Anda di halaman 1dari 8

BAB III

Pembahasan

A. Perbedaan Konsep Ibadah Laki-Laki dan Perempuan

Pada dasarnya ibadah meupakan pengakuan dan penghambaan akan kenyataan


bahwa manusia adalah makhluk Allah, dan karena itu sebagai hamba-Nya,
manusia berkewajiban untuk mengabdi kepada Allah sebagai Tuhan dan Zat
tempat kembali. Makna ibadah bermuara pada pengabdian seorang hamba kepada
Allah swt, dengan cara mengagungkan, taat, tunduk patuh, dan cinta kepada Alah
SWT. Dengan merujuk pada makna ini, maka tampaterlihat jelas terdapat
beberapa kata (lafaz) yang memiliki makna sama dengan ibadah itu sendiri yang
ditemukan di dalam Al Quran, yakni antara lain ;

1. Al-tha’ah (‫)الطاعة‬, yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 128 kali


dalam berbagai bentuk perubahan katanya. 1 Pada dasarnya, kata al-
tha’ah ini mengandung arti “senantiasa menurut, tunduk dan patuh
kepada Allah dan rasul-Nya”.
2. Khada’a (‫)خضع‬, yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 2 kali,
yakni QS. al-Syu’ara (26): 4 dan QS. al-Ahzab (33): 32. Pada
dasarnya, kata khada’a ini mengandung arti “merendahkan, dan
menundukkan”.
3. Al-Zulli/al-Zillat (‫الذل‬/‫)الذلة‬, yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak
24 kali.2 Pada dasarnya, kata ini dapat pula berarti “kerendahan atau
kehinaan”.

Secara umum, konsep ibadah laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah
sama, yaitu sebagai bentuk pengabdian dan penghambaan kepada Allah SWT.
Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanaan ibadah tersebut, baik dari
ketentuan maupun tata cara pelaksanaan ibadah itu. Perbedaan-perbedaan tersebut
1
Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār
al-Fikr, 1992), hal. 429-431
2
Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, hal.350
tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasi antara laki-laki dan perempuan,
melainkan untuk menyesuaikan dengan fitrah dan kebutuhan masing-masing.
Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda dalam
masyarakat, sehingga ibadah yang dlakukan juga disesuaikan dengan peran
tersebut.

Membicarakan konsep ibadah, tentunya kita tidak dapat melepaskan dan


meninggalkan dari pemahaman terhadap pengertian konsep ibadah tersebut.
Dalam Islam, perbedaan dalam konsep ibadah laki-laki dan perempuan memiliki
dasar yang sama, yaitu ketaatan dan penghambaan diri kepada Allah SWT. Prinsip
dasar ibadah, seperti salat, puasa, zakat, haji bahkan dalam hal mawaris sekalipun,
berlaku bagi semua umat muslim tanpa memandang jenis kelamin. Namun,
terdapat beberapa perbedaan atau penekanan tertentu dalam pelaksanaan ibadah
antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan
Rasulullah SAW.

Perbedaan dalam pelaksanaan ibadah ini bukan berarti terdapat


ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam kaccamata Islam. Sebaliknya,
perbedaan ini mencerminkan kebijaksanaan Allah dalam menyusun tatanan sosial
dan tanggung jawab masing-masing gender. Islam menghormati perbedaan
biologis dan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sambil
menegaskan bahwa keduanya memiliki nilai dan martabat yang sama di hadapan
Allah.

B. Hukum Azan dan Iqamah Perempuan menurut Mazhab ‘Arbaah

Adapun hukum dari azan dan iqamah yang dilakukan oleh perempuan terdapat
khilafiyah di kalangan ulama.

1. Azan Iqamah Perempuan Perspektif Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafiyah memakruhkan azan jika diakukan oleh perempuan, dan


tidak sampai mengharamkan azan tersebut. Meski jamaahnya diisi oleh
perempuan semua, tidak perlu ada azan maupun iqamah. Dasarnya adalah hadits
berikut ini:

‫كّنا جماعة من النساء اّم تنا عائشة بال أذان وال إقامة‬

“Kami semua adalah jamaah para perempuan, Aisyah mengimami kami tanpa
adanya azan dan iqamah.”3

Dari hadis yang digunakan sebagai pedoman oleh ulama mazhab


Hanafiyah, bisa disimpulkan bahwasanya dalam mazhab Hanafiyah hukum
seorang perempuan yang melakukan azan itu makruh dan azan yang dilakukan
perempuan tadi disunnahkan untuk diulang lagi oleh oleh laki-laki. Hal ini dinilai
bid'ah karena termasuk muhdats (hal memperbarui ajaran agama) dengan artian
tidak adanya landasan dari adat salaf. Hal ini karena jika perempuan melantuntkan
suaranya di tempat tertinggi, dia telah melakukan bid'ah. Jika tidak, dia tidak
mengumandangkan azan pada wajah sunnah dan meninggalkan wajah sunnah ini
adalah bid'ah.

Kalimat tersebut menjelaskan bahwa azan perempuan dimakruhkan berdasarkan


ijma' (kesepakatan para ulama). Namun, azan perempuan tetap boleh dilakukan
dengan kemakruhan tersebut, hingga tidak perlu diulang.4

Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh ulama.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:

 Hadits dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi


wasallam bersabda:

‫َأاَل اَل َيُؤ ِّذ َن ِفي اْلَم ْس ِج ِد ِإاَّل َر ُجٌل ُم ْح ِر ٌم َأْو َعاِلٌم‬

3
Hamisy Abdul Qadir Al Halby, Al-‘Inayah ‘alal Hidayah, Bab Azan, Maktabah Syamilah, hlm 253
4
Imam Muhammad bin Ahmad Al Samarqandi, Tuhfatul Fuqaha, Bab Azan, Maktabah Syamilah,
hlm 111
"Janganlah ada yang mengumandangkan azan di masjid kecuali orang yang
sedang ihram atau orang yang berilmu." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

 Hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda:

‫ َو اَل َتْص ِّلي ِإاَّل ِفي َبْيِتَها‬، ‫ َو اَل َتْقَر ُأ ِفي اْلَم ْس ِج ِد‬،‫اَل َتُؤ ِّذ َن اْلَم ْر َأُة‬

"Janganlah perempuan mengumandangkan azan, membaca Al-Qur'an di masjid,


dan shalat kecuali di rumahnya." (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa azan perempuan harus diulang


adalah pendapat Abu Yusuf, salah satu murid Abu Hanifah. Pendapat ini
didasarkan pada hadits dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:

‫ِإَذ ا َأَّذ َن ِفي اْلَم ْس ِج ِد َفُقوُم وا ِإَلى الَّص اَل ِة‬

"Jika azan dikumandangkan di masjid, maka berdirilah untuk shalat." (HR.


Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini dinilai lemah karena hadits tersebut tidak menyebutkan secara
spesifik bahwa yang mengumandangkan azan adalah laki-laki.

Ibnu Abidin yang merupakan ulama dari kalangan mazhab Hanafiyah


yang mutaakhkhirin menyebutkan bahwasannya tidak disunnahkan untuk para
perempuan melantunkan azan maupun iqamah ketika mereka shalat berjamaah
sesama mereka sendiri.5

2. Azan Iqamah Perempuan Perspektif Mazhab Maliki

5
Ibnu Abidin, Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 1, hal. 391
Para ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa azan perempuan dimakruhkan,
bahkan ada yang berpendapat haram.6 Pendapat ini didasarkan pada beberapa
dalil, di antaranya:

 Hadits dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi


wasallam bersabda:

‫َأاَل اَل َيُؤ ِّذ َن ِفي اْلَم ْس ِج ِد ِإاَّل َر ُجٌل ُم ْح ِر ٌم َأْو َعاِلٌم‬

"Janganlah ada yang mengumandangkan azan di masjid kecuali orang yang


sedang ihram atau orang yang berilmu." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

 Hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda:

‫ َو اَل َتْص ِّلي ِإاَّل ِفي َبْيِتَها‬، ‫ َو اَل َتْقَر ُأ ِفي اْلَم ْس ِج ِد‬،‫اَل ُتَؤ ِّذ َن اْلَم ْر َأُة‬

"Janganlah perempuan mengumandangkan azan, membaca Al-Qur'an di masjid,


dan shalat kecuali di rumahnya." (HR. Ahmad dan Abu Daud)

 Hadits dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda:

‫ِإَذ ا َأَّذ َن ِفي اْلَم ْس ِج ِد َفُقوُم وا ِإَلى الَّص اَل ِة‬

"Jika azan dikumandangkan di masjid, maka berdirilah untuk shalat." (HR.


Bukhari dan Muslim)

Para ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa azan perempuan


dimakruhkan karena ada kemungkinan suara perempuan akan menimbulkan fitnah

6
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar
Khalil, Bab Azan, Maktabah Syamilah, hlm 434-435
bagi laki-laki. Selain itu, ada kemungkinan perempuan akan mengabaikan
perintah untuk menutup aurat saat mengumandangkan azan.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa azan perempuan haram didasarkan


pada hadits dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

‫اَل َيُؤ ِّذ ُن ِفي اْلَم ْس ِج ِد ِإاَّل َر ُجٌل‬

"Janganlah ada yang mengumandangkan azan di masjid kecuali laki-laki." (HR.


Tirmidzi)

Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa yang boleh mengumandangkan azan
adalah laki-laki.

Dalam pandangan mazhab Maliki ini, azan tidak disyariatkan bagi perempuan,
sedangkan iqamah disyariatkan untuk laki-laki dan perempuan. 7 Ulama mazhab
ini memandang bahwa azan tidak disyariatkan untuk perempuan, karena suaranya
harus keras. Sedangkan iqamah, suaranya bisa pelan bahkan hanya untuk diri
sendiri, sehingga dibolehkan.8

3. Azan Iqamah Perempuan Perspektif Mazhab Syafii

Mazhab Syafiiyah berpandangan bahwasannya tidak sah hukumnya


seorang perempuan melantunkan azan di depan jamaah laki-laki atau jamaah yang
terdapat laki-laki di dalamnya.9 Namun jika perempuan maupun khuntsa
mengumandangkan azan untuk dirinya sendiri, atau perempuan
mengumandangkan azan kepada jamaah perempuan, maka hal tersebut
diperbolehkan namun tidak dianjurkan.10

7
Ibid, hlm 434-435
8
Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 106-107
9
Syamsuddin bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuuddin Al Ramli, Nihayatul Muhtaj
ila Syarh Al Minhaj, Bab Azan, Maktabah Syamilah, hal 407
10
Ibid, hal 407
Adapun hukum iqamah perempuan untuk perempuan dalam pandangan
mazhab Syafiiyah hukumnya sunnah.11 Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di
antaranya:

 Hadits dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda:

‫ َو ِإَذ ا‬، ‫ َو ِإَذ ا َأَقاَم َأَح ُد ُك ْم الَّص اَل َة َفْلُي َؤ ِّذ ْن‬،‫َص اَل ُة اْلَج َم اَع ِة َتْفُضُل َص اَل َة اْلَفِّذ ِبَس ْبٍع َو ِع ْش ِر يَن َد َر َج ًة‬
‫َص َّلى َفْلُيِقْم‬

"Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh
derajat. Jika salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan, maka
iqamahlah. Jika shalat, maka iqamahlah." (HR. Bukhari dan Muslim)

 Hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda:

‫ َر َّبَنا َو َلَك اْلَحْم ُد‬،‫ َسِمَع ُهَّللا ِلَم ْن َح ِم َد ُه‬: ‫ َو ْلَيُقْل‬،‫ َو ْلُيِقْم َأْص َح اَبُه‬، ‫ِإَذ ا َأَقاَم َأَح ُد ُك ْم الَّص اَل َة َفْلَيُقْم‬

"Jika salah seorang di antara kalian iqamah shalat, maka berdirilah, dan
iqamahlah teman-temannya, dan ucapkan: Sami'allahu liman hamidah, Rabbana
wa lakal hamdu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun iqamah yang dilakukan perempuan untuk jamaah laki-laki


maupun khuntsa tidak sah. Hal ini karena khuntsa adalah orang yang memiliki
sifat-sifat laki-laki dan perempuan. Jika khuntsa diyakini sebagai laki-laki, maka
iqamah perempuan untuknya tidak sah karena khuntsa termasuk laki-laki. Jika
khuntsa diyakini sebagai perempuan, maka iqamah perempuan untuknya juga
tidak sah karena iqamah merupakan seruan untuk memulai shalat, dan perempuan
tidak boleh mengumandangkan azan.12

4. Azan Iqamah Perempuan Perspektif Mazhab Hanbali


11
Ibid, hal 406

12
Ibid, hal 406
Adapun hukum azan dan iqamah yang dilakukan oleh perempuan mazhab
Hanabilah berpandangan bolehnya melakukan keduanya, yakni azan dan
iqamah.13 Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin juga menyebutkan Menurut madzhab
Hanbali, azan bagi wanita tidaklah wajib. Baik bersama jamaah perempuan
sendiri atau bersama jamaah laki-laki. Jika tidak dikatakan wajib, lalu bagaimana
hukumnya?

Dalam salah satu pendapat Imam Ahmad disebutkan bahwa hukumnya


adalah makruh. Dalam pendapat lain disebutkan masih boleh. Ada juga salah satu
pendapat beliau yang menyebutkan disunnahkan. Pendapat Imam Ahmad lainnya
juga menyatakan bahwa yang disunnahkan adalah iqamah, bukanlah azan. Namun
semua itu dibolehkan jika suara wanita tidak dikeraskan untuk didengar orang
banyak. Jika suara tersebut dikeraskan, kami bisa jadi berpendapat hukumnya
haram atau minimal makruh.14

13
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal. 422
14
Muhammad Abduh Tuasikal, Fikih Azan-Azan bagi Wanita, https://muslim.or.id/21400-fikih
azan-7-azan-bagi-wanita.html, diakses tangal 17 November 2023

Anda mungkin juga menyukai