan lagi uang
kuasi (M2).
b. Dampak E-Money pada Pengendalian Moneter
E-money merupakan produk stored value atau pra-bayar dimana sejumlah
nilai uang disimpan dalam suatu media elektronik yang dimiliki seseorang, yang
nilainya akan berkurang pada saat digunakan untuk pembayaran berbagai jenis
transaksi. E-money dapat diterbitkan atas beban rekening nasabah yang ada di
bank umum atau dengan setoran tunai. Dari e-money yang diterbitkannya, issuer
memiliki sejumlah dana (monetary value) yang tercatat dalam kartu e-money yang
belum digunakan untuk pembayaran, dan memiliki sejumlah float, yakni nominal

13
yang sudah digunakan untuk pembayaran namun belum ditagihkan atau di-redeem
oleh merchant kepada pihak issuer. Float merupakan kewajiban (liability) issuer
atas e-money yang diterbitkannya.
Penerbitan e-money yang dibeli oleh masyarakat dengan setoran uang tunai
(COB) akan menyebabkan menurunnya COB dan meningkatnya float e-money di
sisi kewajiban bank ataupun lembaga non bank. Menurunnya COB akan
menyebabkan penurunan base money. Namun demikian penurunan base money
belum tentu sebesar penurunan COB. Namun apabila customer melakukan
pembelian e-money atas beban rekening gironya pada bank umum, maka
penerbitan e-money akan menyebabkan penurunan M1 akibat penurunan
simpanan giro menjadi Float. Jika customer melakukan pengisian e-money atas
beban rekening tabungan (S) dan simpanan berjangkanya (T) pada bank umum,
maka penerbitan e-money menyebabkan penurunan M2 akibat penurunan S dan T
menjadi Float.
Dari penjelasan di atas, perhitungan M1 di dalam statistik uang beredar dengan
mengikutsertakan e-money akan menjadi:

M1 = COB + D (giro) + Float


M2 = M1 + S + T

c. Dampak E-Money terhadap Simpanan Masyarakat di Bank


Mengingat karakteristik e-money berbeda dari jenis kartu yang lainnya, perlu
dilakukan analisa dampaknya terhadap simpanan masyarakat di bank. Penerbitan
e-money oleh bank akan menyebabkan pergeseran simpanan masyarakat di bank
dari tabungan dan deposito atau giro ke dalam bentuk float. Sepanjang variabel
float dari e-money telah dikategorikan sebagai komponen M1, penerbitan e-money
oleh bank hanya akan menyebabkan pergeseran (shifting) dari tabungan (S) atau
deposito (T) ke dalam bentuk float e-money atau perubahan komponen M2
menjadi M1. Apabila issuer dari e-money adalah lembaga non bank, penerbitan
dari e-money berpotensi untuk mengurangi simpanan masyarakat pada perbankan
jika dana float e-money tidak (atau hanya sebagian) ditempatkan kembali pada
bank umum.

14
d. Dampak Alat Pembayaran Non Tunai pada Perputaran Uang
Bagi bank sentral yang menggunakan besaran moneter sebagai target
operasional maupun target akhir, velocity of money merupakan salah satu
indikator penting yang perlu diperhatikan. Velocity of money harus dapat
diprediksikan dan stabil. Inovasi dalam pasar keuangan seperti penerbitan alat
pembayaran non tunai dipercaya dapat menurunkan kestabilan velocity of money.
Secara teoritis, dasar perhitungan velocity of money dapat ditemukan dari Teori
Kuantitas Uang. Menurut teori ini hubungan antara transaksi ekonomi yang terjadi
di dalam suatu perekonomian dengan jumlah uang yang dibutuhkan untuk
membiayai transaksi dapat diekspresikan dalam persamaan sebagai berikut:

MV = PT

Sisi kanan dari persamaan tersebut mencerminkan transaksi yang terjadi


di dalam suatu perekonomian, dimana P adalah harga dan T adalah jumlah
transaksi yang terjadi di dalam perekonomian selama periode tertentu. Sedangkan
sisi kiri dari persamaan M mencerminkan jumlah uang yang digunakan untuk
melakukan transaksi yang dilakukan di dalam suatu perekonomian selama periode
tertentu. Dari persamaan tersebut velocity of money dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:

V = PT / M

V atau velocity of money, digunakan untuk mengukur kecepatan (tingkat)


sirkulasi satu unit uang yang digunakan untuk melakukan transaksi di dalam suatu
perekonomian. Bank sentral dapat mengontrol harga (P) dengan menargetkan M.
Sejak tahun 2002 hingga sekarang, data perputaran uang di Indonesia selalu
menunjukkan peningkatan, hal ini salah satunya dikarenakan adanya pengaruh
adanya e-money.

