Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perekonomian yang membuka diri terhadap perekonomian global

(open economy), nilai tukar menjadi suatu hal yang penting untuk ditelaah.

Stabilitas nilai tukar Rupiah selaku mata uang domestik terhadap mata uang asing

sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Natsir (2007) menyatakan bahwa

depresiasi Rupiah berpengaruh terhadap menurunnya permintaan domestik, hal ini

disebabkan karena struktur industri di Indonesia baik yang berbasis ekspor

maupun berbasis domestik memiliki kandungan impor yang tinggi pada

komponen produksinya. Tabel 1.1 menunjukan perkembangan nilai impor oleh

Indonesia berdasarkan kategori ekonomi dari tahun 2006-2014. Dari tahun ke

tahun kategori bahan baku dan barang penolong merupakan komponen impor

terbesar diikuti oleh komponen barang modal di tempat kedua. Hal ini membuat

stabilitas harga di dalam negeri menjadi rentan terhadap fluktuasi nilai tukar

Rupiah.

1
2

Tabel 1.1 Perkembangan Nilai Impor Berdasarkan Kategori Ekonomi Tahun


2006-2014
Dalam juta US$

Barang Bahan Baku dan Barang


Tahun
Konsumsi Barang Penolong Modal
2006 4.738,2 47.171,4 9.155,9
2007 6.539,1 56.484,7 11.449,6
2008 8.303,7 99.492,7 21.400,9
2009 6.752,6 69.638,1 20.438,5
2010 9.991,6 98.755,1 26.916,6
2011 13.392,9 130.934,3 33.108,4
2012 13.408,6 140.126,1 38.154,8
2013 13.138,9 141.957,9 31.531,9
2014 12.667,2 136.208,6 29.303,0

Sumber: BPS

Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap kestabilan ekonomi pernah diteliti

oleh Andrianus & Niko (2006), dalam penelitiannya diungkapkan bahwa

depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS akan menyebabkan inflasi di

Indonesia. Kenaikan nilai tukar Dollar terhadap Rupiah sebesar Rp 1.000 akan

menyebabkan inflasi naik sebesar 2,7%. Besarnya pengaruh barang-barang impor

serta fluktuasi nilai tukar terhadap perekonomian Indonesia membuat stabilitas

nilai tukar menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan.

Di Indonesia lembaga yang memiliki tugas untuk menjaga stabilitas nilai

tukar adalah Bank Indonesia. Menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tujuan

utama Bank Indonesia selaku bank sentral adalah menjaga stabilitas nilai tukar

Rupiah. Stabilitas ini tercermin dalam dua hal utama yaitu nilai tukar Rupiah

dibandingkan dengan nilai tukar mata uang asing seperti dolar Amerika dan nilai
3

tukar Rupiah terhadap harga barang dan jasa domestik yang tercermin dalam

besaran inflasi. Untuk mencapai tujuannya Bank Indonesia menggunakan

berbagai macam kebijakan moneter. Ada dua jenis kebijakan moneter yang di

terapkan di Indonesia yaitu kebijakan moneter konvensional dan syariah. Sejak

dikeluarkannya UU Perbankan tahun 1998 Indonesia secara de jure telah

menerapkan sistem perbankan ganda, artinya bank konvensional dan bank syariah

dapat beroperasi berdampingan di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan sejak

dikeluarkannya UU Bank Indonesia tahun 1999 Bank Indonesia telah diberi

amanah sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan

moneter konvensional maupun syariah (Ascarya 2012).

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI melalui proses yang kompleks.

Mekanisme bekerjanya instrumen moneter sebagai bentuk penerapan kebijakan

moneter hingga mempengaruhi target akhir disebut mekanisme transmisi

kebijakan moneter (MTKM) (Bank Indonesia 2015). Umumnya alur mekanisme

transmisi berawal dari adanya perubahan pada instrumen moneter yang dilakukan

oleh bank sentral sehingga memberikan guncangan (shock) kepada perbankan dan

lembaga keuangan lainnya. Perubahan tersebut akan mempengaruhi fungsi

lembaga keuangan sehingga memberikan dampak kepada sektor riil hingga

sasaran akhir kebijakan seperti inflasi.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat bekerja melalui berbagai

saluran seperti jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan

jalur ekspektasi (Bank Indonesia 2015). Jalur nilai tukar menjadi sebuah jalur

yang penting dalam menjaga stabilitas nilai tukar mengingat era keterbukaan
4

perekonomian Indonesia terhadap perekonmian global dan penggunaan kebijakan

kurs mengambang bebas (free floating exchnge rate) yang diterapkan Indonesia.

