Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN SHALAT BERJAMAAH

Fardhu `ain

Fardhu `ain adalah wajib, dalam salat berjamaah, yang memiliki pendapat fardhu `ain ini adalah
Atha` bin Abi Rabah, Al Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al
Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atha` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak
halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk salat.

Ada hadits yang mengatakan bahwa jika seorang mendengar azan, kemudian tidak salat berjamaah
maka orang itu tidak menginginkan kebaikan maka kebaikan itu sendiri tidak menginginkannya
pula.[2] Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan salat jamaah tanpa uzur, dia berdoa
namun salatnya tetap syah. Kemudian ada hadits yang menjelaskan jika ada orang yang tidak salat
berjamaah, maka nabi akan membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri salat berjamaah.

Fardhu kifayah

Yang mengatakan fardhu kifayah adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan
jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya
(mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al Hanafiyah
dan Al Malikiyah.

Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka
gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang
menjalankan salat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena salat
jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.

Di dalam kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa: "Salat jamaah itu itu
hukumnya fardhu `ain untuk salat Jumat. Sedangkan untuk salat fardhu lainnya, ada beberapa
pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tetapi juga ada yang mengatakan
hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain."

Mereka berpegangan dengan memakai dalil yang mengatakan bahwa, jika ada orang yang tidak
melaksanakan salat berjamaah maka setan telah menguasai mereka, dalam hadits tersebut,
Muhammad menganalogikan orang yang meninggalkan salat jamaah dengan seekor domba yang
terpisah dari kelompoknya makanakan diterkam oleh serigala.[4]

Hadits dari Malik bin Huwairits menjelaskan ia mendengar ada hadits yang menjelaskan pentingnya
mengajarkan salat kepada keluarga bila waktu salat telah tiba, maka lantunkanlah azan dan yang
tertua maka menjadi imam salat.[5] Kemudian ada penjelasan bahwa salat berjamaah lebih utama
sebanyak 27 derajat dibandingkan salat sendirian

Sunnah muakkadah

Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan, dan sangat
dianjurkan agar tidak ditinggalkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al
Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3
halaman 146. Ia berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum salat berjamaah
adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain,
fardhu kifayah atau syarat syahnya salat, tentu tidak bisa diterima.
Al Karkhi dari ulama Al Hanafiyah berkata bahwa salat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun
tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan
mazhab Al Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya,
sunnah muakkadah itu sama dengan wajib.[7]

Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al Malikiyah dalam kitabnya Al Mukhtashar mengatakan
bahwa salat fardhu berjamaah selain salat Jumat hukumnya sunnah muakkadah.[8]

Ibnul Juzzi berkata bahwa salat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu
sunnah muakkadah.[9][10]

Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil bahwa salat berjamaah
memiliki keutamaan derajat lebih banyak jumlah 27 derajat,[6] Kemudian pendapat lain menjelaskan
lagi bahwa salat jamaah berjamaah tidak wajib.[11]

Selain itu mereka juga menggunakan hadits yang mengatakan bahwa orang yang salat berjamaah
hanya mendapatkan ganjaran (pahala) terbesar adalah orang yang menunggu salat berjamaah
bersama imam, daripada salat sendirian.[12]

Keutamaan
Adapun keutamaan salat berjama'ah dapat diuraikan sebagai berikut:

Salat berjama'ah lebih utama daripada salat sendirian, dengan pahala 27 derajat[6]

Setiap langkahnya diangkat kedudukannya 1 derajat dan dihapuskan baginya satu dosa[13]

Dido'akan oleh para malaikat[13][14][15]

Terbebas dari pengaruh (penguasaan) setan[4]

Memancarkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat[16]

Mendapatkan balasan yang berlipat ganda[17]

Sarana penyatuan hati dan fisik, saling mengenal dan saling mendukung satu sama lain[18]

Membiasakan kehidupan yang teratur dan disiplin. Pembiasaan ini dilatih dengan mematuhi tata
tertib hubungan antara imam dan ma'mum, misalnya tidak boleh menyamai apalagi mendahului
gerakan imam dan menjaga kesempurnaan shaf-shaf salat[19][20]

Merupakan pantulan kebaikan dan ketaqwaan[21]

Syarat menjadi imam:

1. Bacaan al quran nya fasih


2. Laki laki, bila makmumnya laki laki atau laki laki dan perempuan
3. Imam hendaknya berdiri lebih kedepan
4. Umumnya lebih senior
5. Lebih memahami ajaran ajaran islam
6. Imam tidak dalam menjadi makmum
Syarat menjadi makmum:

A. Makmum hendaknya berniat mengikuti imam


B. Makmum hendaknya mengetahui gerakan imam
C. Makmum hendaknya berdiri agak ke belakang dari imam, kecuali bila hanya berdua (imam
dan makmum), maka berdiri berjajar
D. Makmum hendaknya berada dalam satu bangunan atau satu tempat

Niat Sholat Berjamaah

Tata cara sholat berjamaah yang paling utama dan paling penting adalah membaca niat
sholat berjamaah. Sebelum melakukan sholat berjamaah, baik imam dan makmum harus
membaca niat sholat berjamaah yaitu sebelum takbiratul ikhram. Berikut ini adalah niat
sholat berjamah yang harus dibaca oleh imam, contoh sholat dhuhur:

“Ushollii fardhosh dhuhri arba'a raka'aatim mustaqbilal qiblati adaa-an imaamaa lillaahi
ta'aala.”

Bacaan niat sholat berjamaah bagi makmum:

“Ushollii fardhosh dhuhri arba'a raka'aatim mustaqbilal qiblati adaa-an ma'muuman lillaahi
ta'aala.”

Makmum Berdiri di Belakang Imam

Tata cara sholat berjamaah selanjutnya adalah mengenai posisi makmum dan imam saat sholat
jamaah. Posisi makmum saat shalat berjamaah harus berada di belakang imam. Minimal tumit
makmum tidak boleh mendahului tumit imam. Jika posisi makmum di depan imam, maka shalat
berjamaah dianggap tidak sah.

Mengikuti Gerakan Imam

Karena shalat berjamaah dipimpin imam, maka makmum wajib mengikuti seluruh gerakan imam.
Shalat berjamaah bisa jadi batal jika makmum tidak mengikuti gerakan imam. Contohnya, ketika
imam sujud, makmum kemudian mengikuti gerakan sujud beserta bacaan doanya.

Mengetahui GerakMan Imam

Makmum harus mengetahui setiap gerakan imam. Jika makmum berada jauh dari imam, dia harus
memastikan bahwa dia bisa mengetahui gerakan imam. Supaya dia tidak ketinggalan dan terlambat.
Imam dan Makmum berada dalam Satu Masjid

Jarak antara makmum dan imam tidak boleh terlalu jauh dan harus berada dalam satu masjid.
Meskipun makmum berada di luar masjid, misalnya shalat di teras masjid karena saking ramainya
jamaah, dianggap tetap sah selama masih dalam satu masjid dan makmum bisa mengetahui gerakan
imam.

Mengetahui GerakMan Imam

Makmum harus mengetahui setiap gerakan imam. Jika makmum berada jauh dari imam, dia harus
memastikan bahwa dia bisa mengetahui gerakan imam. Supaya dia tidak ketinggalan dan terlambat.

Dari Mana Memulai Shaf ?

Dianjurkan bagi para jamaah untuk meluruskan shafnya didalam shalat, tidak sebagiannya lebih
maju dari sebagian lainnya (bengkok) dan tidak meninggalkan celah didalamnya. Dianjurkan pula
bagi seorang imam untuk mengingatkan jamaahnya sebelum shalat ditegakkan dengan megatakan,
diantaranya :

ّ
ّ ‫فإن صفوفكم‬ ّ ‫الصالة تمام من‬
ّ ‫الص‬ ّ »
« ‫سووا‬ ‫ف تسوية‬

Artinya : “Luruskanlah shaf-shaf kalian maka sesungguhnya lurusnya barisan adalah diantara
kesempurnaan menegakkan shalat."

Bagian dari kelurusan shaf jamaah shalat adalah mengisi penuh terlebih dahulu shaf pertama baru
kemudian shaf kedua, mengisi penuh shaf kedua baru kemudian shaf ketiga begitu seterusnya dan
tidak mengisi shaf kedua sementara shaf pertama masih kosong, berdasarkan apa yang driwayatkan
oleh Abu Daud dari dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Sempurnakanlah shaf yang pertama, kemudian yang berikutnya. Kalaupun ada shaf yang kurang,
maka hendaklah dia di shaf belakang."

Adapun shaf dalam shalat dimulai dari belakang imam (tengah) baru kemudian mengisi sebelah
kanan dan kirinya hingga seimbang antara bagian kiri dan kanan hingga shaf tersebut penuh baru
kemudian membuat shaf dibelakangnya dengan cara yang sama dengan diatas.

Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: "Jadikanlah imam berada di tengah-tengah kalian dan tutuplah celah-celah shaf."
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
Hendaklah yang tepat di belakangku orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang
sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka kemudian orang yang sesudah
mereka’.

Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan jadikanlah imam kalian berada ditengah-tengah dan
berdirilah kalian pada shaf-shaf dibelakangnya lalu sebelah kanan dan kirinya.

Hukum Orang Yang Shalat Sendirian DIbelakang Shaf

Shalat sendirian dibelakang shaf tanpa adanya uzur tetaplah sah namun makruh dan
kemakruhannya itu hilang jika terdapat uzur, demikianlah pendapat jumhur fuqaha : para ulama
Hanafi dan Syafi’i menguatkan pendapat itu berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Bakrah
bahwa dia pernah mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang rukuk, maka dia pun ikut
rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: "Semoga Allah
menambah semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali."

Sementara itu para ulama Maliki berpendapat boleh shalat sendirian dibelakang shaf, ini adalah nash
Khalil : al Mawaq menukil dari Ibnu Rusyd bahwa barangsiapa yang shalat dan membiarkan tempat
kosong yang ada di shaf maka sungguh dia telah melakukan keburukan. Dia berkata bahwa yang
masyhur adalah dia melakukan keburukan namun tidak perlu mengulang shalatnya.

Para ulama Hambali berpendapat bahwa tidak sah shalat orang yang sendirian satu rakaat penuh
dibelakang shaf tanpa adanya uzur, berdasarkan hadit Wabishah bin Ma’bad bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki melaksanakan shalat sendirian dibelakang shaf maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk mengulang (shalatnya).” (HR. Tirmidzi. Dia
berkata,”Hadits hasan.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Jumhur ulama berkata bahwa dari hadits Abi Bakrah itu tidaklah ada keharusan baginya mengulang
shalat. Sedangkan perintah mengulang didalam hadits Wabishah bin Ma’bad adalah sebuah anjuran,
demikianlah penggabungan antara dua dalil diatas.

Anda mungkin juga menyukai