E. Studi Kasus: Transaksi Go-Pay Pada Go-Jek


Salah satu bentuk alat pembayaran non-tunai adalah Go-Pay yang
merupakan bagian dari fitur Go-Jek. Go-Pay memudahkan para pengguna layanan

15
Go-Jek untuk bertransaksi tanpa harus menggunakan uang konvensional. Saat ini
Go-Pay sudah bekerjasama dengan bank-bank di Indonesia, karena baik dari BI
maupun OJK sebagai lembaga pengendali alat pembayaran dan regulator jasa
keuangan telah memberikan izin kepada Go-Pay dan beberapa lembaga penyedia
fitur pembayaran non-tunai lainnya untuk menjadi fasilitator penyedia alat
transaksi elektronik bagi masyarakat (Wijaya, 2018). Beberapa layanan yang ada
pada fitur Go-Pay antara lain:
1. Top-Up, dimana ini merupakan layanan pengisian saldo akun Go-Pay
yang dapat dilakukan melalui pengemudi Go-Jek, dapat pula dengan cara
mentransfer dana melalui bank-bank tertentu di Indonesia atau melalui
institusi atau platform lain yang ditentukan.
2. Pembayaran, Go-Pay dapat digunakan untuk membayar tagihan transaksi
kepada pelaku usaha yang menawarkan layanannya. Setiap Pembayaran
akan secara otomatis mengurangi saldo Go-Pay dengan jumlah dan
nominal yang sama.
3. Transfer Dana, dimana ini merupakan layanan untuk mengalihkan dana ke
akun Go-Pay lainnya yang akan secara otomatis mengurangi saldo yang
tertera dalam akun Go-Pay asal dan menambah saldo akun Go-Pay pihak
lain dengan jumlah yang sama.
4. Penarikan Tunai, Penarikan Tunai merupakan layanan untuk menarik dana
yang terdapat dalam akun Go-Pay melalui bank yang telah terdaftar, yang
akan secara otomatis mengurangi saldo Go-Pay dengan jumlah yang sama.

Penggunaan Go-Pay sebagai media transaksi tentulah harus ditinjau dari sisi
fiqh muamalah. Wijaya (2018) menjelaskan secara mendetail terkait hal ini di
dalam jurnalnya:
1. Takyif Fiqh Go-Pay
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa pembayaran jasa
transportasi online seperti Gojek dan Grab yang dilakukan menggunakan uang
tunai adalah merupakan akad ijārah (sewa-menyewa), dimana konsumen
membayar jasa tumpangan transportasi sesuai tarif yang disepakati. Namun yang

