Anda di halaman 1dari 17

AKAD DALAM MUAMALAH MALIYAH:TABARRU’

Muhammad Sena Nugraha, Muhammad Anis, Siti Mudrikah


Departemen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
mazanis123@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang akad muamalah Maliyah tentang akad Tabarru‟. Terdapat berbagai
praktik-praktik akad tabarru‟ yang nantinya bisa digunakan sebagai bahan untuk belajar maupun
menambah kasanah keilmuan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur
(library research). Artikel ini diharapkan mampu menjelaskan akad-akad tabarru‟ dalam
bermuamalah.

Kata Kunci: Akad, Tabarru’

PENDAHULUAN

Al- Quran banyak sekali menjelaskan mengenai muamalah, AL Quran telah memberikan
petunjuk-petunjuk bagaimana manusia menjalankan perilakunya dalam bermuamalah. Di dalam
Qawaid Fikhiyah terdapat suatu hukum yang menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum
muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkanya ( ‫احةُ االَّ أَ ْن‬
َ َ‫ألَصْ ُل فِي ال ُم َعا َملَ ِة ا ِإلب‬
‫) َّل َدلِ ْي ٌل عَل َى تَحْ ِر ْي ِمهَ)يَ ُد‬

Dalam surat AL Maidah ayat 1 memberikan perintah tentang penyempurnaan akad, untuk itu
dalam bermuamalah akad- akad yang yang digunakan harus jelas. Menurut Jumhur Ulama
mendefinisikan bahwa akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara‟
yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Jadi akad merupakan sesuatu hal yang
penting keberadaanya. Ada beberapa asas yang diperhatikan dalam berakad yaitu asas asas
Ibahah, asas kebebasan, asas konsensualisme, asas mengikat, asas keseimbangan, asas Maslahah,
asas Amanah dan asas keadilan. (Harun, 2017)

Adapun jenis- jenis akad berdasarkan tujuannya ada 2 macam yaitu akad Tabarru‟ dan Akad
Tijari. Dalam makalah ini akan lebih fokus membahas tentang akad tabarru‟ . Bahasan dalam

1
makalah ini mengenai Pengertian Tabarru‟, dasar hukum tabarru‟. Fungsi tabarru‟ dan jenis-jenis
tabarru‟.

PEMBAHASAN

Akad Tabarru’

Pengertian Akad Tabarru’

Jumhur Ulama berpendapat bahwa tabarru‟ adalah suatu akad yang mengakibatkan
pemilikan harta, tanpa ganti rugi yang dilakukan seesorang dalam keadaan hidup kepada
orang lain secara sukarela.
Menurut Syekh Husain Hamid akad-akad tabarru‟ merupakan perwujudan dari ta‟awun dan
tadhamun. Dalam akad ini orang yang menolong (mutabarri) tidak berniat mencari
keuntungan dan tidak menuntut pengganti sebagai imbalan atas pemberiannya. (Amrin,
2006)
Menurut (Rafsanjani , 2016) akad Tabarru‟ adalah suatu akad yang memiliki maksud
untuk menolong dan murni semata-mata karena Allah SWT, tanpa ada niatan untuk mencari
“return”. Akad Tabarru‟ adalah akad yang bertujuan untuk memberikan harta (menolong)
orang lain atas dasar sukarela (sosial). Pihak yang berbuat kebaikan tidak ada niatan untuk
meminta imbalan, karena imbalan yang didapatkan semata-mata hanya dari Allah SWT ,
pihak yang memberi kebaikan berhak meminta kepada counter-part nya tetapi hanya sebatas
menutupi biaya untuk melakukan transaksi akad tabarru‟ yang dilakukannya. Dan pihak
tersebut tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan.

Fungsi Akad Tabarru’

Fungsi akad tabarru‟ ini adalah untuk mencari keuntungan di akhirat dan tidak dapat
digunakan untuk keuntungan komersial.

Landasan Akad Tabarru’

Firman Allah dalam QS. Al- Baqoroh ayat 261 tentang anjuran pengadaan dana tabarru‟.

