Jika saya bertanya kepada anda, “siapakah yang menang pada perang Uhud?”.
Tentu tanpa keraguan anda akan menjawab, “Kaum musyrikin”. Sederet alasan dan
bukti diajukan :
Penjelasannya :
Ketika kaum muslimin Merasakan pahitnya kekalahan pada perang Uhud, mereka
pun menyadari apa sebab kekalahan itu, dan dengan apa mereka akan meraih
kemenangan. Sebelum perang Uhud, waktu itu sabtu pagi, Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam telah mewanti-wanti agar pasukan pemanah yang berada di bukit
Rumah (nama aslinya bukit ‘Ainain) agar tetap berada ditempatnya, walaupun
kaum muslimin telah meraih kemenangan atau ditimpa kekalahan.
Api peperangan menyala, pedang menyambar, anak panah meleset keluar dari
busurnya, tombak dihujamkan, banyak nyawa yang melayang, kaum muslimin
menyerang, maju dengan penuh kepahlawan sebagai ksatria, kemenanganpun telah
menampakkan senyumnya, kaum musyrikin lari meninggalkan medan perang
penuh ketakutan.
Saat itu, diatas bukit Rumah pasukan pemanah mulai berselisih, kebanyakan
mereka berkata, “Kita telah menang, ayo kita turun untuk bersama saudara-
saudara kita“.
“Perintah Rasulullah itu adalah dalam keadaan perang, sekarang perang telah
selesai dan musuh telah melarikan diri“, mereka beralasan. Kemudian 40 orang
dari 50 orang pasukan pemanah turun dari bukit Rummah.
Pimpinan pasukan berkuda kaum musyrikin Khalid bin Walid (sebelum masuk
Islam) melihat kebanyakan pasukan pemanah telah meninggalkan tempatnya, maka
ia dengan sigap menyerang pasukan kaum Muslimin dari belakang. Sisa pasukan
pemanah yang berada diatas bukit yang bertugas untuk melindungi bagian
belakang kaum muslimin tidak dapat menghadapi pasukan berkuda kaum
musyrikin.
Pasukan Usamah meraih kemenangan, dengan sebab itu banyak kabilah Arab
akhirnya tunduk pada Khalifah kaum muslimin, karena mereka mengetahui bahwa
Khalifah kaum muslimin tidak mungkin mengirim pasukan keluar Madinah,
kecuali mereka memiliki pertahanan yang kuat untuk membela kota Madinah.
Kita ingin meraih kemenangan dan kejayaan kembali bagi Umat Islam? Ingat
perang Uhud, ingat Abu Bakar dan pasukan Usamah. Lalu kita lihat diri kita,
dimanakah sunnah Rasulullahshalallahu alaihi wasallam berada ? Dan dimanakah
kita bertempat ?
Artikel Muslim.Or.Id
dakwatuna.com – Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata, �Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, �Itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:165)
Ayat ini menggambarkan kondisi umat Islam pada saat mengalami kekalahan dalam perang Uhud.
Mereka kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan sejumlah korban luka-luka. Padahal
mereka berjuang di jalan Allah. Sementara musuh mereka orang-orang kafir berjuang di jalan setan.
Sebelumnya, pada saat perang Badar, mereka menang, dan bisa menggugurkan tujuh puluh orang,
serta bisa menangkap tujuh puluh tawanan dari pasukan kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di
Uhud, padahal jumlah mereka di Uhud lebih banyak dari pada di Badar? Ayat di atas menjawab
pertanyaan ini.
Kerapian Sistem “Sunnatullah”
Allah swt. berfirman, �Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud), padahal
kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar)
kamu berkata: dari mana kekalahan ini?� Maksudnya: Mengapa kamu mempertanyakan
kekalahanmu? Apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan pernah kalah sekalipun kamu lalai
akan tugas-tugasmu? Apakah kamu tetap yakin bahwa Allah akan menolongmu, sementara kamu
tidak komitmen dengan sunnatullah? Tidak, tidak demikian pemahaman yang harus kamu jalani
dalam berjuang di jalan Allah.
Allah swt. telah meletakkan sistem-Nya (baca: sunnatullah) di alam ini dengan sangat rapi. Siapa
yang mengikuti sistem ini dengan baik, ia akan berhasil, dan siapa yang mengabaikannya ia akan
gagal. Tidak ada langkah dan perbuatan kecuali harus seirama dengan sistem yang sudah ada.
Termasuk dalam menjalankan tugas dakwah komitmen ini juga harus selalu dipertahankan, jangan
sampai ada langkah apapun yang kemudian menyebabkan hancurnya semua usaha yang telah
dibangun. Seorang aktivis dakwah harus selalu menyadari makna ini, karena tidak mustahil sebuah
kesalahan kecil yang dianggap remeh, lama kelamaan akan menjadi besar.
Ayat di atas setidaknya telah memberikan pelajaran, bahwa para aktivis dakwah harus selalu
mempertahankan kualitas amal: amal secara fardiyah maupun amal secara jamaiyah. Menurunnya
kualitas amal fardiyah tidak mustahil akan berdampak pada kualitas amal jamaiyah. Dan menurunnya
kualitas amal jamaiyah sudah barang tentu akan berdampak kepada masyarakat umum secara lebih
luas. Dampak tersebut bila sudah terjadi, ia akan menimpa siapa pun, tidak pandang bulu. Ayat di
atas adalah gambaran kekalahan yang menimpa masyarakat Sahabat di dalamnya ada Rasulullah
saw. Perhatikan, siapa yang akan mengira bahwa masyarakat sekualitas sahabat dipimpin langsung
oleh Rasulullah saw. akan mengalami kekalahan? Tetapi ternyata itu terjadi, hanya karena
kelengahan segelintir dari mereka. Lengah karena terpedaya oleh harta rampasan yang berserakan.
Suatu tindakan yang kemudian membuat mereka lalai akan tugas yang harus mereka perjuangkan.
Seringkali terjadi memang, ketika kemenangan dicapai, orang tertipu dengan keberhasilan. Seakan
perjalanan sudah selesai. Sehingga ia tidak hati-hati lagi seperti kehati-hatiannya dulu sebelum
kemenangan dicapai. Lebih-lebih ketika harta melimpah seperti yang ditemukan pasukan kaum
muslimin di Uhud, mereka seketika tertipu dengan secuil harta yang sebenarnya tidak ada apa-
apanya dibanding dengan kenikmatan di surga. Ketertipuan itu membuat mereka lupa kepada pesan
pertama Rasulullah saw, agar tetap bertahan pada posisinya sampai ada perintah lebih lanjut. Itulah
yang kemudian terjadi, mereka kemudian kalah, buah dari kelalaian yang mereka perbuat. Karenanya
Allah menegaskan: qul huwa min indi anfusikum (Katakanlah, �Itu (kesalahan) dirimu sendiri”).
Kesalahan Diri Sendiri
Firman Allah: qul huwa min indi anfusikum, menegaskan makna yang sangat dalam mengenai
beberapa hal: Pertama, bahwa Allah swt. tidak pernah berbuat zhalim. Allah berfirman,
�Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah
yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus:44) Di ayat lain Allah menceritakan bahwa
umat terdahulu pernah diadzab karena perbuatan mereka sendiri, �Maka masing-masing (mereka
itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya
hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara
mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami
tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri”(Al Ankabuut:40). Maka setiap bencana dan malapetaka yang
manusia alami asal muasalnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, �Dan apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh
orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
berlaku zhalim kepada diri sendiri (Ar-Rum:9).
Kedua, bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan
ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Di sini nampak bahwa kualitas pekerjaan apapun sangat
ditentukan oleh manusianya. Lebih-lebih bila pekerjaan tersebut tergolong amal dakwah, maka
sungguh sangat menuntut keistiqamahan pelakunya dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah.
Semakin sungguh-sungguh seorang aktivis dakwah dalam menjalani hakikat kehambaan-Nya kepada
Allah, maka juga akan semakin produktif dakwah yang dijalaninya. Sebaliknya bila seorang aktivis
mulai tertipu dengan gemerlap dunia seperti tertipunya pasukan Uhud pada saat menemukan tanda-
tanda kemenangan, maka di situlah titik runtuhnya amal dakwah itu akan bermula. Inilah pengertian
dari firman-Nya: qul huwa min indi anfusikum. Maksudnya: kegagalan itu dari dirimu sendiri, dirimu
yang tertipu dengan gemerlap dunia, sehingga kemudian amal dakwah kau kesampingkan. Maka bila
dakwah yang kau lakukan tidak memberikan keberkahan, melainkan malah menyeret fitnah dan
kemunkaran itu asal-muasalnya adalah perbuatan pelakunya. Boleh jadi seseorang yang tadinya
tulus berdakwah, tetapi kemudian setelah dunia mulai melimpah, ia berubah haluan, dunia malah
menjadi tujuan. Orang yang seperti ini akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri, di mana
akibat tersebut bisa jadi akan menimpa semua orang tak terkecuali, seperti kekalahan yang telah
menimpa para sahabat dan Rasulullah di medan Uhud.
Ketiga, bahwa perjuangan seorang aktivis dakwah untuk tetap istiqamah dalam menjalani
kewajibannya, adalah bagian dari sunnatullah yang harus selalu dipertahankan. Sedikit lengah dan
tertipu oleh kepentingan sesaat, ia akan terjerembab ke dalam kegagalan. Dakwah yang diucapkan
akan menjadi sekadar jargon tanpa jiwa. Akibatnya Allah swt. tidak akan menurunkan bantuan-Nya.
Bila Allah menolak untuk membantunya, maka itu suatu tanda hilangnya keberkahan dalam kerja
dakwah tersebut. Bila keberkahannya hilang, jangan di harap amal dakwah yang ditawarkan akan
menjadi bermanfaat, melainkan malah akan menjadi ancaman bagi pelakunya. Allah berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Ash-Shaf:2)
Perhatikan betapa kerja dakwah sangat menuntut masing-masing aktivisnya untuk senantiasa
mempertahankan dan meningkatkan kualitas kepribadiannya: baik sebagai hamba Allah yang
tercermin dalam kekhusu�an ibadahnya, maupun sebagai aktivis yang selalu menjadikan dakwah
sebagai medan utama perjuangannya. Dari sini jelas, bahwa perjuangan di jalan dakwah menuntut
ketabahan pelakunya dalam menjaga secara terus-menerus kualitas dirinya, kualitas ketaatannya
kepada Allah dan kualitas amal dakwahnya. Kualitas yang benar-benar mencerminkan makna
kesungguhan, keseriusan dan pengorbanan secara jujur (baca: itqaan) dalam menjalankan tugas-
tugas dakwah yang dipikulnya. Inilah yang kita kenal dengan istilah: al muhafadzah alaa jaudatil
junuud (memelihara kualitas aktivis dakwah).
Keharusan Memelihara Dan Meningkatkan Kualitas Diri
Pengertian lebih lanjut dari makna ayat: qul huwa min indi anfusikum adalah bahwa kualitas diri
merupakan faktor penentu dari berhasil tidaknya sebuah usaha apapun, lebih-lebih amal dakwah.
Terutama ketika amal dakwah tersebut sudah berjalan, dan mulai merambah tanda-tanda
keberhasilan. Di sini upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri sangatlah diperlukan. Sebab
tanpa pemeliharaan dan peningkatan amal dakwah pasti akan mengalami penurunan. Bahkan tidak
mustahil timbulnya gesekan-gesekan internal akan selalu terjadi. Dari gesekan-gesekan ini kemudian
muncul gelembung perpecahan yang pada gilirannya menghanyutkan hasil usaha yang sudah
dibangun sekian lama. Perhatikan peristiwa perang Uhud yang tadinya umat Islam sudah mendekati
kemenangan, namun akhirnya malah berbalik menjadi kekalahan, di mana sebab utamanya adalah:
qul huwa min indi anfusikum. Artinya mereka tidak bisa memelihara kualitas diri yang membuat
mereka menang, padahal mereka pernah mencapainya di perang Badar dan di permulaan perang
Uhud. Anehnya kualitas diri tersebut malah mereka lepaskan, dan dari situlah kemudian mereka tidak
memenuhi syarat untuk menang, karenanya mereka kalah.
Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri adalah merupakan keniscayaan untuk
terus melanjutkan perjuangan dakwah. Sebab tidak mungkin sebuah perjalanan dakwah akan terus
berlangsung dengan baik, apalagi meningkat, bila di tengah jalan para aktivisnya mengalami
degradasi. Kerja dakwah adalah kerja yang tidak mungkin dipikul oleh segelintir orang, melainkan
harus dipikul bersama-sama. Karenanya tidak mungkin dalam hal ini hanya mengandalkan kerja
keras sebagian orang lalu yang lain tidak mengimbanginya. Dakwah menuntut keseimbangan secara
utuh dalam segala dimensinya: dimensi spiritual, intelektual, material dan moral. Seorang aktivis
dakwah adalah seorang selalu memelihara hakikat ini secara seimbang dalam dirinya dan dalam
kebersamaannya dengan yang lain. Bila keseimbangan ini hilang, tentu akan terjadi ketimpangan.
Dan dari ketimpangan ini kemudian muncul kegagalan. Kegagalan perang Uhud seperti yang
ditegaskan dalam ayat di atas adalah contoh nyata yang sangat jelas. Sampai pun peperangan
tersebut dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, tetapi karena kesalahan sebagian dari mereka yang
tidak sanggup memelihara kualitas diri, akhirnya mengakibatkan semuanya menjadi berantakan.
Penyakit seperti ini seringkali terjadi dalam perjalanan dakwah. Bila di awal langkahnya para aktivis
selalu semangat, tetapi di tengah perjalanan semangat membara itu seringkali kehabisan nafas.
Akibatnya dakwah menjadi korban. Karenanya Allah tutup ayat di atas dengan penegasan,
�innallaaha ‘laa kulli sya’in qadiir� (sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu). Itu
untuk menggambarkan ketegasan sunnatullah (baca: sebab akibat). Bahwa Allah Maha Kuasa
menjalankan sunnah-Nya tersebut secara sempurna. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa yang sungguh-
sungguh mengikuti sunnah tersebut akan berhasil. Dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal
sekalipun ia beriman kepada-Nya.
Manusia diciptakan oleh Allah bukan untuk menandingi-Nya. Sehebat-hebat manusia, ia tidak akan
pernah mampu menandingi kekuasaan-Nya. Allah tetap Maha Kuasa dan manusia tetap maha lemah
di hadap-Nya. Maka ketika Allah membekali akal dan segala keilmuan kepada manusia itu semuanya
tidak akan pernah mencapai level kekuasaan-Nya. Karenanya ia tidak bisa independen total dari
Allah. Ia dengan segala pencapaiannya tetap harus tunduk kepada-Nya. Lebih dari itu ia juga harus
tetap memelihara ketundukan ini secara maksimal sampai ia menghadap-Nya. Bila ini yang ia
lakukan ia akan berhasil tidak saja secara personal, melainkan juga secara sosial dalam
kebersamaannya dengan yang lain. Sebaliknya bila ia gagal memelihara dan meningkatkan tingkat
ketundukan yang pernah ia capai, ia pasti akan gagal, tidak saja di dunia melainkan juga di
akhirat. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/04/11/154/pelajaran-dari-perang-uhud/#ixzz45tcc691X
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Kisah Perang Uhud
PERANG UHUD
Perang Uhud terjadi karena golongan kafir Quraisy mencoba membalas
kekalahan mereka dalam Perang Badr, lalu memancing amarah penduduk
Madinah dengan menduduki ladang gandum di Jabal Uhud. Jabal Uhud
(Gunung Uhud) merupakan sebuah gunung yang berjarak lebih kurang tiga
mil dari kota Madinah. Tempat ini terkenal sebagai medan peperangan
antara umat Islam dan golongan kafir Quraisy pada tanggal 15 Syawwal 3 H
(Maret 625 M) yang kemudian disebut Perang Uhud. Gunung ini merupakan
bagian dari dataran tinggi yang membentang dari utara ke selatan dan
menyebar ke timur dan kemudian membentuk bukit-bukit sendiri. Bukit-
bukit itu hampir tidak memiliki karena merupakan dataran tinggi berbentuk
persegi panjang. Daerah di sekitar dataran ini gersang dan tandus, ditutupi
bebatuan dan pasir. Hanya di bagian selatan terdapat ladang-ladang gandum
dan tanah perkebunan yang dialiri selokan kecil. Akan tetapi, daerah itu
terkadang dilanda banjir dari curahan hujan lebat.
PERANG UHUD adalah antara peristiwa penting pada Syawal. Peristiwa yang
berlaku pada 7 Syawal tahun ketiga hijrah itu dinamakan Uhud karena lokasi
peperangan di kawasan Bukit Uhud. Syawal juga menyaksikan perang parit
atau Perang Khandak yang berlaku pada tahun kelima hijrah apabila Yahudi
menghasut kafir Quraisy supaya bermusuh dengan umat Islam di Madinah.
Di balik peperangan ini, umat Islam yang baru selesai menjalani tarbiah
Ramadan dan marayakan Idul fitri tidak sedikit pun terkecuali untuk sama-
sama mempertahankan kemenangan dan diri daripada ancaman musuh.
Detik awal ghazwah Uhud bermula ketika penduduk Makkah Quraisy malu
besar di atas kekalahan mereka dalam Perang Badar. Tidak ada pedagang
Quraisy yang berani berdagang ke Syria karena bimbang jika ditangkap
orang Islam. Jika keadaan itu berlanjut, kota Makkah akan diancam bahaya
kelaparan dan krisis ekonomi.Oleh karena itu, semua pembesar Quraisy
berunding untuk mendapatkan keputusan mengenai perkara itu. Mereka
memutuskan semua keuntungan perdagangan pada tahun itu akan
dipergunakan untuk membentuk satu angkatan perang yang kuat.Karena
Abu Jahal meninggal dunia, maka Abu Sufian diangkat menjadi panglima
perang untuk memimpin angkatan 3,000 tentera. Selain itu, ketua pasukan
mereka yang ternama ialah Safwan (anak Umaiyah Khalaf yang menyeksa
Bilal) dan Ikrimah (anak Abu Jahal).Turut memimpin tentera ialah seorang
yang gagah berani iaitu Khalid Ibnul-Walid. Kaum perempuan diketuai
Hindun (isteri Abu Sufian). Mereka dikerahkan untuk menghibur dan
menguatkan semangat perang anggota tentera. Mereka turut ke medan
perang memukul genderang. Karena musuh terlalu banyak, Nabi Muhammad
SAW berniat akan bertahan dan menanti musuh dalam kota Madinah. Tetapi
suara terbanyak menyatakan bahwa berdasarkan siasat perang menghendaki
agar musuh diserang di medan perang. Nabi tunduk kepada keputusan
tersebut, sekalipun dalam hatinya berasa kurang tepat.Dalam hal yang tidak
ada wahyu yang turun, Nabi selalu berbincang dengan orang ramai dan
keputusan mereka pasti dijalankan dengan tawakal dengan berserah kepada
Allah. Lalu Nabi masuk ke rumah memakai pakaian besinya dan mengambil
pedangnya. Apabila Nabi keluar, banyak para sahabat yang mengusulkan
untuk menyerang tadi, menarik usul mereka kembali kerana ternyata kepada
mereka pendirian Nabi adalah benar. Tetapi, keputusan itu rupanya tidak
dapat diubah lagi, kerana Nabi berkata: "Tidak, kalau seorang Nabi telah
memakai baju perangnya, dia tidak akan membukanya kembali sebelum
perang selesai."
Tentera Islam hanya 1,000 orang. Semuanya berjalan kaki, hanya dua orang
berkuda. Ramai pula antara mereka itu orang tua dan anak di bawah umur.
Sebelum matahari terbenam, mereka bertolak menuju ke Bukit Uhud. Setiba
di pinggir kota Madinah, tiba-tiba 600 orang Yahudi, kawan Abdullah Bin
Ubay, menyatakan hendak turut bertempur bersama-sama Nabi. Tetapi Nabi
sudah tahu maksud mereka yang tidak jujur, maka ditolaknya tawaran itu
dengan berkata: “Cukup banyak pertolongan daripada Tuhan.”Bersamaan
penolakan ini, Abdullah bin Ubay malu dan marah, lalu berusaha menakutkan
kaum Muslimin, agar mereka jangan turut berperang. Tiga ratus kaum
Muslimin dapat dihasut hingga kembali pulang ke Madinah. Mereka ini yang
dinamakan kaum munafik. Maka tinggallah Rasulullah dengan 700 orang
tentera saja menghadapi musuh yang jumlahnya empat kali ganda itu.
Tanpa diketahui musuh, sampailah kaum Muslimin di Bukit Uhud pada waktu
dinihari. Nabi segera mengatur strategi perang. Bukit itu digunakan sebagai
pelindung dari belakang, sedang dari sebelah kiri, dilindungi oleh Bukit
Ainain. Lima puluh orang diarahkan Rasulullah supaya menjaga celah bukit
dari belakang dengan diketuai Ibnu Zubair. Mereka diperintahkan tidak boleh
meninggalkan tempat itu apapun yang akan terjadi. Tiba-tiba kedengaran
sorak gemuruh musuh dari bawah lembah. Mereka sudah melihat tentera
Islam. Mereka bergerak maju, menyerang dengan formasi berbentuk bulan
sabit, dipimpin oleh Khalid Bin Walid sayap kanannya dan Ikrimah Abu Jahal
sayap kirinya.
Seorang musuh meronta maju sampai tiga kali menentang tentera Islam.
Pada kali ketiga, maka melompatlah Zubair bagaikan harimau ke punggung
unta itu. Musuh tadi dibantingkannya ke tanah, lalu dibedah dadanya oleh
Zubair dengan pisau. Abu Dujanah selepas meminjam pedang Nabi sendiri,
lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh yang ramai itu. Pertempuran hebat
berlaku dengan dahsyatnya. Arta pemegang panji musuh gugur di tangan
Hamzah. Sibak yang menggantikan Arta segera berhadapan dengan Zubair.
Selepas Sibak tewas menyusul Jubair Mut’im menghadapi Hamzah, untuk
membalas dendam kerana Hamzah dapat menewaskan pamannya di medan
Perang Badar. Jubair takut berhadapan dengan Hamzah. Hanya
diperintahkan hambanya Wahsyi, bangsa Habsyi, dengan perjanjian apabila
dapat menewaskan Hamzah dia akan dimerdekakan. Dengan menyeludup di
sebalik belukar dari belakang Hamzah dengan menggunakan tombak dia
dapat menikam Hamzah. Hamzah adalah pemegang panji Islam pada waktu
syahidnya. Panji itu segera diambil oleh Mus’ab ‘Umair. Beliau juga tewas di
hadapan Nabi sendiri. Ali tampil menggantikannya. Bagaikan kilat Ali dapat
menebas leher musuhnya yang memegang panji itu. Setelah peperangan
usai, Abu Sufyan mendaki sebuah bukit dan berteriak: “Apakah Muhammad
ada di antara kalian?!” Namun kaum muslimin tidak menjawabnya.
Kemudian dia berteriak lagi: “Apakah Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakr) ada di
antara kalian?!” Tidak juga dijawab. Akhirnya dia berteriak lagi: “Apakah
‘Umar bin Al-Khaththab ada di antara kalian?!” Juga tidak dijawab. Dan dia
tidak menanyakan siapapun kecuali tiga orang ini, karena dia dan kaumnya
mengerti bahwa mereka bertiga adalah pilar-pilar Islam. Lalu dia berkata:
“Adapun mereka bertiga, kalian sudah mencukupkan mereka.”
‘Umar tak dapat menahan emosinya untuk tidak menyahut: “Wahai musuh
Allah, sesungguhnya orang-orang yang kau sebut masih hidup! Dan semoga
Allah menyisakan untukmu sesuatu yang menyusahkanmu.”Abu Sufyan
berkata: “Di kalangan yang mati ada perusakan mayat, saya tidak
memerintahkan dan tidak pula menyusahkan saya.” Kemudian dia berkata:
“Agungkan Hubal!”Lalu Nabi berkata: “Mengapa tidak kalian jawab?” Kata
para shahabat: “Apa yang harus kami katakan?” Kata beliau: “Allah Lebih
Tinggi dan Lebih Mulia.”Abu Sufyan berkata lagi: “Kami punya ‘Uzza,
sedangkan kalian tidak.”Kata Rasulullah : “Mengapa tidak kalian balas?”Kata
para shahabat: “Apa yang harus kami katakan?”Katakanlah: “Allah adalah
Maula (Pelindung, Pemimpin) kami, sedangkan kalian tidak mempunyai
maula satupun.”Perintah Rasulullah agar mereka membalas ketika Abu
Sufyan merasa bangga dengan sesembahan-sesembahan dan kesyirikannya,
dalam rangka pengagungan terhadap tauhid sekaligus menunjukkan
Keperkasaan dan Kemuliaan Dzat yang diibadahi oleh kaum
muslimin.Kemarahan ‘Umar mendengar kata-kata Abu Sufyan menunjukkan
penghinaan, keberanian, terang-terangan kepada musuh tentang kekuatan
dan keperkasaan mereka bahwa mereka bukanlah orang yang hina dan
lemah.
Dalam perang itu, pasukan Islam sesuai dengan strategi Nabi Muhammad
SAW, mengambil posisi di atas Jabal Uhud. Tetapi ketika mereka hampir
menang, pasukan pemanah terpancing oleh ghanimah (harta rampasan
perang). Mereka pun turun dari bukit dengan melawan instruksi Nabi SAW.
Maka pasukan Quraisy segera merebut posisi di atas bukit dan dari situ
menyerang pasukan Islam sampai menewaskan 70 syuhada.
Kekalahan kaum muslimin dalam Perang Uhud menyimpan hikmah yang luar biasa,
bahwa wali-wali Allah tidak selamanya ditolong Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan
tetapi harus diingat pula bahwa akibat atau akhir segala sesuatu berupa kebaikan
baik di dunia maupun di akhirat pasti diraih oleh wali-wali-Nya.
“Sungguh kalian akan Kami uji dengan kejelekan dan kebaikan sebagai fitnah.” (QS.
Al-Anbia: 35)
Hikmah di balik kekalahan kaum muslimin di Perang Uhud sangat banyak, dan
cukup sebagai hikmah yang paling besar adalah tercapainya derajat kemuliaan mati
syahid. Seandainya para sahabat tidak mengalami kekalahan, maka tidak akan
banyak yang mati syahid atau bahkan tidak ada yang memperoleh kemuliaan mati
syahid. Di samping itu, seandainya tidak mengalami kekalahan maka kemungkinan
manusia bangga, ujub, sombong, dan lupa kepada Rabbnya. Maka dengan
kekalahan seseorang akan tawadhu, tawakal, dan meminta pertolongan kepada
Allah dan tidak bergantung dan mengandalkan kekuatan sendiri.
Benar bahwa kekalahan para sahabat pada Perang Uhud disebabkan oleh kesalahan
yang mereka lakukan, akan tetapi kita harus beriman pada takdir yang baik dan
buruk dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghendaki dan
menetapkan demikian supaya menjadi sebab kekalahan mereka untuk mengambil
pelajaran dari hikmah yang banyak di balik itu.
Atas dasar ini, maka menyesali dosa dan kesalahan karena kecerobohan seseorang
hukumnya boleh bahkan dianjurkan dalam syariat sebagai kesempurnaan taubat
seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi kita tidak boleh
menyesali takdir Allah atau menyesali sesuatu yang telah luput karena ia
merupakan pintu setan sebagaimana dalam hadis Rasulullah.
Hal ini menunjukkan betapa besarnya kedudukan ketiga orang ini di antara para
sahabat dan di mata musuh bahwa menurut mereka ketiga orang inilah tulang
punggung utama dan penentu ketinggian kalimat Allah di permukaan bumi.
Menurut mereka apabila ketiganya telah terbunuh, maka tidak ada lagi kekuatan
bagi Islam dan akan mudah bagi mereka untuk meruntuhkan Islam dan kaum
muslimin.
Para sahabat diam tidak menjawabnya hingga dia semakin ujub dan takabur dan
mempersembahkan rasa syukurnya kepada patung berhala tuhan sesembahannya
dengan mengatakan: “Agungkan patung Hubal.”
Maka para sahabat menjawabnya bahwa orang-orang yang kamu sebutkan itu
ketiganya masih hidup belum terbunuh dalam peperangan ini, Allah penolong kami
sedang kalian tidak memiliki penolong.
Abu Sufyan berseru lagi: “Kalau begitu hari untuk menentukan kemenangan yang
sesungguhnya maka kita akan kembali bertemu di medan perang pada tahun depan
di Badar.”
Setelah orang-orang akfir merasa puas dengan kemenangan itu mereka pulang ke
Mekah akan tetapi mereka berhenti di tengah jalan dan bermaksud untuk kembali
menyerang kaum muslimin di kota Madinah karena mereka merasa belum meraih
kemenangan secara penuh sebab mereka belum membunuh Rasulullah, Abu Bakar,
dan Umar.
Para sahabat dalam keadaan sakit, luka-luka, menderita kekalahan, dan lemas,
mereka mengurusi tujuh puluh jenazah para syuhada. Mereka mengadu kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya terasa berat bagi kami jika menggali
setiap jenazah masing-masing satu galian kubur.” Maka Rasulullah memerintahkan
mereka untuk menggali kuburan yang luas dan rapi untuk dua atau tiga orang
jenazah.
Dikisahkan, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat
melewati sekelompok wanita dari bani Najjar. Di antara wanita tersebut ada yang
bapaknya terbunuh, saudaranya dan suaminya. Tatkala salah seorang wanita
mendengar berita kematian saudara, bapak, suami yang dicintainya dia malah
menanyakan tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
mengatakan, “Bagaimana dengan kabar Rasulullah.” Maka mereka menjawab,
“Rasulullah dalam keadaan baik.” Maka tatkala wanita tersebut melihat Rasulullah
dia mengatakan, “Semua musibah yang menimpa adalah ringan selain musibah
yang menimpamu wahai Rasulullah.”
Tatkala Shafiah binti Abdul Muthalib radhiallahu ‘anha datang untuk melihat jenazah
saudaranya (Hamzah radhiallahu ‘anhu) maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan kepada putranya (Zubair radhiallahu ‘anhu) agar ibunya jangan
melihat jenazah Hamzah karena beliau khawatir Shafiah tidak sabar jika melihat
jenazahnya yang telah disayat-sayat oleh musuh. Maka Shafiah berkata: “Kenapa
tidak boleh? sedangkan aku telah mendengar beritanya dan aku ridha dengan
musibah ini. Mereka meninggal di jalan Allah. Saya akan bersabdar dan mengharap
pahala dari Allah dengan musibah ini.
Hamnah binti Jahsy radhiallahu ‘anha mendapat berita kematian saudaranya dan
pamannya (Mus’ab bin Umair radhiallahu ‘anhu) dan beliau radhiallahu
‘anha bersabar. Selayaknya kita berkaca, apalah artinya kita dibandingkan dengan
mereka.
Perang Uhud (Bahasa Arab: دحأ وزغĠazwat ‘Uḥud) berlaku pada hari Sabtu, 7 Syawal atau 11
Syawal tahun ketiga hijrah (26 Mac 625 M) adalah peperangan antara kaum Muslimin dan kaum
musyrikin Quraisy Mekah yang terjadi pada tahun 3 Hijriah di Gunung Uhud. Gunung kecil yang
terdiri dari batu hitam diselimuti oleh tanah kering ini tingginya 1050 meter, terletak di sebelah barat
laut Madinah, tepatnya 5 km arah utara dari Masjid Nabawi dan arah selatan dari Gunung Tsur.
Peristiwa pertempuran ini terasa begitu dahsyat dan memberikan dampak emosional, 70 Orang
Syuhada gugur dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terluka. Berikut kami ulas secara singkat Kisah
pertempuran Uhud dan hikmah dibalik musibah yang menimpa kaum muslimin.
Bismillahirrahmanirrahim..
Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja menyelimuti kota Makkah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kaum
Musyrikin Quraisy tak mampu menyembunyikan duka lara mendalam perihal kekalahan telak mereka
pada perang Badar tahun ke-2 Hijriyah, hati mereka tersayat pilu tak terkira. Berita kalahnya pasukan
Quraisy terasa begitu cepat menyebar keseluruh penjuru kota Makkah, bak awan bergerak menutupi
celah celah langit yang kosong di musim penghujan. Namun sangat disayangkan, kekalahan telak
kaum paganis Quraisy pada perang itu tak mampu merubah sikap bengis mereka terhadap kaum
muslimin. Dendam kesumat nan membara tertancap kokoh dalam hati mereka, tewasnya tokoh-tokoh
Quraisy berstrata sosial tinggi pada peristiwa nahas itu semakin menambah kental kebencian Quraisy
terhadap kaum muslimin.
Rencana tersebut mendapat respon hangat dari masyarakat Quraisy, kontan dalam waktu yang
sangat singkat terkumpul dana perang yang cukup banyak berupa 1000 onta dan 50.000 keping mata
uang emas. Sebagaimana yang Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir pada ayat ketigapuluh enam
dari surat Al-Anfal:
Bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan Quraisy adalah Abu Sufyan bin Harb, adapun pasukan
berkuda dibawah komando Khalid bin Al Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, sementara panji- panji
perang dipegang para ahli perang dari Kabilah Bani Abdud Dar, dan barisan wanita dibawah
koordinasi Hindun bintu ’Utbah istri Abu Sufyan. Terasa lengkap dan cukup memadai persiapan
Quraisy dalam periode putaran perang kali ini, arak-arakan pasukan besar sarat anarkisme dan
angkara murka kini tengah merangsek menuju Madinah menyandang misi balas dendam.
Sampainya kabar kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Beliau menerima surat rahasia dari Al Abbas bin Abdul Mutthalib paman beliau yang masih bermukim
di Makkah. Kala itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Quba, Ubay bin Ka’ab diminta
untuk membaca surat tersebut dan merahasiakan isinya. Beliau bergegas menuju Madinah
mengadakan persiapan militer menyongsong kedatangan ’tamu tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita pergerakan pasukan kafir Quraisy menyebar keseluruh penjuru
Madinah, tak ayal kondisi kota itu mendadak tegang , penduduk kota siaga satu, setiap laki-laki tidak
lepas dari senjatanya walau dalam kondisi shalat. Sampai-sampai mereka bermalam di depan pintu
rumah dalam keadaan merangkul senjata.
”Demi Allah sungguh aku telah melihat pertanda baik, aku melihat seekor
sapi yang disembelih, pedangku tumpul, dan aku masukkan tanganku
didalam baju besi, aku ta’wilkan sapi dengan gugurnya sekelompok
orang dari sahabatku, tumpulnya pedangku dengan gugurnya salah satu
anggota keluargaku sementara baju besi dengan Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpendapat agar tetap bertahan di dalam kota Madinah dan
meladeni tantangan mereka di mulut-mulut lorong kota Madinah. Pendapat ini disetujui oleh Abdullah
bin Ubay bin Salul, Abdullah bin Ubay memilih pendapat ini bukan atas pertimbangan strategi militer
melainkan agar dirinya bisa dengan mudah kabur dari pertempuran tanpa mencolok pandangan
manusia. Adapun mayoritas para sahabat, mereka cenderung memilih menyambut tantangan
Quraiys di luar Madinah dengan alasan banyak diantara mereka tidak sempat ambil bagian dalam
perang Badar, kali ini mereka tidak ingin ketinggalan untuk ’menanam saham’ pada puncak amalan
tertinggi dalam Islam (JIHAD). Hamzah bin Abdul Mutthalib sangat mendukung pendapat ini seraya
berkata :
”Demi Dzat Yang menurunkan Al Qur’an kepadamu, sungguh Aku tidak
akan makan sampai Aku mencincang mereka dengan pedangku di luar
Madinah.”
Dengan mempertimbangkan berbagai usulan para sahabat akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam memutuskan untuk menjawab tantangan Quraisy di medan terbuka luar kota Madinah. Dan
meninggalkan selera Abdullah bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H beliau memberi wasiat kepada para sahabat agar
bersemangat penuh kesungguhan dan bahwasannya Allah akan memberi pertolongan atas
kesabaran mereka. Lalu mereka shalat Ashar dan Beliau beranjak masuk kedalam rumah bersama
Abu Bakar dan Umar bin Al Khathab, saat itu beliau mengenakan baju besi dan mempersiapkan
persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan sikap mereka yang terkesan memaksa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam untuk keluar dari Madinah, tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam keluar mereka
berkata :
Beliau menjawab:
”Tidak pantas bagi seorang nabi menanggalkan baju perang yang telah
dipakainya sebelum Allah memberi keputusan antara dia dengan
musuhnya.”
Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membagi pasukan Islam menjadi tiga batalyon : Batalyon
Muhajirin dibawah komando Mush’ab bin Umair, Batalyon Aus dikomando oleh Usaid bin Hudhair dan
Batalyon Khazraj dipimpin oleh Khabbab bin Al Mundzir . Jumlah total pasukan Islam hanya 1000
orang, dengan perlengkapan fasilitas serba minim berupa 100 baju besi dan 50 ekor kuda (dikisahkan
dalam sebuah riwayat: tanpa adanya kuda sama sekali) dalam perang ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam disebuah tempat yang dikenal dengan Asy
Syaikhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyeleksi beberapa para sahabat yang masih
sangat dini usia mereka diantaranya Abdullah bin Umar bin Al Khathab, Usamah bin Zaid, Zaid bin
Tsabit, Abu Said Al Khudry dan beberapa sahabat muda lainnya, tak urung kesedihan pun tampak di
wajah mereka dengan terpaksa mereka harus kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya ditolak oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tokoh munafik
Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan aksi penggembosan dalam tubuh pasukan Islam. Musuh
Allah ini berhasil memprovokasi hampir sepertiga jumlah total pasukan, tidak kurang dari 300 orang
kabur meninggalkan front jihad fisabilillah. ’Manusia bermuka dua’ ini memang sengaja melakukan
aksi penggembosan ditengah perjalanan agar tercipta kerisauan di hati pasukan Islam sekaligus
menyedot sebanyak mungkin kekuatan muslimin.
Strategi militer Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sang ahli strategi militer mengatur barisan pasukan dan
membagi tugas serta misi mereka. Beliau menempatkan 50 pemanah di bukit Ainan bertugas sebagai
sniper-sniper dibawah komando Abdullah bin Jubair bin Nu’man Al Anshary, Beliau memberi intruksi
militer seraya bersabda :
Musafi’ bin Abi Thalhah memberanikan diri mengangkat kembali panji Quraisy namun ia tewas
mendadak tersambar runcingnya anak panah Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah. Berikutnya Kilab bin
Thalhah bin Abi Thalhah saudara kandung Musafi’ mengibarkan kembali panji itu namun ia segera
roboh ketanah mengakhiri hidupnya setelah pedang Zubair bin Al Awwam menyambar badannya. Al
Jallas bin Abi Thalhah segera menopang kembali menopang panji itu, namun sabetan pedang
Thalhah bin Ubaidillah segera memecat nyawa dari tubuhnya. Keenam pemberani tersebut berasal
dari satu keluarga kabilah Bani Abdi Dar.
Kemudian Arthah bin Syurahbil maju namun Ali bin Abi Thalib tak membiarkannya hidup lama
menenteng panji dan langsung melibasnya, realita yg sungguh spektakuler, tidaklah seorang pun dari
kaum musyrikin mengambil panji tersebut melainkan terenggut nyawanya hingga genap sepuluh
orang menemui ajalnya disekitar panji perang musyrikin. Setelah itu tak ada seorang pun dari mereka
yang bernyali mengambil panji yang tergeletak di bumi Uhud.
Kini pertahanan inti kaum muslimin dalam kondisi rawan. Jantung pertahanan pasukan Islam
melemah tanpa mereka sadari. Kholid bin Al-Walid, salah satu komandan pasukan berkuda Quraisy,
tak membiarkan kesempatan emas itu lewat begitu saja. Panglima perang yang tidak pernah kalah
dalam setiap pertempuran baik ketika masih kafir maupun setelah masuk Islam itu secepat kilat
memutar haluan arah pasukan kuda Quraisy. Ia memacu kudanya dengan segala ambisi merebut
posisi paling strategis, yaitu bukit para pemanah. Musuh menyergap dan mengepung sisa pasukan
pemanah. Para pemanah tak kuasa menghalau serangan mendadak itu. Sepuluh orang pemanah
gugur satu persatu fi sabilillah berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala –semoga Allah ‘azza wa
jalla meridhai mereka semua–.
Kuda Kholid bin Walid meringkik dengan suara yang dikenali pasukan Quraisy. Seorang wanita
Quraisy, ’Amrah Al-Haritsiyyah, memungut dan mengibarkan kembali panji perang yang tergeletak
sejak awal pertempuran. Quraisy bersatu dan bangkit semangat mereka untuk menyerang balik.
Mereka mengepung kaum muslimin dari dua arah. Posisi kaum muslimin terjepit dan dengan mudah
mereka membantai para mujahidin. Kini musuh mampu menguasai bukit. Kemudian mereka
merangsek menyerang sisa pasukan Islam yang lain. Posisi mereka seakan berada diantara gigi-
gerigi mesin penggilas. Pertahanan kaum muslimin semakin rapuh. Kondisi berubah seketika.
Barisan pasukan Islam semakin kacau balau. Susah membedakan antara kawan dan lawan. Bahkan
ada diantara mereka yang saling menyerang karena gaduh dan gawatnya kondisi. Ayah Hudzaifah
Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma pun menjadi korban salah sasaran.
Kabar dusta kematian Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu, duta Islam pertama di Madinah, salah satu pemegang panji
komando, tewas di tangan Ibnu Qim’ah. Setelah berhasil membunuhnya, ia berteriak, ”Muhammad
telah tewas!” karena menyangka bahwa Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu adalah
Rasulullahshallalallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Mush’ab adalah seorang shahabat yang bentuk
fisik dan perawakannya sangat mirip dengan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Teriakan itu
kontan membuat semangat para shahabat radhiyallahu ‘anhum turun drastis. Di sisi lain, serangan
Quraisy semakin membabi buta terhadap pasukan Islam hingga terbunuh sejumlah
shahabatradhiyallahu ‘anhum.
Jiwa pasukan Islam lemah tak tahu kemana mereka akan melangkah. Sebagian mereka terduduk tak
tahu apa yang ditunggu, bahkan sebagian mereka berpikir untuk menghubungi Abdullah bin Ubay bin
Salul –salah satu tokoh munafiqin– guna meminta perlindungan keamanan dari Abu Sufyan (yang
ketika itu belum masuk Islam).
Kala itu Anas bin An-Nadhri radhiyallahu ‘anhu melewati mereka seraya berkata,
Allah subhanahu wa ta’ala mempersiapkan bagi hamba-Nya yang beriman tempat tinggal di negeri
kemuliaan-Nya yang tidak bisa dicapai oleh amalan mereka. Dia tetapkan beberapa sebab sebagai
ujian dan cobaan agar mereka sampai ke negeri tersebut.
Bahwasanya syahadah (mati syahid) termasuk kedudukan tertinggi bagi para wali Allahsubhanahu
wa ta’ala.
Perang Uhud ini seakan-akan persiapan menghadapi wafatnya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah subhanahu wa ta’ala meneguhkan mereka, dan mencela mereka yang berbalik ke
belakang, baik karena Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh atau meninggal dunia.
Hikmah lain adalah adanya pembersihan terhadap apa yang ada di dalam hati kaum mukminin.
(Lihat Fathul Bari, 7/433)
Wallahu Ta’ala A’lamu bish Shawab. (Dp/dais)
Sumber: daulahislam.com