Anda di halaman 1dari 21

Tata Cara Sholat Jamak dan Qoshor LENGKAP

Sehubungan masih banyaknya pertanyaan seputar Sholat Jamak dan Sholat Qashar, berikut ane share
artikel tersebut. Semoga bisa sedikit membantu pertanyaan yang belum terjawab, silakan difahami baik-
baik ya karena syariat itu penting :

I. PENGERTIAN SHOLAT JAMA'

Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu.
Misalnya, shalat dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar.
Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.

Shalat jama' dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara :

1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada
waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau
shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.

Syarat Sah Jama' Taqdim ialah:

a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama

b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua

c. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau
sesuatu keperluan yang sangat penting

2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada
waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau
shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.

Syarat Sah Jama' Ta’khir ialah:

a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”

b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau
sesuatu keperluan yang sangat penting.

NOTE :

Dalam Jama' ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau shalat kedua. Misalnya shalat
Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau sebaliknya. Muadz bin
Jabal menerangkan bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah tergelincir matahari
sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur dan Ashar dan apabila beliau ta’khirkan
shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu juga, jika terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi
SAWmengumpulkan Maghrib dengan Isya’ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau
ta’khirkan Maghrib sehingga beliau singgah (berhenti) untuk Isya’ kemudian beliau menjama'kan antara
keduanya.

HUKUM MENJAMA’ SHOLAT JUM’AT DENGAN ASHAR

Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alasan apapun baik
musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan lain. Walaupun dia adalah orang yang
diperbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.

Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah
menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan
Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila
ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan
mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan
kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada
ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).

Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali
apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain.(Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk
Utsaimin 15/369-378)

MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM

Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat
dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu 4 raka’at, namun apabila
ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat
yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma. Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di
Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya :”Kami melakukan shalat 4 raka’at apabila
bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir)
maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul
Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dengan sanad shahih. Lihat
Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM

Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia meng-qashar shalatnya maka
hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (4 raka’at), namun agar
tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat
qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan
tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah,
beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata : “Sempurnakanlah shalatmu (4 raka’at) wahai penduduk
Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat
dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu
Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat 4 raka’at
(tidak meng-qashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan
bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).

SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir
tersebut tinggal disuatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat
Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur,
dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat
pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam
safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya
dengan shalat Dhuhur yang dijama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir,
karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafaur Rasyidin (4
khalifah) Radhiallahu Anhum dan para sahabat lainnya serta orang-orang yang setelah mereka, apabila
safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata : “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al
Basri) di Kabul selama dua tahun meng-qashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”

Sahabat Anas Radhiallahu Anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak
melaksanakan shalat Jum’at.

Ibnul Mundzir Rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang
berdasar hadist shahih dalam hal ini sehingga tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu
Qudamah 3/216).
II. PENGERTIAN SHOLAT QASHAR

Shalat yang diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’) dijadikan 2
(dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya. Sebagaimana menjamak shalat, meng-
qashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-
orang yang memenuhi persyaratan tertentu.

Adapun syarat syah shalah Qashar sama dengan shalat Jamak, hanya ditambah :

1. Shalatnya yang 4 (empat) rakaat

2. Tidak makmum kepada orang yang shalat sempurna

3. Harus memahami cara melakukan

4. Masih dalam perjalanan, bila sudah sampai dirumah harus dikerjakan sempurna walaupun tetap
jama'.

Perhatikan Hadist Nabi SAW :

”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua raka’at saja sehingga beliau
kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau telah bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah
selama delapan belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at kecuali shalat
Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW : ”Wahai penduduk Mekkah, bershalatlah kamu
sekalian dua raka’at lagi, kami adalah orang-orang yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud)

Sedangkan cara melaksanakan shalat Qashar adalah :

1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.

2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian salam

Firman Allah SWT :

”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu memendekkan
shalat...” (QS. An-Nisa: 101)

Nabi SAW bersabda :

”Dari Ibnu Abbas R.A. ia berkata : ”Shalat itu difardhu-kan atau diwajibkan atas lidah Nabimu
didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua rakaat dan
didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim)
JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENG-QASHAR

Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir baik safar dekat atau safar jauh, karena tidak ada dalil yang
membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila
bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan
dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini
tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al
Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya
meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan
tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan
Ulama yang layak ber-ijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).