2
‫اس ٌع‬ ّ ‫ُض ِعفُ لِ َم ْه يَّش َۤا ُء َۗو ه‬
ِ ‫ّللاُ َو‬ ّ ‫َت َس ْب َع َسىَا ِب َل فِ ْي ُكلِّ ُس ْۢ ْىبُلَ ٍة ِّمائَةُ َحبَّ ٍة ۗ َو ه‬
‫ّللاُ ي ه‬ ّ ‫َمثَ ُل الَّ ِذ ْيهَ يُ ْىفِقُىْ نَ اَ ْم َىالَهُ ْم فِ ْي َسبِ ْي ِل ه‬
ْ ‫ّللاِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ْۢ ْوبَت‬
‫َعلِ ْي ٌم‬
Terjemah Kemenag 2002
261. Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji
yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.
Dan juga pada hadits yang diriwayatkan oleh (HR. Bukhori, Nasai, Hakim, dan Baihaki)

“saling memberi hadiahlah kemudian saling mengasihi” (Amrin, 2006)

Bentuk Akad Tabarru’

Menurut (Sholihin ) ada 3 jenis bentuk secara umum.


1. Meminjamkan Uang
Al-Qardh.
Secara etimologi qardh memiliki arti potongan (al-qat‟u).
Sedangkan menurut terminologi, qardh berarti meminjamkan harta
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dr. Wahbah Zuhaily
dalam al-mu‟amalah al-maliyah al-muashirah menyebutkan bahwa
qardh adalah menyerahkan harta kepada orang lain untuk dikembalikan
dengan tanpa adanya tambahan (ziyadah) (Zuhaily ).

Qardh termasuk dalam kategori akad saling membantu bukan


transaksi komersil. Dalam al Qur‟an disebutkan:

3
“Siapa yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia
akan memperoleh pahala yang banyak ” (QS. Al Hadid: 11)

Istilah qardh juga disebutkan dalam hadis berikut:

“Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua
kali kecuali, ia seperti menyedekahkannya sekali.” (HR. Ibnu Majjah no. 2421)
(Rafsanjani , 2016)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa akad qardh adalah


perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, dimana pihak
pertama menyediakan harta atau memberikan harta dalam arti
meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam atau orang yang
menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut.
Dalam istilah yang lebih sederhana qardh adalah meminjamkan harta

kepada orang lain yang membutuhkan dengan tanpa mengharapkan


imbalan (ziyadah). (Budiman, 2013)

Ulama sepakat atas kebolehan qardh, adapun rukun qardh adalah:

a. Peminjam (muqtarid).
b. Pemberi Pinjaman (muqridh).
c. Barang/seuatu yang dipinjamkan ( mauqud alaih).
d. Ijab qabul (shighat).

Sedangkan syarat qardh menurut Dr. Wahbah Zuhaily dalam al-mualamat


al-maliyah al-muashiroh, adalah sebagai berikut:

4
a. Pemberi Pinjaman (muqridh) adalah seorang ahliyah tabarru‟ (layak
bersosial).
b. Barang/seuatu yang dipinjamkan ( mauqud alaih) adalah harta misli
(dalam madzhab hanafiyah) atau harta apa saja bagi jumhur ulama.
c. Penerimaan/penguasaan (qabdh). Qardh dianggap sempurna apabila
harta sudah diserah-terimakan.
d. Tidak adanya pengambilan manfaat yang disyaratkan

Ar-Rahn
Dalam etimologi bahasa arab, ar-rahn berarti ats-tsbut dan al-
habs yang artinya penetapan dan penahanan. Dalam etimologi bahasa
Indonesia, ar-rahn seringkali diartikan sebagai gadai. Dalam Al -Qur‟an
terdapat tiga kata yang seakar dengan kata rahn yaitu rahin (QS. Ath-
thur:21), rahinah (QS. Al-Mudatsir: 38), dan rihan (QS. Al-Baqarah
283).
Menurut terminologi yang dimaksud rahn yaitu akad yang
objeknya adalah penahanan barang terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya. Atau dalam istilah
operasionalnya, ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik rahin
(orang yang menggadaikan) sebagai barang jaminan ( marhun) atas
hutang atau pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.
Menurut Syafi‟i Antonio, rahn adalah menahan salah satu harta
milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
(Antonio, 1999) Jadi rahn pada dasarnya adalah transaki utang-piutang
yang disertai agunan dari orang yang berhutang kepada orang yang
memberi hutang sebagai jaminan atas utangnya.
Akad Rahn adalah akad yang bertujuan menahan jaminan hingga hutangnya
dibayar, jadi rahan itu berfungsi sebagai jaminan, agar pihak yang meminjamkan
merasa „aman‟ dengan piutang yang diberikannya. Karena jika suatu ketika si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya, maka rahn (jaminan) tersebut bisa
digunakan sebagai gantinya. (sahroni & Hasanuddin , 2017)