Pada jalur nilai tukar mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai dari

perubahan BI Rate yang kemudian akan mempengaruhi aliran modal luar negeri,

perubahan nilai tukar hingga kegiatan perekonomian di sektor riil. Kenaikan BI

Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di

Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga

tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal dalam instrumen-

instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan

tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada

gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah

mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor Indonesia di

luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong

impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada

menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian (Bank Indonesia

2015).

Sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU BI tahun 1999 maka

Bank Indonesia pun menerapkan kebijakan moneter syariah. Baik kebijakan

moneter konvensional atau kebijakan moneter syariah keduanya memiliki tujuan

yang sama yaitu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah hanya saja terdapat

beberapa perbedaan dalam tataran pelaksanaannya.


5

Salah satu perbedaan yang mendasar antara sistem ekonomi konvensional

dengan sistem ekonomi syariah adalah adanya larangan penggunaan instrumen

yang berbasis bunga di dalam sistem ekonomi syariah. Instrumen yang digunakan

dalam mengontrol variabel-variabel moneter oleh otoritas moneter didasarkan

pada akad-akad syariah. Sebagai contoh, di negara yang telah menerapkan sistem

moneter syariah seperti Iran instrumen kebijakan moneter yang digunakan adalah

Musharakah Certificates, Controlling Profit Rate of Commercial Banks, Legal

Reserve, Special Deposits to Central Bank dan Credit Ceiling (Kiaee 2007).

Musyarakah certificates merupakan sebuah instrumen untuk mengontrol

jumlah uang beredar dan penghimpun dana untuk proyek investasi pemerintah.

Surat berharga ini menawarkan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam

pendanaan proyek investasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan perjanjian

adanya imbal hasil dari proyek investasi tersebut. Selain itu penjualan surat

berharga ini juga ditujukan untuk menyerap kelebihan likuiditas yang ada di

masyarakat.

Controlling profit rate of commercial bank merupakan instrumen yang

digunakan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan. Ada dua jenis kategori

dalam kontrak perbankan syariah yaitu musyarakah dan kontrak dengan tingkat

pengembalian tetap (fixed rate contract) seperti murabahah (jual beli) dan ijarah

(perjanjian sewa menyewa). Dalam akad musyarakah bank menempatkan dana

depositor pada proyek-proyek investasi dan memberikan bagian atas keuntungan

investasi tersebut kepada nasabah. Rata-rata proyek investasi biasanya

berlangsung untuk jangka panjang maka bank memberikan perkiraan tingkat


6

keuntungan dari pembiayaan proyek tersebut secara bulanan atau tahunan.

Dengan menetapkan tingkat keuntungan untuk perjanjian dengan tingkat

pengembalian tetap ataupun tingkat perkiraan keuntungan untuk perjanjian

musyarakah, bank sentral secara tidak langsung (indicertly) mengatur likuiditas

perbankan. Sebagai contoh, ketika bank sentral ingin menjalankan kebijakan

moneter kontraktif maka bank sentral bisa menaikan tingkat keuntungan (profit

rate) pada sistem perbankan sehingga mendorong masyarakat untuk menyimpan

dananya di bank.

Legal reserve atau yang dikenal di Indonesia sebagai giro wajib minimum

(GWM) merupakan instrumen untuk mengatur likuiditas perbankan dengan

mewajibkan perbankan menyimpan presentase tertentu dari dana yang dimilikinya

di bank sentral. Di Iran besaran legal reserve bervariasi antara 10% hingga 30%.

Special deposits to central bank merupakan instrumen yang digunakan

untuk mengatur jumlah uang beredar dalam perekonomian. Instrumen ini

memberikan kesempatan kepada bank-bank umum untuk membuka rekening

simpanan di bank sentral yang dapat digunakan untuk menyimpan kelebihan

likuiditas. Pada kondisi tertentu bank sentral menawarkan tingkat pengembalian

kepada para pemilik rekening (bank umum).

Credit ceiling adalah instrumen yang digunakan bank sentral Iran untuk

mengatur kualitas dan kuantitas pendanaan yang dilakukan oleh bank-bank umum

kepada masyarakat. Sebagai contoh, untuk menjalankan kebijakan moneter

kontraktif maka bank sentral dapat membatasi jumlah penyaluran dana setiap
7

bank umum atau untuk mendukung sektor pertanian maka bank sentral dapat

mengarahkan penyaluran dana dari sektor lain untuk sektor pertanian.

Sementara itu di Indonesia instrumen kebijakan moneter syariah yang

diperkenalkan oleh Bank Indonesia mencakup giro wajib minimum, Sertifikat

wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang kemudian berubah menjadi Sertifikat Bank

Indonesia Syariah (SBIS) dan penempatan berjangka syariah dalam valuta asing.

Dilarangnya penggunaan suku bunga membuat kebijakan moneter yang dianut

dalam sistem ekonomi syariah menekankan pada pengendalian jumlah uang

beredar (monetary targeting).

1.2 Rumusan Masalah

MTKM selalu dikaitkan dengan dua pertanyaan utama. Pertama, apakah

kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil di samping pengaruhnya

terhadap harga. Kedua, jika kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil

maka melalui mekanisme transmisi apakah pengaruh kebijakan moneter tersebut

terjadi (Bernanke dan Blinder (1992) dan Taylor (1995) dalam Natsir (2007)).

Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu (1) berapa besar

kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan (2) berapa kekuatan variabel-variabel

pada masing-masing jalur merespon adanya perubahan (shock) instrumen

kebijakan moneter dan variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir

kebijakan moneter (Natsir 2007).


8

Dalam penelitian ini instrumen kebijakan moneter syariah yang

dimaksudkan adalah SBIS. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah

satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang

dilakukan berdasarkan prinsip syariah. SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia

menggunakan akad ju’alah. Akad ju’alah adalah janji atau komitmen untuk

memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil yang ditentukan dari suatu

pekerjaan. Peningkatan atau penurunan imbalan (fee) SBIS mengindikasikan

stance kebijakan moneter karena tingkat imbalan yang diberikan mengacu kepada

tingkat diskonto hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka waktu

sama yang diterbitkan bersamaan dengan penerbitan SBIS. Dengan kata lain

besaran fee SBIS merupakan indikator policy rate yang ditetapkan oleh BI untuk

mempengaruhi perekonomian nasional melalui sektor industri keuangan syariah.

Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat efektivitas MTKM di

Indonesia baik dari sisi syariah ataupun dari sisi konvensional, beberapa di

antaranya adalah Wardianda & Octaviani (2014), Natsir (2007), Ascarya (2012),

Magdalena & Pratomo (2014) dan Ascarya (2014). Efektivitas MTKM melalui

jalur syariah menjadi topik yang masih relevan untuk dikaji mengingat

pertumbuhan ekonomi syariah dan dampak dari kegiatan ekonomi syariah itu

sendiri terhadap perekonomian nasional. Sebagai contoh, berdasarkan outlook

keuangan syariah tahun 2015 yang diterbitkan oleh Karim Business Consulting

mengatakan bahwa pertumbuhan aset Perbankan Syariah tahun 2009 sampai 2010

berada di atas 30%, sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan hanya

sebesar 24,23%, sehingga CAGR (Compound Annual Growth Rate) perbankan


9

syariah di atas 30% yang berarti 3 kali lipat dibandingkan pertumbuhan perbankan

nasional, pada tahun 2009-2013 pertumbuhan DPK perbankan syariah relatif

stabil bergerak di angka 20%-50%. Selain itu potensi pertumbuhan indsutri

keuangan syariah di Indonesia cukup baik. Dalam penilaian Global Islamic

Finance Report (GIFR) tahun 2011, Indonesia menduduki urutan keempat negara

yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan

syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia. Optimisme ini sejalan dengan

laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah

yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus

meningkat (Alamsyah 2012).

Melihat prospek pertumbuhan industri keuangan syariah di Indonesia yang

cukup baik maka bukan tidak mungkin industri ini akan berdampak signifikan

terhadap pengaruh perekonomian nasional di masa depan. Oleh karena itu

kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia juga perlu memerhatikan

sektor industri ini.

Berasal dari latar belakang tersebut maka penulis merumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh SBIS melalui jalur nilai tukar terhadap inflasi

sebagai tujuan akhir kebijakan moneter?

2. Bagaimana efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter syariah

jalur nilai tukar di Indonesia?


10

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi pengaruh SBIS melalui jalur nilai tukar terhadap inflasi.

2. Mengidentifikasi efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter

syariah jalur nilai tukar di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pengambil kebijakan diharapkan penelitian ini dapat digunakan

sebagai referensi dalam merumuskan dan menentukan kebijakan moneter

mengingat sistem moneter ganda yang dianut oleh Bank Indonesia.

2. Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan

referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis penelitian ini merupakan sebuah wadah pembelajaran yang

sangat bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai