Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH USHUL FIQIH KEUANGAN

Maqasid Syariah Dan Aplikasinya Dalam Sistem Ekonomi Syariah

Makalah Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Keuangan

Dosen Pengampu:

Sarwedi Hasibuan, LC, MA.

Di Susun Oleh kelompok 3:

Arya Duta Permana Pane (0506183106)

Vivi Ayudhia Utami (0506183013)

Jamaluddin Siregar (0506183028)

Rifki Fikrianda (0506183089)

M. Syafrizal (0506183070)

SEMESTER VI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT kami ucapkan dan atas segala rahmat dan karunia-Nya
yang diberikan, akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu untuk
memenuhi tugas studi mata kuliah Ushul Fiqh Keuangan. Kami telah menyusun makalah ini
semaksimal mungkin, namun kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dalam makalah
ini. Oleh karena itu jika ada kesalahan atau kekurangan, dari materi, isi, cara penyajian,bahasa,
saya mohon maaf. Kami berharap pembaca untuk memberikan masukan dalam makalah yang
kami susun ini. Kritik dan saran dari berbagai pihak adalah sebagai motivasi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dalam mata
kuliah Ushul Fiqh Keuangan kami ucapkan terimakasih.

Medan, 06 Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I ..................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 1
A. Pendahuluan .................................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
A. Pengertian Maqasid al-Syariah....................................................................................................... 2
B. Macam-Macam Maqasid al-Syariah ............................................................................................... 3
C. Peranan Maqasid Al-Syari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam ............................................... 7
D. Peranan Maqasid Al-Syariah Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Syariah ............................... 8
BAB III ................................................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................................................ 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 13
B. Saran ........................................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Perlu diketahui bahwa syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan,


tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita
tidak dapat memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’
dalam menciptakan nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna
sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu
maknanya adalah mengetahui maksud syara’.

Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan
penelitian terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya
diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum,
dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara
dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nash-nashnya, maka wajib
pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya
pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu,
dan dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan manusia serta menegakkan
keadilan diantara mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Maqasid al-Syariah itu?
2. Apa sajakah macam-macam dari Maqasid al-Syariah?
3. Bagaimana Peranan Maqasid Al-Syari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam?
4. Bagaimana Peranan Maqasid Al-Syariah Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi
Syariah?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqasid al-Syariah

Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.
Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara
bahasa berarti ‫ ال ماء ال ى ت حدر ال موا ضع‬yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini
dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.

Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda


berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah, al-maqasid al-
syar’iyyah fi al-syari’ah,dan maqasid min syar’i al-hukm.

Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat
berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama
klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi
yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu
kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-
hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka.
Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam
definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah
nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang
dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah
terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik maslahah
atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada
hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat.Perubahan
hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah

2
dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga
berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak
kejahatan atau menarik kebaikan…".

Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama,
jiwa, akal,keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap
maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.

Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat
demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’,
beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa
maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:

a) Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan


langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh
syara’.
b) Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau
seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:

“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam
dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi
manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada
Allah maksiatnya orang yang durhaka”.

Akal dapat mengetahui maksud syara’terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan
pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka.
Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama,
diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.

B. Macam-Macam Maqasid al-Syariah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan
hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:

3
a) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersif at kebutuhan primer manusia
(Maqashid al- Dharuriyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta.
Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia
kebutuhan primernya.

1. Agama

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan
vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga
merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an
surat al-Maidah : 3

”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus
dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar
kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura : 13.

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung
jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur
adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu,
agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini
dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa
seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-
Nya dalam surat al-Baqarah : 256.

4
2. Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas
(pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian
diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih
dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati,
atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan
perbuatannya.

Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi
Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :

 Surat Al-Baqarah ayat 178-179


 Surat al-an’am ayat 151
 Surat Al-Isra’ ayat 31
 Surat Al-Isra’ ayat 33
 Surat An-Nisa ayat 92-93
 Surat Al-Maidah ayat 32.

Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat
Al-Isra’ ayat 33

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya
kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

3. Memelihara Akal

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah
yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi
bentuk itu dengan akal. Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis
menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau
menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.

5
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan
menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada
seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti
yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.

4. Memelihara Keturunan

Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina,
menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu
dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, se hingga perkawinan itu dianggap sah dan
percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak
yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak
hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa
pada zina.

5. Memelihara harta benda

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan
mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi
bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai
mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll.

b) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia
(Maqashid al-Hajiyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan
gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan
memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah
benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah
(pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban
manusia.

Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,


kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan

6
hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan
bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan
(tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah
(berniaga dengan harta orang lain) dll.

c) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia
(Maqashid al-Tahsini)

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam


mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam
menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang
mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .

Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang
halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara
kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau
menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut

C. Peranan Maqasid Al-Syari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam

Pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah sebagaimana yang ditegaskan oleh Abdul Wahab
Khalaf adalah hal yang sangat penting, mengerti dan memahami tentang maqaid al-syari’ah
dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an dan as-sunnah, membantu
menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud al-adillah) dan yang sangat penting lagi
adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak
tercantum dalam al-Qur’an dan as-sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan).
Metode istinbath al-hukum dengan menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan maslahah al-
mursalah adalah metode-metode yang dapat dipakai dalam pengembangan hukum Islam dengan
mengunakan maqasid al-syari’ah sebagai dasarnya.

Misalnya metode Qiyas baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditentukan maqasid al-
syari’ahnya yaitu dengan menemukan ratio legis (illat al-hukm) dari sebuah permasalahan

7
hukum, sebagai contoh hukum tentang khamar menurut penelitian para ulama’ bahwa maqasid
al-syari’ah dari diharamkanya khamar adalah karena sifatnya yang dapat memabukkan sehingga
dapat merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat al-hukm dari khamar adalah
sifat yang memabukkan dan merusak akal, sedangkan khamar hanya salah satu contoh dari
sekian banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya, apalagi dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka sangat banyak sekali sifat-sifat dari zat-zat
kimiawi yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengan contoh khamar diatas, dari sini
pengembangan hukum Islam dapat dilakukan dengan mengunakan metode-metode yang ada.
Metode penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqasid al-syari’ah dalam penetapan
hukumnya dengan menggunakan qiyas, istislah (maslahah murslah), istishab, syad al-dzari’ah
dan ’urf oleh kalangan ushuliyyun disebut juga dengan maqasid al-tsanawiyah.

D. Peranan Maqasid Al-Syariah Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Syariah

Telah ditegaskan sebelumnya bahwa dalam melakukan ijtihad guna menghadapi berbagai
situasi, maka maslahat harus dijadikan prioritas utama, karena ia merupakan tujuan pokok syariat
(maqasid asy-syari’ah). Dengan merujuk kepada maslahat, maka fiqih atau produk ijtihad yang
lainnya dapat disesuaikan, sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.Penegasan tentang hal ini
adalah penting, karena syari’ah memuat prinsip-prinsip umum sebagai strategi dasar yang dapat
diaplikasikan dalam berbagai kasus dan keadaan.Di samping itu, syari’at juga menawarkan
konsep fleksibelitas, karena di dalam al-Qur’an tidak ditemukan ketentuan dan materi yang
bersifat detail. Dengan landasan berpikir seperti ini, sebenarnya syari’at dapat memberikan
kontribusinya bagi kemaslahatan masyarakat tanpa berbenturan dengan norma dan nilai-nilai
yang lain.

Semua ulama mengakui bahwa the ultimate goal-nya hukum Islam adalah maslahah.Akan
tetapi karena semua ulama mempunyai pemikiran yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya tentang maslahah dari sebuah aturan, maka keadaan yang seperti ini sangat terbuka bagi
munculnya subjektivisme pemahaman.Oleh karena itu, untuk kepentingan penderivasian
maslahat ke dalam sebuah hukum yang konkrit sekaligus untuk pengembangannya, ada baiknya
diperhatikan perjenjangan norma-norma hukum Islam.

8
Menurut teori ini, ada tiga level norma hukum. Pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai
filosofis (al-qiyam al-asasiyyah), yakni norma-norma abstrak yang merupakan nilai-nilai dasar
dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan dan persamaan, atau
pemeliharaan maslahat yang lima (maqasid al-syari’ah). Norma abstrak inilah yang disebut
sebagai tujuam hukum.Kedua, norma antara (tengah) yang digunakan sebagai perantara (alat)
untuk mencapai tujuan-tujuan hukum. Norma tengah ini merupakan doktrin-doktrin umum
hukum Islam.Doktrin-doktrin umum ini secara konkritnya dalam hukum Islam dibedakan
menjadi dua macam, yaitu al-nazariyyat al-fiqhiyyah(asas-asas umum hukum Islam) dan al-
qawa’id al-fiqhiyyah(kaidah-kaidah hukum Islam).Ketiga, norma hukum konkrit (al-ahkam al-
far’iyyah) sebagai aplikasi dari dua norma sebelumnya.

Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hirarkis, di mana norma yang paling abstrak
dikonkritisasi atau diejawantahkan dalam norma yang lebih konkrit. Misalnya nilai dasar
kemaslahatan dikonkritisasi antara lain dalam asas umum yang berupa kaidah fiqhiyyah, yaitu
antara lain al-masyaqqah tajlib al-taisir (kesukaran membawa kemudahan). Asas ini
dikonkritisasi lagi dalam bentuk peraturan konkrit dalam hukum perdata misalnya, orang yang
sedang dalam kesulitan dana diberi kesempatan untuk penjadwalan kembali hutangnya. Contoh
lain adalah nilai dasar kebebasan diejawantahkan dalam norma tengah, yaitu asas kebebasan
berkontrak (mabda’ hurriyyah al-ta’aqud). Asas kebebasan berkontrak ini dikonkritisasi lagi
dalam bentuk norma konkrit boleh membuat akad baru apa saja, misalnya akad asuransi,
sepanjang tidak melanggar ketertiban hukum syar’i dan akhlak Islam.

Timbulnya penemuan-penemuan baru akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,


akan berakibat menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa
konsekwensi logis membentuk norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya
kemajuan iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash, akan
tetapi harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam banyak hal dalam aktivitas ekonomi,
Islam memberikan skala normativnya secara global.[28]Untuk menyebut salah satu contohnya,
dapat dikemukakan persoalan aktivitas jual beli dan jaminan hutang piutang.Dalam al-Qur’an
hanya disebutkan jual beli yang halal dengan tidak terperinci umpamanya mana yang boleh
khiyar dan yang tidak boleh, dan tidak disebutkan pula cara-cara penjaminan hutang piutang dan
hukumnya secara terperinci.Hal-hal yang tidak diatur dalam kedua sumber utama hukum

9
tersebut, diperoleh ketentuannya dengan jalan ijtihad dengan menjadikan konsep maqasid
sebagai teori dasar dalam pengembangannya, agar umat Islam terdorong aktif, kreatif dan
produktif dalam ikhtiar-ikhtiar kehidupan ekonomi mereka. Selama tujuan hukumnya dapat
diketahui, maka akan dapat dilakukan pengembangan hukum berkaitan dengan masalah yang
dihadapi.

Maqashid syari’ah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi
syari’ah, menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syari’ah.Pengetahuan maqashid
syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan
ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga
untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi
mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan
lembaga keuangan syariah.

Mengenai aktivitas ekonomi dan bisnis, Islam telah memberikan prinsip-prinsip umum yang
harus dipegangi, yaitu:

a) Prinsip tidak boleh memakan harta orang lain secara batil.


b) Prinsip saling rela, yakni menghindari pemaksaan yang menghilangkan hak pilih
seseorang dalam muamalah.
c) Prinsip tidak mengandung praktek ekploitasi dan saling merugikan yang membuat orang
lain teraniaya. Pendek kata, transaksi apapun yang dilakukan oleh para mukallaf tidak
boleh bertentangan dengan asas kemaslahatan, dalam arti kata menimbulkan kerugian
(madharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah).

Dalam aktivitas bisnis kontemporer, jual beli saham misalnya, umat Islam menghadapi
berbagai macam keraguan hukum terhadap bisnis ini. Sementara nas al-Qur’an dan hadits tidak
menjelaskan bisnis ini secara eksplisit. Berkaitan dengan hal ini kaidah usuliyyah menyatakan
“al-aslu fi al-uqud wa al-mu’amalat al-sihhah hatta yaquma al-dalila ‘ala al-batlan wa al-tahrim.”
Ada juga kaidah lain yang mengatakan “al-aslu fi al-asyya al-ibahah”. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa masalah obligasi juga merupakan masalah muamalah baru yang belum pernah
ada dan tidak pula dikenal oleh para fuqaha sebelumnya. Nas ini juga tidak menyinggung

10
masalah tersebut. Oleh karena itu, hal ini merupakan masalah ijtihadiyyah. Sejalan dengan
kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa muamalah obligasi tersebut
adalah boleh sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam muamalah,
apalagi jika aktivitas tersebut mengandung maslahah secara individual maupun komunal.

Selama ini yang menjadi keberatan terhadap bentuk muamalah ini adalah masalah capital
gain dalam transaksi di pasar sekunder. Di pasar sekunder ini dapat terjadi penjualan dan
pembelian, tidak seperti pasar perdana yang hanya melayani penjualan. Harga dalam pasar
sekunder ini tidak ditentukan oleh kesepakatan antara perusahaan (emiten) dan underwriter
(penjamin emisi), melainkan ditentukan oleh investor, sehingga harga bisa lebih tinggi dan lebih
rendah dibandingkan dengan pasar perdana, sesuai dengan mekanisme pasar. Dengan keadaan
ini, bisa terjadi lembaran saham yang dibeli dipasar sekunder akan dijual kepada investor lain
(investor spkelulan) dengan suatu harapan akan memperoleh keuntungan yang disebut dengan
capital gain, yakni kelebihan harga dari nilai beli saham. Dengan demikian, tujuan investasi telah
bergeser dari orientasi laba keuntungan kepada laba spekulatif. Bergeser juga orientasi
pembelian saham dari semata-mata penyertaan modal kepada semata-mata jual beli.

Bila dilihat dari aspek jual beli saja, maka fluktuasi harga saham itu merupakan hal yang
wajar dan mubah, sepanjang saham-saham yang diperjualbelikan itu bidang usahanya adalah
usaha yang mubah. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh bisa spekulatif, tidak jarang muncul
manuver-manuver tidak sehat yang bisa berwujud konspirasi atau lainnya. Diantara bentuk
permainan-permainan tersebut adalah:

Konspirasi antara underwriter, broker dan emiten yang bertujuan agar saham-saham yang
ada dapat dipermainkan sesuai dengan keinginan mereka. Sekelompok pedagang saham
menyebar berita bohong sekitar perusahaan penerbit saham. Permainan serupa juga bisa
dilakukan oleh suatu grup perusahaan atau spekulan agar bisa meraup keuntungan besar. Celaka
lagi kalau ada investor yang belum mengerti lika-liku dunia bursa akan menjadi makanan empuk
bagi para pialang, misalnya dengan melakukan praktek al-najasy (menggoyang harga).

Dapat disimpulkan bahwa jika terjadi motif capital gain, maka terdapat unsur garar di
dalamnya yang di larang oleh Islam. Sementara garar adalah sesuatu yang mengakibatkan tidak
sahnya sebuah transaksi karena dapat merusak kemaslahatan bagi para pihak. Disamping itu jual

11
beli saham yang bermotifkan capital gain menempatkan saham tidak berfungsi sebagai bukti
penyertaan modal (syirkah) atau investasi (mudharabah), akan tetapi sudah semacam
perdagangan lembaran kertas untuk mengadu nasib dan untung di kemudian hari. Maka dalam
kaitan ini, Am Saefudin menyatakan bursa efek yang Islami tidak diperdagangkan di pasar
modal. Saham merupakan tanda kepemilikan modal perusahaan, maka sifat go public yang
senafas dengan Islam bila saham-saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat, karyawan dan
buruh perusahaan. Di sinilah fungsi kode etik yang dibuat oleh BAPEPAM (Badan Pengawas
Penanaman Modal) untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan manuver tidak sehat dalam
jual beli saham.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maqasid syariah ialah matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi
kepentingan umat manusia. Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang
umum dari menasyri’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:

a) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia.
Kebutuhan primer ini dibagi menjadi lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
b) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia.
Kebutuhan ini yang dapat memperlancar hubungan antar manusia, seperti muamalah,
mubadalah ibadah secara horizontal, dll.
c) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.

Para ulama sepakat tentang tujuan Allah mensyari’atkan sebuah hukum adalah untuk
memelihara kemaslahatan seluruh manusia, di lain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di
dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat
tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-Qur’an dan hadits. Dalam mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima hal pokok yang harus dipelihara dan dijaga
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Sudah menjadi kesepakatan bahwa dengan konsep maqasid al-syari’ah dapat diketahui
bahwa maksud dan tujuan Allah dalam memberikan sebuah ketentuan untuk manusia adalah
dalam rangka memelihara kepentingan dan kemanfaatan bagi manusia sendiri. Tidak ada
ketentuan yang telah ditetapkan kecuali aturan tersebut memang mengandung kemaslahatan buat
manusia.Dengan demikian maka sejatinya konsep maqasid al-syari’ah ini bisa dijadikan sebagai
blue print dalam menghadapi berbagai permasalahan-permasalahan perekonomian kontemporer
baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Hal ini semakin beralasan bila dihadapkan pada

13
realitas keilmuan ekonomi Islam yang masih mencari bentuk idealnya.Selain itu tujuan akhir
ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari'ah),
yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik
dan terhormat (hayyah thayyibah). Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan
dasar sekaligus tujuan utama dari syariat Islam (mashlahah al ibad), karenanya juga merupakan
tujuan ekonomi Islam.

B. Saran

Dan kami sadari bahwa dalam pembuatan makalah ini pasti terdapat banyak kesalahan,
kekeliruan, dan kekurangan, baik itu dari segi tulisannya, bahasanya ataupun yang lain. Oleh
karena itu kami mengharapkan kepada teman-teman sekalian maupun bapak dosen untuk dapat
memberikan kritik dan sarannya agar dapat kita benari bersama dan dapat kita ambil manfaatnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Salam Arif, “Ushul Fiqh Dalam Kajian Bisnis Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.),
Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz,
2002.

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqosid al-Syari’ah Menurut Syatibi, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.

Ahmad ar-Raisuni, Nazariyyah al-Maqosid ‘inda al-Imam al-Syatibi, Riyad: Dar al-Ilmiyyah al-
Kitab al-Islami, 1992

Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:UII Press, 2001

Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001

15

Anda mungkin juga menyukai