Anda di halaman 1dari 21

‫ِبْس ِم ِهّللا الَّرْح َمِن الَّر ِح ْيم‬

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Ketentuan shaff dalam shalat berjamaaah Dalam kamus bahasa Indonesia shalat di artikan
sebagai amalan rukun Islam yang kedua setelah syahadat.Arti shalat menurut istilah syarah
ialah rangkaian kata dan perbuatan yang telah ditentukan
di mulai dengan membaca takbir dan diakhiri dengan salam. Di sebutkan demikian karena
Shalat menurut bahasa Arab adalah doa. Shalat dalam hukumnya adalah fardhu’ain, dengan
sehari semalam shalat tersebut dilaksanakan dalam lima waktu Shalat merupakan suatu
ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah kepada umatnya untuk di laksanakan setiap
waktu yang telah
ditentukan dengan dasar keimanan yang kuat.Pertintah shalat dan jumlahnya telah di
perintahkan di dalam Al-Qur’an.

Dengan perantara malaikat Jibril yang di sampaikan kepada nabi Muhammad ‫ﷺ‬, pada
saat nabi Muhammad melaksanakan Isra Mi’raj, tepatnya pada malam 27 Rajab. Shalat lima
waktu di wajibkan setelah lahir dan batin Nabi Muhammad Saw dibersihkan dari sifat-sifat
yang kotor oleh Malaikat Jibril a.s, dengan menggunakan air zam-zam. Di dalam Al-Qur’an
shalat adalah suatu rangka pokok dari iman, dengan beberapa firmannya ,Mengerjakan shalat
adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa manusia, Tuhan
meletakan perkataan dan mendirikan shalat.

Shalat menurut bahasa Arab adalah doa. Shalat yang dimaksud dalam Al-Qur’an di sini
adalah ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan di akhiri dengan salam, serta beberapa syarat yang telah ditentukan .

Sholat diwajibkan oleh allah atas setiap umat islam yang sudah akil Sholat diwajibkan oleh
allah atas setiap umat islam yang sudah akil
baligh sebanyak lima kali dalam sehari semalam yaitu sholat
subuh, dzuhur ,ashar ,magrib ,isya sholat wajib lima waktu tersebut di
anjurkan secara berjamah .

Shalat berjama‟ah adalah shalat yang apabila dilaksanakan oleh dua orang secara bersama-
sama dan salah seorang diantara mereka mengikuti yang lain, keduanya dinamakan shalat
berjama’ah.

Orang yang di ikuti (yang di hadapan) dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti di
belakang dinamakan makmum .Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, di dalam buku
Ensiklopedi Muslim; minhajul muslim, shalat berjama’ah adalah shalat yang paling di
utamakan oleh Nabi Muhammad, bahkan dalam berjama’ah ini di wajibkan kepada seorang
muslim tanpa terkecuali yaitu udzur untuk menghadirinya. Keutamaan dalam shalat

1
berjama’ah sangat besar sekali pahala yang di berikan. Para ulama berselisih pendapat dalam
hal apakah hukum melaksanakan shalat jamaah wajib atau sunnah mustajabbah (sunnah yang
dianjurkan).

Ada yang mengatakan hukumnya adalah fardhu kifayah bagi laki-laki dan sunnah bagi
perempuan. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits dari Ibnu Umar,
bahwasannya Nabi
Muhammad. ‫ ﷺ‬bersabdaَ:

‫ {َص اَلةُ الَج َم اَعةِ َتْفُضلُ َص اَلة الفذِِّ ِبَس ْبعٍ وِع ْش ِر ينَ َد َر َج ة‬:‫وقال صلى هللا عليه وسلم‬

1Tengku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy,Pedoman Shalat, PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang,
1997, hlm. 39-40.
2Muhtar Solihin, Perinsip-perinsip Pemikiran Keislaman,CV. Pustaka Setia, Bandung,

3Amir Syarifudin,Garis-garis BesarFiqh, prenada,Jakarta,,2003, hlm.40

4Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim; Minhajul Muslim, Darul Falah, Jakarta.

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat”(HR. al-
Bukhari)
Pendapat para ulama tentang hukum shalat berjamaah, terbagi
menjadi tiga pendapat :

a. Pendapat pertama: Shalat berjamaah adalah fardhu kifayah.


Yang dimaksud hukum jamaah fardhu kifayah adalah apabila orang yang menunaikannya
telah memadai, jatuhlah dosa orang-orang yang tidak mengerjakannya, apabila tak ada
satupun orang yang tidak mengerjakannya atau jumlahnya tidak memadai, semuanya berdosa,
yang demikian itu karena ia sebagai syi‟ar dari syi‟ar - syi‟ar Islam yang nyata. Ini
merupakan pendapat ulama salaf dan mutaakhirin.Di dalam al Ifshah Ibnu Hubairah
menisbatkan pendapat tersebut pada asy Syafi‟i dan Abu Hanifah.

b. Pendapat kedua: Shalat jamaah adalah sunnah muakkad. Ini adalah pendapat Hanafi dan
Maliki. Asy Syaukani berkata, Pendapat adalah pendapat Hanafi dan Maliki. Asy Syaukani
berkata, Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa shalat jamaah hukumnya
sunnah muakkad yang tidak luput dari perintah melaksanakannya selagi memungkinkan,
kecuali terhalang sebuah bahaya, adapun ia dikatakan fardhu „ain atau fardhu kifayah atau
sebagai syarat sahnya shalat, sekali-kali tidak.

c. Pendapat ketiga: Sesungguhnya shalat jamaah itu sebagai syarat. Di dalam buku Shalat
Jamaah karya Shalih bin Ghanim bin Abdullah oleh M. Nur Abrari, menjelaskan
pendapat para ahliilmu di antaranya syaikh Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu
perkataannya dan muridnya Ibnu Qayyim al Jauziyah, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa, juga

2
pendapat dhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Abu Hasan at Tamami al Hanbali, Imam
Ahmad, Abdul Barakaat dari Hanbali serta at Taaji as Subki dari Ibnu Huzaimah,
mengatakan, bahwa shalat tidak akan sah bila tidak di kerjakan dengan berjamaah, kewajiban
ini berlaku bagi setiap individu kecuali karena udzur dalam sholat berjamaah dianjur untuk
meluruskan dan merapatkan shaf sholat Salah satu dalil tentang pentingnya merapatkan
merapatkan shaf sholat Salah satu dalil tentang pentingnya merapatkan dan meluruskan shaf
dalam shalat adalah berasal dari Umar bin Khatab.

