Anda di halaman 1dari 4

Panduan I’tikaf Ramadhan

rumaysho.com /1150-panduan-itikaf-ramadhan.html

Bagaimana panduan i’tikaf?

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

َ ‫ َﻓَﻠﱠﻤﺎ َﻛﺎَن اﻟَْﻌﺎُم اﻟﱠِﺬى ُﻗِﺒ‬، ‫َﻛﺎَن اﻟﱠﻨِﺒﱡﻰ – ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ – َﯾْﻌَﺘِﻜُﻒ ِﻓﻰ ُﻛﱢﻞ َرَﻣَﻀﺎَن َﻋْﺸَﺮَة َأﱠﯾﺎٍم‬
‫ﺾ ِﻓﯿِﻪ اْﻋَﺘَﻜَﻒ ِﻋْﺸِﺮﯾَﻦ َﯾْﻮًﻣﺎ‬
ُ
‫ ُﺛﱠﻢ اْﻋَﺘَﻜَﻒ َأْزَواُﺟُﻪ ِﻣْﻦ َﺑْﻌِﺪِه‬، ‫َ ﱠن اﻟﱠﻨِﺒﱠﻰ – ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ – َﻛﺎَن َﯾْﻌَﺘِﻜُﻒ اْﻟَﻌْﺸَﺮ اَﻷَواِﺧَﺮ ِﻣْﻦ َرَﻣَﻀﺎَن َﺣﱠﺘﻰ َﺗَﻮﱠﻓﺎُه اﱠﷲ‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya
kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam
lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya,
banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

‫َوَﻻ ُﺗَﺒﺎِﺷُﺮوُﻫﱠﻦ َوَأْﻧُﺘْﻢ َﻋﺎِﻛُﻔﻮَن ِﻓﻲ اﻟَْﻤَﺴﺎِﺟِﺪ‬

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya)
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di
seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya
masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana
dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di
sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

‫َوَأﻧُْﺘْﻢ َﻋﺎِﻛُﻔﻮَن ِﻓﻲ اﻟَْﻤَﺴﺎِﺟِﺪ‬

“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12]
Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib
(bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak
ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya

1/4
wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang
terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan
ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata,

‫ َوِإَذا َﺻﻠﱠﻰ اﻟَْﻐَﺪاَة َدَﺧَﻞ َﻣَﻜﺎَﻧُﻪ اﻟﱠِﺬى اْﻋَﺘَﻜَﻒ ِﻓﯿِﻪ – َﻗﺎَل – َﻓﺎْﺳَﺘﺄَْذَﻧﺘُْﻪ َﻋﺎِﺋَﺸُﺔ‬، ‫َﻛﺎَن َرُﺳﻮُل اِﱠﷲ – ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ – َﯾْﻌَﺘِﻜُﻒ ِﻓﻰ ُﻛﱢﻞ َرَﻣَﻀﺎَن‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh,
beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,


ُ
‫ ُﺛﱠﻢ اْﻋَﺘَﻜَﻒ َأْزَواُﺟُﻪ ِﻣْﻦ َﺑْﻌِﺪِه‬، ‫َ ﱠن اﻟﱠﻨِﺒﱠﻰ – ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ – َﻛﺎَن َﯾْﻌَﺘِﻜُﻒ اْﻟَﻌْﺸَﺮ اَﻷَواِﺧَﺮ ِﻣْﻦ َرَﻣَﻀﺎَن َﺣﱠﺘﻰ َﺗَﻮﱠﻓﺎُه اﱠﷲ‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya
kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak
menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan
sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat
berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama
lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan
minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi
ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah
berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan [19]. Menurut mayoritas
ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al
Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang
mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya
ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’
(hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

2/4
1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain
yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau
bercakap-cakap dengan orang lain.
3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4. Mandi dan berwudhu di masjid.
5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid
setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal
ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

‫ َوِإَذا َﺻﻠﱠﻰ اﻟَْﻐَﺪاَة َدَﺧَﻞ َﻣَﻜﺎَﻧُﻪ اﻟﱠِﺬى اْﻋَﺘَﻜَﻒ ِﻓﯿِﻪ – َﻗﺎَل – َﻓﺎْﺳَﺘﺄَْذَﻧﺘُْﻪ َﻋﺎِﺋَﺸُﺔ‬، ‫َﻛﺎَن َرُﺳﻮُل اِﱠﷲ – ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ – َﯾْﻌَﺘِﻜُﻒ ِﻓﻰ ُﻛﱢﻞ َرَﻣَﻀﺎَن‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh,
beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20
Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam
sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir,
bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan
perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan
membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.

3/4
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil
harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’
(sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu
Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul
Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu
dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum
muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin
lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat
Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

4/4

Anda mungkin juga menyukai