Anda di halaman 1dari 14

Maqashid Syariah

Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang semakin pesat,
keberadaan syariat Islam di tengah umatnya dalam tataran konsep maupun praktik sedikit demi
sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok umat Islam yang secara gigih mengupayakan
pemberlakuan syariat Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung menjurus ke arah
penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang dibarengi dengan aksi-aksi
fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan ini, jelas tidak simpatik, bahkan dalam pandangan
mayoritas orang Islam sekalipun. Bagaimanapun, upaya pemahaman dan penegakan syariat Islam
adalah sebuah keharusan. Dan tentunya, dalam mensosialisasikannya, haruslah secara arif. Kendati
mengharuskan umatnya untuk tunduk pada segala aturannya, namun melalui tata aturan syariat,
Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan
hukum-hukumnya. Dalam terminologi syariat, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal
dengan istilah maqashid al syariah. Melalui pendekatan semacam inilah, pemahaman syariat Islam
lebih menemukan ruh dan substansinya.
Maqashid al Syariah memiliki sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara dalam
semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syariat, atau rahasia di balik
pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syari (pemegang otoritas syariat, Allah dan Rasul-Nya.
Pengetahuan terhadap Maqashid al Syariah ini, selamanya merupakan kebutuhan bagi semua
kalangan. Bagi mujtahid, maqashid al syariah tentu saja dibutuhkan dalam memahami teks-teks
syariat, dalam melakukan istimbat, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan awam, pengetahuan terhadap
maqashid syariah tak kalah pentingnya. Karena, dengan memahami hikmah di balik pensyariatan
hukum, seseorang akan lebih mantap dalham menerima dan melaksanakan tata aturan syariat
tersebut. Banyak sekali nash Al-Quran maupun sunnah yang menegaskan bahwa Allah
menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya termasuk tata aturan syariat tidak
secara sia-sia, namun dengan tujuan dan sasaran tertentu. Allah swt. berfirman:


Artinya: Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?[if !supportFootnotes]
[1][endif]
BAB II

PEMBAHASAN
[if !supportLists]1.

[endif]Pengertian Maqashid al Syariah

[if !supportLists]a.

[endif]Secara Bahasa ( )

Secara bahasa maqashid berasal dari gabungan (idhafah) kata majemuk antara :
Maqashid dan al syariah




: :

: " ,
[if !
: ,

.

supportFootnotes][2][endif] .
[if !supportLists]-

[endif]Maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad

mashdar mimi dari fiil qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al


qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: alitimad: berpegah teguh,
al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
[if !supportLists]-

[endif]Sedangkan syariah secara bahasa berarti: tempat menuju ke sumber

air
([) if !supportFootnotes][3][endif]
[if !supportLists]b.

[endif]Secara Istilah ()

Secara istilah terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam literature
mereka diantaranya adalah:
[if !supportLists]1.

[endif]Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah

Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan
zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia.[if !supportFootnotes][4][endif]
[if !supportLists]2.

[endif]Al Izz bin Abdul Salam

Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan menolak kejahatan
atau menarik kebaikan [if !supportFootnotes][5][endif]
[if !supportLists]3.

[endif]Al Khadimi

Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta.[if !supportFootnotes][6][endif]

[if !supportLists]4.

[endif]Ibnu Asyur

Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukumhukum yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid terbagi
menjadi dua yaitu; maqashid umum dan maqashid khusus.maqashid umum dapat dilihat dari
hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus cara
yanag dilakukan oleh syariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.
[if !supportFootnotes][7][endif]
[if !supportLists]5.

[endif]Ibnul Arabi dan Al Qadhi Iyadh

Menyebutkan berhukum untuk menghidarkan kemudharatan adalah wajib, dengan tidak membebani
seseorang. [if !supportFootnotes][8][endif]

[if !supportLists]6.

[endif]As Syatibi

Beliau tidak mengemukakan definisisecara spesifik tentang maqashid syariah disebabkan karena
masyarakat umum sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung. [if !
supportFootnotes][9][endif]
[if !supportLists]7.

