Anda di halaman 1dari 9

AQI 310105

RISALAH PENGAJIAN AQIDAH MASJID ATTAQWA


Penceramah
: Ahmad Rofii, LC
Pokok Bahasan : Al Bidah
Hari, Tanggal : Senin malam, 31 Januari 2005
20 Dzulhijjah 1425

Bismillahirrahmanirrahiem,
Assalamualaikum wr. wb.,
Kaum mulsimin dan muslimat yang dirahmati Allah swt,
Dalam buku paket kajian kita yaitu 200 Tanya-Jawab Akidah Islam yang disusun oleh
Syekh Hafizh Hakami, di bagian akhir ditulis tentang segala sesuatu yang berkenaan
dengan lawan Sunnah, yaitu Al Bidah. Dalam bab tersebut ada 7 pertanyaan dan
jawaban. Dalam bahasan kali ini akan diperkaya dengan rujukan kitab-kitab yang
lain. Karena pentingnya masalah Bidah itu maka mungkin akan kita bahas dalam
beberapa kali pertemuan. Karena Bidah adalah masalah penting dan banyak kaum
muslimin yang masih terkecoh. Bahkan kita sering mendengar istilah Bidah Hasanah
dan Bidah Sayyiah. Hal tersebut dalam pembahasan nanti akan kita klarifikasi
duduk-perkaranya, dari mana asal istilah tersebut.
Perlu diinformasikan bahwa sejak abad ke-3 Hijriyah para ulama sudah dengan
saksama dan secara tersendiri menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah
Bidah. Karena Bidah itu sudah muncul sangat dini, bahkan sudah ada sejak masa
Al Khulafa Arrasyidun yang empat. Dalam hadits Rasulullah saw bersabda:
Kekhalifahan setelah aku akan terjadi 30 tahun. Ke-bidahan itu pada masa 20
tahun pertama sudah muncul. Tetapi tidak sedahsyat seperti yang kita saksikan masa
sekarang.
Ada kitab yang bernama Kitab Al Baits Fi Inkaril Hawadits.
Kitab tersebut
termasuk kita yang terdahulu, ditulis oleh Imam Ibnu Wadhdhoh. Juga ada Kitab
Al Hawadits Wal Bidah, yang berisi tentang masalah-masalah baru dan masalah
Bidah. Ditulis oleh Al Imam Abu Bakr At Turtusi, beliau hidup pada abad ke-5
Hijriyah. Kalau sekarang sudah abad ke-15 Hijriyah, maka buku tersebut sudah
berumur 1000 tahun.
Disamping itu ada buku yang isinya mendekati hati kaum muslimin Indonesia, yaitu
kitab yang berjudul Al Amru Bil Ittiba Wannahyu Anil Ibtida (Perintah mengikuti
Rasulullah saw dan larangan berbuat Bidah). Ditulis oleh Imam Jalaluddin As
Suyuthi (Salah seorang dari penulis Kitab Tafsir Al Quran, Jalalain). Dari segi
Fikih, beliau bermazhab Syafii. Maka nanti akan ditonjolkan bahwa dari kalangan
mazhab Syafii beliau menjelaskan tegas tentang masalah Bidah.

