Anda di halaman 1dari 5

FIKIH MUAMALAH

NAMA : IRLIANA HARDIANTI H RAZAK


NIM : 2020050102110

JUAL BELI AL-WAFA

Dalam Fikih Muamalah terdapat istilah Bai' Al-Wafa. Di dalam artikel ini menjelaskan
tentang sudut pandang atau perspektif tentang Bai' Al-Wafa dalam Fikih Muamalah. Bai' Al-
Wafa dalam Fikih Muamalah biasa digunakan untuk menyebut akad jual beli yang
dilaksanakan, di mana penjual atau pemilik barang yang dijual ketika melangsungkan
transaksi penjualan itu tetap memelihara jaminan pengembalian barang yang dijual tersebut.

Apabila ia menginginkan, mengambil, atau membeli kembali barang tersebut selama masih
dalam tenggang waktu yang ditentukan dengan timbangan harga yang terkadang sama
dengan harga pembelian semula atau bisa juga berbeda harga.

Baik ditetapkan syarat pengembalian barang itu di dalam akad secara langsung atau
disebutkan di dalam surat yang dibuat begitu selesainya kesepakatan ketika penyerahan
barang tersebut.

Bai' Al-Wafa itu mengandung janji antara kedua pihak yang berakad bahwa penjual atau
pihak yang berhutang memenuhi atau melunasi utangnya dalam tenggang waktu yang
disepakati. Demikian pula sebaliknya, pembeli akan mengembalikan barang yang dibelinya
(sebagai jaminan utang) apabila uangnya telah dikembalikan.
Jika dilihat dari segi sejarah, Bai' Al-Wafa muncul pertama kali di Asia Tenggara
khususnya Bukhara dan Balkh sekitar abad ke-5 Hijriah dalam rangka menghindari
terjadinya riba dalam pinjam meminjam. Banyak di antara orang kaya ketika itu tidak mau
meminjamkan uangnya tanpa adanya imbalan yang mereka terima.

Sementara banyak pula para peminjam uang tidak mampu melunasi utangnya akibat imbalan
yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan uang yang harus mereka pinjam. Di sisi lain,
imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam menurut ulama fikih termasuk riba.
Maka untuk menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu
menformat jual beli yang dikenal dengan Bai' Al-Wafa.

Dari analisa terhadap situasi dan kondisi sosial ketika itu, ada dua motivasi yang mendorong
masyarakat melaksanakan Bai' Al-Wafa. Pertama, karena dorongan keterdesakan finansial
untuk berbagai keperluan hidup dan rumah tangga, maka mereka terpaksa menjual barang
yang sebenarnya mereka sayangi sehingga dalam akad penjualan itu mereka berusaha tetap
memelihara barang yang dijual sebagai miliknya dan pada suatu saat bisa mengambil atau
membeli barang tersebut.

Kedua, ada orang yang sengaja melakukan akad Bai' Al-Wafa sebagai helah terhadap hukum
rahn atau untuk menyembunyikan keuntungan ribawi dalam akad pinjam-meminjam.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam rahn pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat
barang gadaian, demikian pula dalam pinjam meminjam pemberi pinjaman tidak boleh
menarik keuntungan dari pokok pinjaman, kalau dua hal tersebut terjadi maka dinamakan
riba sehingga terbentuk solusi dinamakan dengan Bai' Al-Wafa. Mekanisme Bai' Al-Wafa
sejak semula diakadkan sebagai jual beli, maka pembeli dengan bebas memanfaatkan barang
tersebut. Hanya saja muncul kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa pembeli tidak boleh
menjual barang tersebut kepada selain pemilik semula, karena barang itu merupakan sebuah
jaminan atas utang yang harus dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Apabila pemilik harta tersebut telah mempunyai uang, maka ia harus mengembalikan
utangnya dan pembeli harus mengembalikan barang tersebut.

Menurut Musthafa Ahmad Az-zarqa' apabila terjadi keengganan salah satu pihak untuk
membayar atau menyerahkan barang setelah utang dilunasi, maka penyelesaiannya akan
dilakukan melalui pengadilan.

Jika yang berhutang tidak mampu membayar utangnya ketika sudah jatuh tempo, maka
berdasarkan penetapan pengadilan barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual dan
dilunasi. Jika pihak yang memegang barang enggan menyerahkan barang ketika telah
dilunasi, maka pengadilan bisa memaksanya untuk menyerahkan barang tersebut kepada
pemiliknya.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa praktik jual beli ini saling memberikan
keuntungan antar sesama pihak. Walaupun mereka menginginkan adanya suatu imbalan,
namun di pihak lain mereka menolong pihak yang membutuhkan tersebut. Saling memberi
keuntungan di sini maksudnya, pihak yang menjual mendapatkan sejumlah uang karena
keperluannya yang mendesak sedangkan pihak lain mendapat barangnya (imbalan) dan
barang tersebut dapat dimanfaatkan dan mereka melakukannya dengan unsur kerelaan.