16
menjadi polemik dikalangan pakar muamalah kontemporer adalah pembayaran
dengan menggunakan uang elektronik seperti Go-Pay, dimana tarif jasanya
dipastikan lebih murah daripada pembayaran dengan uang tunai, karena mendapat
diskon. Diskon inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah termasuk riba
ataukah tidak.
Di dalam konsep Go-Pay, konsumen sebelum menggunakan uang
elektronik tersebut, terlebih dahulu melakukan proses top-up, yaitu pengisian
saldo dengan uang tunai dengan nilai tertentu. Saldo inilah yang akan tersimpan
sampai konsumen menggunakannya, dan akan berkurang sesuai pemakaian.
Sebagian ada yang menyatakan bahwa proses top-up ini subtansinya adalah qarḍh
(pinjaman), sehingga tidak dibenarkan menerima manfaat berupa diskon, karena
bisa dikategorikan riba. Namun setidaknya terdapat empat kemungkinan Takyif
fiqh pada model transaksi Go-Pay ini, yaitu Al-ijārah al-mauṣūfah fi al-żimmah,
Wadīah, Qarḍh, dan Ṣarf.
a. Al-Ijārah al-Mauṣūfah fi al-Żimmah (IMFZ),
Diantara bentuk ijārah yang banyak ditemukan pada akad muamalah
kontemporer adalah akad ijārah dalam bentuk bai’ salam (Jual-beli pesanan),
akad semacam ini lebih dikenal dengan istilah al-ijārah al-mauṣūfah fi al-żimmah,
DSN-MUI mendefenisikan akad ini sebagai: “Akad sewa menyewa atas manfaat
suatu barang (manfaat ain) dan/atau jasa (‘amal) yang pada saat akad hanya
disebutkan sifatnya dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas)”. Sebagian pakar
muamalah menggolongkan akad Go-Pay sebagai akad IMFZ ini, diantaranya
adalah Dr. Oni Sahroni, MA., dengan argumentasi bahwa pembayaran ijārah
dibayar dimuka, manfaat diterima kemudian, akad semacam ini adalah bagian dari
akad salam yang dibolehkan dalam syariat.
Sejalan dengan argumentasi diatas, Ammi Nur Baits, ST., BA. pada
awalnya berpendapat bahwa akad pada Go-Pay adalah ijārah, alasannya adalah
saldo Go-Pay tidak bisa diuangkan, sebagaimana aturan awal Go-Pay, karena
saldo tidak bisa diuangkan maka subtansi akadnya adalah ijārah bukan utang,
sebab hanya utang yang wajib dikembalikan dengan uang, namun pendapat ini
kemudian direvisi setelah munculnya fitur tarik tunai pada Go-Pay. Adanya fitur

17
tarik tunai tidak serta merta mengalihkan akad ijārah menjadi akad qarḍh,
sebagaimana dikemukakan oleh Ronny mahmuddin, Lc., M.A. dalam Liqa ‘Ilmi
Dewan Syariah Wahdah Islamiyah bahwa tarik tunai dapat dikategorikan sebagai
iqālah yaitu pembatalan akad, sehingga fitur tarik tunai pada Go-Pay adalah
iqālah (pembatalan) dari akad ijārah.
Konsekuensi hukum dari akad al-ijārah al-mauṣūfah fi al-żimmah adalah
bolehnya bertransaksi dengan uang elektronik (Go-Pay) karena tidak ada unsur
riba didalamnya. Adapun diskon khusus pada pembayaran non tunai
menggunakan uang elektronik bukanlah manfaat dari hutang-piutang (riba), sebab
menjadi hak pihak yang menyewakan jasa (Go-jek dan Grab) untuk memberikan
diskon sebagai athaya (pemberian) yang dibolehkan dalam syariat.
b. Wadīah
Proses top-up pada aplikasi Go-pay dapat ditakyif sebagai proses penitipan
uang atau wadiah. Uang titipan ini nantinya akan digunakan untuk keperluan
pembayaran jasa transportasi. Menurut Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi,
seseorang yang perlu jasa Go-Jek akan menitipkan uangnya pada Go-Pay
sehingga akan mudah membayarnya, sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa
konsumen meminjamkan uang ke pihak Go-Pay, sebab pada hakikatnya top-up
adalah menitipkan uang bukan meminjamkan uang. Sejalan dengan pendapat ini,
Islahuddin Mubarak, Lc, MH, berpandangan bahwa dalam transaksi Go-Pay
terdapat dua akad yang terjadi secara terpisah yaitu akad wadiah dan akad ijārah,
ketika konsumen melakukan top-up (mengisi saldo) maka saat itu subtansinya
aadalah akad wadiah, kemudian ketika konsumen menggunakan jasa barulah
transaksi ijārah terjadi.
Karena pengisian saldo adalah wadiah dan selama penitipan uang tersebut
tidak ada bunga (penambahan saldo) maka konsekuensi hukumnya transaksi
tersebut boleh dan tidak riba, diskon yang didapatkan berupa aṭhayah (hadiah)
dari pihak penyedia jasa kepada konsumen.
c. Qarḍh
Proses top-up subtansinya adalah qarḍh (pinjaman), sebagaimana yang
dijelaskan oleh Dr. Erwandi Tarmizi Lc, MA, menurutnya deposit Go-Pay dapat

