Anda di halaman 1dari 21

KONSEP SUNNAH HADIS (TELAAH ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI

DAN AKSIOLOGI)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Study Hadis Prodi Pascasarjana Konsentrasi Pendidikan Agama
Islam UIN Alauddin Makassar

Oleh:

NURUL MAGHFIRAH
NIM: 80200223030

DOSEN PENGAMPU :

Dr. La Ode Ismail Ahmad, M.Th.I

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah swt. karena dengan izin-Nya kami

dapat menyelesaikan makalah yang telah diamanahkan kepada kami. Salawat

serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah

membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam, Nabi yang sepantasnya kita

jadikan teladan dari setiap sisi kehidupannya bilamana kita ingin merasakan

nikmatnya hidup di dunia dan di akhirat.

Makalah ini menjelaskan tentang “Hadits dan Sunnah ditinjau (Ontologis,

Epistimologis dan Aksiologis)”. Dalam makalah ini kami tuliskan sesuai dengan

hasil tinjauan pustaka yang dilakukan berdasarkan referensi yang relevan dengan

judul makalah kami.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen

pembimbing dalam mata kuliah Study Hadis dan semua pihak yang telah

membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan kami memahami jika

makalah ini tentu memiliki kekurangan maka kritik dan saran konstruktif sangat

kami butuhkan guna memperbaiki tulisan kami pada karya tulis ilmiah

selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 15 September 2023

Penulis

i
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULURAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH ......................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................... 2
C. TUJUAN PENULISAN ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. TINJAUAN ONTOLOGIS....................................................................... 3
B. TINJAUAN EPISTIMOLOGIS ................................................................ 8
C. TINJAUAN AKSIOLOGIS .................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN ....................................................................................... 14
B. IMPLIKASI ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini manusia membutuhkan pedoman.
Sebagai seorang muslim tentulah berpedoman pada al-Qur‟an, sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah:2

‫َٰذلِك ٱ ْلكِت َٰـب ل ريْب ۛ فِي ِه ۛ ه ًۭدى ِل ْلمتَّقِين‬

“Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan)


petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,”1

Untuk menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman dalam kehidupan manusia,


khususnya orang yang beriman dituntut memiliki pengalaman yang dalam dan
bantuan penjelasan dari Nabi (sunnah). Sunnah menurut sebahagian ahli hadis sama
dengan hadis yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh Nabi saw melalui perkataan,
perbuatan, penetapan atau takrir dan akhlak serta sifat-sifatnya yang terpuji.2 Hadits
merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur‟an yang diwariskan oleh
Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam. Sebagai sumber hukum kedua, kita
sebagai umat Islam wajib mempelajarinya. Terkhusus kepada para penuntut ilmu
yang muslim.
As-Sunnah merupakan salah satu otoritas Islam kedua setelah al-Quran,
sejumlah literature hadis memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi
sumber hukum dan isnpirasi agama.3
Hadis pada mulanya berkembang hanya melalui mulut ke mulut (lisan). Ketika
itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadis-hadis Nabi
yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hapalan para
sahabat dan para tabi‟in.
1
Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahannya, diterjemahakan oleh Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Quran, Semarang: PT. Karya Toha Putra 2002, h.2.
2
Imam al-Suyuti, Mukhtasar al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, alih bahasa Rafiq Saleh Tahurid
dengan judul,”Apa itu al-Quran”, (Cet.IV; Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h.86.
3
Kamaruddin Amin, menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, (cet. 1; Bandung:
Penerbit Hikmah, 2009), h. 1

1
Seiring dengan perkembangan periwayatan hadis, telah muncul pula pemalsuan
hadis yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi
sebuah kepentingan, sehingga menambah dorongan para ulama hadis untuk
lebih hati-hati dalam melakukan periwayatan hadis. Misalnya kehatian-
hatian dalam menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadis baik berkenaan
dengan matan maupun sanad. Maka suatu riwayat dapat diketahui apakah
riwayat itu betul-betul hadis Nabi atau bukan, dengan menggunakan kaidah-
kaidah tersebut.

Ilmu hadis membahas macam-macam masalah yang sangat banyak


jumlahnya, sehingga juga menghasilkan banyak istilah. Tiap-tiap masalah
dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri. Sebagaimana Ibn al-Shalāh dalam
Muqaddimahnya menyebutkan 65 macam cabang ilmu untuk ilmu hadis.

Salah satu pembahasan yang paling urgen untuk diketahui oleh para
pengkaji hadis tentang keadaan hadis, kapan hadis tersebut bisa dijadikan Hujjah
dan bagaimana kedudukan serta aplikasinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu hadis ( tinjauan ontologis)?
2. Bagaimana itu hadis ( tinjauan epistemologis?
3. Apa realisasi dari hadis itu ( tinjauan aksiologis)?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan tentang hadis dari segi ontologis
2. Menjelaskan bagaimana hadis itu dari segi epistemologis
3. Menjelaskan hadis dari segi aksiologis

2
BAB II
HADIS DAN SUNNAH
( TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)
A. Tinjauan Ontologi

1. Pengertian Hadis
Kata hadis sendiri secara etimologi (bahasa) bisa diartikan sebagai berikut:
a. Jadid yang berarti baru, merupakan antonim dari kata qadim (lama).
b. Qarib yang berarti dekat, diambil dari kalimat hadis al-„ahdi bi al-islam yang
berarti orang yang baru masuk Islam.
c. Khabar yang berarti warta atau berita.

Sedangkan secara terminologi hadis adalah segala ucapan, perbuatan


dan ketetapan nabi Muhammad setelah beliau diangkat menjadi Nabi.

Mahmud al-Tahhan mendefinisikan sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid Khon:

Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau

perbuatan dan atau persetujuan.4


Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil sebuah pengertian hadis
adalah segala sesuatu hal yang berasal dari Nabi saw baik itu perkataan atau
perbuatan, persetujuan, dan karakter sesudah diangkat menjadi nabi.
Contoh hadis Nabi yang berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi saw:

‫نضَّر للا ا ْمراء سمِ ع ِمنَّاح ِديْثا فحفِظة حتَّى يبلِغه غيْره فاِنه ربَّ حامِل ِف ْقه ليْس ِبف ِقيْهوربَّ حامِل ِف ْقه اِ لى م ْن‬
‫مر ولز ْوم‬ ْ ‫ِل ومنا صحة ولةِ ا‬
ِ ‫ل‬ ِ ِ ‫هو ا ْفقه مِ ْنه ثل ث خِ صال ليغِل عل ْي ِه َّن ق ْلب م ْسلِم ابدا اِ ْخل ص ا ْلعم ِل‬
‫ا ْلجماع ِة ف ِا َّن دعْوته ْم تحِ يْط مِ ْن ورائِ ِه ْم‬

Artinya: Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan


perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikan kepada orang lain,
karena banyak orang berbicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga
sifat yang karenanya tidak akan timbul rasa dengki dihati seorang muslim,yaitu
ikhlas beramal semata-mata kepada Allah SWT, menasihati,taat, patuh kepada
pihak penguasa dan seti terhadap jama’ah. Karena sesungguhnya doa mereka akan
memberikan motivasi dan menjaganya) dari belakang.(HR Ahmad).

4
Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah, 2009), h. 2.

3
Contoh hadis Nabi yang berupa perbuatan ( Fi’li) :

ْ ‫كا ن النبِي ص م على را حِ لتِ ِه حيث توجَّه‬


‫ت بِ ِه ه‬

Artinya: Nabi SAW diatas tunggangannya, kemana saja tunggangnnya itu


menghadap. (H.R Mutafaq ‘alaih, juga at-Turmudzi dan Ahmad Amir bin
Rabi’ah)

Contoh hadis berupa ketetapan (taqriri) ialah:

ْ ‫ل يص ِليَّ َّن احد ا ْلع‬


‫صر اِل فِي بنِي قريضه‬

Artinya: Janganlah seorangpun shalat ashar kecuali nanti di bani


Quraidhah.(H.R Bukhari)

2. Sinonim Hadis

Ada bebberapa istilah yang merupakan sinonim dari hadis yaitu sunnah,

khabar dan atsar


a. Sunnah

Sunnah secara etimologi adalah jalan yang dilalui baik itu tercela maupun terpuji.5
Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda,
karena beberapa ulama berbeda pendapat diantaranya6 :

1) Menurut ulama pakar hadis semua hal yang berasal dari Nabi, baik yang
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Jadi,
menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik semisal tubuh, rambut,
jenggot, maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum
ataupun sesudah beliau diangkat jadi rasul. Mayoritas dari ulama pakar hadis
menetapkan bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi (sinonim) bagi perkataan
hadis. Dengan demikian pengertian hadis dan sunnah adalah sama menurut
mereka.
2) Menurut ulama usul fikih, segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (selain
al-Qur’an) berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, namun mereka

5
Al-Tirmidzi, Sunan al-Turmudzi, Al-Maktabah al-Syamilah, [CD-ROM] Version 12 G.

6
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahah al-Hadis|, (Cet. I; Bandung: Alma’arif, 2010),
h.20

4
membatasinya hanya dengan yang bisa dijadikan sebagai acuan pengambilan
hukum.7 Hal ini disebabkan mereka memandang nabi Muhammad sebagai
pembuat syariat, disamping Allah. Hanya saja ketika ulama usul fikih
mengucapakan hadis secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah
qauliyyah. Karena sunnah menurut mereka mempunyai arti yang lebih luas dari
hadis, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum tidak
hanya sebatas ucapan saja.
3) Menurut ulama fikih lain lagi, mereka memberikan pengertian bahwa sunnah
adalah segala suatu hal dari Nabi yang tingkatanya tidak sampai pada tingkatan
wajib atau fardhu, artinya mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak
sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka memandang nabi
Muhammad sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatanya
mengandung hukum syara’8

b. Khabr

Secara bahasa berarti berita yakni berita dan apa yang biasa dinukil atau

diberitakan baik berupa perkataan maupun tulisan9. Sedangkan menurut istilah,

ulama ahli hadis berpendapat: ‫مااضيف اىل النيب صلى هلل عليه وسلم او ْغيه‬

“Apa yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. atau dari yang selainnya”. Dari

segi istilah muhadditsin, khabar identik dengan hadis yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi (baik secara marfu’, mauqf, dan maqthu’) baik berupa

perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat. Khabar memiliki cakupan yang lebih

umum daripada hadis10 Dengan demikian, khabar mencakup segala sesuatu yang

berasal dari Nabi Muhammad Saw dan selainnya (seperti perkataan sahabat dan

tabiin). Dalam suatu pendapat menyebutkan bahwa: “semua hadis adalah khabar,

tetapi tidak semua khabar adalah hadis”.

7
Muhammad al-Zafzaf , Al- Ta’rif bi al-Quran wa al-Hadis|, (Cet.I, t.d), h. 194.
8
Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani,, h. 10.
9
Abdul Mannan ar-Rasikh, Kamus Istilah-Istilah Hadis, (Cet.II; Bekasi; Darul Falah, 2012), h. 89.

5
c. Atsar )

Secara bahasa, berarti sisa dari sesuatu. Adapun secara terminologi mencakup 3

hal:

1) Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Saw berupa perkataan, perbuatan,

ketetapan atau sifat.

2) Apa-apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in

3) Para pakar fiqhi dari Khurasan menamakan semua hadis mauquf dengan

nama atsar, sedangkan hadis marfu’ dengan nama khabar. Sebagian ulama

mengatakan bahwa atsar lebih umum daripada khabar, yaitu atsar berlaku

bagi segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. maupun dari
selainnya, sedangkan khabar khusus bagi segala sesuatu yang berasal dari

Nabi Muhammad Saw saja.

Untuk memudahkan pengidentifikasian, maka lebih baik apabila istilah hadis,

sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan

untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk

memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan lebih mempermudah dalam


memahami struktur hadis.

Hadis dan Sandaran Aspek dan Sifatnya

Sinonimnya Spesifikasi

Hadis Nabi Perkataan (qauli) Lebih khusus

Perbuatan (fi’li) dan sekalipun

Persetujuan dilakukan

(taqriri) sekali

Sunnah Nabi dan para Perbuatan (fi’li) Menjadi tradisi

sahabat

Khabar Nabi dan Perkataan (qauli) Lebih umum


6
selainnya Perbuatan (fi’li)

Atsar Sahabat dan Perkataan (qauli) Umum

Tabi’in Perbuatan (fi’li)

3. Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah


Sunnah pada dasarnya, tidak sama dengan hadis. Mengikuti arti
bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi yang
tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila hadis bersifat umum, meliputi
sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan
perbuatan beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang-kadang kita
mendapati ucapan ahli hadis : hadis menyalahi kiyas, sunnah dan ijma’ atau ucapan
“imam dalam hadis”, “imam dalam sunnah”, “ imam dalam keduanya”. yang lebih
aneh lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling menguatkan,
seakan-akan berbeda sama sekali, sehingga sah-sah saja bila ibnu Nadim
menyebutkan satu kitab dengan judul : Kitab Sunan dengan Dalil Hadis 11 Ketika
Islam member “jalan” dengan kata sunnah, orang- orang Arab tidak terkejut,
mereka sudah mengenalnya dengan arti ini, sebgaimana mereka mengenal lawan
katanya, bid‟ah. Mereka paham sekali makna itu, sampai ketika disandarkan kepada
asma Allah yang agung, seperti dalam firman-Nya: “sebagai sunnah Allah yang
berlaku atas orang – orang yang telah terdahulu sebelumnya,” (QS.Al-Ahzab:62)
Adapun orang- orang yang mendengar lafadz sunnah dari hadis Nabi seperti
dalam sabdanya : “ hendaknya kalian berpegang teguh kepada sunnah-ku”, maka
pada saat itu mereka tidak ragu lagi bahwa maksud kata itu adalah jalan dan cara
Nabi SAW. Dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusus maupun umum.

11
Subhi As-shalih, membahas Ilmu – Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) hal. 17

7
B. Tinjauan Epistemologis Hadis dan Sunnah

1. Unsur hadis

Suatu perkataan dapat disebut hadis ketika memiliki 3 unsur, yaitu sanad,

matan, dan rawi. Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, dan memiliki kaitan

yang sangat erat. Adapun defenisi sanad, matan dan rawi adalah sebagai berikut:

a. Sanad ( ‫)سند‬, berasal dari kata yang berarti mu’tamad (sandaran, tempat bersandar,

tempat berpegang, yang dipercaya, yang sah). Hal demikian disebabkan, karena

hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi kebenarannya


b. Matan ( ‫) منت‬, secara bahasa berarti tanah yang meninggi. Adapun defenisi

terminologi, ialah: ‫ “ الفاظ اْلديث الَّت تتقوم ِبا معانية‬lafaz-lafaz hadis, yang didalamnya

mengandung mana-makna tertentu”. Menurut Ibnu Jama’ah, matan berarti suatu

kalimat tempat berakhirnya sanad. Hal demikian menunjukkan kepada pemahaman

yang sama, yaitu bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafaz hadis itu sendiri

yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

c. Rawi, ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa

yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Adapula yang

menyebutkan bahwa poin ketiga dalam unsur hadis adalah mukharrij. Mukharrij

menurutnya adalah perawi hadis yang telah menghimpun hadis-hadis yang

diriwayatkannya kedalam sebuah (atau lebih) kitab yang telah disusunnya.

2. Klasifikasi Hadis

Periwayatan hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun

sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian

sahabat masih terfokus pada pemeliharaan al-Quran dan berusaha membatasi

periwayatan hadis tersebut, khawatir akan terjadi kekeliruan bercampurnya al-Quran

dengan Hadis.12

12
Idri, studi hadis, (cet.1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 39
8
selanjutnya, pada abad ketiga hadis mulai kodifikasi dan pembukuan serta

munculnya cabang ilmu yang khusus mengkaji hadis. Ketelitian serta kehati-hatian

ulama dalam menyapaikan hadis sehingga ulama membuat klasifikasi hadis,

diantaranya klasifikasi dari segi kuantitas dan kualitas hadis, tujuannya untuk

mengetahui ciri dan bentuk hadis yang semestinya kita pedomani.

a. Tinjauan hadis dari kualitas

hadis berdasarkan kualitas yakni hadis shahih, hasan dan dhoif.

Hadis Sahih, Sahih adalah kata bahasa Arab dan diserap kedalam bahasa

Indonesia yang berarti benar, sempurna, sah dan sehat. hadis shahih secara istilah,

para ulama berbeda pendapat. As-Suyuti menyebutkan bahwa “Hadis sahih adalah

hadis yang sanadnya bersambung, diriwayakan oleh perawi yang adil dan dhabit dan
tidak ditemukan kejanggalan juga tida ber’illat”. Ajjaj al-Khatib menyebutkan bahwa

“hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dengan periwayatan seorang

perawi yang tsiqah dan (berasal) dari orang yang tsiqah pula, mulai dari awal sanad

sampai pada akhir sanad dengan tidak ada kejanggalan dan cacat didalamnya.

Dengan demikian, maka hadis shahih ialah yang telah memenuhi syarat dan

kriterianya yaitu sanad bersambung, perawinya adil, perawinya dhabith, tidak ada

kejanggalan (syadz) dan tidak ada cacat.


Hadis Hasan, secara bahasa hasan berarti bagus atau indah, sehingga hadis

hasan berarti baik atau bagus. Secara terminology, Ibn Hajar a-Atsqalani
mendefenisikannya sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh perawi adil, kurang

sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat dan tidak

syadz). Adapun hadis hasan yang dikemukakan oleh jumhur muhadditsin, bahwa

“hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil, (tapi) ta begitu kokoh ingatannya,

bersambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”.

Hadis dhaif, Kata dhaif secara bahasa berarti lemah. Defenisi hadis dhaif secara

istilah, bahwa hadis dhaif adalah hadis yang tidak memiliki salahsatu syara atau lebih

9
dari syarat-syarat hadis shahih dan hasan. maka ulama berbeda pendapat.26 An-

Nawawi menuturkan bahwa “hadis yang didalamnya tidak ditemukan syarat-syarat

yang wajib ada dalam hadis sahih dan hasan”. Adapun Ajjaj al-Khatib berpendapat

bahwa “hadis dhaif adalah hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul”.

b. Hadis berdasarkan kuantitas

Hadis berdasarkan kuantitas yakni hadis mutawatir dan hadis ahad

Hadis Mutawarir, secara bahasa memiliki arti yang sama dengan mutatabi, yang

artinya beruntun atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak.

Sedangkan menurut istilah Hasbi ash-Shiddieqy mendefenisikan: “Hadis-Hadis yang

diriwayakan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula

dapat difahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan itu terus-menerus
hingga sampai kepada akhirnya”. Adapun Subhi Shalih mendefenisikan “Mutawair

ialah hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan adat mustahil mereka

bersepakat berdusta, sejak awal sanad, tengah dan akhirnya”.13 Adapun syarat hadis

mutawatir yaitu: diperoleh dari Nabi Saw Bilangan perawinya yang banyak, dan

kesinambungan perawi antara thabaqat masing-masing.