[endif]Dr. Wahbah Zuhaily

menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh
syara dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syariat, atau
rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syari (pemegang otoritas syariat, Allah dan
Rasul-Nya. [if !supportFootnotes][10][endif]
Definisi terakhir inilah yang menurut pemakalah lebih dekat kepada yang diharapkan, karena
mendekati pengertian yang jamimani
[if !supportLists]2.

[endif]Urgensi Maqashid al Syariah

Maqashid syariah memiliki peranan yang penting dalam proses terjadinya hukum, oleh karena
itulah Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az Zuhaili, menyebutkan dalam kitabnya maqashid syariah,
ada beberapa faidah maqashid al syariah yang bisa dipetik diantaranya:
[if !supportLists]a.

[endif]Maqashid syariah dapat membantu mengetahui hukum-hukum yang

bersifat umum ( kulliyah) maupun parsial ( juziyyah )


[if !supportLists]b.
praktek.

[endif]Membantu memahami nushsus syari secara benar dalam tataran

[if !supportLists]c.

[endif]Membatasi makna lafadz yang dimaksud ( madlul al alfadz ) secara

benar, karena nash-nash yang berkaitan dengan hukum sangat variatif baik lafadz maupun
maknanya. Maqashid al syariah berperan dalam membatasi makna yang dimaksud.
[if !supportLists]d.

[endif]Kembali ke maqashid al syariah ketika tidak terdapat dalil yang pasti

dalam Al quran dan sunnah pada masalah-masalah yang baru ( kontemporer ), sehingga para
mujtahid merujuk ke maqashid al syariah dalam istimbath hukum setelah mengkombinasikan
dengan qiyas, ijtihan, istihsan, istislah dll.
[if !supportLists]e.

[endif]Maqashid al syariah membantu mujtahid untuk mentarjih sebuah

hukum yang terkait dengan ( perbuatan manusia) afal mukallafin sehingga menghasilkan hukum
yang sesuai dengan kondisi masyarakat.[if !supportFootnotes][11][endif]
[if !supportLists]3.
[if !supportLists]a.

[endif]Istilah istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah


[endif]Al-Hikmah ( )

Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah dari pensyariatan hukum. Al-hikmah memiliki arti
yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap digunakan oleh fuqaha.Contohnya Ibn
Farhun berkata:"Dan adapun hikmah qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala bencana,
mencegah orang zalim, membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh yang ma'ruf
dan mencegah kemungkaran".[if !supportFootnotes][12][endif]
[if !supportLists]b.

[endif]Al-'illat ()

Sebagian ulama yang menganggap bahwa maqasid itu ialah 'illat-''illat yang terkandung di dalam
pensyariatan hukum. Al-Ilat ialah sifat zahir yang ada pada hukum syara.[if !supportFootnotes][13]
[endif]
Sifat yang ada pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan maqasid syara.Ini menjadikan
al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata lain, maqasid sesuatu
hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah ini lebih banyak digunakan di
dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum syara' [if !
supportFootnotes][14][endif]
[if !supportLists]c.

[endif]Al-ma'na ( )

Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid kecuali al-ma'na lebih
popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.
[if !supportLists]4.

[endif]Metode Penetapan Maqashid al Syariah ( )

Ibnu Asyr berpendapat bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari syariat

melalui tiga cara penetapan yaitu:[if !supportFootnotes][15][endif]


Pertama, penelusuran (istiqra) terhadap hukum-hukum syariat yang telah diketahui illat-nya
secara tekstual, atau melalui penggalian illat melalui penalaran.
Kedua, dalil-dalil Al-Quran yang lugas sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas menentukan
tujuan tertentu di balik pensyariatan sebuah kasus hukum. Ketiga, sunnah mutawatirah.
Menurut Asy-Syathibi, ada tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan dari
syariat (maqashid syariah)
Pertama, bahwa maqashid syariah tidak bisa diketahui kecuali dukungan nash sharih yang
menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah mengarahkan nash atas sisi dhahirnya saja. Ini adalah metode Madzhab Dhahiriyah yang hanya memandang makna dhahir dari nash
untuk menentukan maqashid syariah.
Kedua: klaim bahwa maqashid syariah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash, namun
hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syariat, hingga tak tersisa sedikitpun sisi
dhahir dari nash yang dapat dijadikan pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah pembatalan syariat,
sebagaimana yang dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
Ketiga, maqashid syariah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas secara moderat dan
sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir tanpa mengesampingkan makna atau hikmah
tersembunyi di balik itu, atau sebaliknya, dengan menggali makna atau hikmah di balik
pensyariatan sebuah hukum tanpa bertentangan dengan sisi dhahir nash. Dan, inilah yang dijadikan
pijakan oleh manyoritas ulama.
Karenanya, Asy-Syathibi memberikan kesimpulan bahwa maqashid syariah bisa diketahui dengan
tiga cara yaitu:
Pertama, cukup mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang
dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan.
Kedua; dengan memandang illat-illat dari perintah atau larangan, seperti pensyariatan nikah
yang bertujuan untuk memelihara keturunan.
Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum syariat, Syari memiliki tujuan pokok (maqashid
ashliyyah) dan tujuan pelengkap (maqashid tabiah), adakalanya tertera secara eksplisit, tersirat
secara implisit, ataupun didapatkan dari hasil penelusuran (istiqra) terhadap nash. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash namun tidak bertentangan
dengan ketentuan di atas, adalah termasuk dalam maqashid al syariah.[if !supportFootnotes][16]

[endif]
[if !supportLists]5.

[endif]Syarat - syarat berhujjah dengan Maqashid al Syariah ( )


Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, maqshid al-syarah haruslah memenuhi empat macam
kriteria [if !supportFootnotes][17][endif]:
Pertama, maqashid syariah haruslah tsabit, ( )
Maksudnya bahwa sebuah hikmah dari pensyariatan hukum bisa direkomendasikan sebagai tujuan
syariat apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni (asumsi) yang mendekati
kepastian.
Kedua, maqashid syariah haruslah zhahir) )
Dalam artian bahwa para ulama tidak mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan
syariat (illat). Seperti pensyariatan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan, tujan
semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama.
Ketiga, maqashid syariah haruslah mundlabith ( )
Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar yang jelas (jami mani), seperti
perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannya khamr.
Keempat, maqashid syarah haruslah muththarid ( )
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau berubah
karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan kemampuan atas
nafkah yang menjadi persyaratan dari kafaah dalam nikah. Dengan demikian setiap hikmah yang
telah memenuhi keempat kriteria di atas, bisa dinyatakan sebagai maqashid syariah. Sedangkan
hal-hal yang hanya berdasarkan wahm (kemungkinan tanpa dasar) atau takhayyul (imajinasi) dapat
dipastikan bukan merupakan maqashid al-syariah.[if !supportFootnotes][18][endif]

[if !supportLists]6.

[endif]Klasifikasi Maqashid al Syariah

[if !supportLists]a.

[endif]Maqasid al Syariah berdasarkan tujuannya terbagi dua :[if !

supportFootnotes][19][endif]
[if !supportLists]A. [endif]Maqasid Syari'
Yaitu maqasid yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah ( jalbil
masholih wa dafil madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di dunia dan di akhirat.

Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian [if !supportFootnotes][20][endif]:


[if !supportLists]1.

[endif]Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat .

[if !supportLists]2.

[endif]Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat untuk difahami.

[if !supportLists]3.

[endif]Tujuan Syari' (Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan. T

[if !supportLists]4.

[endif]Tujuan Syari' (Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum Syarak.

[if !supportLists]a.

[endif]Tujuan Allah menciptakan syariat.

Pada pandangan As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan
maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan (maslahah) kepada mereka dan
menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka. Menururtnya segala apa yang disyariatkan
tidak terlepas dari maqasid al syariah. Tujuan syariat dibagi menjadi tiga kategori yaitu[if !
supportFootnotes][21][endif] :

[if !supportLists]1.

[endif]Kepentingan Asas (al-Dharuriyyat) :

Yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia, bagi tujuan kebaikan agama dan
kehidupan di dunia dan akherat karena kehidupan manusia akan rusak di dunia atau di akhirat jika
kepentingan asas ini tidak ada atau tidak dipenuhi.

Sehingga dalam syariat dikenal dengan al dharuriyaat al khamsah ( lima hal yang sangat penting )
diantaranya adalah :
[if !supportLists]a.

[endif]Agama ( )

[if !supportLists]b.

[endif]Jiwa ( )

[if !supportLists]c.

[endif]Akal ( )

[if !supportLists]d.

[endif]Keturunan ( )

[if !supportLists]e.

[endif]Harta ( )

Kelima hal diatas merupakan maslahah yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan
yang berbeda-beda, sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu:
[if !supportLists]-

[endif]Mewujudkan dan melahirkan hukum (al ijaad )

[if !supportLists]-

[endif]Menjagan kesinambungannya ( al hifd ) [if !supportFootnotes][22]

[endif]
[if !supportLists]a.

[endif]Agama ( )

Syariat mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan segala
konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dll. Dasar dasar
ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama ini dengan
mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi mungkar.[if !supportFootnotes]
[23][endif]
[if !supportLists]b.

[endif] Jiwa ( )

Syariat mewujudkannya dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak


keturunan dan generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula ketika
Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa manusia.[if !supportFootnotes][24]
[endif]
[if !supportLists]c.

[endif]Akal ( )

Merupakan karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya dengan
tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar,
[if !supportLists]d.

[endif]Keturunan ( )

Disyariatkan menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan


menjauhi hal-hal yang dapat menjeerumuskan ke zina. Begitupula dengan diharamkannya menuduh
wanita-wanita yang baik dengan tuduhan zina. [if !supportFootnotes][25][endif]
[if !supportLists]e.

[endif]Harta ( )

Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan mengharamkan
mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa
bertanggungjawab atas harta tersebut.
[if !supportLists]2.

[endif]Kebutuhan Biasa (al-Hajiyat) :

Ia merupakan keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya
kehidupan manusia akan menjadi tidak sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa kebutuhan
yang dibolehkan oleh syariat adalah:
[if !supportLists]-

[endif]Syariat membolehkan rukhsah dalah ibadah untuk memudahkan

kesulitan yang terjadi dalam melaksanakan perintah.


[if !supportLists]-

[endif]Dalam muamalah, syariat membolehkan jaul beli yang merupakan

pengecualian dari kaodah umum jual beli, seperti salam, ijarah, dan muzaraah.
[if !supportLists]-

[endif]Dalam masalah Uqubah ( hukuman), syariat membolehkan kaidah

darul huduud bi al syubuhaat ( menunda hudud karena tuduhan ) atau diyat atas keluarga terpidana

sebagai keringanan banginya.[if !supportFootnotes][26][endif]


[if !supportLists]3.

[endif]Keperluan Mewah (al-Tahsiniyat)

Kondisi ini merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan kenyaman
hidup.
Seperti:
[if !supportLists]-

[endif]Menutup aurat, mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus

ketika memasuki masjid dan bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah,
shadaqah, shalat sunnah dll.
[if !supportLists]-

[endif]Dalam muamalah, dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian

orang lain dll.


[if !supportLists]-

[endif]Dalam adat, diajarkan cara makan dan minum yang baik

[if !supportLists]-

[endif]Dalam uqubah, dilarang mutilasi dalam qishas dll.[if !

supportFootnotes][27][endif]
Yang menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan
kepentingan biasa ( al hajiyat ), sebagai pendukung saja.
Sementara keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu
diprioritaskan dalam menentukan hukum.

Berdasarkan pertimbangan itulah al-Syatibi membentuk beberapa kaidah berikut :


[if !supportLists]-

[endif]Kepentingan asas primer ( al dharuriyat) sebagai dasar dari

kebutuhan biasa/sekunder al hajiyat dan (kebutuhan tertier) al tahsiniyat.


[if !supportLists]-

[endif]Kerusakan kepentingan asas menyebabkan kerusakan pada

kepentingan yang lain.


[if !supportLists]-

[endif]Tidak semestinya kerusakan keperluan lain boleh merusakkan

kepentingan asas.
[if !supportLists]-

[endif]Wajib menjaga keperluan biasa dan keperluan mewah bagi tujuan

menjaga keperluan asas.


[if !supportLists]B.

[endif]Maqashid al Mukallaf (hamba)

Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam melakukan sesuatu


perbuatan. Maqasid mukallaf berperanan menentukan sah atau batal sesuatu amalan. kaidah
berperan dalam maqashid mukallaf adalah:[if !supportFootnotes][28][endif]

Maqashid mukallaf hendaklah selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada
yang ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyariatannya, sesuatu itu dianggap
telah menyalahi syariat.[if !supportFootnotes][29][endif]
Kategori maqasid berdasarkan korelasinya dengan hukum terbagi dua yaitu:
[if !supportLists]1.

[endif]Maqasid umum (maqasid ammah)

Yaitu makashid yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan semua atau sebagian besar hukumhukumnya.
Contohnya menegakkan keadilan, menghasilkan kebaikan, menolak keburukan dan kemudharatan
diantara manusia.[if !supportFootnotes][30][endif]
[if !supportLists]2.

[endif]Maqasid khusus (maqasid khassah)

Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariah dalam menentukan hukum-hukum tertentu. Contohnya
hukum-hukum muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya.
[if !supportLists]7.

[endif]Kaidah kaidah Umum yang merupakan turunan dari Maqashid

al Syariah
Berdasarkan asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath sehingga menghasilkan
turunan kaidah kaidah ushuliyah, diantaranya:[if !supportFootnotes][31][endif]
[if !supportLists]a.

[endif]

Kondisi darurat dapat membolehkan perkara yang dilarang


Contohnya: memakan sesuatu yang haram karena dharurat
[if !supportLists]b.

[endif]

Kemudharatan harus dihilangkan


Contoh: khiyar ( pilihan ) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena ada kekurangan
dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.
[if !supportLists]c.

[endif]

Kondisi darurat memiliki batasan tertentu.


Contoh: mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan
dijadikan kebutuhan pokok.
[if !supportLists]d.

[endif]

Kesulitan mendatangkan kemudahan


Contoh: shalat jamak dan qashar dalam perjalanan.

[if !supportLists]e.

[endif]

Kemudharatan yang sifatnya lebih kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang
lebih besar.
Contoh: Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia tidak
minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.
[if !supportLists]f.

[endif].

Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.


Contoh: larangan ekspor barang keluar negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang
tersebut pada kondisi sulit.

PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah meneliti dan menelaah sumber-sumber yang terkait dengan maqashid syariah maka penulis
dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
[if !supportLists]1.

[endif]Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia baik yang berkaitan

dengan individu maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas dengan meletakkan dasar hukum
dan pertimbangan-pertimbangan syariat.
[if !supportLists]2.

[endif]Maqashid syariah menaungi keseluruhan hukum yang bersandar

kepada tujuan-tujuan umum syariat.


[if !supportLists]3.

[endif]Maqashid syariah mencakup aspek-aspek, dharuriyat, hajiat dan

tahsiniyat.
[if !supportLists]4.

[endif]Maqashid syariah berperan dalam mewujudkan hukum ( Iijad) dan

menjaga kesinambungannya ( hifdz ).


[if !supportLists]5.

[endif]Maqashid syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta,

keturunan dan kehormatan.


[if !supportLists]6.

[endif]Ulama meletakkan kaidah-kaidah umum yang bertujuan menjaga

syariat dan melindungi hak-hak manusia secara pribadi maupun secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
[if !supportLists]1.

[endif]Al Quran Al Karim

[if !supportLists]2.

[endif]Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasati al-Syariah al-Islamiyyah,

Beirut, Muassasah al-Risalah, 1990M.


[if !supportLists]3.

[endif]Ab Hmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazli, Al-Mustashf

min Ilm al-Ushl, Beirut, Dr al-Fikr, tt.


[if !supportLists]4.

[endif]Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby,

Kitab Al Muwafaqoot, Penerbit Dar


[if !supportLists]5.

Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H

[endif]Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid I'nda al-Imam al-Syatibi,

Beirut tt.
[if !supportLists]6.

[endif]Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam,

Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt.


[if !supportLists]7.

[endif]Fairuz Abadi,Qamus Al Muhith 2/327,Muasasah Ar Risaalah, Beirut

tt.
[if !supportLists]8.

[endif]Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub

al-Ilmiyyah, tahun 1996


[if !supportLists]9.