Ada lagi kitab yang berisi contoh-contoh bagaimana para ulama menyikapi Bidah.
Salah satu diantaranya kitab yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 Hijriyah, yaitu
Imam Abu Utsman bin Abdurrahman Ash Shabuni, menulis kitab yang bernama
Kitab Aqidatussalaf Ashabul Hadits, dan sekarang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan Kitab Al Idda fi Kamalisysyara (Tentang kesempurnaan
Syariat), yang ditulis oleh Syekh Falah bin Muhammad Azaimin. Kedua beliau
tersebut masih hidup sekarang.
Kitab-kitab tersebut dimaksudkan sebagai referensi, untuk menjelaskan bahwa para
ulama terdahulu sudah secara serius menjelaskan, jangan sampai umat muslimin,
umat Nabi Muhammad saw mau dibelok-belokkan kepada sesuatu yang sesat.
Terlihatnya ibadah padahal mereka bukan beribadah, terlihatnya ajaran Rasulullah
saw, padahal sesungguhnya itu hanyalah karangan-karangan manusia biasa. Itulah
yang harus kita cermati dan hati-hati. Kitab-kitab tersebut juga sebagai acuan, dan
kita akan lebih senang/mantap kalau mendengar dari redaksinya yang asli dari Kitabkitab tersebut. Bahwa itu adalah otentik perkataan para Imam.
Pada kesempatan ini kita akan membahas definisi-definisi dari para ulama tentang
Bidah. Karena masing-masing ulama tersebut berbeda dalam pengutaraannya, tetapi
substansi pengertiannya sama. Dan nanti bisa kita bandingkan di antara para Imam
itu dimana bedanya. Dengan demikian semakin jelas bagi kita dalam memahami
tentang Bidah.
Pembahasan tentang Bidah akan bercabang, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Definisi Bidah,
Larangan mendekati dan berbuat Bidah,
Kapan Bidah itu mulai muncul.
Negeri mana saja pada masa lalu yang menjadi sumber munculnya Bidah.
Bahayanya Bidah,
Sebab-sebab yang memperkuat munculnya Bidah,
Model-model dan jenis-jenis Bidah yang ada pada masyarakat muslimin,
Apa sikap kita terhadap Bidah dan Ahlul Bidah, yang berdasarkan Syari,
Bagaimana memberikan indikasi bahwa sesuatu itu disebut Bidah.

Tentunya pembahasan mengenai hal tersebut diatas tidak akan bisa selesai dalam satu
kali (pertemuan).
Definisi Bidah.
Kalimat Bidah berasal dari bahasa Arab, dan kata bidah sudah diasimilasi ke
dalam bahasa Indonesia. Kalau dikembalikan ke bahasa Arab, maka kata bidah
berasal dari : Badaa Yabdau Ibda Bidatan (Bidah).
Maknanya tidak kurang dari empat.
- Bidah adalah Al Ihdats, artinya hadits, baru, membarui, mengada-ada dengan
sesuatu yang baru.
- Bidah adalah Al Ibtida artinya permulaan, memulai, sebelumnya belum ada
lalu dimulai.
- Bidah adalah Al Imsa, artinya merintis, memulai.
- Bidah adalah Al Ikhtira, artinya terbang ke angkasa, penemuan-penemuan
ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sesuatu yang baru, yang tidak pernah ada
sebelumnya.

Itulah arti Bidah secara bahasa, yang artinya mula-mula, mengawali, tidak contohnya
dari dahulu, dan bermakna baru.
Misalnya dalam AlQuran Allah swt berfirman: Badiussamawati wal ardh.
(
) Allah-lah Pencipta Mula-mula langit dan bumi
ini. Sebagai Pencipta pertama kali (yang mula-mula) langit dan bumi adalah Allah
swt. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Badiussamawati wal ardh adalah bagian
dari sifat Allah swt. Dia-lah yang mula-mula menciptakan langit dan bumi, berarti
sebelumnya tidak ada langit dan bumi.
Misalnya lagi, firman Allah swt : Ma kuntu bidan minarrasul (
)
Bukanlah aku (Muhamamad) rasul yang pertama kali menyampaikan risalah kepada
kalian. Telah ada terdahulu beberapa Rasul sebelum aku (Nabi Muhammad saw).
Bidan dalam ayat tersebut artinya : mula-mula, pertama kali.
Dalam kamus Al Muhid, atau kamus Al Mujam Al Wasith, ditemukan bahwa kata
Bidah maknanya Al Hadats (baru).
Ada lagi para ulama bahasa yang
mengartikan bahwa Bidah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam urusan Dien
(Islam), setelah Islam itu sempurna.
Ada lagi ulama yang mengatakan bahwa Bidah adalah sesuatu yang diada-ada
setelah Nabi Muhammad saw, berupa hawa nafsu atau amalan. Maksudnya, hal-hal
yang bersumber dari hawa nafsu, apakah berbentuk amalan, munculnya setelah Nabi
Muhammad saw wafat dan ada kaitannya dengan urusan Dien (Islam), maka itu
disebut Bidah.
Sedangkan alat, misalnya alat tulis, spidol, kendaraan, pesawat, dan segala sarana dan
prasarana tidak termasuk dalam kategori Bidah. Yang dimaksud Bidah adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan Dien (agama Islam).
Kalaupun ada orang yang berdalil dengan ucapan sahabat Umar Ibnu Khathab r.a.
tentang masalah Shalat Tarawih, betapa bagusnya bidah tersebut ketika beliau
mengumpulkan orang yang melakukan shalat Tarawih sendiri-sendiri, untuk shalat
Tarawih berjamaah, lalu dipilihnya Ubay bin Kaab sebagai imamnya. Jadilah Shalat
Tarawih berjamaah.
Tetapi bidah yang dilakukan oleh Umar Ibnu Khathab sebetulnya bukan bidah,
sebab kita tidak bisa ingkari bahwa Rasulullah saw telah mencontohkan shalat
Tarawih berjamaah itu beberapa malam pada masa beliau masih hidup. Ketika bulan
Ramadhan, Rasulullah saw shalat Tarawih di masjid.
Lalu berkumpullah
dibelakangnya para sahabat mengikuti shalat Tarawih. Pada malam pertama sedikit,
malam kedua lebih banyak dan malam ketiga semakin banyak lagi, para sahabat
mengikuti beliau shalat Tarawih. Karena semakin banyak yang mengikuti, beliau
merasa khawatir bahwa shalat Tarawih itu dianggap shalat fardhu, maka malam
berikutnya beliau tidak keluar lagi dari rumah beliau. Ditunggu oleh para sahabat
sampai menjelang Subuh. Esok paginya beliau memberikan penjelasan : Aku
khawatir jangan-jangan shalat malam itu menjadi fardhu bagi kalian.
Artinya pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah sudah ada sejak zaman Rasulullah
saw. Jadi memang asalnya ada. Kalau lalu kemudian dirintis oleh Umar Ibnu
Khathab, sebenarnya bukan bidah, karena itu bukan mengawali, melainkan
menghidupkan kembali. Maka para ulama mengatakan bahwa bidah pada kalimat
disini adalah Al Bidatullughawiyah, bukan Al Bidatu al haqiqiyah. Bukan bidah

yang sesungguhnya, melainkan bidah yang bersifat etimologis (secara bahasa), bukan
terminologis.
Karena bidah secara terminologi hanya berlaku pada urusan tertentu yaitu masalah
Dien, masalah ketetapan, kebijakan apa yang menjadi Syariat Allah swt dan
Rasulullah saw.
Mudah-mudahan dengan penjelasan tersebut, tidak lagi ada pertanyaan apakah kalau
orang pergi haji dengan pesawat atau kapal laut itu bidah atau tidak. Tidak lagi ada
pertanyaan kalau orang menggunakan speaker (pengeras suara) di masjid-masjid, itu
bidah atau tidak.
Walaupun sampai sekarang di daerah-daerah, di kampungkampung ada orang yang mengatakan bahwa menggunakan speaker itu bidah.
Bahkan berkhutbah dengan bahasa Indonesia dikatakan itu bidah. Sehingga
khutbahnya harus dengan bahasa Arab, kitab khutbahnya itu-itu saja, dan yang
berkhutbahpun tidak tahu isi khutbahnya. Itu karena memahami bidah tidak seperti
yang sebenarnya.
Arti Bidah secara terminologis.
Arti Bidah secara terminologis yang diawakan oleh sedikitnya 8 orang ulama, yaitu:
1. Imam Asy Syatibi dalam kitabnya yang berjudul Al Itisham.
Kitabnya terdiri dari dua jilid, beliau mengatakan dalam jilid pertamanya: Bidah
adalah cara, metode dalam urusan Dien, (didalamnya termasuk unsur strategi, tehnis)
yang tidak ada sebelumnya. Tetapi walaupun itu tidak ada, orang menilai bahwa itu
adalah Syari (ibadah). Mengapa itu dilakukan, menurut beliau, pelaksanaan ibadah
itu dilebih-lebihkan, atau karena faktor semangat beribadah kepada Allah swt.
Unsurnya antara lain Thariqah, Fiddien, Muftaraah, Tudhoisysyariah, misalnya:
Shalawat-an. Shalawat adalah syari, karen memang shalawat adalah perintah Allah
swt. Shallu alaihi wasallimu tasliman (
). Dan sabda
Rasulullah saw: Siapa yang mengucapkan shalawat atasku satu kali, maka akan
Allah swt balas sepuluh kali. Sabda Rasulullah saw: Orang yang bahil adalah orang
yang bila didengarkan namaku, ia tidak mengucapkan shalawat atasku.
Jadi Shalawat itu diperintah Allah swt dan oleh Rasulullah saw. Lalu apanya yang
disebut bidah atas shalawatan itu ? Yaitu mengenai caranya. Shalawatnya seperti
apa, shalawat mana yang sunnah dan shalawat mana yang bidah? Nanti kita bahas.
Demikian pula Thariqah, orang mengatakan itu Syari, seolah-olah ibadah, padahal
bukan ibadah. Juga Dzikir, siapa yang mengatakan dzikir bukan ibadah ? Firman
Allah swt: Dzikirlah (Ingatlah) kalian kepada Aku (Allah swt) dengan dzikir
yang banyak. Maka dzikir adalah perintah Allah swt. Tetapi dzikir dengan cara
yang bagaimana yang disebut Bidah? Itulah yang nanti akan kita bahas. Kalau
dikatakan Ibadah, Ibadah adalah Tawaqquf : Ibadah itu asalnya haram, kecuali ada
dalil yang menjelaskan bahwa ibadah itu perintah. Kalau tidak ada perintah dan tidak
ada penjelasan mengenai amalan itu, maka amalan tersebut bukan ibadah. Hal itu
sudah disepakati oleh mereka yang bergelut di bidang ilmu Syari.
Lalu ada pertanyaan, mengapa orang melakukan Bidah seperti yang tersebut diatas?
Karena ada maksud. Maksudnya adalah: Bahwa kita ini cinta kepada Allah swt, kita
ingin mendapatkan pahala yang banyak, mendapatkan kebaikan yang banyak. Itu
semua baik. Tetapi semangat melakukan kebaikan saja tidak cukup, kalau tidak