5
Rahn juga termasuk dalam akad tabarru‟ yang secara langsung
disebut dalam Al-Qur‟an. Allah berfirman:

َ ْ‫َو إن ُك ْىتُم ع هَلى َسفَ ٍر َو لَ ْم ت َِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِر هه ٌه َّم ْقبُى‬


ٌ ‫ضة‬

”Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang


penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”(QS. Al-Baqarah : 283)

Selain itu praktik rahn juga dilakukan secara langsung oleh Nabi,
sebagiamana yang tersebut dalam hadis berikut:

”Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan menggadaikan


kepadanya baju besi” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mayoritas ulama‟ sepakat mengenai kebolehan hukum rahn. Hal tersebut
didasarkan pada kisah Rasulullah tersebut yang menggadaikan baju besinya untuk
mendapatkan makanan dari orang yahudi. Para ulama‟ juga mengambil indikasi dari
contoh tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para
sahabat yang kaya kepada seorang yahudi, bahwa hal ini tidak lebih dari sikap Nabi
yang tidak mau memberatkan para sahabat. Dari hadis ini pula mayoritas ulama‟
berpendapat bahwa rahn tidak saja disyariatkan pada waktu bepergian, akan tetapi
bisa dilakukan juga pada masa tidak bepergian. (Surahman & Adam, 2017)
Adapun rukun rahn menurut Dr. Wahbah Zuhaily dalam al-mualamat al-
maliyah al-muashiroh, adalah sebagai berikut: (Zuhaily )
a. Rahin (orang yang menggadaikan)
b. Murtahin (orang yang menerima gadai/pemberi pinjaman)
c. Marhun (barang jaminan)
d. Marhun bih (hutang atau pinjaman)
e. Sighot Ijab dan qabul (menurut pendapat hanafiyah)
Dari rukun-rukun rahn tersebut terdapat beberapa syarat pada masing unsur
rukun tersenut, seperti:

6
a. Pihak yang berakad harus baligh, berakal, cakap hukum dan tidak
dalam paksaan.
b. Marhun harus dapat dijual oleh penerima rahn, disaat murtahin tidak
mampu membayar.
c. Marhun bih merupakan utang yang tetap yang wajb dibayar oleh
rahin, mengikat kedua pihak dan jumlah, ukuran, serta sifat utang
yang jelas.
d. Sighot Ijab dan qabul (menurut pendapat hanafiyah) , akad tidak terikat dengan
syarat-syarat.

Hiwalah
Hiwalah secara etimologi mempunyai arti Al-intiqal dan Al-tahwil1 yang
dalam Bahasa Indonesia berarti memindahkan dan mengalihkan. Pada kata hiwalah
huruf ha pada umumnya dibaca kasrah meskipun adapula yang membacanya dengan
huruf fathah menjadi hawalah. Abdurrahman Al Jaziri berpendapat bahwa hiwalah
secara bahasa berarti pemindahan dari suatu tempat ke tempat lain. (Hakim & dkk,
2020)

Sedangkan menurut istilah hiwalah berarti memindahkan hutang-piutang


dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain. Sebagaimana
menurut Al-Jaziri hiwalah adalah ‫( النقل من محل إلى محل‬pemindahan hutang dari
tanggung jawab orang yang berhutang kepada tanggung jawab orang lain). (Hakim
& dkk, 2020)

Sedangkan menurut ulama‟ hanafiyah, hiwalah adalah memindahkan beban


hutang dari tanggung jawab muhil (orang yang berhutang) kepada tanggung jawab
muhal alaih (orang lain yang mempunyai tanggung jawab hutang pula). Sedangkan
menurut ulama‟ maliki, syafi‟i, dan hambali hiwalah adalah pemindahan atau
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak
yang lain.

7
Namun, ulama sepakat atas diperbolehkannya akad hiwalah. Kebolehan akad
ini berdasarkan hadis nabi sebagai berikut:

‫مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع‬

“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya


merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan
tersebut)”

Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang


menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang
kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia
mengikuti untuk menagih kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal' alaih),
dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).

Adapun rukun hiwalah menurut mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali ada
enam yaitu:

a. Muhil yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang.


b. Muhal/muhtal yakni orang berpiutang kepada muhil.
c. Muhal „alaih yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar
hutang kepada muhtal.
d. Muhal bih yakni hutang muhil kepada muhtal.
e. Utang muhal „alaih kepada muhil.
f. Sighoh yakni pernyataan hiwalah.
Adapun rukun hiwalah menurut mazhab Hanafi, hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah)
dari pihak kedua dan pihak ketiga.

Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.

a. Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada
orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga

8
tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A
berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara
C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut
Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi‟ah sedangkan jumhur
ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b. Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal
kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah
hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya
membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah
agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama,
baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah
hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.

2. Meminjamkan Jasa kita


WAKALAH
Pengertian Wakalah
Wakalah atau wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat. Dalam bahasaa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Secara
sederhana wakalah berarti pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain
dalam hal-hal yang diwakilkan (Antonio 2013). Wakalah adalah akad pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan
(Fatwa DSN MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000).
Landasan Hukum Syariah
Al-Wakalah di syariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia karena seseorang
tidak setiap saat dapat menyelesaikan segala urusannya sendiri sehingga
membutuhkan bantuan dari orang lain dan Al-Wakalah menjadi akad yang dapat
digunakan untuk hal tersebut.
Landasan hukum Al Wakalah terdapat dalam Al-Quran surat Al-Kahfi potongan ayat
19 yang artinya
“... Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan

9
hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu
kepada seorang pun”
Ayat diatas menceritakan tentang para pemuda ash-habul kahfi saat mereka baru
terbangun dari tidur mereka dan mereka merasa kelaparan lalu mereka memilih salah
seorang di antara mereka untuk pergi ke pasar, mewakili para pemuda ash-habul kahfi
yang lainnya, dan membeli makanan.
Ayat Al-Quran lain yang menjadi landasan hukum wakalah menurut fatwa DSN
MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000 terdapat pada Surat Al-Baqarah potongan ayat ke 283
yang artinya
“... Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya...”
Selain dalam Al-Quran landasan hukum mengenai akad wakalah juga terdapat
pada hadits Nabi Muhammad Sallahu „alaihi wasallam. Salah satunya adalah hadits
dalam kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik Rahimahumullah no 678, bahwasanya
Rasulullah sallahu „alaihi wa sallam mewakilkan keba Abu Rafi‟ dan seorang anshor
untuk mewakilinya mengawini Maimunah bintil-Harits (Antonio 2013).
Rukun dan Syarat Akad Wakalah
Rukun dan Syarat akad Wakalah menurut Fatwa DSN MUI No: 10/DSN-
MUI/IV/2000 adalah:
1. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan
b. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal
yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima
sedekah dan sebagainya
2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a. Cakap hukum
b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
c. Wakil adalah orang yang diberi amanat
3. Hal-Hal yang diwakilkan
a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili

10
b. Tidak bertentangan dengan syari‟ah islam
c. Dapat diwakilkan menurut syari‟ah islam
WADIAH
Pengertian Wadiah
Barang titipan (Al-Wadi‟ah), secara bahasa lughatan ialah segala sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya, dengan kata lain berarti bahwa
al-wadi‟ah ialah memberikan. Makna yang kedua al-wadi‟ah dari segi bahasa artinya
“aku menerima harta tersebut darinya” (Luthfi 2020). Menurut Sabiq dalam Antonio
(2013) Al Wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki.
Wadi‟ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai
barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang (Luthfi 2020).