DASAR HUKUM JUAL BELI AL WAFA

Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama
Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/ memasukkann
yadalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon.
Syafi’iyah,Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan bay’ wafa

Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :

1. Berpegang pada kaedah : “Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan
akad, bukan lapaz formal”.

2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba.

Bai’ al-wafa’ tidak sama dengan rahn, karena rahn dalam Islam hanya merupakan sebagai
jaminan hutang dan barang yang dijadikan sebagai jaminan tidak dapat dimanfaatkan oleh
pemberi hutang kecuali binatang ternak, hal tersebut berdasarkan pada hadits Rasulullah
saw. dalam riwayat Ad-Daraquthni :

،‫ عن أبى هري>>رة‬،‫ عن عامر‬،‫ نا زكريا ابن أبى زائدة‬،‫ نا جعفر بن عون‬،‫ نا عباس الدو رى‬،‫ثنا إسماعيل بن محمد الصفار‬
‫ ولبن الدر يشرب وعلى الذى يركب ويشرب‬،‫ إذا كان مرهونا‬،‫ فى الظهر يركب بالنفقة‬:‫أن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال‬
‫نفقته‬
Artinya: “Ismail bin Muhammad Ash-Shaffar menceritakan kepada kami, Abbas Ad-Dauri
menceritakan kepada kami, Ja’far bin Aun menceritakan kepada kami, Zakaria bin Abu
Za’idah menceritakan kepada kami dari Amir, dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda,
“Hewan yang digadaikan boleh ditunggangi dengan memberinya nafkah, susu binatang
boleh di minum jika digadaikan, dan orang yang mengendarai serta yang meminum susunya
berkewajiban menafkahinya”.73

Jadi, apabila pihak murtahin memanfaatkan barang yang dijadikan jaminan maka hasil dari
yang dia manfaatkan tersebut termasuk ke dalam riba. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah
saw., yaitu:

‫ (رواه الحارث بن أبي‬.‫ كل قرض جر منفعة فهو ربا‬:‫ قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم‬:‫وعن علي رضي اهللا عنه قال‬
)‫ وإسناده ساقط‬،‫أسامة‬

Artinya: “Dari Ali ra. ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda: Setiap utang yang menarik
manfaat adalah riba”. (HR. Ibnu Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah)74

Karena akad bai’ al-wafa’ ini dari awal menggunakan akad jual beli, maka pembeli dapat
memanfaatkan barang tersebut. Namun pembeli tidak dapat menjual barang itu kepada pihak
lain selain pihak pertama, sebab barang tersebut merupakan jaminan hutang yang harus
kembali saat waktu yang ditentukan tiba. Saat pihak yang berhutang telah melunasi
hutangnya maka barang itu akan diserahkan kembali kepada penjual. Dengan praktek bai’ al-
wafa’ ini dapat terhindari dari riba. Karena baik pada akad pertama maupun akad kedua
mereka menggunakan akad jual beli. 75 Jika dilihat dari akad yang dilakukan itu terdapat
syarat, maka jual beli ini dilarang oleh syara’ karena adanya syarat dalam jual beli tersebut.

Mengenai hukum bai’ al-wafa’, menurut Abu Zahrah tokoh fiqh dari Mesir mengatakan
bahwa akad ini muncul pada pertengahan abad ke-5 Hijriah di tengah masyarakat Bukhara
dan Balkh, hal tersebut disebabkan karena banyak pihak yang tidak ingin meminjamkan
uangnya karena mereka merasa tidak mendapat keuntungan apapun. Hal tersebut juga
membuat pihak yang kekurangan atau yang membutuhkan kesulitan untuk mendapat
pinjamannya. Karena keadaan tersebut mereka membuat akad ini untuk dapat membantu
pihak yang memerlukan dan juga dapat memberikan atau memenuhi keinginan pihak si kaya
untuk mendapatkan keuntungan.

Hukum bai’ al-wafa’ menurut pandangan ulama diantaranya yaitu:

1). Hanafiyah berpendapat bai’ al-wafa’adalah sah, mereka berpendapat bahwa bai’ al-
wafa’ sama akadnya dengan gadai, maka harus memakai hukum gadai. Hal yang
membedakan bai’ al-wafa’ dengan gadai hanya dari sisi pemanfaatan ojeknya saja.

2). Menurut Mutaakhirin dari Hanafiyah dan Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa hukum
bai’ al-wafa’sah. Karena pada dasarnya jual beli adalah hal yang diperbolehkan, sedangkan
penyebutan syarat di dalam bai’ al-wafa’ tidak merusak akad karena dilakukan di luar akad.
Praktik bai’ al-wafa’ini telah dikenal masyarakat untuk kebutuhan mereka dan untuk
menghindari praktik riba.