Seorang musafir diperbolehkan meng-qashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung


halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).

Berkata Ibnu Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu dalil-pun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam meng-qashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”

Berkata Anas Radhiallahu ‘Anhu : “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota
Madinah 4 raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENG-QASHAR SHALAT

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai
musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang
termasuk didalamnya imam empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali Rahimahumullah berpendapat
bahwa ada batasan waktu tertentu.

Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz, Syaikh Utsaimin
dan para ulama lainnya Rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk
meng=qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia
berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara
tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat)
berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya :
Sahabat Jabir Radhiallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
tinggal di Tabuk selama dua puluh hari meng-qashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)

Sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari).

Nafi’ Rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma tinggal di Azzerbaijan
selama enam bulan meng-qashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).

Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu
tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niatan
untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan
tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus
Sunnah 1/309-312).

BOLEHKAH MELAKUKAN SHOLAT JAMAK SEKALIGUS SHOLAT QASHAR

Sholat Jamak sekaligus Sholat Qashar artinya Sholat dengan mengumpulkan dua shalat fardhu
dalam satu waktu dan meringkas rakaatnya yang semula empat rakaat menjadidua rakaat. apa Dalilnya?

Perhatikan Hadist dari Ibnu Umar berikut ini :

”Pernah Rasulullah SAW menjamak Qashar shalat Maghrib dengan shalat Isya’, beliau laksanakan
Maghrib tiga rakat dan Isya’ dua rakaat dengan satu kali iqomah.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Shalat Jamak Qashar dapat pula dilaksanakan secara taqdim dan ta’khir. Jika hendak melakukan Jamak
Qashar, umpamanya kita mengumpulkan Ashar dengan Dzuhur yakni kita tarik shalat Ashar kedalam
shalat Dzuhur maka hendaklah kita sesudah Adzan dan Iqomah mengerjakan shalat Dzuhur dua rakaat,
setelah selesai Dzuhur iqomah lagi, setelah itu mengerjakan shalat Ashar dua rakaat.

Secara pribadi, saya ketika berpergian jauh maka lebih senang melakukan sholat jamak sekaligus qashar,
baik secara takdim maupun takhir :)

III. MENGUCAPKAN LAFADZ NIAT KETIKA SHOLAT

Tentang melafadzkan niat, saya secara pribadi ketika ditanya oleh kerabat atau teman tentang
melafadzkan niat maka saya hanya balik bertanya bahwa adakah dalil yang menunjukan bahwa harus
melafadzkan niat ketika memulai sholat? karena bagi saya niat itu di dalam hati, tidak perlu dilafadzkan,
sama halnya ketika orang berniat mau makan apakah dia harus mengucapkan kalimat niat seperti
"sengaja aku makan karena lapar" kan gak masuk di akal, apalagi dalam perkara ibadah.

Sering sekali kita ketika menjadi Makmum di masjid mendengar Imam melafadzkan niat dengan keras,
dan yang menjadi makmum dengan suara pelan. Nah, mari kita lihat pendapat para 'ulama seputar
melafadzkan niat secara pelan dan keras.

Mengucapkan Niat Dengan Bersuara Keras

Dalam Qaul Mubin fi Akhta’ al-Mushallin halaman 95 disebutkan, “Mengucapkan niat dengan suara
keras hukumnya tidaklah wajib tidak pula dianjurkan berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Bahkan
orang yang melakukannya dinilai sebagai orang yang membuat kreasi dalam agama yang menyelisihi
syariat. Jika ada orang yang melakukan hal demikian karena berkeyakinan bahwa hal tersebut
merupakan bagian dari syariat Islam maka orang tersebut adalah orang yang tidak paham tentang
agama dan tersesat dari jalan yang benar. Bahkan orang tersebut berhak untuk mendapatkan hukuman
dari penguasa jika dia terus-menerus melakukan hal tersebut setelah diberikan penjelasan. Terlebih lagi
jika orang tersebut mengganggu orang yang berada disampingnya disebabkan bersuara keras atau
mengulang-ulangi bacaan niat berkali-kali.”

Nadzim Muhammad Sulthan mengatakan, “Mengucapkan niat dengan suara keras adalah kreasi dalam
agama dan satu perbuatan yang dinilai munkar karena hal tersebut tidak terdapat dalam al-Quran dan
hadits Nabi satupun dalil yang menunjukkan disyariatkannya hal diatas. Padahal kita semua mengetahui
bahwa hukum asal ibadah adalah haram dan ibadah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil.”
(Qawaid wa Fawaid min al-Arbain an-Nawawiyah, halaaman 31)

Jamaluddin Abu Rabi’ Sulaiman bin Umar yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Mengucapkan niat
dengan suara keras dan juga membaca Al-Fatihah atau surah dengan suara keras dibelakang Imam
bukanlah termasuk sunnah Nabi bahkan hukumnya makruh. Jika dengan perbuatan tersebut jamaah
shalat yang lain terganggu maka hukumnya berubah menjadi haram. Barang siapa yang menyatakan
bahwa mengucapkan niat dengan bersuara keras adalah dianjurkan maka orang tersebut sudah keliru
karena siapapun dilarang untuk berkata-kata tentang agama Allah ini tanpa ilmu.” (al-A’lam, 3/194)

Syaikh Alauddin al-A’thar berkata, “Mengucapkan niat dengan suara keras yang mengganggu jamaah
shalat yang lain hukumnya adalah haram dengan kesepakatan ulama. Jika tidak menggangu yang lain
maka hukumnya adalah kreasi dalam agama (baca : bid’ah) yang jelek. Jika ada orang yang melakukan
hal tersebut bermaksud riya' dengan lafadz niat yang dia ucapkan maka hukumnya haram. Karena dua
alasan : riya dan pengucapan niat itu sendiri.

Orang yang mengingkari pendapat bahwa mengucapkan niat itu dianjurkan adalah orang yang benar.
Sedangkan orang yang membenarkannya adalah orang yang keliru. Meyakini hal tersebut bagian dari
agama Allah merupakan sebuah kekufuran. Sedangkan apabila tidak diyakini sebagai bagian dari agama
Allah maka bernilai kemaksiatan. Setiap orang yang memiliki kemampuan untuk mencegah perbuatan
ini memiliki kewajiban untuk mencegah dan melarangnya. Mengucapkan niat tidaklah diajarkan oleh
Rasulullah shahabat, dan tidak pula seorangpun ulama yang menjadi panutan umat.” (Majmu’ah ar-
Rasail al-Kubra 1/254)

Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim al-Thunisi yang mermadzhab Maliki mengatakan, “Niat
merupakan perbuatan hati. Mengucapkan niat dengan suara keras adalah bid’ah disamping
mengganggu orang lain.” (Lihat Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra hal 1/254-157)

Mengucapkan Niat dengan Suara Pelan

Syaikh Masyhur al-Salman mengatakan, “Demikian pula mengucapkan niat dengan suara pelan tidaklah
diwajibkan Menurut Imam Madzhab yang empat dan para ulama yang lainnya. Tidak ada seorang ulama-
pun yang mewajibkan hal tersebut, baik dalam berwudhu, shalat ataupun berpuasa.” (al-Qoul al-Mubin
halaman 96)

Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah diperbolehkan mengucapkan sesuatu
sebelum membaca takbiratul ihram?” “Tidak boleh,” jawab Imam Ahmad. (Majmu’ Fatawa XII/28)

Dalam al-Amru bil Ittiba’, halaman 28, Suyuthi yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Diantara
perbuatan bid’ah adalah was-was berkenaan dengan niat shalat. Hal tersebut tidak pernah dilakukan
oleh Nabi dan para shahabat. Mereka tidak pernah mengucapkan niat shalat. Mereka hanya memulai
shalat dengan Takbiratul Ihram padahal Allah berfirman, yang artinya, “Sungguh, pada diri Nabi telah
ada suri tauladan yang baik.” (QS al-Ahzab: 21)

Imam Syafi’i sendiri menyatakan, “Bahwa was-was berkenaan dengan niat shalat dan berwudhu
merupakan dampak dari ketidakpahaman dari aturan syariat. Dan akal pikiran yang sudah tidak waras
lagi.”