18
disamakan hukumnya dengan transaksi menitip uang pada toko sembako dekat
rumah dengan tujuan dapat diambil barang setiap dibutuhkan, pembayaran harga
barang dapat dikurangi langsung dari saldo uang yang telah dititipkan.
Berdasarkan argumentasi ini maka disimpulkan bahwa subtansi akad pada saat
top-up adalah qarḍh (pinjaman), dimana konsumen sebagai muqriḍ (pemberi
pinjaman) sedangkan penyelenggara Go-Pay (Go-Jek) sebagai muqtariḍ
(penerima pinjaman), sehingga diskon yang diterima muqriḍ (pemberi pinjaman)
dari muqtariḍ (penerima pinjaman) adalah riba karena setiap manfaat dari
pinjaman hukumnya riba.
Setelah terjadi perubahan aturan bahwa saldo Go-Pay dapat diuangkan
kembali, maka Ammi Nur Baits merevisi pendapat sebelumnya dan sependapat
bahwa akad transaksi Go-Pay adalah akad utang, dengan alasan bawa jual beli
atau ijārah itu harus ditandai dengan akad dan bukan sekedar niat akad,
seandainya benar akadnya adalah ijārah, tentu tidak ada fitur tarik kembali saldo.
Karena Akadnya adalah akad qarḍh maka konsekuensi hukum menerima manfaat
berupa diskon adalah riba yang diharamkan.
d. Ṣarf
Pengisian saldo dapat ditakyif pula sebagai akad penukaran uang yang
sejenis, yaitu pertukaran rupiah dalam bentuk uang kertas dengan uang elektronik.
Pendapat ini dikemukaan oleh Asri, Lc, MA, dalam Liqa ‘Ilmi Dewan Syariah
Wahdah Islamiyah, bahwa menurutnya terdapat dua jenis akad dalam transaksi
Go-Pay, akad pertama adalah ṣarf dimana konsumen menukarkan uang tunai
rupiahnya menjadi uang elektronik yang juga dalam bentuk rupiah, sehingga
subtansinya tidak ada wadiah (penitipan) dan tidak ada qarḍh (pinjaman) dalam
proses top-up, yang ada hanyalah perubahan bentuk dari tunai ke elektronik,
kemudian akad kedua adalah ijārah, sehingga walaupun konsumen mendapatkan
diskon dari penyedia jasa (Gojek) tidak ada masalah sebab hal tersebut adalah
pemberian biasa bukan riba.
Takyif dengan akad ṣarf sejalan dengan pandangan Yusuf Bin Abdullah
al-Syubaili tentang hukum menggunakan Saudi Tech, semacam kartu belanja
online yang dapat digunakan setelah top-up sejumlah tertentu. Kartu ini memiliki

19
nomor rekening terdiri dari 16 angka dan dapat dipergunakan untuk belanja secara
online disetiap merchant yang menerima logo Mastercard. Yusuf Bin Abdullah
al-Syubaili menjawab bahwa terdapat dua kemungkinan takhyif fiqh dari kartu
tersebut yaitu qarḍh dan ṣarf, namun menurutnya akad qarḍh jauh dari subtansi,
sebab kartu tersebut pada dasarnya memiliki nilai tersendiri, nilai tersebut telah
diterima sepenuhnya oleh pemilik kartu dalam bentuk elektronik sehingga tidak
tepat dikatakan qarḍh.
Menurutnya, perbedaan pandangan ulama seperti ini pernah terjadi diawal
munculnya uang kertas setelah sebelumnya menggunakan logam dari emas dan
perak, pada awalnya sebagian Fuqaha berpedapat bahwa pertukaran logam emas
dan perak menjadi uang kertas sebagai qardh, namun seiring dengan diterimanya
uang kertas ditengah-tengah masyarakat sebagai alat tukar yang memiliki nilai
maka pendapat inipun tidak lagi menguat. Kesimpulannya, dikarenakan
bentuknya akad ṣarf, maka dua syarat utama dalam akad ṣarf sudah terpenuhi,
yaitu kontan dan tidak ada tambahan, sehingga transaksi Go-Pay dibolehkan dan
bukan riba.
2. Pendapat yang Rajih (pilihan)
Perbedaan pendapat para pakar muamalah disebabkan perbedaan cara
pandang terhadap sistem akad yang terjadi pada transaksi menggunakan Go-Pay
sebagaimana dijelaskan di atas. Dari keempat pendekatan tersebut, Wijaya (2018)
berpendapat bahwa takyīf fiqh yang lebih dekat adalah akad ṣarf dengan alasan:
a. Go-Pay termasuk uang elektronik resmi yang diterbitkan sesuai regulasi
Bank Indonesia. Saldo pada Go-Pay adalah tṡaman (nilai uang) bukan
maṡmūn (barang atau jasa), sehingga pertukaran uang dengan uang secara
kontan adalah bentuk akad ṣarf, bukan pengembalian uang yang
ditangguhkan seperti wadiah maupun qarḍh, dan bukan pula pertukaran
uang dengan manfaat seperti al-ijārah al-mauṣūfah fi al-żimmah.
b. Ulama sepakat bahwa akad wadiah termasuk akad amanah, sehingga tidak
diperkenankan bagi muwadda’ (yang dititipi) untuk memanfaatkan barang
titipan tersebut tanpa seizin muwaddi (pemilik barang). Jikalau pemilik
barang merelakan barang miliknya dimanfaatkan maka secara otomatis

20
akadnya beralih dari akad wadiah berpindah ke akad qarḍh, yang mana
sesuai dengan aturan Bank Indonesia, bahwa penerbit dapat mengelola
dana yang masuk sehingga tidak tepat dikatakan sebagai aqad wadiah.
c. Jika sekiranya proses top-up (isi saldo) dikategorikan sebagai akad qardh,
maka tidak serta merta diskon yang diberikan oleh Go-Jek dikategorikan
sebagai manfaat yang mengandung riba, sebab diskon yang diperoleh
konsumen (pemberi pinjaman) bukan dari penerbit (penerima pinjaman)
melainkan dari pihak ketiga, yaitu dari pedagang, sehingga pemberiannya
(diskon) dikategorikan sebagai hadiah yang dibolehkan.
Karena akad ṡarf dipandang sebagai akad yang paling tepat pada proses
top-up uang elektronik, maka konsekuensi hukumnya yaitu bolehnya pembayaran
jasa transportasi online menggunakan uang elektrinik (Go-Pay), karena sudah
memenuhi syarat dari akad ṡarf dari uang yang sejenis, yaitu kontan dan dengan
nilai yang sama. Adapun diskon yang diberikan oleh perusahaan transportasi
online bukanlah termasuk riba, melainkan aṭaya (hadiah) yang dibolehkan.
Namun mengingat uang elektronik terus berkembang secara dinamis dari waktu
kewaktu, maka takyif fiqh juga akan selalu dinamis mengikuti regulasi dan aturan
yang berlaku (Wijaya, 2018).

F. Studi Kasus: Cryptocurrency


Pada era sekarang seperti saat ini, kemajuan teknologi mempengaruhi segmen
yang lain, termasuk pada ekonomi. Salah satu bentuk kemajuan teknologi adalah
Cryptocurrency. Cryptocurrency merupakan mata uang virtual yang digunakan
sebagai mata uang alternatif dimana mata uang tersebut dihasilkan dan
diperdagangkan melalui proses kriptografi. Cryptocurrency dikembangkan untuk
memfasilitasi transaksi peer-to-peer yang beroperasi secara independen dari bank
sentral. Cryptocurrency bukanlah fisik; itu bisa menjadi koin tetapi itu adalah koin
digital dan juga tidak bisa ditarik. (Siswantoro dkk, 2020).
Penggunaan Cryptocurrency pertama kali tercatat pada tahun 2009 yaitu mata
uang yang dikenal dengan nama Bitcoin. Mata uang tersebut ditemukan oleh

21
seseorang atau sekelompok yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto
dalam publikasi yang berjudul "Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System".
Cryptocurency memiliki banyak macam, antara lain Ripple, Lisk, Ether,
MaidSafeCoin, Litecoin, StorjCoinX, Ethereum, DogeCoin, Dash, Monero,
Zcash, dan Bitcoin (BTC) (Brainytutorial, 2018). Dengan uang virtual itu, kini
transaksi bisnis dapat dilakukan secara daring tanpa melibatkan pihak penengah
seperti bank. Transaksi dilakukan seketika, lintas negara, lintas benua, lebih cepat,
lebih mudah, lebih murah, dan lebih terjamin kerahasiaannya. (Ausop dan Aulia,
2018). Sifat desentralisasi dari Cryptocurrency berarti bahwa mata uang tersebut
beredar sepenuhnya tergantung kepada pasar dan tidak memiliki otoritas pusat
yang dapat mengaturnya.
Jika kita bandingkan dengan dengan uang digital lainnya, seperti Go-Pay,
OVO, Link Aja, dan yang lainnya, dapat kita lihat perbedaan pada tabel berikut
ini:

Diolah dari bebagai sumber

Masalah Cryptocurrency sebagai uang adalah masalah yang menarik. Ini


adalah karena Cryptocurrency didasarkan pada kriptografi dalam sistem
keuangan. Penghitungan nilai Cryptocurrency juga didasarkan pada algoritma
dalam sistem blockchain. Blockchain diklaim memiliki beberapa keuntungan
karena aman, tidak terhapus, rumit, dan efisien sistem. Untuk memenuhi kriteria

22
alat tukar atau uang dalam Islam mengajar, uang harus stabil, aman, dan efektif
(Siswantoro dkk, 2020).
Menurut K.H Cholil Nafis selaku Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat periode 2015-2020 (cholilnafis.com), beliau memaparkan
bahwa sebagian ulama mengatakan, Bitcoin sama dengan uang karena menjadi
alat tukar yang diterima oleh masyarakat umum, standar nilai dan alat
penyimpanan Namun ulama lain menolaknya sebagai pengakuan masyarakat
umum karena masih banyak negara yang menolaknya, hal ini kemudian masih
memicu perdebatan. Beliau juga menukil definisi uang dari kitab Buhuts fi al-
Iqtishad al-Islami.
"‫”النقد هو كل وسيط للتبادل يلقي قبوال عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أي حال يكون‬
Artinya: Uang: segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima
secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun.

Selanjutnya, K.H Cholil Nafis mengemukakan kutipan fatwa Dewan


Syariah Nasional yang berbunyi, "transaksi jual beli mata uang adalah boleh
dengan ketentuan: tidak untuk spekulasi, ada kebutuhan, apabila transaksi
dilakukan pada mata uang sejenis, nilainya harus sama dan tunai (attaqabudh).
Jika berlainan jenis, harus dengan kurs yang berlaku saat transaksi dan tunai."
Dengan demikian, kedudukan Bitcoin sebagai alat tukar menurut hukum Islam
adalah boleh, tetapi dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama
kuantitasnya jika jenisnya sama. Namun jika Bitcoin sebagai aset untuk investasi,
hal ini cenderung termasuk gharar, yaitu spekulasi yang dapat merugikan orang
lain.
Dengan demikian, berdasarkan berbagai pertimbangan, K.H Cholil Nafis
mengatakan hukum Bitcoin sebagai alat tukar adalah mubah (boleh) bagi mereka
yang berkenan untuk menggunakan dan mengakuinya. Namun hukum Bitcoin
sebagai investasi menjadi haram karena nyatanya Bitcoin diperlakukan sebagai
alat spekulasi, bukan untuk investasi, atau dengan kata lain, hanya menjadi alat
permainan untung-rugi, bukan suatu bisnis yang menghasilkan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ausop, Asep Zaenal dan Elsa Silvia Nur Aulia, (2018). Teknologi Cryptocurrency
Bitcoin Untuk Investasi Dan Transaksi Bisnis Menurut Syariat Islam,
Jurnal Sosioteknologi, Vol. 17, No.1, Hal. 74-92

Fatwa DSN-MUI No 116/DSN-MUI/IX/2017

Kalsum, Ummi. (2014). Fiat Money Dalam Perspektif Ekonomi Dan Hukum
Islam. Al-Adalah. 12(2): 427-436
Pramono, Bambang, dkk. (2006). Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap
Perekonomian Dan Kebijakan Moneter, Working Paper Bank Indonesia.
Vol: 9, No: 11. Hal: 1-55.

Siswantoro, Dodik, dkk (2020). The Requirements of Cryptocurrency for Money,


An Islamic View, Heliyon, Vol. 6, No.1, p. 1-9

Suharni. (2018). Uang Elektronik (E-Money) Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan
Perubahan Sosial. Jurnal Spektrum Hukum. 15(1): 15-43

Wijaya, Hendra. (2018). Takyīf Fiqh Pembayaran Jasa Transportasi Online


Menggunakan Uang Elektronik (Go-Pay dan Ovo), Nukhbatul ‘Ulum:
Jurnal Bidang Kajian Islam. Vol: 4, No: 2, Hal: 187-203.

24

Anda mungkin juga menyukai