Luthfi (2020) dalam tulisannya menjelaskan pendapat-pendapat para ulama mazhab


mengenai akad wadiah. Ulama mahzab Hanafi mengartikan wadi‟ah adalah
memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya / mengikut sertakan
orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat.
Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima
titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad
tersebut sah hukumnya. Sedangkan mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hanabilah mengartikan
wadi‟ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas secara sederhana akad al wadi‟ah dapat diartikan
sebagai akad dimana seseorang menitipkan harta yang dimilikinya kepada orang lain.

Landasan Hukum Syariah


Landasan hukum syariah mengenai akad wadi‟ah dapat ditemukan pada Al-Quran, As
Sunnah dan berdasarkan Ijma para ulama. Dalam Al-Quran surat An Nisaa ayat 58
Allah berfirman yang artinya

11
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada
yang berhak menerimanya...”
Lalu pada potongan surat Al-Baqarah ayat 283 yang artinya
“... jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...”
Sedangkan landasan hukum mengenai akad wadi‟ah dalam As Sunnah terdapat pada
beberapa hadits (Antonio 2013) diantaranya hadits riwayat imam Abu Dawud yang
dinilai shahih oleh Imam Hakim, dan dinilai hasan oleh Imam Tirmidzi
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu anhu bahwa Rasulullah sallahu
„alaihi wasallam bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak
menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”
Menurut Antonio (2013) para tokoh ulama islam sepanjang aman telah melakukan ijmaa
(konsensus) terhadap legitimasi al wadi‟ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini
jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.
Rukun dan Syarat Akad Wadiah
Sebagaimana akad-akad muamalah lainnya, akad wadi‟ah juga memiliki rukun
dan syarat yang harus dipenuhi agar akadnya sah. Al-Jazari dalam Luthfi (2020)
menjabarkan pendapat para imam madzhab mengenai rukun dan syarat akad wadi‟ah
sebagai berikut. Menurut Hanafiyah, rukun Al-Wadi‟ah adalah ijab dan qabul, sedangkan
yang lainnya termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah, dalam sighah
ijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih)
maupun dengan perkataan samaran (kinayah). Hal ini berlaku juga untuk qabul,
disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf. Tidak sah
apabila yang menitipkan dan yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak
yang belum dewasa.

Menurut Shafi‟iyah, al-wadi‟ah memiliki tiga rukun yaitu:

a. Barang yang dititipkan: Syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara‟

12
b. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan: disyaratkan badi pentitp dan
penerima titipan sudah balig, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-
syarat berwakil
c. Pernyataan serah terima disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah
pihak, baik dengan jelas maupun samar
Jenis akad Wadi’ah
Menurut Rafsanjani (2016) secara umum terdapat dua jenis wadi‟ah yaitu wadi‟ah yad
al-amanah dan wadi‟ah yad adh-dhamanah
a) Wadi‟ah yad al-amanah (Trustee Depository)
Wadi‟ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
 Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan
 Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya
 Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada
yang menitipkan
 Penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi
pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang
bersangkutan dalam memeilhara barang titipan (Antonio 2013)
b) Wadi‟ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi‟ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
 Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan
 Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan
untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip
 Penerima titipan harus meminta izin terlebih dahulu dari si pemberi titipan untuk
kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan
mengembalikan aset tersebut secara utuh (Antonio 2013)

KAFALAH

13
Pengertian Kafalah
Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata kafala, yang sinonimnya dhamina
(menanggung), adh-dhammu (mengumpulkan), hamalah (beban), dan za‟amah
(tanggungan). Secara istilah, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain
Hanafiyah, bahwa kafalah adalah menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan
hutang. Definisi lain adalah, jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga-pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua-pihak yang berhutang/debitor atau yang ditanggung (makful anhu,
ashil) (Kartika 2016).
Menurut Ascarya dalam Rafsanjani (2016) kafalah (guaranty) adalah jaminan,
beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di tanggung (makful). Kafalah dapat
juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang di jamin dengan berpegang
pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya penjamin dapat meminta
imbalan tertentu dari orang yang di jamin.
Sedangkan menurut Abu Bakar dalam Antonio (2013) Al Kafalah merupakan jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung
jawab orang lain sebagai penjamin.
Rukun dan Syarat Akad Wadiah
Menurut fatwa DSN MUI No: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah rukun dan syarat
kafalah adalah:
1. Pihak Penjamin (kafiil)
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela
(ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut
2. Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul „anhu)
a. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin
b. Dikenal oleh penjamin
3. Pihak Orang yang berpiutang (Makfuul Lahu)