Mengucapkan niat memiliki dampak negatif yang sangat banyak sekali. Kita lihat ada seorang yang
mengucapkan niat shalat secara jelas dan terang kemudian dia berkeinginan untuk mengucapkan
takbiratul ihram. Orang tersebut lantas mengulangi lagi ucapan niatnya karena menganggap dia belum
berniat dengan benar.

Ibnu Abi al-Iz yang bermadzhab Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang-pun di antara Imam Madzhab
yang empat baik Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mewajibkan ucapan niat sebelum beribadah.”
Memang juga harus kita hormati orang yang melafadzkan niat, karena mereka juga mengetengahkan
pendapat, walaupun tersebut menurut sebagian 'ulama adalah lemah. Yakni mereka yang mengatakan
boleh melafadzkan niat adalah dengan mengutip pendapat Imam syafi'i yang berkata :

“Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang-pun memasuki shalat ini kecuali dengan dzikir”.

Mereka menyangka bahwad zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang
dimaksudkan oleh Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – dengan dzikir ini tidak lain adalah
takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam satu shalat-pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para
sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan
kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan
menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna
daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pemilik syari’at Shallallahu
‘alaihi wasallam. (Zaadul Ma`ad : 1/201)

Itulah kenapa Imam an Nawawi sebagai salah satu 'ulama dari madzab Syafi'i berkata, "Tempat niat
adalah hati dengan kesepakatan para ulama'. Tetapi ada sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) yang
mewajibkan mengucapkan niat dan dinyatakan sebagai salah satu pendapat dari Imam Syafi’i. Ini adalah
sebuah kesalahan! Disamping itu, pendapat tersebut melanggar kesepakatan para ulama yang sudah
ada sebelumnya.” Demikian komentar Nawawi.” (al-Ittiba’ halaman 62)

Namun pula, disamping alasan diatas, ada juga sebagian 'ulama yang berpendapat bahwa melafadzkan
niat itu hukumnya sunnah, bukan bid'ah sebagaimana yang 'ulama lain fahami. Karena bagi para 'ulama
yang mengadopsi boleh melafadzkan niat ketika mau sholat maka itu bukan termasuk rukun sholat,
karena menurut mereka Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat. Namun mereka sepakat jika
dikatakan niat adalah didalam hati, karena memang niat adalah amalan hati, bukan fisik.

Niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat),
adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan
sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan
bukan merupakan bagian dari rukun shalat.

Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antar masing-masing pendapat dari 'ulama tersebut, saya
disini mencoba untuk memahami dimana letak perbedaan dan persamaanya.
Jikalau kita lihat, masing-masing dari 'ulama tersebut sepakat bahwa niat itu adalah perkara hati, bukan
perkara fisik, dan mereka juga bersepakat yang namanya niat itu dikerjakan bersamaan dengan
takbiratul ihram, bukan sebelum atau sesudahnya.

Kita ketahui bersama juga bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan
bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir.
Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat

(‫; ) باب النية في الصالة‬

‫ والنية ال تقوم مقام التكبير وال تجزيه النية إال أن تكون مع التكبير ال تتقدمالتكبير وال تكون بعده‬:‫قال الشافع‬

“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat
tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”

Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh
Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;

. (‫ (النية) الن التكبير أول أركان الصالة فتجب مقارنتها به )مقرونا به‬،‫أي بالتكبير‬،

“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adalah rukun shalat
yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat.”

Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal :

(‫)فصل في النية يجب مقارنتها التكبير‬

‫يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان‬

“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan :

(‫; )باب فرائض الصالة‬

‫ ومقارنة النية للتكبير‬،‫ والتكبير‬،‫النية‬

"Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"

Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :

‫وتكون النية مقارنة للتكبير ال يجزئه غيره والتكبير أن يقول أهلل أكبر أو هللا األكبر ال يجزئه غيرذلك‬

"dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. Dan takbir yaitu mengucapkan ( ‫أهلل أكب‬
‫ )ر‬atau ( ‫)هللا األكبر‬, selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."

Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah Takbiratul Ihram yang sekaligus bersamaan dengan
niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan)

Nah, namun tentang mengucapkan lafadz niat (bukan niat) maka mereka mengatakan itu boleh bahkan
hukumnya sunnah.

Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan
melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu
pada ibadah Haji.

)‫ َلَّبْي َك ُعْم َر ًة َو َح ًّج ا (رواه مسلم‬: ‫َع ْن َاَن ٍس َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه َق اَل َس ِمْع ُت َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ُقْو ُل‬

“Dari sahabat Anas R.A. berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi
panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim) Dalam buku Fiqh As-
Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang sahabat mendengar Rasulullah
SAW mengucapkan ( ‫ )َن َو ْي ُت اْلُعْم َر َة َاْو َن َو ْي ُت اْلَح َّج‬: “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat
mengerjakan ibadah Haji”. Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan
ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan
melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut
merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah. Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh
al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (‫ ) ابنحجر الهيتمي‬didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ; (‫ويندب الن‬
‫“ بالمنوي (قبياللتكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خالف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتيفي الحج )طق‬Dan
disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga
untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah
syad ( menyimpang), dan kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”,
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqih,

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :

‫واستمداده من الكتاب والسنة واالجماع والقياس‬.

Ilmu Fiqih dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-
Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah ‫ الرسالة‬:

‫أن ليس ألحد أبدا أن يقول في شيء حل وال حرم إال من جهة العلم وجهة العلم الخبر فيالكتاب أو السنة أو األجماع أو القياس‬

"..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada
pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”

‫قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم هللا وفي كلما كان نص السنة هذا حكم رسول هللا ولم نقل له قي‬
‫اس‬

Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap
perkara ada nas-nya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (Al-Qur'an), jika ada nas-nya didalam as-
Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah
ada hukumnya didalam Al-Qur'an dan Sunnah). Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas
jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu
dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ? Jadi,
melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan
diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu
fiqih, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa
melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan
tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat. Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang
mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut : Al-Allamah asy-Syekh
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi
Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ; “Disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram,
agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama
yang mewajibkannya.” Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan
sebutan "Syafi'i Kecil" [‫]الرملي الشهيربالشافعي الصغير‬

Dalam kitab Nihayatul Muhtaj (‫)نهاية المحتاج‬, juz I : 437 :

‫َو ُيْن َد ُب الُّن ْط ُق ِبالَم ْن ِو ْي ُقَب ْي َل الَّتْك ِبْي ِر ِلُيَس اِع َد الِّلَس اُن الَقْلَب َو َأِلَّنُه َأْب َع ُد َع ِن الِو ْس َو اِس َو ِلْلُخ ُرْو ِج ِمْن‬
‫ِخ َالِف َم ْن َأْو َج َب ُه‬

“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati
(kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan
dengan ulama yang mewajibkannya”.

KESIMPULAN TENTANG MELAFADZKAN NIAT

Jadi, pendapat yang bisa dianggap menyimpang keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah)
dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan
niat. Sebab mewajibkan melafadzkan niat sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat,
padahal tidak ada 'ulama yang mengatakan itu, namun jika melafadzkan niat tanpa bermaksud
mengatakan itu bagian dari sholat maka itu mubah, karena awalan sholat adalah niat yakni niat didalam
hati yang bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Jadi silahkan yang mau melafadzkan niat sholat namun
jangan berniat atau bermaksud itu adalah bagian dari sholat, karena sekali lagi saya katakan, awalan
sholat adalah niat didalam hati, bukan dari lafadz niat, jadi tatkala anda mengucapkan lafadz niat sholat,
maka kemudian barulah mulai sholat dengan di awali niat dalam hati dan takbiratul ihram secara
bersamaan. Jadi, yang dikritik oleh para 'ulama yang menentang pendapat bahwa niat sholat harus
dilafadzkan adalah ketika lafadz dari niat tersebut dianggap bagian dari sholat, namun jika bukan
bermaksud mengangap bagian dari sholat maka tidak mengapa. Ini yang bisa saya fahami, itulah kenapa
jika ada yang bertanya kepada saya tentang lafadzs niat maka memang saya mengatakan tidak ada dalil
yang mengatakan bahwa sholat di awali dengan melafadzkan niat, melainkan didalam hati dan
bersamaan dengan takbir, adapun ketika ingin melafadzkan niat maka itu sebelum memulai sholat.
Karena melafadzkan niat bukan bagian dari rukun sholat.

IV. NIAT DAN TATA CARA SHOLAT JAMA’ QHASAR

Adakalanya kita mengadakan perjalanan jauh atau berpergian yang membutuhkan waktu perjalanan
yang panjang, misalnya naik pesawat terbang, kapal laut, karyawisata, mengunjungi kakek dan nenek di
kampung halaman atau keperluan lainnya. Hal itu menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk
melakukan ibadah sholat. Padahal sholat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh
ditinggalkan dalam keadaan apapun juga. Kasih sayang Allah SWT kepada umat Islam sedemikian besar
dengan cara memberikan rukhsah dalam melaksanakan sholat dengan cara jamak dan qasar dengan
syarat-syarat tertentu. Apa sajakah itu? Mari kita pelajari materi berikut ini.

Orang yang sedang bepergian itu dibolehkan memendekkan shalat atau meringkas shalat yang jumlah
shalatnya empat raka’at menjadi dua raka’at (shalat qashar). Dibolehkan pula mengumpulkan shalat
dalam satu waktu, shalat Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’ (shalat jama’). Sedangkan
shalat Subuh tidak bisa diqoshor maupun dijama’ tapi untuk shalat Maghrib bisa dijama’ dan tidak bisa
diqoshor.

Men-jama' shalat ada 2. Bila dilakukan waktu shalat yang awal (misalnya Dhuhur dan Ashar dilakukan
pada waktu Dhuhur), maka dinamakan jama' takdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua (seperti
Dhuhur dan Ashar dilakukan pada waktu ashar) maka disebut jama' ta'khir.

Syarat meng-qashar :

1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat

2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km

3. Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.

4. Niat qashar bersamaan dengan Takbiratul Ihram.

5. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).

Syarat Jama' Takdim :

1. Tertib, mengerjakan dua rakaat secara urut. Dhuhur harus didahulukan tidak boleh dibalik dengan
mengerjakan Ashar dulu.

2. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.

3. Terus-menerus, antara dua shalat yang dijama' tidak boleh diselingi dengan ibadah atau pekerjaan
lain.

Syarat Jama' Ta'khir :

1. Niat jama' ta'khir yang diwaktu shalat yang pertama.


2. Mengerjakan shalat yang kedua ('Ashar atau Isya') masih dalam perjalanan. Bila dikerjakan ketika
sudah sampai rumah, maka tidak boleh dijama' ta'khir. Menurut qaul shahih dalam jama' ta'khir tidak
perlu disyaratkan tertib, muwalah (terus menerus) dan dengan niat jama'.

A. SHALAT DHUHUR JAMAK TAQDIM DENGAN SHALAT ASHAR

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Dhuhur. Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Ashar.

Niat Shalat Dhuhur Jamak Taqdim dengan Shalat Ashar

USHALLII FARDLADH DHUHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI JAM'A TAQDIIMIIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Dhuhur empat rakaat dijama’ dengan Shalat Ashar dengan jama' taqdim
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Ashar Jamak Taqdim dengan Shalat Dhuhur

USHALLII FARDLAL ASHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIDH DHUHRI JAM'A TAQDIIMIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Asyar empat rakaat dijama’ dengan Shalat Dzuhur dengan jama' taqdim makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

B. SHALAT DHUHUR JAMAK TAKHIR DENGAN SHALAT ASHAR

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Ashar. Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Ashar.

Niat Shalat Dhuhur Jamak Ta’khir dengan Shalat Ashar

USHALLII FARDLADH ‘DHUHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ASHRI JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dzuhur empat rakaat dijama’ dengan Shalat Asyar dengan jamak ta'khir makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Ashar Jamak Ta’khir dengan Shalat Dhuhur

USHALLII FARDLAL ‘ASHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIDH DHUHRI JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Ashar empat rakaat dijama’ dengan Shalat Dhuhur dengan jama' ta'khir makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

C. SHALAT DZUHUR QASHAR DAN SHALAT ASHAR QASHAR

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu masing-masing. Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan Shalat
Ashar menjadi dua rakaat.

Niat Shalat Dhuhur Qoshor

‫اصلى فرض الظهرركعتين قصرا هلل تعالى‬

USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Dhuhur dua rakaat dengan Qashar karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Ashar dengan Qoshor

‫اصلى فرض العصرركعتين قصرا هلل تعالى‬

USHALLII FARDLAL ‘ASHRI RAK’ATAINI QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat dengan Qashar karena Allah Ta’alla”

SHALAT DHUHUR JAMAK TAQDIM BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ASHAR

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Dhuhur. Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Ashar. Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar menjadi dua rakaat.
Niat Shalat Dhuhur Jama’ Taqdim beserta Qoshor dengan Shalat Ashar

USHOLLI FARDLODZ-DZUHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI JAM'A TAQDIIMIN


MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Dhuhur dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat ‘Ashar dengan jama'
taqdim makmum/imam karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Ashar Jama’ Taqdim beserta Qoshor dengan Shalat Dhuhur

USHALLII FARDHAL ‘ASHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIDH DHUHRI JAM'A TAQDIIMIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Dhuhur dengan jama' taqdim
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

SHALAT DHUHUR JAMAK TA'KHIR BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ASHAR

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Ashar. Setelah Shalat Dhuhur kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Ashar. Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar menjadi dua rakaat.

Niat Shalat Dhuhur Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Ashar

USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Dhuhur dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat ‘Ashar dengan jama' ta'khir
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Ashar Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Dhuhur
USHALLII FARDLAL ‘ASHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIDH DHUHRI JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Dhuhur dengan jama' ta'khir
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

F. SHALAT MAGHRIB JAMAK TAKDIM DENGAN SHALAT ISYA’

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Maghrib. Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Isya’.

Niat Shalat Maghrib Jama’ Taqdim dengan Shalat Isya’

USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I JAM'A TAQDIIMIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat dijama’ dengan Shalat Isya’ dengan jama' taqdim makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Isya’ Jama’ Taqdim dengan Shalat Maghrib

USHALLII FARDLAL ISYAI ARBA'A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI JAM'A TAQDIIMIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Isya' empat rakaat dijama’ dengan Shalat Maghrib dengan jama' taqdim makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

G. SHALAT MAGHRIB JAMAK TA’KHIR DENGAN SHALAT ISYA’

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Isya’.

Niat Shalat Maghrib Jama’ Ta’khir dengan Shalat Isya’


USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat dijama’ dengan Shalat Isya’ dengan jama' ta'khir makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Isya’ Jama’ Ta’khir dengan Shalat Maghrib

USHALLII FARDLAL ISYAA’I ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Isya’ empat rakaat dijama’ dengan Shalat Maghrib dengan jama' ta'khir makmum/iman
karena Allah Ta’alla”

H. SHALAT ISYA’ QASHAR

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.

Niat Shalat Isya’ dengan Qoshor

‫اصلى فرض العشاء ركعتين قصرا هلل تعالى‬

USHALLII FARDLAL ISYA’I RAK’ATAINI QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Isya’ dua rakaat dengan Qashar karena Allah Ta’alla”

SHALAT MAGHRIB JAMAK TAQDIM BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ISYA’

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Maghrib. Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.

Niat Shalat Maghrib Jama’ Taqdim beserta Qoshor dengan Shalat Isya’
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL
ISYA’I JAM'A TAQDIIMIN MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Isya’ dengan jama' taqdim
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Isya’ Jama’ Taqdim beserta Qoshor dengan Shalat Maghrib

USHALLII FARDLAL ISYA’I RAK'ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI JAM'A TAQDIIMIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Isya’ dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Maghrib dengan jama' taqdim
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

SHALAT MAGHRIB JAMAK TA’KHIR BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ISYA’

Keterangan : Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Setelah Shalat Maghrib kemudian dilanjutkan
dengan Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.

Niat Shalat Maghrib Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Isya’

USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ISYA’I


JAM'A TA'KHIRIN MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA

“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Isya’ dengan jama' ta'khir
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

Niat Shalat Isya’ Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Maghrib

USHALLII FARDLADH ISYA’I RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI JAM'A TA'KHIRIN
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Maghrib dengan jama' ta'khir
makmum/imam karena Allah Ta’alla”

Catatan :
Bila sholat diatas dikerjakan sendirian (munfarid), maka niat sholat tidak perlu ditambahi
ma'muman/imaman, jadi langsung saja Lillahi Ta'ala.

Anda mungkin juga menyukai