Jika
dikerjakan pada waktu yang pertama disebut jama’ Taqdim dan jika dikerjakan pada watu
sholat yang kedua disebut jama’ ta’khir. Sedangkan Sholat qoshor adalah meringkas shalat
dari 4 (empat) raka’at menjadi 2 (dua) raka’at. Jama' dan Qashor, dua hal yang memiliki
syarat masing-masing.
Syarat jama' Taqdim adalah
البداءة باألولى ونية الجمع والمواالة بينهما ودوام العذر:شروط جمع التقديم أربعة
Contohnya: bila shalat Dhuhur sekaligus Ashar, maka harus dimulai dengan shalat Dhuhur
terlebih dahulu kemudian dilanjutkan shalat 'Asar. Keduanya dilakukan pada waktu shalat
Dhuhur. Tidak terpisah oleh waktu yang lama kadar 2 (dua) roka’at antara sholat yang
pertama dan kedua.
Bila shalat Maghrib dan Isya', maka harus didahulukan shalat Maghrib.
ام الثانيةVVVVذر إلى تمVVVVعها ودوام العVVVVد بقي من وقت األولى مايسVVVVأخير وقVVVVة التVVVV ني:انVVVVأخير إثنVVVVع التVVVVروط جمVVVVش
1. Niat jama' ta'khir ketika masih berada pada waktu shalat yang pertama
2. Adanya udzur sampai sempurnanya mengerjakan shalat yang kedua
Bila ingin melaksanakan jama' ta'khir, maka sejak berada di waktu shalat yang pertama sudah
ada niatan untuk mengerjakan shalatnya diwaktu shalat kedua.
ديVVرام وأن اليقتVV أن يكون سفره مرحلتين وأن يكون مباحا والعلم بجواز القصر ونيه القصر عند اإلح:شروط القصر سبعة
بمتم في جزء من صالتة
Untuk melakukan qashar shalat, maka perjalanan harus sejauh 2 marhalah, atau kira-kira
jarak perjalanan mencapai 16 (enam belas) farsakh (ada ulama’ yang mengatakan 88 Km, 80
Km, 64 Km, 94,5 Km, dan lain-lain. Bila perjalanannya sudah mencapai syarat jarak ini maka
boleh mengqashar shalat. Tapi hal itu pun harus perjalanan untuk hal yang mubah, bukan
untuk tujuan ma'siat, tapi boleh untuk tujuan rekreasi karena itu perkara mubah.
Bagi orang yang dalam berpergian jauh,di bolehkan menyingkat waktu sholat wajib yang 4
raka’at menjadi 2 raka’at dengan syarat sebagai berikut:
Dan menurut Abd.Rahman Al-Jazairi dalam Kitabul Fiqih alal Madzahibil Arba’ah
dinyatakan 81 km
2.Sholat Jama’
Sholat jama’ ialah sholat yang dikumpulkan,misalnya Dzuhur dengan Ashar,Magfibh dengan
Isya,di dalam satu waktu
Jika sholat dzhur dengan ashar dikerjakan pada waktu dzuhur dengan magribh dengan
isya,dilakukan pada waktu magribh,maka jama seperti itu disebut sebagai Jama’
Taqdim
Jika dilakukan sebaliknya disebut “Jama Takhir” misalnya zhur dengan dilakukan
pada waktu ashar dan magrib dengan isya,dikerjakan pada waktu isya
Syarat jama’taqdim:
Diantara dalil yang menyebutkan disyariatkannya pelaksanaan shalat dengan cara dijama’
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Muadz bahwasanya pada suatu hari Nabi
saw pernah mengakhirkan sholat di waktu peperangan Tabuk kemudian berliau saw pergi
keluar dan mengerjakan sholat zhuhur dan ashar secara jama’. Setelah itu beliau saw masuk
kemudian keluar dan mengerjakan sholat maghrib dan isya secara jama’.” Sedangkan dalil
untuk sholat dengan cara diqoshor adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu
Daud dan baihqi dari Yahya bin Yazid, ia berkata,”Aku bertanya kepada Anas bin Malik
mengenai mengqoshor sholat. Ia menjawab, Rasulullah saw mengerjakan sholat dua rakaat
jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.”
Pada dasarnya setiap shalat haruslah dilakukan pada waktunya dan dilarang bagi seorang pun
untuk menyia-nyiakan atau mengakhirkannya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan.
Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
(QS. Maryam : 59)
Hendaklah setiap orang yang ingin berkendaraan dan mengetahui bahwa ia akan terjebak
dalam kemacetan untuk memperhatikan waktu-waktu shalatnya. Seorang yang berkendaraan
berangkat pada waktu zhuhur dan memperkirakan bahwa dia akan mendapatkan waktu ashar
di kendaraannya lalu terjebak didalam kemacetan. Jika dia memiliki kesempatan ditengah
kemacetannya itu untuk menghampiri tempat shalat maka hal itu haruslah dilakukannya
untuk melaksanakan shalat ashar.
Akan tetapi jika dia memperkirakan sebelum berangkat bahwa kemacetannya akan panjang
sehingga dia merasa akan kehilangan waktu shalat asharnya sementara tidak memungkinkan
baginya untuk keluar darinya dan mampir ke tempat shalat untuk melakukan shalat ashar
maka dibolehkan baginya untuk menjama’ shalat zhuhur dan ashar di waktu zhuhur sebelum
dirinya berangkat. Dibolehkan bagi seseorang menjama’ shalatnya disebabkan adanya
keperluan, sebagaimana dikatakan Imam Nawawi, Ibnu Sirin dan Asuhab dari golongan
Maliki. Menurut al Khottobi bahwa ini juga pendapat dari Qoffal dan asy Syasyil Kabir dari
golongan Syafi’i juga dari Ishaq Marwazi dan dari jama’ah ahli hadits.
Dalam keadaan seperti ini ukuran jarak tidaklah menjadi pertimbangan karena diperbolehkan
bagi seseorang menjama’ shalat di tempat tinggalnya berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Ibnu Abbas katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat
zhuhur dan ashar semuanya, dan antara maghrib dan isya’ semuanya bukan karena ketakutan
dan tidak pula ketika safar.”
Demikian halnya dengan pertanyaan anda ketika seorang yang berdomisili Jakarta akan
bepergian ke Bandung, apakah Sholat Jama’nya bisa diawalkan (dilakukan di Jakarta,
sebelum berangkat) ? maka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas hal itu—menjama’ shalat zhuhur
dan ashar di tempat tinggalnya (Jakarta)—bisa dilakukan. Namun tidak dibolehkan baginya
untuk mengqashar (memotong) kedua shalat itu masing-masing menjadi dua rakaat karena
saat itu dirinya belumlah melakukan suatu perjalanan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar
(bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat
disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya seuatu
keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jarak
jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga
bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari
itu semua adalah mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz
XXII hal 293)
Dari penjelasan Syeikhul Islam diatas bisa kita katakan bahwa tidak setiap shalat jama’ harus
diikuti oleh qashar, seperti contoh diatas atau seorang yang melakukan shalat dikarenakan
hujan maka dirinya dibolehkan melakukan jama’ tidak qashar.
Syarat pertama, hendaklah perjalanan itu cukup jauh, jaraknya mencapai 81 Km atau lebih.
Perjalanan yang kurang dari itu dianggap belum memenuhi syarat di sini.
Syarat kedua, perjalanan hendaklah mempunyai tujuan tertentu yang pasti. Dengan demikian,
dianggap tidak memenuhi syarat, perjalanan seseorang sesampai-sampainya kaki, tanpa
tujuan tertentu. Dan juga, perjalanan orang yang manut saja kepada pemimpinnya, sedang dia
tidak tahu kemana akan pergi.
Tetapi ini semua apabila belum mencapai jarak perjalanan yang jauh tersebut di atas. Kalau
jarak sekian sudah tercapai, maka boleh mengqashar, karena jauhnya perjalanan sudah jelas.
Syarat ketiga, tujuan perjalanan bukanlah untuk melakukan sesuatu maksiat. Kalau tujuannya
demikian, maka perjalanan seperti itu dianggap tidak memenuhi syarat. Seperti halnya orang
yang merantau untuk berdagang khamar, memungut riba atau membegal. Karena qashar
adalah rukhsakh (peringanan). Sedangkan rukhsakh itu disyari’atkan tak lain karena tujuan
yang terpuji. Dan oleh karenanya, tak boleh dilakukan untuk tujuan-tujuan maksiat.
Tegasnya, tak boleh berkaitan dengan apa pun yang memuat maksiat.
Al-Bukhari (518), dan Muslim (705) telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA:
،صلَّى بِ ْال َم ِد ْينَ ِة َس ْبعًا َوثَ َمانِيًا َ صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ ي َّ ِاَ َّن النَّب
ِم ْن َغي ِْر: َزا َد ُم ْسلِ ْم،ب َو ْال ِع َشا َء َ َو ْال َم ْغ ِر،الظ ْه َر َو ْال َعصْ رُّ
اَ َح ُد َر َوا ِة، ُ فَقَا َل اَي ُّْوب:ي ِ َو ِع ْن َد ْالبُ َخ،ف َوالَ َسفَ ٍر
ِّ ار ٍ َخ ْو
قَا َل اب ُْن: َو ِع ْن َد ُم ْسلِ ٍم، لَ َعلَّهُ فِى لَ ْيلَ ٍة َم ِط ْي َر ٍة؟ قَا َل َع َسى،ث ِ ْال َح ِد ْي
اَ َرا َد اَ ْن الَي ُْخ ِر َج اَ َح ًدا ِم ْن اُ َّمتِ ِه:ض َي هللاُ َع ْنهُ َما ِ س َر ٍ َعبَّا
Bahwasanya Nabi SAW pernah shalat di Madinah tujuah dan delapan rakaat: Zhuhur dan
‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isya. Muslim menambahkan: tanpa alasan takut ataupun
perjalanan jauh. Sedang menurut al-Bukhari: Maka berkatalah Ayyub – salah seorang
periwayat hadits ini - : “Barangkali Nabi berada pada malam hujan?” Jawab Ibnu ‘Abbas:
“Boleh jadi”. Sedang menurut Muslim, Jawab Ibnu ‘Abbas RA: “Beliau ingin agar tidak
menyulitkan seorang pun dari umatnya”.
Adapun menjamak kedua shalat itu dalam waktu yang kedua, tidaklah diperbolehkan. Karena
barangkali hujan menjadi reda. Dengan demikian, berarti shalat itu dikeluarkan dari waktu
yang semestinya tanpa uzur.
1. Shalat itu dilakukan berjamaah di sebuah masjid, yang menurut ‘uruf cukup jauh dari
tempat tinggal, hingga menyulitkan orang yang pergi ke sana dalam keadaan hujan.
2. Hujan masih berlangsung pada permulaan shalat yang kedua, dan di kala salam dari shalat
yang pertama