3). Syafi’i tidak memperbolehkan praktik bai’ al-wafa’, menurutnya di dalam jual beli tidak
diperbolehkan ada syarat bahwa objek yang sudah dijual akan dibeli kembali pada waktu
kesepakatan, sebab yang demikian adalah sama halnya praktik jual beli denga syarat, dan
mereka mengatakan bahwa bai’ al- wafa’ akadnya sama dengan akad gadai.

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI AL WAFA

Rukun dan Syarat Ba’i al-Wafa’ Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa yang menjadi rukun
dalam ba’i al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu ijab (pernyataan
menjual) dan kabul (pernyataan membeli). Dalam jual beli, mereka hanya ijab kabul yang
menjadi rukun akad, sedangkan pihak yang berakad (penjual dan pembeli), barang yang
dibeli, dan harga barang, tidak termasuk rukun, termasuk syarat-syarat jual beli. Demikian
juga syarat-syarat ba’i al-wafa’, menurut mereka, sama dengan syarat jual beli pada
umumnya. Penambahan syarat untuk ba’i al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa
barang yang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu yang
berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.

Jual beli yang diperbolehkan harus sesuai dengan rukun dan syarat jual beli. Adapun rukun
dan syarat bai’ al-wafa’ sama dengan rukun dan syarat jual beli pada umumnya. Adapun
yang menjadi rukun yaitu adanya pihak-pihak yang berakad seperti penjual dan pembeli,
adanya objek akad dan sighat (pernyataan ijab dan qabul). Syarat yang ada di dalam bai’ al-
wafa’ juga sama dengan syarat yang terdapat dalam jual beli pada umumnya.

Menurut Jumhur Ulama rukun ada 4 yaitu:

a. Adanya orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain)

b. Sighat (ijab dan qobul)

c. Barang yang dibeli (maabi)

d. Nilai tukar pengganti (tsaman)

Menurut Madzhab Hanafi, rukun jual beli hanya satu yaitu adanya kerelaan kedua belah
pihak (‘antaradhin minkum). Indikatornya tergambar dalam ijab qobul, atau melalui cara
saling memberikan barang dan harga. Sedangkan syarat jual beli menurut Madzhab Hanafi
adalah orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang.

a. Syarat orang yang berakad harus berakal sehat, cakap hukum (memiliki kompetensi dalam
melakukan aktifitas jual beli), dan sukarela/ ridha (tidak dalam keadaan dipaksa atau
terpaksa atau dibawah tekanan).

b. Syarat Ijab Qobul adalah harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
c. Barang yang diperjual belikan yakni barang itu ada, dapat dimanfaatkan dan bermanfaat
bagi manusia. Merupakan hak milih penuh pihak yang berakad, dapat diserahkan saat akad
berlangsung atau pada waktu yang disepakati.

CONTOH JUAL BELI AL WAFA

Akadnya terdiri dari tiga bentuk, yaitu: pertama, pada transaksi akad yang dilakukan adalah
jual beli, karena telah dijelaskan transaksi tersebut adalah jual beli, misalnya dengan
mengatakan ‘saya menjual sawah ini kepada engkau dengan harga lima juta rupiah selama 3
tahun. Kedua, setelah transaksi dilakukan dan hak miliknya telah berganti dari penjual ke
pembeli maka transaksi ini berbentuk ijarah (sewa-menyewa), karena barang yang telah
dibeli tersebut dapat dimanfaatkan dan apabila telah sampai waktu yang ditentukan maka
barang tersebut akan kembali kepada pihak awal sesuai kesepakatan mereka. Ketiga, akad
terakhir, saat telah sampai tenggang waktu yang ditentukan maka bai’ al-wafa’ ini sama
dengan rahn karena dengan jatuh tempo yang disepakati, pihak penjual harus mengembalikan
uang yang sama saat pertama dilakukan akad, dan pihak pembeli harus mengembalikan
barang yang dijadikan jaminan kembali dengan utuh kepada pihak pertama.

Apabila dilihat dari segi ekonomi praktik bai’ al-wafa’ jarang dilakukan karena nominal
yang terlalu besar sehingga banyak orang tidak dapat dengan mudah percaya dengan orang
lain apabila sebelumnya tidak ada hubungan kekerabatan atau persaudaraan, sedangkan
secara sosial bai’ al-wafa’ merupakan praktik jual beli yang menguntungkan kedua belah
pihak yang bertransaksi dengan alasan pembeli juga tetap mendapatkan keuntungan dari
objek yang menjadi barang dalam jual beli dengan cara mengolah atau memanfaatkan objek
seperti contoh, jika objeknya sawah, maka pembeli dapat menggarap sawah tersebut dengan
keuntungan sepenuhnya dan dengan tidak membagi keuntungan kepada pihak penjual,
karena objek tersebut mutlak milik pembeli selama masa jual beli berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai