Anda di halaman 1dari 3

VIVI YENNI ARYANTI

19620056
SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN

Istihsan dan Maslahah Mursalah

A. Istihsan
1. Pengertian
Menurut pengertian secara Bahasa, istihsan berarti “menganggap baik”. Sedangkan
menurut istilah ahli Ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindahnya seorang
mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang
dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum
yang bersifat istisna’y (pengecualian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan
itu.1 Dari pengertian di atas, jelas bahwa istihsan itu ada dua macam, yaitu:
a) Menguatkan qiyas khafy atau qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan tetapi haram
menurut qiyas.
Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-
sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang haid juga
haram membaca Al-Qur’an.
Istihsan: Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita
yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka selama haid
yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala apapun, sedang laki-laki dapat
beribadah setiap saat.
b) Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan)
boleh berdasarkan istihsan tetapi haram menurut hukum kully.
Hukum kully (syara’): melarang jual beli salam yang barangnya tidak ada pada waktu
akad.
Istihsan: memperbolehkan jual beli salam karena manusia berhajat kepada akad tersebut
dan sudah menjadi kebiasaan mereka.2

2. Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Islam


Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan:

1
Hanafi, A. 1981. Ushul Fiqih. Jakarta: Bumirestu.
2
Karim, A. S. 2006. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
a) Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti
menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
b) Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah
dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau
menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil
yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk pengecualian sebagian
dari hukum kully. Imam Malik dan pengikutnya juga menggunakan istihsan tapi di
kalangan mereka popular dengan istilah masholihul mursalah.3

B. Mashalihul Mursalah
1. Pengertian
Mashalih merupakan bentuk jamak dari mashlahah yang artinya kemaslahatan,
kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti
kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan,
yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kamadharatan atas mereka. Al-Khawarizmi
menyatakan bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalamn menolak mafsadat
(kerusakan) atau madharat dari makhluk.4

2. Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Islam


Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan Mashalihul Mursalah sebagai sumber
hukum.
a) Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum dengan alasan:
1) Nash-nash, ijma, dan qiyas yang ada telah disepakati pasti mempertimbangkan
kemaslahatan umat, karena itulah syariat yang ada selalu memperhatikan
kemaslahatan umat. Tak ada satupun kemaslahatan umat yang tidak diperhatikan oleh
syariat melalui petunjuknya.
2) Pembentukan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada kemaslahatan umat
berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b) Imam Malik memperbolehkan berpegang kepada mashalihul mursalah secara mutlak.
Sedangkan Imam Syafi’I boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai
dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1) Kemaslahatan umat selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika
pembentukan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya

3
Khallaf, A. W. 1985. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Bandung: Arrisalah.
4
Hanafi, A. 1981. Ushul Fiqih. Jakarta: Bumirestu.
dari syar’i (Allah), tentu banyak kemaslahatan ynag tidak ada status hukumnya pada
masa dan tempat yang berbeda-beda.
2) Para sabahat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk
mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. misalnya membuat
penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan
sebagainya.5

3. Syarat-syarat Berpegang kepada Mashalihul Mursalah


a) Maslahat itu harus jelas dan pasti, bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
b) Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
c) Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau
prinsip yang telah ditetapkan dengan Nash atau Ijma’.6

5
Khallaf, A. W. 1985. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Bandung: Arrisalah.
6
Ibid

Anda mungkin juga menyukai