Anda di halaman 1dari 10

KHUTBAH GERHANA DAN KHUTBA ISTISQAH

Oleh :

BAYU DWI NUSANTARA ( 212020018 )

MOCHAMAD NASURULLAH ( 212020019 )

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAHAMMADIYAH PALEMBANG

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim. Berkat Rahmat dan Hidayah Allah Swt, maka syukur


alhamdulillah kami dapat menyelesaikan tugas Retorika dan PHIW yang berjudul “Khutbah
Gerhana dan Khutbah Istiqah” ini dengan baik.

Dengan mengkaji dari beberapa sumber, kami menemukan berbagai perbedaan


pendapat tentang tata cara dan pelaksanaan shalat. Hal tersebut akan kami ulas dalam
susunan makalah ini.

Semoga apa yang kami sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan kemudahan bagi kita semua. Amin.

Palembang, 10 Oktober 2022

Penyusun
A. Shalat Gerhana
Sholat gerhana dianjurkan untuk dilaksanakan saat terjadinya gerhana bulan dan
matahari. Hukumnya adalah sunnah muakkad untuk laki-laki dan perempuan.
Pendapat ini bedasarkan pada salah satu surat Al Qur’an yang Artinya:
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Adapun :
1. Tata cara shalat gerhana
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara shalat gerhana
a. Madzhab Hanafi
Pada shalat gerhana matahari, cara pelaksanaan shalatnya seperti
shalat Sunnah lainnya, yakni tiada adzan dan iqomah. Dan rukuknya hanya
sekali dengan dua kali sujud.
Sedangkan pada shalat gerhana bulan boleh dilakukan dengan dua
atau empat rokaat dengan sendiri-sendiri, seperti shalat sunnah lainnya.
b. Menurut pendapat ulama lainnya
Shalat gerhana matahari dilaksanakan dua rokaat dengan dua kali
kali berdiri, dua bacaan, dua rukuk, dan dua sujud. Yakni setelah takbir
rokaat pertama, membaca iftitah, ta’awwudz, fatihah, dan surah pilihan.
Disunnahkan setelah membaca surah Fatihah dilanjut dengan surah
yang panjang. Yakni pada berdiri pertama membaca al-Baqarah, berdiri
kedua membaca yang lebih pendek seperti al-Imron, berdiri ketiga membaca
yang lebih pendek lagi sekitar seratus lima puluhan ayat seperti surah an-
Nisa’, dan berdiri keempat membaca surah sekitar seratus ayat seperti al-
Maidah.
Setelah itu rukuk, i’tidal, dan kembali membaca fatihah dan surah
pilihan. Lalu rukuk kembali. Dilangsungkan sujud, duduk di antara dua
sujud, kemudian sujud kembali. Setelah itu dilangsungkan rokaat kedua
seperti demikian.
Seseorang boleh menambah jatah rukuknya menjadi empat atau lima,
namun tidak boleh lebih dari itu. Tetapi misal ingin melakukan shalat
dengan rukuk sekali, itu juga boleh. Karena bilangan pada ruku’ hukumnya
sunnah. Sedangkan pembacaan surah panjang ketika shalat hukumnya juga
sunnah.
Sedangkan pada shalat gerhana bulan, Imam Malik menganjurkan
untuk shalat dua rakaat dengan suara keras dan pelaksanaannya seperti
shalat biasa. Adapun Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa shalat
gerhana bulan sama dengan shalat gerhana matahari, dan dilaksanakan
dengan suara yang tidak pelan.

2. Waktu pelaksanaan shalat gerhana


Para ulama berbeda pendapat tentang waktu pelaksanaan shalat gerhana.
a. Imam Syafi’i
Beliau berpendapat bahwa shalat gerhana dapat dilaksanakan di semua
waktu. Karena shalat jenis ini ada karena sebab.
b. Imam Malik
Shalat gerhana matahari tidak boleh dilaksanakan kecuali pada waktu
diperbolehkan shalat tambahan seperti shalat hari raya dan shalat istisqo’.
Yaitu boleh melakukan sampai tergelincirnya matahari. Jika sudah
tergelincirnya matahari, maka tidak perlu shalat. Begitupun juga gerhana
bulan. Boleh mengulangi shalatnya hingga bulan terang kembali, atau hilang
dari ufuk, atau terbitnya fajar.
c. Imam Hambali
Waktu pelaksanaan shalat gerhana matahari adalah sejak terjadinya gerhana
sampai matahari terang kembali.
d. Imam Hanafi
Waktu pelaksanaan shalat gerhana matahari adalah waktu disunnahkannya
melaksanakan semua shalat selain waktu-waktu yang dimakruhkan.
3. Khotbah dalam shalat gerhana
Pelaksanaan khotbah dalam shalat gerhana memiliki perbedaan pendapat,
yakni:
a. Imam Syafi’i, disunnahkan berkhotbah untuk shalat dua gerhana dengan dua
kali khotbah. Seperti hari raya dan jumat dengan berbagai macam rukunnya,
untuk mengikuti sunnah.
b. Imam Hanafi dan Imam Hambali berpendapat bahwa tidak ada khotbah
dalam shalat gerhana matahari. Karena Nabi SAW tidak memerintahkan
khotbah, hanya shalat saja.
c. Imam maliki juga berpendapat demikian. Bahwa tidak ada khotbah setelah
shalat gerhana. Hanya saja dianjurkan untuk memberi nasihat, pujian kepada
Allah, dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

4. Jamaah dalam shalat gerhana


Para ulama sepakat bahwa pelaksanaan shalat gerhana matahari secara
berjamaah di dalam masjid. Dan hukumnya adalah sunnah menurut dua kitab
shahih.
Sedangkan untuk pelaksanaan shalat gerhana bulan mempunyai perbedaan
pendapat oleh ulama fuqoha, yakni:
a. Imam Syafi’i & Imam Hambali
Shalat Shalat gerhana bulan dilakukan secara berjamaah seperti shalat
gerhana matahari. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.,
bahwa ia memimpin shalat orang-rang ketika terjadi gerhana matahari. Ia
berkata,
ُ ‫ْت َك َما َرَأي‬
‫ْت َرسُوْ ُل هللا‬ ُ ‫صلَّي‬
َ
“Aku melakukan shalat sebagaimana melihat Rasulullah SAW
melakukannya” (HR Syafi’i dalam musnadnya, dari Hasan al-Basyri)
b. Imam Maliki dan Imam Hanafi
Shalat gerhana bulan dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena tidak ada
riwayat yang menjelaskan shalat gerhana bulan dilaksanakan secara
berjamaah. Padahal gerhana bulan lebih banyak dari pada gerhana matahari

B. Shalat Istisqo’
Kata Istisqo’ dalam segi Bahasa berarti meminta hujan. Sedangkan secara
istilah adalah meminta hujan dari Allah SWT berupa turun hujan ketika semua
orang membutuhkannya dengan bentuk tertentu, yaitu shalat, khotbah, istighfar,
puja, dan puji.
Hukum melaksanakan shalah istisqo’ adalah Sunnah. Dan shalat ini boleh
dilaksanakan berkali-kali. Secara sendiri maupun berjamaah, bahkan shalat boleh
digantikan dengan doa.
1. Hukum shalat istisqo’
a. Sunnah mutlak. Ini adalah pendapat dari Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Ia
mengatakan bahwa shalat istisqo’ tidak disunnahkan untuk berjamaah. Dan
boleh untuk melaksanakannya sendiri-sendiri. Shalat istisqa’ hanya berupa
doa dan istighfar, tidak perlu berjamaah maupun berkhotbath.
b. Sunnah Muakkad. Ini adalah pendapat dari mayoritas ahli fiqih, diantaranya
Muhammad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf. Mereka berpendapat bahwa
shalat ini dilaksanakan baik di rumah maupun bepergian, sesuai kebutuhan,
dan kuat bahwa merupakan Sunnah Rasulullah SAW. Dalilnya ada pada
hadist Aisyah r.a. bahwa nabi SAW berkhotbah ketika beristisqo’:
‫ ان النبي صلى هللا عليه وسلم خطب في اإلستسقاء ثم نزل فصلى ركعتين‬...
"Lalu beliau SAW turun dan melakukan shalat dua rokaat...” ditambah dengan
hadits Abu Hurairah, Abdullah bin Zaid, dan ‘Ubad bin Tamim dari pamannya.

2. Tata cara shalat istisqo’


Di bawah adalah beberapa tahap shalat istisqo’, yakni:
a. Imam Syafi’i
Sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Bajuri jilid 1 bahwa ada beberapa tahap
ketika melaksanakan shalat istisqo’, yakni:
1) Dilaksanakan dengan dua rakaat
2) Rokaat pertama terdapat 7 takbir ditambah takbir utama, dan pada
rokaat kedua terdapat 5 takbir ditambah takbir utama.
3) Pada rokaat pertama boleh membaca surah Qaaf dan rokaat kedua
membaca surah al-Qamar
4) Sunnah puasa tiga hari sebelum shalat dan saat hari dilaksanakan shalat
tetap berpuasa
5) Saat hari dilaksanakannya shalat, ketika keluar dianjurkan tidak
memakai wangi-wangian, tidak memakai perhiasan, dan memakai
pakaian biasa.
6) Saat di tempat dilaksanakannya shalat. Bersikap khusyuk, tadhorru’
(melas), tadhallul (menghinakan diri di hadapan Allah)
7) Jika mempunyai binatang ternak, Sunnah untuk mengajaknya keluar
juga.
8) Di antara dua khotbah imam disunnahkan membalik serbannya. Kanan
ke kiri, atas ke bawah. Setelah itu makmum mengikuti membalik
serbannya.
9) Dalam khotbah, imam memperbanyak istighfar sebagai ganti dari takbir
10) Pada khotbah pertama, khotib beristighfar sebanyak Sembilan kali.
Sedangkan pada khotbah kedua tujuh kali
11) Berdoa. Khatib membaca doa dengan menghadap kiblat dan berdiri
setelah selesai sepertiga khotbah kedua.
Dianjurkan mengangkat kedua tangan saat berdoa. Sesuai Hadist Anas
r.a.,
‫صلَّى هللا َعلَيْه َو َسلَّم اَل يَرْ فَ ُع يَ َد ْي ِه فِي َش ْي ٍء ِم ْن ُدعَاِئ ِه ِإاَّل فِي ااْل ِ ْستِ ْسقَا ِء‬
َ ‫َكانَ النَّبِي‬
َ ‫فَِإنَّهُ َكانَ يَرْ فَ ُع يَ َد ْي ِه َحتَّى يُ َرى بَيَاضُ ِإ ْب‬
‫ط ْي ِه‬
“Nabi SAW tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdoa
kecuali pada saat istisqo’. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga
terlihat putihnya ketiak beliau.
b. Imam Maliki
1) Dilaksanakan dengan dua rakaat
2) Istighfar sebagai pengganti takbir tambahan dalam shalat
3) Ketika shalat lebih baik membaca surah al-A’laa dan asy-Syams
4) Tidak dianjurkan membawa keluar binatang ternak
5) Dalam khotbah, imam memperbanyak istighfar sebagai ganti dari takbir
6) Tidak ada batasan jumlah istighfar pada khotbah pertama maupun kedua
7) Berdoa. Khatib membaca doa dengan menghadap kiblat dan berdiri
setelah selesai dua khotbah
8) Dianjurkan mengangkat kedua tangan ketika berdoa.
9) Imam mengubah arah baju yakni dengan mengubah sisi kanan ke sisi
kiri. Sisi kiri ke sisi kanan. Tanpa mengangkat bajunya.
c. Imam Hanafi
1) Dianjurkan membawa keluar binatang ternak dan anak-anak
2) Tidak ada khotbah dalam shalat istisqo’. Karena khotbah dilakukan saat
berjamaah. Sedang shalat istisqo’ dilaksanakan secara tidak berjamaah.
Shalat istisqo’ hanyalah berisi doa dan istighfar dengan menghadap
kiblat
3) Tidak disunnahkan membolak-balikkan baju. Karena istisqo’ hanya doa
saja.
d. Imam Hambali
1) Dilaksanakan dengan dua rakaat di padang pasir atau luar
2) Hendaknya ketika shalat membaca surah seperti shalat hari raya, yakni
al-A’laa dan al-Ghasyiyah
3) Tidak dianjurkan membawa keluar binatang ternak karena Nabi SAW
tak pernah melakukannya.
4) Khotbah setelah shalat hanya dilakukan sekali, karena tidak dinukil Nabi
SAW melakukan lebih dari itu.
5) Imam membuka khotbah dengan takbir sebanyak tujuh kali seperti
khotbah hari raya. Lalu memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi
SAW
6) Imam menghadap kiblat ketika sedang berkhotbah
7) Berdoa. Dianjurkan mengangkat kedua tangan ketika berdoa.
8) Imam mengubah arah baju yakni dengan mengubah sisi kanan ke sisi
kiri. Sisi kiri ke sisi kanan. Tanpa mengangkat bajunya. Dan baju itu
diubah-ubah sampai dicopot saat di rumah.

3. Adab meminta hujan


a. Imam mengajak kaum muslimin untuk berpuasa dan bershadaqah sebelum
keluar melaksanakan shalat istisqa’. Namun imam hambali berpendapat
bahwa tidak harus berpuasa dan bersedekah karena perintah imam.
b. Imam memerintahkan untuk bertaubat dari segala kemaksiatan
c. Imam memerintahkan jamaah untuk meninggalkan permusuhan, keingkaran,
dan segala sesuatu yang mencegah turunnya hujan.
d. Keluar untuk shalat istisqa dengan penuh pengorbanan, merendahkan diri,
khusyuk, dan perlahan-lahan.
e. Minta hujan dengan meminta doa dari orang-orang saleh.
f. Diharamkan mengatakan, “Kita diberi hujan karena bulan, bintang, dan lain-
lain)
g. Mengeluarkan barang-barang sehingga terkena hujan.
h. Membersihkan diri untuk ber-istisqo’
4. Waktu pelaksaan shalat istisqo’
Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan waktu untuk melaksanakan shalat
istisqo’ kecuali waktu-waktu diharamkannya shalat fardlu. Disunnahkan untuk
melakukannya di awal siang. Sesuai dengan hadits Aisyah,

ِ ‫فَ َخ َر َج َرسُوْ ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم… ِح ْينَ بَ َدَأ َح‬
ِ ‫اجبُ ال َّش ْم‬
... ‫س‬
“... Maka keluarlah Rasulullah SAW ketika matahari mulai bersinar”(HR. Abu
Daud)

5. Hukum khutbah shalat istisqo’


Dalam khutbah istisqa disunnahkan bagi khatib untuk mengajak kaum
muslimin bertaubat dan memperbanyak istighfar, karena kekeringan dan
kemarau panjang yang menimpa kaum muslimin tidak lain disebabkan oleh dosa
mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫ْض الَّ ِذي َع ِملُوا لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ِجعُون‬ ِ َّ‫ت َأ ْي ِدي الن‬
َ ‫اس لِيُ ِذيقَهُ ْم بَع‬ ْ َ‫ظَهَ َر ْالفَ َسا ُد فِي ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر بِ َما َك َسب‬

Artinya: “Munculnya bencana di daratan dan lautan itu tidak lain karena
perbuatan manusia, supaya mereka merasakan akibat dari perbuatan mereka,
agar mereka kembali (bertaubat kepada Allah).[QS. ar-Rum: 41].

Disunnahkan juga bagi khatib untuk berdo’a sesuai dengan


do’aRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sambil mengangkat kedua
tangannya, dan membalikkan surbannya. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beristisqa kemudian
beliau berdoa sambil mengangkat kedua tangannya sampai kelihatan kedua
ketiaknya yang putih bersih, kemudian membelakangi jama’ah, dan
membalikkan surbannya.

Anda mungkin juga menyukai