[endif]Ibnu Faris, Mujam Maqayiis Al Lughaat, Iitihad al Kitab Al

Arabiyyah, tahun 2002


[if !supportLists]10. [endif]Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah alIlmiyyah, Mesir, tahun 1301H.
[if !supportLists]11. [endif]Muhammad Thhir bin Asyr, Maqshid al-Syarah al-Islmiyyah,
Amman: Dr al-Nafis,Tahun 2001
[if !supportLists]12. [endif]Muhammad Thhir bin Asyr, Maqshid al-Syarah al-Islmiyyah,
Amman: Dr al-Nafis, tahun 2001
[if !supportLists]13. [endif]Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah alRisalah al Haditsah, 1991
[if !supportLists]14. [endif]Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi, Qatar , tahun
1998
[if !supportLists]15. [endif]Wahbah al-Zuhayl, Ushl al-Fiqh al-Islm, Damaskus: Dr al-Fikr,
1998
[if !supportFootnotes]
[endif]
[if !supportFootnotes][1][endif] Al Quran Surat Al Mukminun: 115
[if !supportFootnotes][2][endif] Lihat Qamus Al Muhith 2/327, Mujam Maqayiis Al Lughaat 5/95,
Al Mishbah al Munir 2/692, Muhtarus sihhah hal. 536, Tahdziib Asmaa Al Lughaat 2/92
[if !supportFootnotes][3][endif] Lihat kitab As shihah karangan Az Zuhri 3/1236

[if !supportFootnotes][4][endif] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar alKutub al-Ilmiyyah, tahun 1996 jilid 3 hal 37
[if !supportFootnotes][5][endif] Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam,
Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt. Jil 1 Hal .9
[if !supportFootnotes][6][endif] Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar ,
tahun 1998 hal.50
[if !supportFootnotes][7][endif] Muhammad Thhir bin Asyr, Maqshid al-Syarah alIslmiyyah, Amman: Dr al-Nafis, tahun 2001,

hlm. 190-194.

[if !supportFootnotes][10][endif] Wahbah al-Zuhayl, Ushl al-Fiqh al-Islm, Damaskus: Dr alFikr, 1998., juz II hlm. 1045.
[if !supportFootnotes][11][endif] Lihat kitab Maqashid al Syariah al islamiyah, Prof.Dr.
Muhammad Musthafa Az Zyhaily 1/9 maktabah syamilah
[if !supportFootnotes][12][endif] Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah
al-Ilmiyyah, Mesir, 1301H hal.8 tt
[if !supportFootnotes][13][endif] Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Dimasyq,
1986, jil.1, hal 646
[if !supportLineBreakNewLine]
[endif]
[if !supportFootnotes][14][endif] al-Raisuni, opcit,
[if !supportFootnotes][15][endif] Muhammad Thhir bin Asyr, Maqshid al-Syarah alIslmiyyah, Amman: Dr al-Nafis, 2001, hlm.

190-194.

[if !supportFootnotes][16][endif] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As
Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot, Penerbit Dar

Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H

[if !supportFootnotes][17][endif] Wahbah al-Zuhayl, op.cit.., juz II hlm. 1047; Muhammad Thhir
bin Asyr, op.cit., hlm. 252-253
[if !supportFootnotes][19][endif] As Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut ,Dar alMa'rifah, 1416H/1996M, jil: 2/321.
[if !supportFootnotes][22][endif]

DR. Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit

Muasasah Ar Risaalah, Beirut 1427H/2006M

cetakan ke 15

[if !supportFootnotes][24][endif] Lihat Kitab al Mustashfa Karya Abu Hamid Al Ghazali kitab Al
Mustashfa 1/287

[if !supportFootnotes][26][endif] Lihat Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidan hal 380.
[if !supportFootnotes][28][endif] As Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut ,Dar alMa'rifah, tahun 1416H/1996M
[if !supportFootnotes][30][endif] Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu,
Maktabah al-Risalah al-Haditsah, 1991,hal.112
[if !supportFootnotes][31][endif] Lihat Kitab Al Wajiz fi Ushulil fiqh ,DR. Abdul Karim Zaidan
halaman 383

Anda mungkin juga menyukai