Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HADIST ARBAIN
HADIST KELIMA

Dosen Pembimbing : Tahnil Fawaid, S.Hum, M.Hum

Kelompok 4:
1. Hafidzoh Nurul Fadhilah (14184499)
2. Ishmatul Izzahq (14184500)
3. Sintia Mutia Aprianti Tuasamu (14184512)
4. Suci Rahma (14184516)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


KONSENTRASI KESEHATAN REPRODUKSI
STIKES SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2018/2019
BAB II
ISI HADIST
A. Hadist Arbain Kelima

ِ ‫ع َْن أُ ِّم ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ أُ ِّم َع ْب ِد هللاِ عَائِ َشةَ َر‬
ْ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا قَال‬
‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا صلى هللا‬: ‫ت‬

َ ‫ا لَي‬XX‫ َذا َم‬Xَ‫ا ه‬Xَ‫َث فِي أَ ْم ِرن‬


‫اري‬X‫ [رواه البخ‬  .‫ َر ٌّد‬ ‫ َو‬Xُ‫هُ فَه‬X‫ْس ِم ْن‬ َ ‫ د‬Xْ‫ َم ْن أَح‬: ‫لم‬X‫ه وس‬X‫علي‬

] ‫ْس َعلَ ْي ِه أَ ْم ُرنَا فَهُ َو َر ٌّد‬


َ ‫ َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬: ‫ومسلم وفي رواية لمسلم‬
Artinya :

“Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam
urusan (agama) kami ini yang bukan bagian darinya, maka dia tertolak.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: “Siapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka dia tertolak.”

B. Penjelasan Hadist

1. Hadits ini adalah pokok di dalam menimbang amalan lahiriyah (zhahir), dan suatu
amalan tidak akan diper- hitungkan kecuali apabila sejalan dengan syariat. Layaknya
hadits “sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya” yang merupakan pokok
amalan batin. Dimana setiap amalan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT (taqorrub) haruslah dilakukan dengan ikhas karena Allâh dan yang akan
teranggap sesuai dengan niatnya.
2. Apabila suatu ibadah seperti wudhu’, mandi janabat, sholat atau lainnya dikerjakan
namun dengan cara menyelisihi syariat, maka ibadah tersebut tertolak dari pelakunya
dan tidak dianggap.
3. Hadits di atas menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengada-adakan suatu bid’ah
yang tidak ada asalnya di dalam syariat, maka tertolak, dan pelakunya berhak
mendapatkan ancaman (dosa). Nabi SAW pernah bersabda saat di kota Madinah :