Beliau selalu memerintahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf terlebih dahulu
sebelum shalat dimulai. Beliau tidak akan memulai shalat sebelum shaf para makmum benar-
benar tertata rapi. Jika para sahabat memberi tahu beliau bahwa shaf telah lurus dan rapih,
barulah bertakbir dan memulai shalat.Hal ini menunjukkan perhatian beliau terhadap shaf
dalam shalat .Bahakan dikabarkan, sebelum melaksanakan shalat, biasanya beliau berkeliling
diantara para jamaah dengan membawa sebuah tongkat. Dengan tongkat itu, beliau
meluruskan dan merapatkan shaf para jamaah yang belum tertata lurus. Demikian besarnya
perhatian Umar bin Khatab terhadap shaf dalam shalat.

Umar bukanlah satu-satunya orang yang berbuat demikian.


Utsman bin Affan adalah orang yang juga memiliki perhatian yang sama besar terhadap shaf
shalat. Suhail bin Malik meriwayatkan bahwa ayahnya pernah bercerita, “Pernah pada suatu
saat aku bersama Utsman bin Affan. Ketika itu, waktu shalat telah tiba dan aku meminta
kepadanya agar memerintahkan sesuatu kepadaku.Aku terus berbicara tentang itu kepadanya,
sementara dia meratakan kerikil dengan sepatutnya.Lalu, orang-orang yang diperintahkannya
untuk memeriksa shaf shalat, datang mengabarkan bahwa shaf telah rapi dan lurus.

Kemudian, dia berkata kepadaku, “Rapatkan dan luruskanlah shaf,


lalu bertakbirlah.” harus melakukan prosedur psycal distancing menginat penyebaran nya
yang begitu masip antara satu orang dengan orang lainya. Dari kasus covid-19 ini MUI
mengeluarkan fatwa nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam kasus
wabah covid-19, Dalam fatwa tersebut, orang yang terpapar virus covid-19 diperbolehkan
untuk tidak menunaikan salat jumat dan menggantinya dengan salat zuhur di rumah. Selain
itu, orang yang terpapar virus corona diharamkan untuk melaksanakan shalat lima waktu atau
rawatib berjamaah, shalat tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.
Mereka juga diharamkan untuk menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar yang tentu
saja melibatkan orang banyak. Sementara bagi orang yang belum diketahui terpapar virus
covid-19 atau tidak namun berada di kawasan yang potensi penularannya tinggi, juga boleh
mengganti salat jumat dengan salat zuhur di rumah dan meninggalkan jamaah shalat lima
waktu atau rawatib, tarawih, dan dan meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib,
tarawih.

Tetapi ada beberapa masjid yang tetap melaksanakan shalat berjamaah dan shalat jumat, dari
pihak pemerintah memberikan petunjuk dan teknis dalam melaksanakan shalat berjamaah

3
ataupun jumat yaitu Pengurus masjid perlu menyediakan pencuci antiseptik tangan/hand
sanitizer di tempat wudhu, toilet, pintu masjid; membersihkan dan menyimpan karpet;
membersihkan ruangan masjid dengan cairan disinfektan; membawa perlengkapan shalat
sendiri seperti sajadah bagi jamaah Jumat; menggunakan masker; dan menjaga jarak aman
(social distancing) antar jamaah dan antara shaf minimal l meter.Tetapi dalam hadis
tmengatakan bahwa shaf itu harus rapat dan tidak boleh renggang karena shaf rapat itut
ermasuk kesempurnaan shalat.

Rasulullah ‫ ﷺ‬memerintah kan kepada kita jika dalam melaksanakan shalat fardhu secara
berjamaah, salah satun yang harus di perhatikan adalah shaf.
Setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan shalat sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬Jika tidak, maka shalatnya tidak akan diterima. Sebagaimana ditegaskan
dalam hadis Rasulullah ‫ ﷺ‬:
‫َص ُّلوا َك َم ا َر َأْيُتُم وِني ُأَص ِّلي‬

, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat (mengetahui) aku shalat.”

Di da;am hadist lain Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda:

‫ َفِإنَّ َتْس ِو َيةَ الَّص فِِّ ِم نْ َتَم امِ الَّصاَلة‬، ‫َسُّو ْو ا ُص ُفْو َفُك ْم‬
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk
kesempurnaan shalat.
Namun,dalam kondisi tertentu maka diberikan keringanan atau dalam
Bahasa arabnya..rukhsah
Adapun beberapa dalil quran maupun hadist tentang rukhsah sebagai berikut;ٍ

‫َو َم ا َجَع لَ َع َلْيُك مْ ِفي الِِّد ْينِ ِم نْ َح َر ج‬


Artinya, “dan Dia tidak akan menjadikan kamu sekalian
kesempitan dalam urusan agama.” (Al-haj:78).

‫ ِانَّ هللا‬: َ‫ َقالَ َر ُسْو لُ هللاِ َص َّلى هللاُ َع َلْيهِ َو َس َّلم‬: َ‫َعنْ ِاْبنُ ُع َم رَ َرِض ىَ هللاُ َع ْنُهْم ا َقال‬
َ ‫ ( َر َو اهُ َاْح َم دُ َو َص َّح َح هُ ِاْبنُ ُخ َزيَم ة‬. ُ‫َتَع اَلى ُيِح بُّ َانْ ُتْؤ َتى ُرَخ ُصهُ َك َم ا َيْك َر هُ َانْ ُتْؤ َتى َم ْع ِصَيُته‬
‫) َ َو ِاْينُ ِح َّبان‬

Dari ibnu umar ra. Dia berkata rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :


Sesungguhnya allah ‫ ﷻ‬suka bila rukhshah -nya dikerjakan, Sebagaimana allah benci bilap
erbuatan maksia tterhadap-nya dikerjakan.
(HR. Ahmad, dan dishahih kan oleh ibnu khazaimah dan ibnu hibban)
Dengan adanya keringanan ini. Ibnu Haijar Al-Haitami dalam kitab tuhfatu lmuhtaj dan
Imam An- Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin .Memberikan pendapat yang Berbeda
tentang shaf shalat yang terputus apabila ada shaf yang terputus.

4
Dalam kitab tuhfatul muhtaj ibnu haijar al-haitami memberikan keterangan tentang makmum
boleh menjaga jarak dalam shalat berjamaah apabila makmum tersebut memiliki udzur. etapi
jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di masjidil
haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir,” Sedangkan imam an-
nawawi dalam kitab raudhatut thalibin memberikan ketereangan bahwa bahwa seorang
makmum yang mengambil jarak dalam satu shaf berjamaah dalam kesendirian saja, meskipun
makruh, tetapi salat berjamaahnya tetap sah.

‫إذا دخل رجل والجماعة في الصالة كره أن يقف منفردا بل إن وجد فرجة أو سعة في‬
‫ ولو وقف منفرد صحتصالته‬...‫الصف دخلها‬
‫منفرد‬
Artinya; " Jika seorang masuk sementara jamaah sedang shalat,
maka ia makruh untuk berdiri sendiri. Tetapi jika ia menemukan celah
atau tempat yang luas pada shaf tersebut, hendaknya ia mengisi celah
tersebut. Tetapi jika ia berdiri sendiri, maka salatnya tetap sah.

1.2. rumusan masalah

Berdasarkan pada permasalahan yang telah di paparkan pada latar belakang, maka
masalah yang dirumuskan dalam penulisan ini adalah sebgai berikut:
1. Bagaimana pandangan imam ibnu hajar haitami terhadap shaf
shalat berjamaah yang berjarak?
2. Bagaimana shalat berjamaah yang baik dan sesuai rasulullah ‫ ﷺ‬dan para sahabat?
3.Bagaimana menempelkan bahu dengan bahu rekannya?
4.Bagaimana Merapatkan saf apakah dengan menempelkan telapak kaki?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pandangan imam ibnu hajar haitami terhadap


Shaf shalat berjamaah yang berjarak.
2. Untuk mengetahui pandangan imam an-nawawiterhadap
Shaf shalat berjamaah yang berjarak.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan imam ibnu hajar al-
Haitami dengan imam an-nawawi terhadap shaf shalat berjamaah yang
berjarak.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Penulisan dalam penulisan ini memberikan khazanah bagi penulis dan


Dengan penulisan ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum Islam
dalam bidang ibadah terutama yang
Berkaitan dengan perbandingan hukum seseorang yang

5
Terkena penyakit menular dalam shalat berjamaah menurut imam an-
Nawawi dan imam ibnu hajar al-haitami.

2. Berkaitan dengan masalah perbandingan hukum seseorang yang


Berkaitan dengan masalah perbandingan hukum seseorang yang
Terkena penyakit menular dalam shalat berjamaah menurut imam an-
Nawawi dan imam ibnu hajar al-
Haitami hasil penulisan ini diharapkan menjadi acuan bagi penyusun dalam
Memecahkan permasalahan seseorang yang shaf shalat berjamaah
Berjarak.
3. Penulisan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
Kelulusan kelas 12 SMA IT AD’AWAH 2023.

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Shalat
Kata shalat secara bahasa berasal dari bahasa Arab. Arti kata tersebut yaitu doa atau
ungkapan. Sedangkan menurut istilah, shalat berarti serangkaian kegiatan ibadah tertentu
dalam Islam yang dimulai dengan melakukan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam
dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan dalam syari'at.

2.1 Pengertian Shalat

Secara umum, shalat berarti ibadah wajib umat Islam yang harus dilakukan sehari-hari.
Dalam sehari, kita diperintahkan mendirikan shalat fardhu lima waktu. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan ibadah shalat telah diatur dan ditentukan oleh syari'at, mulai dari syarat
wajib shalat, syarat sah shalat, rukun shalat, tata cara shalat, sunnah sunnah shalat serta hal
hal yang dapat membatalkan shalat.

Shalat merupakan ibadah wajib bagi pemeluk agama Islam. Dalam ejaan bahasa
Indonesia, terdapat beberapa variasi kata shalat, yaitu sholat atau salat, tapi dengan bacaan
yang hampir sama. Shalat merupakan ibadah utama dalam agama Islam. Sebagai muslim,
hukumnya wajib untuk mendirikan shalat lima waktu. Yang dimaksud dengan shalat 5 waktu
adalah shalat Subuh, shalat Dhuhur, shalat Ashar, shalat Maghrib dan yang terakhir shalat
Isya. Shalat termasuk satu dari 5 rukun Islam.
Shalat juga diibaratkan sebagai tiang agama, yang artinya dengan mendirikan shalat, maka
kita seolah-olah telah mendirikan tiang agama Islam. Dalam kitab Al-Qur'an surat
Al-'Ankabut ayat 45 dijelaskan bahwa ibadah shalat dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar, seperti tertera berikut:

6
‫ْت ُل َم ا ُأ و ِح َي ِإ َل ْي َك ِم َن ا ْل ِك َتا ِب َو َأ ِق ِم الَّص اَل َةۖ ِإ َّن الَّص اَل َة َت ْن َه ٰى َع ِن ا ْل َف ْح َش ا ِء َو ا ْل ُم ْن َك ِر ۗ َو َل ِذ ْك ُر ال َّل ِه َأ ْك َب ُر ۗ َو ال َّل ُه‬
‫َي ْع َل ُم َم ا َتْص َنُع وَن‬

"...dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain)."
(QS. Al-Ankabut : 45)

Secara umum shalat juga bisa dibagi menjadi dua, yaitu shalat fardhu dan shalat sunnah.
Shalat fardhu merupakan shalat yang hukumnya wajib, meliputi shalat Subuh, Dhuhur,
Ashar, Maghrib dan Isya. Sedangkan shalat sunnah merupakan shalat yang hukumnya sunnah
dan dianjurkan untuk dikerjakan, di antaranya adalah shalat Tahajud, shalat Dhuha, shalat
Tarawih dan lain-lain.

Shalat juga bisa dikerjakan dengan dua cara, yaitu shalat munfarid atau shalat sendiri serta
shalat berjamaah. Shalat munfarid dikerjakan secara sendiri atau individu. Sedangkan shalat
berjamaah dikerjakan lebih dari satu orang, bisa dua orang, tiga orang atau lebih banyak lagi.
Dalam shalat jamaah, ada satu orang yang bertindak sebagai imam sedangkan yang lain
menjadi makmum. Shalat jamaah diganjar pahal 27 kali derajat lebih banyak dibandingkan
shalat sendiri.