14
a. Diketahui identitasnya
b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa
c. Berakal sehat
4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda,
maupun pekerjaan
b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin
c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan.
d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
e. Tidak bertentangan dengan syar‟iah (diharamkan)
Jenis-Jenis Akad Kafalah
Menurut Antonio (2013) ada beberapa jenis akad kafalah yaitu:
a. Kafalah bin Nafs
Kafalah bin nafs merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal
guarantee). Sebagai contoh, apabila seorang nasabah bank mendapat pembiayaan
dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apa pun, tetapi bank berharap
tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai
mengalami kesulitan.
b. Kafalah bil-maal
Kafalah bil-maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang
c. Kafalah bit-Taslim
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Dalam praktik perbankan syariah, jenis
pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya
dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan
pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat
membebankan uang jasa kepada nasabah itu.
d. Kafalah al-Munjazah

15
Kafalah al-munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu
dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah ini adalah
pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi).
e. Kafallah al-muallaqah
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al munjazah baik oleh
industri perbankan maupun asuransi.
3. Memberikan Sesuatu
a. Hibah
Akad Hibah yaitu akad yang bertujuan memberikan hak manfaat atau hak suatu
barang untuk digunakannya tanpa imbalan.
b Hadiah
hadiah diberikan kepada seseorang sebagai bentuk penghargaan atas prestasi yang
telah dicapai.
b. Wakaf
Pengertian Wakaf menurut Imam Nawawi dalam (Prasetyo, 2018) adalah
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya sendiri
sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

KESIMPULAN

Akad Tabarru‟ merupakan suatu akad yang bertujuan untuk sosial, akad yang difungsikan
untuk menolong sesama. Seseorang yang melakukan akad tabarru‟ tidak mengharapkan
keuntungan atau balasan itu semua karena Allah SWT. Sebagai makhluk sosial memang
sudah sewajrnya untuk saling tolong menolong. Terdapat tiga bentuk akad tabarru‟ ini
pertama, meminjamkan uang yang meliputi Qard, Rahn dan Hiwalah. Kedua, meminjamkan
jasa kita meliputi wakalah, wadiah, dan kafalah. Ketiga, memberikan sesuatu meliputi hibah,
hadiah, dan wakaf.

16
Daftar Pustaka
Amrin, A. (2006). Asuransi Syariah: Keberadaanya dan Kelebihannya di Tengah Asuransi Konvensional .
Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

Antonio, M. S. (1999). Bank Syariah bagi Bankir Dan Praktisi Keuangan . Jakarta: Tazkia Institute.

Budiman, F. (2013). Karakteristik Akad Pembiayaan Al Qard Sebagai Akad Tabarru". Jurnal Yudika .

Hakim, A., & dkk. (2020). Praktek Wakalah dan Hiwalah dalam Ekonomi Islam : Perspektif Indonesia, Eco
Iqtoshodi . Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Keuangan Syariah .

Harun. (2017). Fiqh Muamalah . Surakarta: Muhammadiyah University Pers.

Muhamad. (2014). Manajemen Keuangan Syariah . Yogyakarta : UPP STIM YKPN .

Prasetyo, Y. (2018). Ekonomi Syariah . Aria Mandiri Group.

Rafsanjani , H. (2016). Akad Tabarru' dalam Transaksi Bisnis . Masharif AL- Syariah : jurnal Perbankan
Syariah , 106.

sahroni, o., & Hasanuddin . (2017). Fikih Muamalah dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam
Ekonomi Syariah . Depok: PT Raja Grafindo Persada.

Sholihin , A. I. (n.d.). Buku Pintar Ekonomi Syariah . Gramedia Pustaka Utama .

Surahman , M., & Adam, P. (2017). Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn di Lembaga Pegadaian
Syariah . Jurnal Law and Justice .

Zuhaily , W. (n.d.). Al Muamalah AL Maliyah al Muasiroh.

17

Anda mungkin juga menyukai