didasarkan pada dalil. Kalau hanya semangat saja, menjadi salah. Semangat tinggi
menggebu-gebu tetapi tidak didasari oleh ilmu yang shahih, namanya ngawur. Tidak
benar.
Oleh karena itu semangat memang harus ada untuk menghidupkan sunnah Rasulullah
saw, untuk beribadah kepada Allah swt, untuk mendapatkan apa saja yang ada disisi
Allah swt, tetapi hendaknya dengan cara yang diajarkan oleh Allah swt dan
Rasulullah saw.
2. Imam Al Jurjani dalam kitab beliau yang berjudul At Tarifat.
Dalam kitab beliau jilid pertama, beliau mengatakan : Bidah adalah sikap yang
menyelisihi Sunnah. Dinamakan Bidah karena yang mengatakannya mengada-ada
tanpa berlandaskan pada suatu perkataan dalil. Dan Bidah adalah sesuatu yang baru,
yang tidak pernah ada pada masa sahabat juga tabiin. Bahkan tidak ada juga
berdasarkan pada dalil Syari.
Jadi menurut beliau, bisa disebut Bidah kalau tidak ada dasar dari Syari, yaitu
AlQuran dan Sunnah. Bisa disebut Bidah kalau orang tersebut tidak melakukan
tepat mengikuti sesuai dengan apa yang ada pada masa sahabat dan tabiun.
Bisa disebut Bidah jika seseorang melakukan sesuatu tanpa berdasarkan pendapat
seorang Imam. Termasuk misalnya ada sahabat yang menyikapi lain dari yang
tersebut diatas, itu juga Bidah.
Sampai pada perkataan Imam, karena Imam berkata dan berbuat sesuai dengan Fikih
yang beliau dapati, yang beliau miliki tentang suatu dalil. Kalau itu Imam.
Masalahnya kita tidak punya standar kreteria tentang siapa yang disebut dengan
Imam. Oleh karena itu harus ditempatkan sesuai dengan porsi yang sesungguhnya.
Kalau orang tersebut tidak mempunyai dasar dalam perbuatan dan dalam
perkataannya, maka sesungguhnya ia telah melakukan sesuatu yang tidak berdasar
atau disebut Bidah.
3. Pendapat dalam kitab yang namanya Kitab Al Hududul Aniqah,
Yang mendefinisikan: Bidah adalah apa saja yang tidak tersebut dalam Syari
(AlQuran dan Sunnah). Jadi kalau Syariat Islam tidak menyebutkannya, tidak
mengajarkannya dan tidak menempatkannya dalam posisi bagian dari Syariat Islam,
dan itu ada/muncul, maka itu adalah Bidah.
4. Imam Al Manawi, yang menulis Kitab Faid Al Qadir.
Kitab tersebut men-tahrij dan menjelaskan tentang kitab yang ditulis oleh Imam As
Suyuthi, yang disebut dengan Kitab Al Jami Ash Shaghir. Kata beliau, Bidah
adalah sikap atau perbuatan yang menyelisihi Sunnah. (Sama dengan Imam Al
Jurjani), kata beliau Bidah adalah perbuatan apa saja yang menyelisihi Sunnah
Rasulullah saw. Dalilnya adalah Hadits Rasulullah saw, bahwa setiap sesuatu yang
baru adalah Bidah. Setiap Bidah pasti sesat. Setiap kesesatan pasti masuk ke dalam
neraka. Naudzubillahi mindzalik.

5. Imam Al Turtusi, yang menulis Kitab Al Hawadits al Bidah.


Beliau menjelaskan kata Bidah dari sisi pelaku. Menurut beliau munculnya Bidah
karena tiga hal:
a. Bidah dalam masalah apa saja yang masuk ke dalam hati seseorang.
Maksudnya, kalau ada satu keyakinan dalam hati seseorang, dimana
keyakinan itu tidak ada ajarannya dalam AlQuran dan Sunnah, maka
keyakinan tersebut termasuk keyakinan yang Bidah.
b. Ucapan lisan, apa yang terlontar dari mulut seseorang, kalau ia tidak
berlandaskan pada Syari, maka ucapan tersebut bisa disebut Bidah.
Misalnya, dzikir, shalawat, apa saja yang termasuk pekerjaan mulut, dan itu
dikategorikan ibadah, tidak ada dalil-dalil Syari, maka itu termasuk Bidah.
c. Apa saja yang diperbuat oleh anggota tubuh manusia, berdasarkan sesuatu
yang tidak ada dalam AlQuran dan Sunnah, dan itu dikategorikan ibadah,
maka itu juga termasuk Bidah.
Karena Iman adalah tiga unsur, yaitu hati, mulut dan perbuatan, maka Bidahpun bisa
muncul dengan tiga unsur tersebut.
6.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

Beliau mengatakan bahwa Bidah yang terjadi dalam urusan Dien, dan tidak pernah
disyariatkan oleh Allah swt, juga tidak pernah disyariatkan oleh Rasulullah saw,
juga tidak pernah diperintahkan dalam perintah yang bermaksud penekanan, atau
perintah yang bermakna anjuran. Anjuran saja tidak ada, apalagi perintah. Sesuatu
yang tidak dianjurkan, tidak diperintahkan oleh Syari, maka itu disebut Bidah.
Menurut beliau dalam kesempatan yang lain, diambil dalam Kitab Majemuk Fatawa,
yaitu apa sja yang menyelisihi AlQuran, Sunnah dan Ijma pendahulu umat ini, baik
dalam masalah keyakinan maupun dalam masalah ibadah, seperti yang dinyatakan
oleh kaum Khawarij, atau oleh orang Syiah, atau oleh orang Qadariyah, atau oleh
orang Jahmiyah, seperti dikatakan mereka bahwa ibadah itu dengan joged, menari,
roks, seperti dzikir dengan menggoyang-goyangkan kepala dan sebagainya, atau
bernyanyi (berdendang) di masjid, adalah termasuk Bidah. Termasuk berdendang
Shalawat, dengan alasan sambil menunggu orang datang di masjid, menyanyi
Qasidahan atau Marawis di Masjid, semuanya itu bagian dari Bidah. Juga orang
yang mengatakan bahwa mencukur jenggot adalah ibadah, itu juga termasuk Bidah.
Atau misalnya makan Haziz (ganja) dan sejenisnya yang menyelisihi AlQuran dan
Sunnah Rasulullah saw, sesungguhnya semua itu adalah termasuk dalam kategori
Bidah.
Ada definisi lain dari beliau, yang substansinya sama, yaitu kata beliau bahwa Bidah
adalah apa saja yang tidak pernah ditetapkan oleh Allah swt dalam urusan Dien
(Islam).
Maka dari itu siapa saja yang meyakini sesuatu yang belum ada
ketetapannya dari Allah swt, maka itu disebut Bidah. Betapapun orang itu sekedar
ber-interpretasi (bertawil).
Walaupun itu hanya ber-interpretasi, kalau itu
menyangkut urusan Dien, yang tidak boleh ada bidang dan kesempatan dalam urusan
itu, maka ia akan terperosok dalam urusan Bidah.
7. Imam Al Jalaluddin As Suyuthi,

Menurut beliau Bidah adalah ungkapan tentang suatu perbuatan atau sikap yang
bertabrakan dengan Syariat, dengan menyelisihi atau membuat unsur ziyadah, yaitu
menambah atau mengurangi.
Jadi kalau orang sudah menambah atau mengurangi dalam urusan Dien, maka orang
tersebut sudah termasuk dalam kategori Bidah.
8.

Syekh Imam Al Falah Al Azaimin,

Kata beliau, Bidah adalah apa saja yang diada-ada dalam urusan Dien, menyelisihi
Nabi Muhammad saw dan para sahabat, baik dalam bidang akidah maupun amaliyah.
Ada standar disini, yaitu:
a. Baru, sebelumnya tidak ada.
b. Urusannya adalah urusan Dien,
c. Tidak mencontoh Rasulullah saw dan para sahabat.
d. Bidangnya adalah urusan akidah (keyakinan) dan urusan amaliyah.
Kalau dalam urusan itu ada seperti tersebut diatas maka sudah dapat dipastikan itu
Bidah.
Pertanyaan:
Diatas selalu disebut-sebut tentang urusan Dien. Apa yang dimaksudkan itu?
Jawaban:
Urusan Dien artinya urusan Islam. Urusan Islam adalah urusan yang seharusnya
terpaku pada Al Quran, As Sunnah dan Al Ijma. Karena para ulama Ahlussunnah
wal Jamaah mengatakan bahwa segala urusan yang berkenaan dengan Islam (Ad
Dien) adalah Taukhifiyah, harus terpaku pada AlQuran, As Sunnah dan Al Ijma.
Karena dalil itu baik urusan akidah maupun urusan Fikih atau Furu atau Khilafiyah,
yang sepakat, seluruhnya adalah tiga: AlQuran, As Sunnah dan Al Ijma.
Sedang dalam urusan akidah, tidak berlaku Qiyas. Tetapi dalam urusan Fikih ada
Qiyas. Dari sisi itu saja sudah berbeda. Qiyas dipakai oleh Ahlussunnah wal Jamaah
karena menyangkut urusan amaliyah, khilafiyah.
Pertanyaan:
Tentang dzikir, ada dzikir untuk penyembuhan penyakit, ada dzikir memang benarbenar untuk bertaubat, dan sebagainya, apakah itu termasuk Bidah ?
Jawaban:
Dalam bahasan ini memang akan disinggung tentang beberapa model atau tampilan
Bidah dalam masyarakat. Tetapi bahasan kita baru sampai tentang definisi Bidah.
Maka yang dipertanyakan diatas akan dijawab pada pembahasan yang akan datang.
Namun agar ada gambaran, sedikit kami jelaskan bahwa dzikir adalah ibadah.
Kalau ada dzikir untuk penyembuhan, untuk kesaktian dll, maka dzikir semacam itu
tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. Dzikirnya sendiri adalah obat secara otomatis.
Itu betul. Tetapi kalau dzikir untuk pengobatan, cara seperti itu tidak diajarkan oleh
Rasulullah saw.
Pertanyan:

1.
2.

Sepengetahuan saya dalam Hadits tidak ada apa yang disebut Shalat Hajat.
Bagaimana pendapat anda ?
Mengenai Shalawat kepada Nabi Muhammad saw, ada yang mengatakan
cukup dengan : Allahumma shalli ala Muhammad. Tetapi ada yang
mengatakan : Allahumma shalli ala Muhammad waala ali washahbihi
wassalim. Ada lagi yang namanya Shalawat Badar, dll. Manakah yang
benar Shalat itu ?

Jawaban:
Pertanyaan tersebut juga belum sampai pada pembahasan. Maka jawabannya nanti
pada pembahasan yang akan datang.
Pertanyaan:
Mengenai Bidah dijelaskan diatas bahwa artinya adalah mengada-ada, tidak
bersandar pada AlQuran dan Sunnah Rasulullah saw, dalam masalah Dien.
Dalam masalah Dien ada dua, yaitu Ibadah Mahdhoh dan Ibadah Ghairu Mahdhoh.
Yang kami tanyakan adalah Bidah itu dalam Ibadah Mahdhoh atau Ibadah Ghairu
Mahdhoh ?
Jawaban:
Itu juga akan dibahas nanti dalam masalah jenis-jenis Bidah. Tetapi boleh
disinggung sedikit, bahwa Bidah itu ada Bidah dalam Ibadah dan ada Bidah dalam
Muamalah (Ibadah Ghairu Mahdhoh).
Pertanyaan:
Seperti dikemukakan diatas, hadits yang menyatakan: Kepemimpinan setelah aku
(Nabi Muhamamad saw), hanya berlaku 30 tahun. Setelah itu ada pemimpinpemimpin yang sombong, congkak dan lepas dari ajaran Islam.
Untuk standar, ulama yang mana yang dimaksud setelah Kekhalifahan 30 tahun itu ?
Jawaban:
Yang dimaksud ulama yang mana, adalah ulama yang Ahlussunnah wal Jamaah.
Adalah Muhamamad bin Sirin seorang ulama Ahlussunnah wal Jamaah dari kalangan
Tabiin, kata beliau bahwa dahulu tidak ada orang menanyakan siapa gurumu, dari
mana engkau mendapatkan pemahaman ini, karena ketika itu orang siqah (menerima)
saja.
Tetapi ketika muncul fitnah, maka mulailah secara selektif. Ditanyakan dari mana
pemahaman Dien ini, siapa gurunya, dsb. Kata beliau, kalau seandainya yang
menyampaiakan Dien itu dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, maka kami ambil
hadits itu. Kalau bukan dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, maka tidak kami
ambil. Jadi yang dijadikan pegangan adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Contohnya,
empat Madzab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam
Ahmad bin Hambal, semua itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Yang dimaksud Ahlussunnah wal Jamaah, menurut Hadits Rasulullah saw, beliau
bersabda: Mereka adalah orang yang berada diatas jalan seperti aku (Rasulullah
saw). Sebagai ilustrasi, ada jalan, dimana Rasulullah saw berjalan diatas jalan itu.
Bukan hanya beliau, tetapi juga para sahabat. Kalau orang itu commit dan konsisten
menjalankan seperti jalan dan pedoman yang dijalankan oleh Rasulullah saw dan para

sahabat, maka orang itu layak disebut Ahlussunnah wal Jamaah. Kalau tidak, maka
sebenarnya ia hanya orang yang mengaku-aku saja.
Misalnya seperti yang dikatakan Imam Malik: Apa saja yang tidak pernah
menjadi Dien pada masa itu, maka tidak akan pernah menjadi Dien pada suatu
masa. Berarti, Islam yang kita jalankan hari ini, harus seperti apa yang dijalankan
oleh Rasulullah saw pada masa itu.
Pertanyaan:
Dari berbagai definisi yang disampaikan diatas, tidak terlihat adanya perbedaan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa yang dimaksud Bidah adalah sesuatu yang
sebelumnya tidak ada dalam urusan Dien. Apakah demikian ?
Jawaban:
Anda benar. Maka di awal-awal penjelasan sudah disampaikan bahwa para ulama itu
hanya berbeda dalam redaksi, tetapi substansinya sama. Seperti yang anda katakan
tadi. Yaitu semua adalah dalam urusan Dien dan tidak boleh mengada-ada. Semua
harus berdasarkan dalil.
Sekian dulu bahasan tentang Bidah kali ini, akan kita lanjutkan pada pembahasan
yang akan datang.
Wassalamualaikum wr. wb.
_________________

Anda mungkin juga menyukai