Anda di halaman 1dari 8

Irna Rahmawati

202101018
Pendidikan Bahasa Arab
Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Jamaah Estafet (Masbuq)

A. Pengertian Masbuq
Kata Masbuq (‫ ) سبق‬secara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari asal
fi’il madhi dan mudhari yaitu ‫ يسبق‬-‫( سبق‬sabaqa-yasbiqu) artinya melewati
atau mendahului. sehingga masbuq berarti orang yang dilewati atau
didahului.
Sedangkan secara istilah fiqih, khususnya dalam perkara shalat
berjamaah, pengertian masbuq adalah

‫من سبقة اإلمام ببعض ركعات الصالة او جبميعها‬


Orang yang telah didahului oleh imam pada sebagian rakaat atau seluruhnya.1
Jadi dapat di simpulkan bahwa masbuq atau makmum masbuq adalah
mereka yang tertinggal beberapa raka’at shalat atau semua raka’atnya. Bisa
juga disederhanakan dengan makmum yang bergabung shalat berjamaah,
akan tetapi imam sudah memulai sahalat.
B. Pendapat Para Ulama Tentang Jamaah Estafet (Masbuq)
Terkait dengan permasalahan tentang jamaah estafet (masbuq) di dalam
shalat para ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat imam diantara
sesama makmum masbuq untuk membangun jamaah baru sehingga menjadi
jamaah berantai. Setidaknya kasus ini bisa terjadi dalam dua keadaan.
a. Kasus Pertama pada saat ada makmum masbuq yang tiba-tiba ditepuk oleh
orang yang sama sekali tidak menjumpai jamaah karena imam sudah
salam. Dalam kasus ini, masbuq tersebut telah terputus kemakmumannya
dengan salamnya imam. Maka dia bebas untuk menentukan sendiri tingkat
kecepatan shalatnya. Dan dia sudah mendapatkan pahala berjamaah.

1
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2015). hal. 340
Jika pada saat menuntaskan raka’at yang kurang tiba-tiba ada yang
memberi isyarat untuk di ikuti atau di angkat sebagai imam, maka dia
boleh merubah niatnya menjadi imam. Dan ini sah dalam pandangan
Ulama Syafi’iyyah.
b. Kasus kedua adalah pada saat sesama masbuq semacam menyepakati
untuk mengangkat salah satu diantara mereka menjadi imam dalam rangka
melanjutkan kekurangan raka’at tersebut secara berjamaah.2
Dalam masalah masbuq menjadi imam banyak yang mempertanyakan
mana dalilnya, adakah contohnya di zaman Nabi ? mereka berpendapat,
bahwa makmum yang masbuq hendaklah menyelesaikannya dengan masing-
masing dan tidak mengangkat imam lagi karena mengikuti sebagian dari
pelaksanaan shalat dengan imam itupun sudah dinilai berjamaah.
Dalam masalah masbuq menjadi imam terdapat dua pendapat yaitu:
Golongan pertama: berpendapat, bahwa makmum yang masbuq hendaklah
menyelesaikan yang ketinggalannya dengan cara masing-masing dan tidak
mengangkat imam lagi mengingat:
1. Tidak terdapat perintah dari Nabi untuk mengangkat imam lagi
2. Tidak terdapat contoh pengamalan dari para sahabat dengan mengangkat
imam lagi
3. Mengikuti sebagian raka’at bersama imam itu pun sudah mengikuti
berjamaah
Golongan kedua: berpendapat, bahwa makmum yang masbuq boleh
menyelesaikan yang ketinggalannya dengan cara berjamaah, yaitu tampil
salah seorang diantara mereka untuk menjadi imam, mengingat:
1. Pada dasarnya shalat fardhu yang lima waktu itu di utamakan dengan
berjamaah dalam keadaan bagaimanapun juga.
2. Orang yang ketinggalan berjamaah dengan imam pun dianjurkan untuk di
barengi agar mendapatkan keutamaan berjamaah,
3. Orang yang sudah shalat di tempat tinggalnya dianjurkan untuk ikut shalat
berjamaah.

2
Sutomo Abu, Menjadi Makmum Masbuq, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2020). hal. 51
4. Adapun alasan tidak terdapat perintah untuk berjamaah bagi yang
masbuq, sebetulnya perintah untuk shalat masing-masing tidak ada dalil
yang qathiti.
5. Berbicara tidak dapat contoh di zaman Nabi, bahwa yang masbuq itu
shalat dengan berjamaah lagi, dalam hal ini terdapat banyak kasus yang
dilakukan di masyarakat kita padahal di zaman Nabi tidak pernah terjadi
seperti contoh : Di masyarakat kita, imam/khatib jum’at suka bergiliran
(di jadwal), padahal di zaman Nabi tidak pernah bergilir.
6. Mengikuti sebagain raka’at bersama imam sudah terhitung berjamaah,
memang betul tapi tidak berarti tidak boleh melanjutkan dengan
berjamaah bahkan di zaman Nabi yang sudah shalat juga di anjurkan lagi
untuk ikut shalat berjamaah.3 Bahkan ada dalam hadits bahwa yang
masbuq bisa mengangkat imam yaitu:
Yang artinya: “al- Mughirah Ra berkata, “Rasulullah (pada perang
tabuk) ketinggalan dan akupun ketinggalan bersamanya, beliau
berkendaraan, demikian pula saya. Sampailah kami kepada suatu kaum
yang sedang shalat di imami oleh ‘Abdurrahman ibnu ‘Auf. Ia telah
menyelesaikan satu raka’at. Ketika Abdurrahman merasakan keberadaan
Nabi, ia berusaha mundur, tetapi Nabi berisyarat agar ia tetap
melanjutkan menjadi imam. Ketika salam, Nabi berdiri dan sayapun
berdiri. Maka kami menyelesaikan raka’at kami yang tertinggal”.
(Shahih Muslim 1:230 no. 274).4

Ustadz Wawan Shofwan menyimpulkan dari hadits tersebut:


dengan keterangan Mughirah (Nabi Saw berdiri dan akupun berdiri lalu
kami melaksanakan raka’at yang ketinggalan), jelaslah bahwa makmum
yang masbuk lebih dari satu orang itu pada waktu menambah kekurangan
raka’at yang ketinggalan hendaklah dilakukan secara berjamaah agar
tidak kehilangan keutamaan berjamaah.5
Al-Allamah Muhaddits Syaikh Nashruddin Al-Abani pernah
ditanya: “bagaimana mendirikan Shalat jamaah kedua setelah jamaah di
dalam satu masjid?” ulama Fiqih berbeda pendapat tentang hukum shalat
jamaah kedua, yaitu menurut Pendapat Para Madzhab atau Ulama:
3
A. Zakaria, Al-Hidayah, (Garut: IBN AZKA Press) hal. 145
4
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam, Risalah Shalat, (Bandung: Risalah Press, 2005).hal. 161
5
Al-Hidayah, 150
a. Al-Hanafiyah
Diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa mereka
memakruhkan apabila peserta shalat jamaah pada gelombang kedua
itu berjumlah banyak. sedangkan jika jumlahnya hanya dua atau tiga
orang saja, dan mereka melakukannya di pojok belakang masjid,
hukumnya masih di bolehkan.
b. Al-Malikiyah
Al-Imam Malik memakruhkan pengulangan shalat berjamaah di
masjid yang punya imam rawatib tetap. Sebagaimana makruhnya
sholat berjamaah sebelum datangnya imam rawatib.
Didalam kitab Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa Imam Malik
ditanya orang tentang imam yang mengumandangkan Adzan di
masjid, lalu menunggu orang-orang datang tetapi tidak ada yang
datang juga. Maka diapun shalat sendirian. Setelah itu barulah ada
jamaah yang datang untuk sholat berjamaah pertanyaannya, apakah
imam yang sudah sholat tersebut harus berjamaah lagi biar dapat
pahala berjamaah,?. Maka, jawaban beliau bahwa imam itu tidak perlu
lagi mengulanginya. Dan siapa yang datang setelah imam itu selesai
sholat, sholatnya sendiri-sendiri juga.
c. As-Syafi’iyyah
Demikian juga madzhab Syafi’iyyah, mereka memandang sholat
berjamaah gelombang kedua karena masbuk di masjid yang sama
hukumnya makruh, yaitu masjid yang mempunyai imam rawatib 6,
sebagimana dalam sebuah hadits:

‫أ ّن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أقبل من‬: ‫عن عبد احلمن بن أيب بكرة عن أبيه‬
‫ فمال إىل منزله فجمع أهله‬,‫ فوجد الناس قد صلوا‬,‫نواحي املدينة يريد الصالة‬
‫فصلى هبم‬.
“Dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakar dari bapaknya: Sesungguhnya
Rasulullah Saw datang dari pinggiran Madinah hendak Shalat, akan
tetapi beliau mendapatkan orang-orang telah Shalat, kemudian beliau
6
Ahmad Sarwat, Shalat Berjamaah, ( Jakarta selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018). hal. 33
masuk kerumahnya dan mengumpulkan keluarganya, kemudian sholat
bersama mereka”. (HR. Thabrani).7

Namun demikian, ada sedikit pengecualian dalam kasus ini, yaitu


bila seorang datang ke masjid namun semua sudah shalat berjamaah,
dianjurkan agar salah satunya (tidak semuanya) ikut menemaninya
shalat. Maksudnya agar tetap mendapatkan pahala berjamaah,
meskipun hanya berdua saja.
d. Pendapat Al-Hanabilah
Madzhab Al-Hanabilah umumnya memang mewajibkan Shalat
jamaah. Dan untuk itu mereka pun membolehkan bahkan
mengharuskan dilaksanakannya shalat berjamaah di dalam satu
masjid, walaupun akan terjadi estafet shalat berjamaah yang banyak
dan berkali-kali.
Dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang membolehkan
terulangnya shalat berjamaah di satu datu masjid yaitu:

 ‫عن أيب سعيد اخلدرى أن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أبصر رجال يصلى وحده‬
‫ أال رجل يتصدق على هذا فيصلى معه – رواه أبو داود‬:‫فقال‬-
Dari Abi Sa’id al-Khudzri : sesungguhnya Rasulullah Saw melihat
seorang laki-laki shalat sendirian, kemudian Nabi bersabda: kenapa
tidak ada seorang laki-laki yang bersedekah kepadanya kemudian
shalat bersamanya. (HR. Abu Dawud).8

 ‫ فقال له رسول اهلل صلى اهلل‬,‫ جاء رجل و مل يدرك الصالة‬: ‫عن أيب أمامة قال‬
‫ فقام رجل‬L‫ أال أحد يتصدق على هذا فيصلي معه؟‬:‫عليه وسلم" صل " مث قال‬
‫ وهذه مجاعة‬: ‫ وقال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬,‫فصلى معه‬
Dari Abu umamah, ia berkata, “seseorang datang dan tidak
mendapatkan shalat. Maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Shalatlah” lalu bersabda, “adakah seseorang yang hendak
bersedekah, shalat bersamanya? Maka berdirilah seseorang dn shalat

7
Muhammad Shiddiq, Kesalahan Umum Dalam Pelaksanaan Ibadah Shalat, (Garut: ibn Azka
Press, 2006). hal. 134
8
Al-Hidayah, hal. 142
bersamanya. Maka Rasulullah Saw bersabda, inilah jamaah. (HR.
Athabrani).9

Dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama untuk memakruhkam


cukup banyak, sebagian diantaranya adalah:
 Rasulullah Saw telah mewajibkan shalat berjamaah bersama
imam rawatib di masjid.

‫والّذي نفسي بيده لقد مهمت أن آمر حبطب فيحطب مث آمر بالصالة فيؤذن هلامث آمر‬
‫رجال فيؤم الناس مث أخالف إىل رجال ال يشهدون الصالة فأحرق عليهم بيوهتم‬
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat
dan di dirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam.
Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat
kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat
dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Sedangkan shalat pada gelombang kedua, ketiga dan seterusnya
meskipun tetap dilakukan di mesjid, namun tidak bersama imam
rawatib. Artinya, hal itu sudah keluar dari perintah Nabi Saw.
 Didalam riwayat Abu Bakar disebutkan bahwa Rasulullah Saw
sendiri pernah terlambat tiba di Madinah dan ketika sampai di
masjid, shalat jamaah telah selesai di lakukan. Ternayat beliau Saw
tidak melakukan shalat berjamah gelombang kedua di masjid, tetapi
langsung pulang dan shalat berjamaah dengan keduanya di rumah.
 Dalil yang selanjutnya adalah apa yang dilakukan oleh para sahabat
Nabi Saw ketika terlambat ikut shalat berjamaah. Mereka tetap
shalat di masjid namun dikerjakan sendiri-sendiri tidak berjamaah.

‫إن أصحاب رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم كانوا إذا فاتتهم اجلمعة صلوا يف‬
‫املسجد فراد‬

9
Wawan Shofwan, Shalat Berjamaah dan Permasalahannya, (Bandung: Tafakur, 2014) hal. 68
"Sesungguhnya para sahabat Nabi Saw apabila mereka terlambat
shalat berjamaah di masjid, mereka shalat di masjid secara sendiri-
sendiri".10
C. Kesimpulan
Jadi dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa jamaah estafet
(masbuq) itu boleh dilakukan sebagaimana kesimpulan hadits dari mughirah
bahwa shalat berjamaah lebih utama daripada munfarid, boleh mengangkat
imam dua kali (dua orang), dan masbuqnya Nabi bersama al-mughirah dapat
di jadikan dalil bahwa yang masbuq boleh menjadi imam, yaitu sholat dengan
berjamaah lagi tetapi boleh juga sholat masing-masing (tidak berjamaah),
tetapi shalat dengan berjamaah lagi tentu lebih utama tetapi itupun tidak
seutama orang yang ikut berjamaah sejak awal.

10
Shalat Berjamaah, 35-37
DAFTAR PUSTAKA

Abu Sutomo, Menjadi Makmum Masbuq, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,


2020). hal. 51
Dewan Hisbah PP Persatuan Islam, Risalah Shalat, (Bandung: Risalah Press,
2005) hal. 161
Sarwat Ahmad, Seri Fiqih Kehidupan, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing,
2015). hal. 340
Sarwat Ahmad, Shalat Berjamaah, ( Jakarta selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2
018). hal. 33
Shiddiq Muhammad, Kesalahan Umum Dalam Pelaksanaan Ibadah Shalat,
(Garut: ibn Azka Press, 2006). hal. 134
Shofwan Wawan, Shalat Berjamaah dan Permasalahannya, (Bandung: Tafakur,
2014) hal. 68
Zakaria A., Al-Hidayah, (Garut: IBN AZKA Press) hal. 145

Anda mungkin juga menyukai