َ‫اس أَجْ َم ِع ْين‬


ِ َّ‫آوى ُمحْ ِدثًا فَ َعلَ ْي ِه لَ ْعنَة هَّللا ِ َو ْال َمالَئِ َكتِ ِه َوالن‬ َ ‫َم ْن أَحْ د‬
َ ْ‫َث َح َدثًا اَو‬
“Barangsiapa yang berbuat kemungkaran (termasuk bid’ah) dan membantu pelaku
kemungkaran, maka baginya laknat dari Allâh, Malaikat dan seluruh manusia.”2 (HR
Bukhârî : 1870 dan Muslim : 1366).
4. Riwayat kedua dari Muslim, bersifat lebih umum daripada riwayat (pertama) di dalam
Shahîhain (Bukhari- Muslim). Karena riwayat Muslim ini mencakup (seluruh) amalan
bid’ah, baik ia orang yang mencetuskan (membuat) pertama kali ataukah ada yang
mendahului- nya di dalam perbuatan bid’ah tersebut lalu ia mengekor kepada orang
yang membuat bid’ah tersebut.
5. Maksud sabda Nabi SAW di dalam hadits : “Raddun”, yaitu “mardûd ‘alayhi” (tertolak
atasnya). Hal ini di dalam Bahasa Arab termasuk bentuk memutlakkan mashdar
(bentuk infinitif) untuk berfungsi sebagai ism maf’ûl(verba obyek). Seperti misalnya
kata Khalq bermakna makhlûq diciptakan), naskh bermakna mansûkh (yang dihapus).
Maksud dari kata mardûd yaitu bâthil tidak terhitung.
6. Tidaklah termasuk cakupan dari makna hadits, yaitu suatu maslahat yang berguna
untuk memelihara agama, atau maslahat yang dapat mengantarkan kepada
(kemudahan) di dalam memahami dan mengenal agama, seperti pengumpulan al-
Qur’ân di dalam mush-hâf, pengumpulan (kompilasi) ilmu-ilmu bahasa dan nahwu,
dan selainnya.
7. Hadits di atas menunjukkan secara mutlak ditolaknya seluruh amalan yang menyelisihi
syariat, meskipun tujuan pelakunya itu baik.
8. Hadits ini secara manthûq (eksplisit) menunjukkan bahwa semua amalan yang tidak
ada tuntunannya dari syariat maka amalan tersebut tertolak. Secara mafhûm (implisit)
menunjukkan bahwa segala amalan yang berada di atas tuntunan syariat maka tidak
ditolak (diterima). Dengan kata lain, bahwa orang yang amalannya berjalan di bawah
hukum syariat dan selaras dengannya maka amalan tersebut diterima, dan orang yang
amalannya keluar dari hukum syariat maka tertolak.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Biografi Aisyah ra.
1. Silsilah
Aisyah binti Abu Bakar adalah istri dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassallam. Aisyah adalah putri dari Abu Bakar (khalifah pertama), hasil dari
pernikahan dengan istri keduanya yaitu Ummi Ruman yang telah melahirkan Abd al
Rahman dan Aisyah. Beliau termasuk ke dalam ummul-mu'minin (Ibu orang-orang
Mukmin). Aisyah terlahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah.

2. Sebelum Menikah dengan Nabi Muhammad SAW


Abu Bakar merasa Aisyah sudah cukup umur untuk menikah, karena hal itu, Aisyah
akan dinikahkan dengan Jubayr bin Mut'im, tetapi pernikahan tersebut tidak terjadi
karena istri Mut'im bin Adi mengatakan tidak mau keluarganya mempunyai
hubungan dengan para muslim, yang dapat menyebabkan Jubair menjadi seorang
Muslim.

3. Setelah Menikah dengan Nabi Muhammad SAW


Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah
dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun, dimana
Aisyah menjadi istri ketiga Muhammad setelah Khadijah dan Saudah binti Zam'ah.

4. Keutamaan Aisyah – Wanita Pembelajar


Selama Sembilan tahun  hidup dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam.
Beliau dikenal sebagai pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan. Ketekunan dalam
belajar menghantarkan beliau sebagai perempuan yang banyak menguasai berbagai
bidang ilmu. Diantaranya adalah ilmu al-qur’an, hadist, fiqih, bahasa arab dan syair.
Aisyah juga dikenal sebagai perempuan yang banyak menghapalkan hadis
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam. Sehingga beliau mendapat gelar Al-
mukatsirin (orang yang paling banyak meriwayatkan hadist). Ada sebanyak 2210
hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah. Hisyam bin Urwah meriwayatkan hadis dari
ayahnya. Dia mengatakan: “Sungguh aku telah banyak belajar dari Aisyah. Belum
pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada Aisyah tentang ayat-ayat
Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair, permasalahan
yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab, nasab, hukum,
serta pengobatan."

5. Keutamaan Aisyah – Wanita yang Tegas


Aisyah juga dikenal sebagai pribadi yang tegas dalam mengambil sikap. Hal ini
terlihat dalam penegakan hukum Allah, Aisyah langsung menegur perempuan-
perempuan muslim yang melanggar hukum Allah.Aisyah pun pernah menyaksikan
adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam wafat. Aisyah menentang perubahan
tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita
(masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana
wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”Di dalam Thabaqat Ibnu
Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin
Aisyah. Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah
menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.

6. Keutamaan Aisyah – Wanita yang Dermawan


Dalam hidupnya Aisyah juga dikenal sebagai pribadi yang dermawan. Dalam sebuah
kisah diceritakan bahwa Aisyah pernah menerima uang sebanyak 100.000 dirham.
Kemudian beliau meminta para pembantunya untuk membagi-bagikan uang tersebut
kepada fakir miskin tanpa menyisakan satu dirhampun untuk beliau. Padahal saat itu
beliau sedang berpuasa.Harta duniawi tidak menyilaukan Aisyah. Meskipun pada
saat itu kelimpahan kekayaan berpihak kepada kaum muslimin. Aisyah tetap hidup
dalam kesederhanaan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassallam.

7. Keutamaan Aisyah – Wanita Pejuang Dakwah


Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam meninggal dunia, Aisyah
menghabiskan hidupnya untuk perkembangan dan kemajuan Islam. Rumah beliau tak
pernah sepi dari pengunjung untuk bertanya berbagai permasalahan syar’iat .
Sampai-sampai Khalifah Umar bin khatab dan Usman bin Affan mengangkat beliau
menjadi penasehat. Hal ini merupakan wujud penghormatan  Umar dan Ustman
terhadap kemuliaan Ilmu yang dimiliki oleh Aisyah.

8. Wafatnya ‘Aisyah
‘Aisyah meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat witir,
pada tahun 58 Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama. Ada
juga yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan
sekian bulan. Para sahabat Anshar berdatangan pada saat itu, bahkan tidak pernah
ditemukan satu hari pun yang lebih banyak orang-orang berkumpul padanya daripada
hari itu, sampai-sampai penduduk sekitar Madinah turut berdatangan. Aisyah
dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan
Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah.

B. Bahasan Pokok
1. Syariat Rasulullah Saw Yang Ada Di Zaman Rasulullah

Ada beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka
sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan
pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat
derajatnya oleh Allah, atau dibukakan pintu-pintu langit untuknya. Berikut adalah
contohnya :
a. Perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci.
Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira
sebagai orang-orang yang lebih dahulu masuk surga.
b. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan
shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy.
Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah
meninggalnya.
c. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa
seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu
segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman
hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memujiNya). Maka sahabat
tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.
d. Sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-
Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat
jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu
berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan
wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah
sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka
Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa
pintu
pintu langit telah dibukakan untuknya. 
e. Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin
saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan
'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana
yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda:
"Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang
beruntung ditugaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."
f. Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i
dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka
mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena
diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang
sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan
mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku
bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para
malaikat."
Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat
tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama
para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan
membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa
dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang
bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak
bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.
b. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak,
yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa
Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap
selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua
rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.
c. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan
redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang
membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara
rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-doa tambahan
lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah
menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa
pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah
adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan
waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji-pujian yang
disusun oleh para ulama dan orang orang shalih tidak. bisa disebut sebagai
bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya
masih bisa dibenarkan oleh syariat.
d. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang
berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Allah
Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan
mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara
pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan.
Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak
ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut
termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah
menurutsyariat.

2. Amalan Yang Tidakada Dizaman Rasulullah Tetapi Dilakukan Orang Zaman


Sekarang

Beberapa contoh bid’ah masa kini, di antaranya adalah :


a. Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
bulan Rabiul Awwal.
Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah,
karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga
dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan terdahulu.
Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke
empat Hijriyah.
Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini
mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang
dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang
merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh
terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah
bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan
merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-
orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek
yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-
orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau
karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah
perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang perselisihan.
Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu).
Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau
merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti)
melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat
pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih
giat terhadap perbuatan baik.
Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah
beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin dan
menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati,
tangan dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin,
Anshar dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath
Al-Mustaqim 1/615]

b. Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang


peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah
meninggal.
Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah)
dari makhluk. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah
(pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk
mendapatkan uang dari orang-orang awam.
Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan
bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan
bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang
memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia
tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.
Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang
peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah
meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik bila
ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau
termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-
barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk
mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan
sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus
Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ;
dengan dalil bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan
kuburan beliau setelah wafat.
Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat
duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka juga
tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang
mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke
Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan tidak pula ke tempat-tempat
lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana terdapat kuburan nabi-
nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang dibangun di atas
peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap
dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di injak
kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan juga dipakai untuk
shalat, tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-
ngusap atau menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk
tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau tidur disana ?! Para
ulama telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam,
bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah
termasuk syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-
Shirath Al-Mustaqim 2/759-802]

c. Bid’ah Dalam Hal Ibadah Dan Taqarrub Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup banyak.
Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan tidak adanya
dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan dalam hal ibadah
kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk kategori bid’ah,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫ْس َعلَ ْي ِه أَ ْم ُرنَا فَهُ َو َر ٌّد‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬
“Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah kami
maka dia tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa sekarang ini, sungguh
banyak sekali, di antaranya ; Mengeraskan niat ketika shalat. Misalnya dengan
membaca dengan suara keras.

َ ُ‫ا‬
َ ‫صلِّ ۡي فَ ۡر‬
………..‫ض‬
“Aku berniat untuk shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”
Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬


‫ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬  ۚ‫ض‬ ِ ‫م َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم َما فِي ال َّس َما َوا‬Xْ ‫قُلْ أَتُ َعلِّ ُمونَ هَّللا َ بِ ِدينِ ُك‬
“Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu” [Al-Hujarat/49:16]
Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan aktifitas
lisan. Termasuk juga dzikir berjama’ah setelah shalat. Sebab yang disyariatkan
yaitu bahwa setiap membaca dzikir yang diajarkan itu sendiri-sendiri, di antara
juga adalah meminta membaca surat Al-Fatihah pada kesempatan-kesempatan
tertentu dan setelah membaca do’a serta ditujukan kepada orang-orang yang
sudah meninggal. Termasuk juga dalam katagori bid’ah, mengadakan acara
duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal, membuatkan makanan,
menyewa tukang-tukang baca dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat
memberikan manfaat kepada si mayyit. Semua itu adalah bid’ah yang tidak
mempunyai dasar sama sekali dan termasuk beban dan belenggu yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu.
Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang diadakan pada
kesempatan-kesempatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan-perayaan tersebut sama sekali tidak
mempunyai dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal yang dilakukan khusus
pada bulan Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus. Sebab tidak ada bedanya
dengan keistimewaannya dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, baik
dalam pelaksanaan umrah, puasa, shalat, menyembelih kurban dan lain
sebagainya.
Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala
macamnya. Semuanya bid’ah dan diada-adakan karena dia bertentangan
dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan baik dari segi redaksinya, bentuk
pembacaannya dan waktu-waktunya.
Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan
ibadah tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang harinya. Tidak
ada keterangan yang pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
amalan khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula yaitu membangun di
atas kuburan dan mejadikannya seperti masjid serta menziarahinya untuk ber-
tabarruk dan bertawasul kepada orang mati dan lain sebagainya dari tujuan-
tujuan lain yang berbau syirik.
Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu ialah pengantar
pada kekafiran. Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam agama ini
sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
RasulNya. Bid’ah lebih jelek dari maksiat besar sekalipun. Syetan akan
bergembira dengan terjadinya praktek bid’ah melebihi kegembiraannya
terhadap maksiat yang besar. Sebab, orang yang melakukan maksiat, dia tahu
apa yang dia lakukannya itu maksiat (pelanggaran) maka (ada kemungkinan)
dia akan bertaubat. Sementara orang yang melakukan bid’ah, dia meyakini
bahwa perbuatannya itu adalah cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, maka dia tidak akan bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu akan dapat
mengikis sunnah-sunnah dan menjadikan pelakunya enggan untuk
mengamalkannya.
Bid’ah akan dapat menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan
mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab rusak dan
melencengnya hati dari kebenaran.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

Anda mungkin juga menyukai