Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Pemikiran Ekonomi Asy-Syathibi

Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Dosen Pengampu : M. Anissul Fata, S.E M.E

Disusun oleh Kelompok 10

Perbankan Syariah C / 3 :
1. M. Khoerul Fatihin (1908203101)
2. Rika Ambar Juliani(1908203099)
3. Susantih (1908203125)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYEKH NURJATI CIREBON

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah “pemikiran Ekonomi Asy-Syathibi” Program Studi
Perbankan Syariah. Tanpa ridho dan kasih saying-Nya serta petunjuk-Nya mustahil makalah ini
dapat terselesaikan.

Penyusunan makalah ini semoga bermanfaat bagi mahasiswa program studi perbankan
syariah khususnya untuk lebih memahami mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dan
bagi pembaca pada umumnya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu bapak M. Anissul Fata, S.E
M.E yang telah memberikan tugas ini sehingga menambah wawasan kami tentang pemikiran
ekonomi islam. Pada makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisannya dan juga pada materi yang disampaikan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Terimakasih.

Penyusun,

Cirebon, 03 Nopember 2020

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Asy-Syathibi...................................................................................2


B. Pemikiran Ekonomi Imam Asy-Syathibi.................................................................4
C. Karya-karya Imam Asy-Syathibi.............................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................10
B. Saran........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah ekonomi islam tidak muncul dan berkembang begitu saja, melainkan
melalui tahap-tahapan. Sepanjang sejarah ekonomi Islam, para pemikir dan pemimpin
muslimsudah mengembangkan berbagai gagasan ekonomnya sedemikian rupa, sehingga
mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai pencetus ekonomi islam
sesungguhnya.

Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilm
interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan
politikus. Sejumlah cendikiawan muslim terkemuka, seperti Abu Yusuf, al-Syaibani, Abu
Ubaid, Al-Ghazali, Asy-Syathbi, dan sebagainya. Dalam makalah ini akan menjelaskan
riwayat al]sy-Syathibi dan pemikiran-pemikiran ekonominya beserta karya-karyanya.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana biografi Asy-Syathibi ?
b. Apa saja pemikiran-pemikiran ekonomi dari Asy-Syathibi ?
c. Apa saja karya-karya dari Asy-Syathibi ?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui biografi Asy-Syathibi
b. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran ekonomi Asy-Syathibi
c. Untuk mengetahui karya-karya Asy-Syathibi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Asy-Syathibi

Nama lengkap Asy-Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad
Allakhmi Al-Ghamathi dan lebih deikenal dengan sebutan Syathibi. Keluarga Imam
Syathibi merupakan keturunan Arab-Yaman dari Banu Lakhm yang berasal dari
Betlehem, Asy-Syam. Sedangkan nama Syathibi (Xative Jativa). Ia dilahirkan di Granada
pada tahun 790 H atau 1388 M. nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran
ayahnya di Sativa (Syathibah=Arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia. Meski
dinsbahkan kepada nama negeri itu, diduga keras bahwa dia tidak lahir disana karena
kota Jativa telah berada di tangan keuatan Kristen, dan segenap umat Islam telah keluar
dari sana sejak tahun 645H/1247M.1

Pada tahun 1247, keluarga Imam Syathibi mengungsi ke Granada setelah Sativa,
tempat asalnya jatuh ke tangan Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih
9 tahun sejak tahun 1239M. sampai saat ini, tanggal kelahiran asy-Syathib juga belum
diketahui dengan pasti. Pada umumnya, orang yang berbicara mengenai hal ini hanya
mnyebut tahun wafatnya, yaitu tahun 790H/1388M.

Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-


Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada
menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah
yang berkembang dengan baik dikota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syaithibi
dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Asy-Syaithibi termasuk
tokoh yang menganut madzhab Maliki, dalam pengembangan intelektualitasnya ia
mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ulum al-wasa’il (metode) maupun ulum
maqasid (esensi dan hakikat). Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai,Asy-
syaitibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada generasi
berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah al-
Bayani.

Pendidikan pertama yang didapat oleh Syathibi adalah pelajaran Bahasa Arab.
Guru pertamanya dalam pelajaran bahasa arab dan Nahwu adalah Abu Abdullah
Muhammad Al-Biri yang terkenal sebagai Master Nahwu (Syaikh Al-Nuhat) di
Andalusia hingga ia meninggal pada tahun 754 H. kemudian Syathibi melanjutkan belajar
Bahasa Arab dan Nahwu kepada Abdu Qasim al-Syarif al-Sibti diberi julukan sebagai

1
Lihat Al-Mausu’ah Al-arabiyah Al-Muyassarah, (Mesir : Dar Al-Qalam, 1965), h. 1068

2
‘rais al-Ulum al-Lisaniayh atau raja Lnguistik. Syathibi belajar kepadanya hingga al-Sibti
meninggal pada tahun 760 H.2

Setelah mengenyam pendidikan Bahasa Arab, Syathibi melanjutkan studinya


mempelajari fiqh. Ia mempelajari fiqh di Granada dari seorang mufti dan khatib yaitu
Abu Said bin Lubb. Syathibi menguasai fiqh berkat ajaran lubb, meskipun mereka
memiliki ide yang bertentangan mengenai beberapa masalah fiqh. Tidak hanya kepada
tiga guru besar tersebut, Syatbi belajar kepada guru-guru lain di Granada. Seperti Abu
Abdullah al-Maqarri, Abu Ja’far al-Syaqwari, Abu Al-Abbas al-Qubbab, Abu Abdullah
al-Hufaz, dan lain-lain.3 Dari segenap guru Syathibi, yang memliki pengaruh besar
terhadap keilmuan Syathibi adalah Abu Abdullah al-Maqarri.

Abu Abdullah al-Maqarri merupakan seorang qadhi atau hakim ternama di Fez.
Kemudian Maqarri diutus menjad Diplomat oleh Sultan Abu Inan dan dikirim ke
Granada a ditangkap dan dipulangkan ke Fez. Kepulangannya diantar oleh Abu al-Qasim
al-sabti dan Abu al-Barakat bin al-Hajj al-Balfiqi qadhi di Granada. Mereka megantar
Maqarri sampai ke Fez guna memastikan keselamatannya. Maqarri adalah penulis buku
Nahwa dan ia mendapat derajat muhaqqi atau seseorang yang sangat ahli dalam madzhab
Maliki di bidang Fiqh.selain itu, Maqarri menulis buku tasawuf dan ushul fiqh. Muqarri
adalah ulama yang membawa Syathbi kedalam dunia Sufi.4

Syathibi juga mempelajari ilmu rasional atau ulum al-aqliyyah. Ia mempelajarinya


dari dua lmuwan besar Abu Ali Mansur al-Zawawi dan Abu Abdullah al-Sharif al-
Tilmisani.5 zawawi tinggal di Granada pada tahun 753 H – 765 H, ia merupakan ulama
yang amat berpengaruh dalam bidang filosofi dan teologi. Sedangkan Tilmisani terkenal
sebagai al-Imam al-Muhaqqiq A’lam Ahl Waqttihi atau orang yang paling berilmu pada
masanya. Ia penulis buku Miftah al-Usul ila Bina al-Furu’ala a-usul, sebuah maha karya
dalam ilmu ushul fiqh.6

B. Pemikiran Ekonomi Imam asy-Syathibi


2
M. Khalid Mas’ud, “Abu Ishaq Shatibi: His Life and Works,…..
3
Ahmad Baba al-Tanbakti, Nailu al-Ibtihaj bi Tathbridzi al-Dibaj, 49
4
M.Khalid Mas’ud, “Abu Ishaq Syathibi: His Life and Works”, 148
5
Muhammad Mawardi Djalaludin, “Pemikiran Abu Ishaq Al-Syathibi dalam Kitab Al-Muwafaqat”, Al-Daulah Vol.
4 / No. 2 / Desember 2015, h. 289-300, 293
6
Imam al-Syathibi: The Master Architect of Maqasid, http://www.iais.org.my/e/attach/Imam_al_Shathibi.pdf,
diakses pada tanggal 2 November 2020, 14.34 WIB, 2

3
a. Konsep Maqhasid al-Syari’ah

Sebagai sumber utama agama Islam, Al-qur‟an mengandung berbagai


ajaran.Ulama membagi kandungan Al-qur‟an dalam tiga bagian besar, yaitu Aqidah,
Akhlak dan Syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar dasar keimanan, akhlaq
berkaitan dengan etika dan syari’ah berkaitan dengan aspek hukum yang muncul dari
aqwal (perkataan) dan af‟al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari‟ah), dalam
sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan
muamalah (habn min al-nas).

Alquran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan
muamalah. Ia hanya mengandung dasar dasar atau prinsip prinsip bagi berbagai
masalah hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, Nabi
Muhammad saw menjelaskan melalui berbagai hadisnya, maka kedua sumber inilah
(Al-quran dan Hadis Nabi) yang kemudian di jadikan pijakan ulama dalam
mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah.

Dalam kerangka ini, As-Syatibi mengemukakan konsep Maqashid as-Syari‟ah.


Secara bahasa Maqhasid al-Syari‟ah terdiri dari dua kata, yakni Maqhasid dan
Syari‟ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan as-Syari‟ah berarti
jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan.(Fazlurrahman, 1984: 140).

Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari‟ah bertujuan


untuk mewujudkan kemaslahatn manusia di dunia dan di akhirat” (Al-Syatibi, 1968:
374) , Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syari‟ah menurut As-
Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak
satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak
mempunyai tujuan itu sama saja dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan nya sebuah kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala
sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan
perolehan apa apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya,
dalam pengertian yang mutlak kewajiban-kewajiban dalam syari‟ah menyangkut

4
perlindungan maqashid alsyari‟ah yang ada pada gilirannya bertujuan melindungi
kemaslahatan manusia.

As-Syatibi menjelaskan bahwa Syari‟ah berurusan dengan perlindungan


mashalih, dan dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih,
baik syari‟ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan
mashalih; maupun dengan cara preventif, seperti syari‟ah mengambil berbagai
tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak
mashalih.

Pembagian Maqashid al-Syari’ah Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia


dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan
dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka
ini, ia membagi maqhasid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajjiyat, dan
tahsiniyat.

a) Dharuriyat

Jenis maqhasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan


kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima
unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan
kerusakan dimuka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan
terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara
memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan
melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian
rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-
masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa
serta perlindungan terhadap eksistensi harta.

b) Hajjiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan,
menghilangkan kesulitan dan menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap
lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqhasid ini antara lain

5
mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqah,
muzara‟ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan
untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
c) Tahsiniyat
Tujuannya adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak
dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi
hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia.
Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan
bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.

b. Korelasi antara Dharuriyat, Hajjiyat dan Tahsiniyat

Dari hasil menelaahnya secara lebih mendalam, As-Syatibi menyimpulkan


korelasi antara dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyat sebagai berikut:

 Maqhasid Dharuriyat merupakan dasar dari maqhasid hajjiyat dan maqhasid


tahsiniyat, maka bisa dipahami bahwa :
 Kerusakan pada maqhasid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada
maqhasid hajjiyat dan maqhasid tahsiniyat. Sebaliknya, kerusakan pada
maqhasid hajjiyat dan maqhasid tahsiniyat tidak dapat merusak maqhasid
dharuriyat.
 Kerusakan pada maqhasid hajjiyat dan maqhasid tahsiniyat yang bersifat
absolut terkadang dapat merusak maqhasid dharuriyat. Pemeliharaan
maqhasid hajjiyat dan maqhasid tahsiniyat diperlakukan demi
pemeliharaan maqhasid dharuriyat secara tepat. Dengan demikian, apabila
dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur
pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqhasid tersebut tidak dapat
dipisahkan. Tampaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajjiyat merupakan
penyempurnaan tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan
penyempurnaan bagi tingkat hajjiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok
hajjiyat dan tahsiniyat.

6
Pengklasifikasian yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa
pentingnya pemiliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di
samping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan
dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Allah swt dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan manusia. (Asafri Jaya Bakri, 1996: 73) Berkenaan
dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak berwujudnya
aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara
keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan
lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai
mukhallaf dalam merealisasikannya.

Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya


pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh, ia menyatakan
segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika
bertentangan dengan maqhasid yang lebih tingggi (dharuriyat dan hajjiyat).

c. Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi


a) Objek Kepemilikan

Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak


kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dalam hal ini, ia membedakan dua
macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan senagai objek kepemilikan,
seperti air sungai dan oase; dan air yang dapat dijadikan sebagi objek
kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah
miilik individu. Lebih jauh, ia menyatakan, bahwa tidak hak kepemilikan yang
dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam. (Mas‟ud,
1996: 36)

b) Pajak Dalam pandangan Al-Syatibi

7
Pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan
umum). Dengan mengutip para pendahulunya, seperti AlGhazali dan Ibn Al-
Fara‟, ia menyatakan bahwa pemiliharaan kepentingan umum secara esensial
adalah tanggung jawab masyarakat, dalam kondisi ketidakmampuan
melaksanakan tanggung jawab ini masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul
mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan
tersebut, oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap
rakyat-rakyatnya sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah
Islam.

C. Karya-karya Imam Syathibi

Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu yang
menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum al-maqasid. Ulum al-
wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang merupakan wasilah untuk memahami Ilmu
Maqasid. Karya-karya tersebut di antaranya yaitu:

a. Kitab al-Muwafaqat

Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara
karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini
berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi,
dirubah menjadi al-Muwafaqat.

b. Kitab al-I’tisham

Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini
mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam
Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu
sebelum merampungkan tulisannya ini.

c. Kitab al-Majalis

Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih
al-Bukhari.

d. Syarah al-Khulashah

Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn
Malik.

e. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq

8
Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah.

f. Ushul an-Nahw

Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu.

g. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi
sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.

h. Fatawa al-Syathibi
Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak hanya tiga buah
yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.

BAB III

PENUTUP

9
A. Kesimpulan

Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-
Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum banyak
diketahui latar belakang kehidupanya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi.
Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa),
yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur, beliau wafat  pada tanggal 8 Sya’ban 790
H/1388 M.
Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Konsep ini  bertujuan
melindungi kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan dapat
diwujudkan dan dipelihara,yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Maqasid al-syari’ah dibagi menjadi tiga tingkatan,yaitu dharuriat, hajiyat dan tahsiniyat.
Tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan
penyempurna lagi bagi tingkat dharuriyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat
dan tahsiniyat. lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang
bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih
tinggi (dharuriyat dan hajiyat).
Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi antara lain, yaitu
1.      Objek Kepemilikan
2.      Pajak
Seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia
disebut sebagai kebutuhan (needs). Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut
adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban
agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai
permasalahan ekonominya.
 Problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan
(fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia. Bila ditelaah dari sudut
pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep Maqashid al-Syariah mempunyai
relevansi yang begitu erat dengan konsep Motivasi. Motivasi itu sendiri didefinisikan
sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang
digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan
konsepmaqashid alsyari’ah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia
dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti
memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.

B. Saran

10
Setiap muslim hendaknya mengutamakan memenuhi kebutuhan dhururiyat-nya,
karena tidak terpenuhinya aspek dhururiyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan
akhirat secara keseluruhan.
Segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiriyat harus dikesampingkan jika
bertenangan dengan maqasid yang lebih tinggi (dhururiyat dan hajiyat-nya).
Untuk pemerintah, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang masalah
(kepentingan umum).

DAFTAR PUSTAKA

Repository.radenintan.ac.id

11
Al-Falah: Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 2, 2018 STAIN Curup

Abdul Wahab Khalla, „Ilm Usul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah,1968), hlm.32.

Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani
Press,2001), Cet.ke-1, hlm. 67.

Al-Syatibi, al-Muafaqat fi Ushulal-Syari‟ah, (Kairo: Musthafa Muhammad), jilid 2, hlm.3


Muhammad), jilid 2, hlm.374

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqhasid Syari‟ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), Cet. Ke-1 hlm.73

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Asy-Syathibi

https://syariah.iainpurwokerto.ac.id/imam-asy-syathibi-bapak-maqasid-asy-syariah/

12

Anda mungkin juga menyukai