2.2 Syarat syarat sahnya shalat

Agar shalat menjadi sah ,di syarat kan hal-hal berikut:

a. Mengetahui Masuknya Waktu


Berdasarkan firman Allah:

‫ِإَّن الَّص اَل َة َكاَنْت َع َلى اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِكَتاًبا َّم ْو ُقوًتا‬

“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.” [An-Nissa/4′: 103].

Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu
kecuali ada halangan.

b.Suci dari Hadats Besar dan Kecil


Berdasarkan firman Allah:

‫َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُوُجوَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِفِق َو اْمَس ُحوا ِبُر ُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى اْلَكْع َبْيِن ۚ َو ِإن‬
‫ُك نُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُروا‬

7
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…” [Al-Maa-idah/5: 6].

Dan hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َال َيْقَبُل ُهللا َص َالًة ِبَغْيِر َطُهْو ٍر‬.

“Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuc

c. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat


Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

‫َو ِثَياَبَك َفَطِّهْر‬

“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir/74: 4].

Dan sabda Nabi Muhammmad ‫ ﷺ‬:

‫ َفْلَيْمَس ْح ُه ِبْاَألْر ِض ُثَّم ِلُيَص ِّل ِفْيِهَم ا‬،‫ َو ِلَيْنُظْر ِفْيِهَم ا َفِإْن َر َأى َخ َبًثا‬،‫ َفْلُيَقِّلْب َنْع َلْيِه‬،‫ِإَذ ا َج اَء َأَح ُد ُك ُم اْلَم ْس ِج َد‬.

“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal
dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah.
Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.“

Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi ‫ ﷺ‬kepada ‘Ali. Dia
menanyai beliau tentang madzi dan berkata:

‫َتَو َّض ْأ َو اْغ ِس ْل َذ َك َر َك‬.

“Wudhu’ dan basuhlah kemaluanmu.”

Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

‫ِاْغ ِسِلْي َع ْنِك الَّد َم َو َص ِّلْي‬.

“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.”

Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:

‫َأِرْيُقْو ا َعلى َبْو ِلِه َس ْج ًال ِم ْن َم اٍء‬.

8
“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember

d. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:

‫َيا َبِني آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَتُك ْم ِع نَد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” [Al-
A’raaf/7: 31].

Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.

Juga sabda Nabi ‫ ﷺ‬:

‫َال َيْقَبُل هللا َص َالَة َح اِئٍض ِإَّال ِبِح َم اٍر‬.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan
penutup kepala (jilbab).”

Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:

‫َم ا َبْيَن الُّسَّر ِة َو الُّر ْك َبِة َعْو َر ٌة‬.

“Antara pusar dan lutut adalah aurat.”

Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi ‫ ﷺ‬lewat ketika aku mengenakan kain yang
tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:

‫َغ ِّط َفِخ َذ َك َفِإَّن اْلَفِخ َذ َعْو َر ٌة‬.

“Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat.“

Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya dalam shalat.

Berdasarkan sabda Nabi ‫ﷺ‬ :

‫اْلَم ْر َأُة َعْو َر ٌة‬.

“Wanita adalah aurat.”

9
e. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم ۚ َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّلوا ُوُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه‬

“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah/2: 150].
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:

‫ِإَذ ا ُقْم َت ِإَلى الَّص َالِة َفَأْس ِبِع اْلُوُضْو َء ُثَّم اْسَتْقِبِل اْلِقْبَلَة‬.

“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah
ke Kiblat...”
Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat
dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.

Allah berfirman:

‫َفِإْن ِخ ْفُتْم َفِر َج ااًل َأْو ُر ْك َباًنا‬

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan...” [Al-Baqarah/2: 239].

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke
sana.”
Nafi’ berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu
melainkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya.
Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.”

f. Niat

Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia
kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat
sunnahnya . Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah mengucapkannya.

2.3PengertianShaf Shaf

10
adalah barisan kaum muslimin dalam shalat berjamaah. Salah satu kesempurnaan shalat
berjamaah adalah pada kesempurnaan shaf. Rasululloh Salallahu alaihi Wassalam sangat
menganjurkan serta menjaga kerapian dan kesempurnaan shaf. Sedemikian pentingnya
hal ini sehingga beliau tidak akan memulai shalat berjamaah jika shaf-shaf para sahabat
Radiyallahuahum belum tersusun rapi terlebih dahulu.

a Shaf dalam shalat


Shaf dalam shalat adalah barisan atau deretan jamaah yang berdiri dan melakukan shalat
berjamaah. Shaf ini dibentuk dengan tujuan untuk menunjukkan kesatuan dan persamaan
dalam pelaksanaan shalat. Dalam shaf, jamaah yang berada di depan dianggap lebih
utama dan lebih mulia daripada jamaah yang berada di belakang. Oleh karena itu, setiap
jamaah harus berusaha untuk masuk ke dalam shaf yang paling depan.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin membicarakan dalam judul bab
“Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama, Meluruskan,
.”dan Merapatkannya

‫ َفَم ا َك اَن ِم ْن َنْقٍص َفْلَيُك ْن في‬، ‫ ُثَّم اَّلِذ ي َيِليِه‬، ‫ (( أِتُّم وا الَّصَّف الُم َقَّد َم‬: ‫ َقاَل‬، – ‫ َأَّن َر ُسْو َل ِهللا – َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َو َع ْنُه‬
‫الَّصِّف الُم َؤ َّخ ِر )) رواه أُبو َداُوَد بإسناد حسن‬
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sempurnakanlah shaf depan, kemudian yang selanjutnya. Jika masih ada yang kurang,
jadikanlah di shaf belakang.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 671
dan An-Nasa’i, no. 819. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih].

b. Posisi Imam dan Makmum

1. Shalat seorang makmum bersama imam Jika seorang makmum shalat bersama imam,
maka ia berdiri disebelah kananya sejajar denganya (tidak mundur sedikit
sebagaimana dikatakan kalangan Syafi’iyah) berdasarkan kisah shalat Ibnu Abbas
bersama Nabi ‫“ ﷺ‬...kemudian Nabi bangkit mengerjakan shalat, maka aku
bangkit dan mengerjakan seperti yang beliau kerjakan. kemudian aku pergi dan
berdiri disamping beliau, maka beliau meletakkan tangan kananya pada kepalaku,
lalau beliau memegang telingan kananku seraya menariknya (kesebelah kanan).
Kemudian beliau shalat...” (HR. Bukhari No. 193, Muslim No. 763)
2. Shalat dua orang atau lebih bersama imam Jika ada dua orang yang shalat dibelakang
imam, maka keduanya berdiri brshaf diblakang imama dalam satu shaf. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para Ulama dari kalangan Sahabat dan orang-orang sesudah
mereka, selain Ibnu Mas’ud dan dua orang shabatnya. Dasarnya adalah hadist Jabir,
yang disebutkan didalamnya, “...kemudan aku datang hingga aku berdiri disamping
kiri Rasulullah ‫ ﷺ‬.

Kemudian beliau meraih tanganku dan memindahkanku hingga beliau


menempatkanku disebelah kananya. Kemudian datanglah Jabbar bi Shakhr. Ia berwudlu
kemudian datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah ‫ﷺ‬. Maka beliau meraih

11
kedua tangan kanan lalu mendorong kanya hingga kami berdiri dibelakangnya..” (HR.
Muslim No. 3006) Adapun Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa seorang berdiri disebelah
kanan dan seorang lagi berdiri disebelah kiri.

Diriwayatkan dari al-Aswad dan ‘Aqamah bahwa keduanya shalat bersama Abdullah bin
Mas’ud di rumahnya. Keduanya meuturkan, “kamipun datang hendak berdiri
dibelakanganya, maka dia meraih tangan kami dan meletakkan salah seorang dari kami
disebelah kananya dan seorang lagi disebelah kirinya. Ketika dia ruku, kami meletakkan
tangan-tangan kami di lutut kami, maka dia memkul dengan tangan kami, dan dia
menepukkan diantara kedua telapak tanganya, kemuadai memasukkanya diantara kedua
pahanya...kemudia dia berkata ‘demikanlah yang dilakukan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬...”.
(HR. Muslim No. 534) Akan tetapi sejumlah ulama, diantaanya as-Syafi’i, menyebutkan
bahwa hadits Ibnu Mas’ud ini Mansukh (Sudah dihapus ketentuan hukumnya). Karen dia
belajar tata cara shalat tersebut dari Rasulullah ‫ ﷺ‬semasa di Mekah. Pada saat itu
masih disyariatkan Tathbiq (menepukkan kedua telapak tangan lalu memasukanya
diantara kedua paha) dan hukum-hukum lainya yang sekarang sudah ditinggalkan.

3. Shalat seorang wanita bersama imam


Jika seorang wanita salat bersma imam, ia berdiri dibelakang shaf kaum laki-laki.

Bahkan seandainya tidak ada wanita lainya bersamanya, ia tetap berdiri dibelakang
shaf kaum laki-laki. Demikian pula senadainya ia salat sendirian bersama imam, maka
ia berdiri dibelakang imam bukan disampingnya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah
ia berkata, “jika Rasulullah ‫ ﷺ‬mengucapkan salam, para wanita bangkit begitu
beliau selesai mengucapkan salamnya. Sementara Rasulullah ‫ ﷺ‬tetap diam
sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri. Kami berpendapat –wallahu ‘alam- hal
itu beliau lakukan agar kaum wanita beranjak terlebih dahulu sebelum berpapasan
dengan kaum laki-laki”.

4. Shalat seorang wanita bersama kaum wanita.


Jika seorang wanita shalat mengimami jamaah kaum wanita, maka ia berdiri di
tengah-tengah mereka. Ia tidak maju kedepan shaf. Hal ini lebih tertutup baginya.
Diriwayatkan dari Rabthah al-Hanafiyah, “bahwa Aisyah mengimami mereka shalat
fardhu, dan ia berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR. Al-Baihaqi No. 131)

5. Shaf Anak-anak dalam shalat berjamaah


Diriwayatkan “bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬menempatkan kaum pria dewasa didepan
anak-anak (HR. Abu Dawud No. 677). Tetapi hadits ini Dha’if, tidak Shahih. Syaikh
al-Albani Rahimahullah berkata “adapaun meletakkan anak-anak dibelakang kaum
pria dewasa, maka aku tidak mendapatkan dalilnya kecuali hadits di atas, dan hadits
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Menurutku, tidak mengapa anak-anak
berdiri dishaf kaum laki-laki dewasa, jika shaf tersebut masih lapang. Dan shalatnya

12
anak laki-laki yatim bersama Anas dibelakang ‫ﷺ‬adalah Hujjah dalam masalh ini.

Rasulullah ‫ ﷺ‬Bersabda : : – ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهللا – َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫ َقاَل‬، – ‫َو َع ْن َأَنٍس – َر ِض َي ُهللا َع ْنُه‬
‫(( َسُّو وا ُص ُفوَفُك ْم ؛ َفإَّن َتْس ِو َيَة الَّصِّف ِم ْن َتَم اِم الَّص َالِة )) ُم َّتَفٌق َع َليِه‬
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”
(Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433].
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan
dan kebencian, serta perselisihan antar hati orang yang shalat.” (Syarh Shahih Muslim,
4:157)
Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, “Mayoritas ulama berpandangan bahwa dianjurkan
meluruskan shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih
di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf jadi lurus
dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan mendekatkan pundak
yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya, mata kaki yang satu dan lainnya,
sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada
jamaah sebagaimana perintah Nabi ‫‘ﷺ‬Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena
lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.

2.4 Cara meluruskan shaf

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menerangkan, “Imam disarankan untuk


meluruskan shaf-shaf yang ada sebelum melakukan takbiratul ihram. Imam hendaklah
menyuruh makmum di belakangnya untuk meluruskan shaf sebelum masuk takbiratul ihram.
Jika masjid berukuran besar, imam dianjurkan menyuruh orang lain untuk meluruskan shaf
dengan cara mengelilingi shaf-shaf yang ada atau orang yang diperintah tadi menghimbau
yang lainnya untuk meluruskan shaf. Setiap yang hadir shalat berjamaah hendaklah mengajak
yang lain meluruskan shaf. Perbuatan seperti ini termasuk amar makruf nahi mungkar, juga
termasuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana diketahui,
shaf yang lurus merupakan kesempurnaan shalat.”

Az-Zuhaily, semoga Allah menjaga beliau, melanjutkan, “Yang dimaksud meluruskan shaf
adalah menyempurnakan shaf yang pertama lalu shaf yang berikutnya. Termasuk juga
meluruskan shaf adalah menutup shaf yang masih kosong. Shaf yang lurus akan terlihat rata
dan posisi badan yang satu tidak maju dari yang lainnya. Shaf kedua barulah diisi ketika shaf

13
pertama terisi penuh. Jamaah tidak boleh berdiri pada shaf yang baru sebelum shaf pertama
diisi.

”Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa kalimat “menempelkan bahu pada
bahu lainnya dan telapak kaki pada telapak kaki lainnya”, maksudnya adalah benar-benar
shaf itu dibuat lurus dan celah shaf itu ditutup. Kalimat semacam ini disebut
dengan kalimat mubalaghah. Ada perintah dalam hadits lainnya untuk menutup celah shaf.
Dalam banyak hadits ada anjuran demikian pula, di antaranya terkumpul dalam hadits Ibnu
‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, di mana hadits tersebut disahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Al-Hakim. Lafal hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,

‫َأِقيُم وا الُّص ُفوَف َو َح اُذ وا َبْيَن اْلَم َناِكِب َو ُس ُّد وا اْلَخ َلَل َو اَل َتَذ ُروا ُفُر َج اٍت ِللَّش ْيَطاِن َو َم ْن َو َصَل َص ًفا َو َص َلُه ُهَّللا َو َم ْن َقَطَع َص ًّفا‬
‫َقَطَع ُه ُهَّللا‬

“Luruskanlah shaf, rapatkanlah antara pundak, tutuplah celah shaf, dan janganlah biarkan
celah shaf untuk setan. Siapa yang menyambung shaf, maka Allah menyambungnya. Siapa
yang memotong shaf, maka Allah memotongnya.” (Fath Al-Bari, 2:211)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Yang tepat dan
terpercaya, shaf yang lurus adalah shaf yang antara mata kaki itu lurus, bukan antara ujung
jari yang lurus. Tubuh kita memiliki mata kaki.

Jari-jari yang ada berbeda sesuai dengan bentuk telapak kaki. Telapak kaki ada yang panjang
dan telapak kaki yang pendek, sehingga keduanya dibuat sama lurus tidaklah mungkin. Yang
bisa dibuat sama adalah lurusnya mata kaki. Adapun menempelkan kedua mata kaki antara
jamaah, hadits tentang hal ini ada dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dahulu mereka
meluruskan shaf dengan menempelkan mata kaki antara satu dan lainnya. Namun tujuan
menempelkan di sini adalah untuk membuat shaf menjadi lurus.

Yang dimaksud menempelkan di sini bukanlah harus benar-benar menempel dan menjaganya
sampai akhir shalat seperti itu. Sebagian orang melakukan tindakan ekstrim dengan
menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, akhirnya kedua telapak kakinya
sendiri terbuka lebar dan antara pundak mereka terdapat celah besar.

Definisi jamaah secara bahasa


Jamaah menurut bahasa berarti thaifah (kelompok). Sedangkan menurut istilah fuqaha yaitu
keterkaitan shalat antara makmum dan imam, mulai dari permulaan shalat maupun di tengah-
tengah shalat. Ada beberapa hukum melaksanakan shalat jamaah. Pembagian hukum ini
berdasarkan pada jenis shalat yang sedang dikerjakan. Berikut uraiannya:

a. Fardu ayn, yaitu jamaah pada shalat jum‟at bagi orang yang wajib menjalankan

14
b. Fardu kifayah, jamaah shalat maktubah bagi orang laki-laki yang sudah mukim, selain
shalat jum‟at. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jamaah ini:

1) menurut al-Nawawi: fardu kifayah. Demikian juga diharuskan tampaknya syiar jamaah
ditempat melangsungkannya, sehingga jika shalat jamaah di rumah masing-masing sementara
syiar jamaah belum tampak maka kewajiban mendirikan shalat jamaah belum gugur. Dengan
demikian, seluruh penduduk yang bedomisili di tempat tersebut terkena dosa. Pendapat ini
merupakan pendapat yang kuat.

2) menurut al-Rafi‟i: sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Baik yang berpendapat fardu
kifayah dan sunnah muakkad berlandaskan Firman Allah:

‫َو ِإَذ ا ُك نَت ِفيِه ْم َفَأَقْم َت َلُهُم ٱلَّص َلٰو َة‬

“Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau
hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka.” (An- Nisa'/4:102)

Makna Jamaah di segi bahasa diambil dari kata ‫جمع‬.


Dikatakan: ‫“ جمع المتفرقة‬Menyatukan yang berpecah-belah”.
Dan ‫“ الجماعة ضد الفرقة‬Jamaah lawannya berpecah-belah”

Jamaah dalam pengertian bahasa ini dikaitkan dengan jumlah orang yang berkumpul. Pakar
bahasa (ulama nahwu) berpendapat bahwa jamaah adalah jumlah tiga orang atau lebih.
Sedangkan para ulama fikih berpendapat bahwa jamaah adalah jumlah dua rang atau lebih

2.5 Syarat-syarat Jamaah


a. Ma‟mum niat jamaah mengikuti imam

b. Makmum mengikuti gerakan imam

c. Makmum tidak mengetahui bahwa imam shalatnya batal, misalnya imamnya berhadas,
auratnya terbuka atau meninggalkan satu rukun shalat

d. Makmum tidak meyakini wajibnya mengulangi (qada‟) shalat bagi imam, seperti imam
merupakan orang yang berhadas disebabkan tidak menemukan air dan debu.

e. Imam bukan tergolong ummy. Ummy berarti orang yang tidak bias menulis dan
membaca, disebut ummy karena kondisinya seperti baru dilahirkan oleh ibunya.

Namun menurut ahli fikih ummy yaitu orang yang tidak cakap dalam melafalkan bacaan
yang lazim dalam shalat baik dari segi makhraj maupun tasydid. Para ulama berbeda
pendapat bermakmum kepada orang ummy. Pertama, Jika kondisi makmum termasuk dalam
kategori ummy maka tafsil (dirinci)

15
1) menurut pendapat pertama shalat yang dilakukan makmun tidak sah jika keberadaan huruf
dari surat al-Fatihah yang tidak mampu dibaca, tidak sama dengan imam. Jika sama maka
shalat makmum sah.

2) menurut pendapat kedua dari mazhab Malikiyyah sah secara mutlak. Kedua, jika status
makmum merupakan orang yang termasuk dalam kategori qari’ maka juga tafsil; menurut
pendapat mayoritas mazhab sah dan menurut pendapat mazhab Malikiyyah sah secara
mutlak. Karena menurut mereka imam tidak disyaratkan harus mampu membaca fasih.

f. Laki-laki atau khunsa tidak boleh bermakmum kepada perempuan atau khunsa

g. Posisi makmum tidak di depan imam, kecuali shalat Shiddah Al-Khauf seperti

saat perang.

h. Makmum mengetahui gerakan imam secara langsung, melihat gerakan makmum lain,
mendengarkan suara imam atau pihak lain yang menirukan bacaan imam meskipun tidak ikut
serta berjamaah

i. Jika berada diluar masjid disyaratkan tidak ada penghalang antara imam dan makmum
dan jaraknya tidak lebih dari 300 zira‟ sementara jika imam dan makmum berada di masjid
maka tidak disyaratkan demikian.

j. Runtutan shalat yang dilaksanakan imam sesuai dengan makmum kecuali jika imam
shalat fardu sementara makmum shalat janazah karena kedua shalat itu tata cara
pelaksanaannya tidak sesuai.

3. Sunnah-sunnah Jamaah
a. Meluruskan barisan (saff)

b. Makmum dianjurkan berada di saf terdepan

c. Imam dianjurkan mengeraskan suara saat takbiratul ihram bacaan sami‟allahu liman
hamidah dan salam

d. Bagi makmum masbuq sunnah menyesuaikan zikir-zikir wajib dan sunnah dengan imam.

4. kemakruhan dalam Berjamaah


a. Tidak meluruskan saff

b. Bermakmum dengan orang fasik, pembuat bid‟ah dan bagi keduanya juga makruh
bertindak sebagai imam

c. Menjadi imam bagi orang yang terjangkit penyakit was-was

d. Menjadi imam bagi orang cedal yang tidak sampai berdampak merubah makna bacaan

16
e. Gerakan makmum menyertai gerakan imam selain takbiratul ihram

f. Menyendiri dari barisan shalat.

5. Macam-macam Makmum

Makmum terbagi menjadi dua yaitu makmum muwafiq dan masbuq. Makmum muwafiq
yaitu makmum yang mendapatkan waktu cukup untuk membaca fatihah ketika imam masih
bediri dengan bacaan normal. Jenis makmum ini wajib menyempurnakan bacaan fatihahnya
meskipun imam sudah ruku‟. Sedangkan makmum masbuq adalah makmum yang tidak
mendapakan waktu yang cukup untuk membaca surah al- Fatihah ketika imam masih berdiri
dengan bacaan normal. Mengenai mekanisme shalat bagi makmum masbuq adalah sebagai
berikut:

a. Masbuq yang mendapatkan waktu untuk membaca surah al-Fatihah namun


bacaannya belum sempurna, tetapi tidak tersibukkan dengan bacaan-bacaan
sunnah, atau masbuq yang tidak mendapatkan waktu sedikitpun membaca surah al-
Fatihah ketika imam berdiri. Dua kasus masbuq seperti di atas dianjurkan
segera mengikuti ruku‟nya imam, jika tidak memenuhi ketentuan itu maka:

1) shalatnya bisa batal dengan catatan tidak segera menyusul ruku‟nya imam, tidak niat
mufaraqah dan tertinggal dua rukun fi‟li tanpa uzur atau

2) shalatnya tetap sah namun tertinggal satu rakaat .

b. Masbuq yang belum sempat menyempurnakan bacaan al-Fatihah karena disibukkan


melakukan ke sunnahan seperti membaca ta‟awwud, iftitah dan lain-lain. Kasus masbuq
seperti ini menurut para ulama harus menyempurnakan bacaan al-Fatihah, namun bisa:

1) batal jika dengan sengaja mengikuti ruku‟nya imam sebelum menyempurnakan bacaan al-
Fatihah;

2) mendapat rakaat penuh jika setelah meyempurnakan bacaan al-Fatihah ia dapat


kesempatan mengikuti ruku‟nya imam;

3) tertinggal satu rakaat jika imam telah i‟tidal sebelum makmum menyelesaikan bacaan al-
Fatihah;

4) wajib segera mengikuti gerakan imam jika ia sudah menyempurnakan bacaan al- Fatihah,
imam beranjak sujud;

5) wajib mufaraqah jika ia belum sempat menyempurnakan bacaan al-Fatihah sementara


imam beranjak sujud. Ketentuan di atas merupakan pendapat yang kuat. Menurut pendapat

17
lain adalah makmum masbuq langsung mengikuti ruku‟nya imam tanpa menyempurnakan
bacaan al-Fatihah

6. Uzur-uzur Jama’ah
Para ulama membatasi uzur yang memperbolehkan meninggalkan shalat jamaah dan jum‟at
dengan dua kaidah:

a. Jika menghadiri shalat jamaah akan mengakibatkan kepayahan yang cukup berat
(masyaqqah syadidah) dan ia tidak mampu menahannya, maka tuntutan melaksanakan shalat
jamaah menjadi gugur, baik disebabkan oleh sakit, cuaca sangat panas, sangat dingin dan
sebagainya. Sementara jika kepayahan yang dialami masih tergolong ringan seperti sakit
kepala wajar maka hal tersebut tidak dikategorikan uzur dalam meninggalkan shalat jamaah.

b. Jika dengan keluar melakukan shalat jamaah akan berdampak terbengkalainya


kemaslahatan yang tidak dapat digantikan oleh orang lain, seperti merawat atau menghibur
orang sakit, hilangnya harta dan lain sebagainya maka hal ini termasuk uzur yang
memperbolehkan meninggalkan shalat jumat dan jamaah

Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:

‫صلوا كما رأيتموني أصلي‬

"Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat." (HR. Bukhari 631, 5615, 6008)
Perintah ini berlaku untuk semua orang, baik laki-laki maupun wanita. Syeikh Albani
rahimahullah berkata: "Semua yang saya paparkan tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam disamakan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada riwayat di dalam sunnah yang
menunjukkan adanya pengecualian bagi wanita dalam beberapa gerakan shalat tersebut.

‫َص َالُة اْلَج َم اَع ِة َتْفُضُل َص َالَة اْلَفِّذ ِبَس ْبٍع َوِع ْش ِريَن َد َر َج ًة‬

Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendiri sebanyak dua puluh tujuh
derajat.

18
Menurut Imam Syafii dalam kitab Al Umm, apabila tiga orang lebih diimani oleh salah
seorang dari mereka, maka bisa disebut sholat berjamaah. Demikian pula jika hanya terdiri
dari dua orang saja.

"Sedapat-dapatnya seseorang harus sholat berjamaah, meskipun dengan istri dan anak-
anaknya di rumah," kata Imam Syafii.

Imam Syafii mengatakan, bahwa seseorang yang mampu sholat berjamaah ia tidak boleh
sholat sendirian. Karena menurut keterangan dari Rasulullah, sholat berjamaah itu lebih
utama dari pada sholat sendirian.

"Dan semakin banyak jamaah yang ikut dalam sholat berjamaah, maka semakin baik dan
semakin bisa mendekatkan kepada Allah," kata Imam Syafii.

Dalam ajaran Islam, pengaturan shaf ketika sholat berjamaah telah diatur menurut syariat dan
ditekankan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬. Imam yang memimpin sholat berjamaah hendaknya
harus mengontrol dan memerintahkan kepada makmumnya untuk mengatur shaf agar lurus
dan rapat.

Berdasarkan hadits yang dinukil dari buku Fiqh Shalat Terlengkap karya Abu Abbas Zain
Musthofa Al-Basuruwani, Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda:

‫َأِتُّم وا الَّصَّف اْلُم َقَّد َم ُثَّم اَّلِذ ي َيِلْيِه َفَم ا َك اَن ِم ْن َنْقٍص َفْلَيُك ْن ِفي الَّصِّف اْلُم َؤ َّخ ِر‬

Artinya: "Sempurnakanlah shaf paling depan, kemudian disusul shaf berikutnya. Sedangkan
shaf yang masih kurang hendaklah berada pada shaf yang paling akhir." (HR Abu Dawud,
dihasankan oleh an-Nawawi).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Fikih Sholat menjelaskan, sesungguhnya shaf
dimulai dari tengah di belakang imam. Dan sebaiknya, menurut Ibnu Qayyim, tidak membuat
shaf baru sebelum shaf yang pertama penuh dan tidak mengapa apabila shaf di sisi kanan
lebih banyak dari sisi kita.

Bahkan memerintahkan hal tersebut dinilai sunnah. Yang terpenting jangan membuat barisan
kedua kecuali jika barisan pertama memang telah penuh terisi oleh para jamaah sholat.

Demikian juga barisan ketiga, kecuali jika barisan kedua telah penuh. Begitu seterusnya pada
barisan berikutnya. Karena itu sesungguhnya, menurut Ibnu Qayyim, merupakan ketetapan
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Hal ini sebagaimana hadits riwayat dari Abu Hurairah RA yang
dinukilkan Imam Abu Dawud:

19
‫“ َو ِّس ُطوا اإِل َم اَم وُس ُّد وا الخَلَل‬Posisikan imam ditengah, dan tutuplah celah (shaf).”

Dari Abu Musa RA, dia berkata, “Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, 'Manusia paling besar
pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya, lalu yang selanjutnya, dan
seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya
daripada yang melakukannya kemudian tidur.' Dan dalam suatu periwayatan Abu Kuraib
disebutkan; 'Hingga dia tunaikan sholat bersama imam secara berjamaah.'"

Ketiga, disiapkan tempat di surga

‫ َأْو َر اَح‬،‫ ُك َّلَم ا َغَدا‬، ‫ َأَع َّد ُهللا َلُه ِفي اْلَج َّنِة ُنُزاًل‬، ‫ َأْو َر اَح‬، ‫َم ْن َغَدا ِإَلى اْلَم ْس ِج ِد‬

"Barang siapa pergi ke masjid pada awal dan akhir siang, maka Allah akan menyiapkan
baginya tempat dan hidangan di surga setiap kali dia pergi." (HR Bukhari dan Muslim).

Keutamaan Pergi Ke Masjid - Masjid merupakan salah satu tempat yang sangat dimuliakan
oleh umat Islam, tempat dimana orang-orang rukuk dan sujud dihadapkan Yang Maha Kuasa.

Bagi seorang muslim laki-laki, ia sangat dianjurkan untuk melaksanakan sholat berjamaah di
masjid terdekat. Dan bahkan keutamaan pergi ke masjid ini Allah ganjar dengan berlipat-lipat
pahala.
Allah tidak membalas satu pahala bagi seseorang pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat
berjamaah, akan tetapi setiap langkahnya Allah ganjar dengan kebaikan.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, dalam shalat berjamaah perlu diperhatikan aturan
shaf ini agar shalat yang dilakukan memenuhi aturan shalat jamaah dan sekaligus
mendapatkan kesempurnaan shalat berjamaah. Membincangkan shalat berjamaah itentunya
juga harus memperhatikan shaf atau barisannya, yakni merapatkan dan meluruskan barisan.
Dalam Sunan Abi Dawud bab taswiyatus sufuf yang diriwayatkan dari Isa bin Ibrahim:
‫ َلْم َيُقْل ِع يسى‬- ‫ «أِقيُم وا الُّص ُفوَف وحاُذ وا َبْيَن الَم ناِكِب وُس ُّد وا الَخ َلَل وِليُنوا ِبأْيِد ي إْخ واِنُك ْم‬: ‫ قاَل‬،‫أَّن َر ُسوَل ِهَّللا ﷺ‬
‫ وَم ن َقَطَع َص ًّفا َقَطَع ُه ُهَّللا‬،‫ وال َتَذ ُروا ُفُرجاٍت ِللَّش ْيطاِن وَم ن وَص َل َص ًّفا وَص َلُه ُهَّللا‬- ‫ِبأْيِد ي إْخ واِنُك ْم‬

Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat –
syarat yang telah ditentukan.
Pergi melaksanakan shalat berjamah di masjid akan dilipat gandakan pahala baginya.

3.2 SARAN

20
Supaya kita selalu menjaga shalat lima waktu ,dan harus memahami agama islam lebih
dalam.Dan juga penting nya untuk kita agar selalu merapat kan shaf dalam shalat
berjamaah ,karena rapat nya shalat merupakan kesempurnaan shalat .

3.3 HARAPAN

Setiap orang islam seharus nya menjaga shalat lima waktu nya ,dengan keadaan
apapun ,kecuali wanita yang memiliki hajat.dan ketika shalat harus memperhatikan shaf yang
sudah lurus dan rapih.isilah shaf terdepan dahulu.

21

Anda mungkin juga menyukai