Hadis Ahad, kata Ahad berasal dari bahasa Arab yang berarti satu. Sedangkan

hadis ahad secara istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dimana hadis
tersebut bersumber dari Nabi yang menurut periwayatannya tidak sampai kepada hadis

mutawatir. Adapun pembagian hadis ahad yakni: Hadis masyhur (yang diriwayatkan
3orang atau lebih), hadis Aziz (yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi), dan hadis gharib

(hadis yang diriwayatkan oleh 1 orang).14

C. Tinjauan Aksiologi Hadis dan Sunnah

1. Otoritas Nabi Muhammad saw

Nabi Muhammad Saw memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat

manusia. Kedudukan Nabi Saw menjadi lebih kuat ketika adanya perintah Allah Swt agar

13
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap
Hadis Ahad, Jurnal: Suhuf 1, Vol.20 (Mei, 2018), h. 55.
14
Abdul Mutualli, Dikotomi Hadis Ahad-Mutawatir; Menurut Pandangan Ali Mustafa Ya’qub,
Jurnal: Tahdis 2, Vol.9 (2018), h. 208-209
10
menaati beliau tanpa syarat dan menjadikan hidup Nabi sebagai panutan yang sempurna

untuk diikuti. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Q.S an-Nisa/4:80

Keberadaan Nabi Saw tidak sekedar sebagai penyampain ajaran Allah, tetapi

ketika beliau masih hidup maka ajaran-ajaran Allah Swt tercermin dalam kehidupan

beliau sehari-hari dan ketika beliau telah wafat, maka ajaran Allah Swt tercermin dalam

hadis-hadis yang beliau tinggalkan. Selain itu, Nabi Saw diyakini sebagai implementasi

ajaran al-Qur’an, karena banyak perilaku beliau yang pantas diikuti seperti perkataan,

perbuatan, bahkan sifat-sifat atau karakter beliau dalam kehidupan sehari-harinya.15

Dengan demikian, otoritas Nabi Muhammad Saw sangatlah jelas dan tidak

terbantahkan. Bahkan Al-Qur’an telah memerintahkan untuk menaati Rasul dan

menerima hadis yang disampaikan oleh Rasulullah. Sehingga antara hadis dan al-Qur’an
tidak dapat dipisahkan dan keduanya saling terikat dan berhubungan.

2. Fungsi hadis terhadap al-Qur’an

Umat Islam meyakini bahwa hadis merupakan sumber hukum setelah al Qur’an,

yang dijadikan pegangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Telah dijelaskan

dalam dalil-dalil al-Qur’an atau hadis, terkait dengan pengakuan bahwa hadis dan sunnah

sebagai sumber hukum. Allah Swt. berfirman dalam Q.S an-Nisa/4:59:

َّ ‫ي َٰـٰٓأيها ٱلَّذِين ءامن ٰٓوا أطِ يعوا ٱ َِّل وأطِ يعوا ٱ‬


ْ ‫لرسول وأولِى ٱ ْْل ْم ِر ِمنك ْم ۖ فإِن تن َٰـزعْت ْم فِى ش‬
ِ‫ىء فردوه ِإلى ٱ َِّل‬
٥٩ ‫ِل وٱ ْلي ْو ِم ٱ ْلـَٔاخِ ِر ۚ َٰذلِك خي ًْۭر وأ ْحسن تأ ْ ِويل‬
ِ َّ ‫لرسو ِل ِإن كنت ْم تؤْ مِنون ِبٱ‬
َّ ‫وٱ‬
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.16
Al-Qur’an dan hadis tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya merupakan satu

kesatuan yang saling berhubungan. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, memuat

ajaran-ajaran yang pada umumnya masih bersifat umum dan global, adapun hadis

15
Zulfahmi, Otoritas Nabi Muhammad Saw. Kajian Atas Peran dan Fungsi Hadis dalam Hukum
Islam, Jurnal Tahdis 1, Vol.6 (2015), h. 123.
16
https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html, diakses pada 15 september 2023
pukul 19.00
11
memiliki fungsi untuk menjelaskan dan memerinci hal-hal yang belum jelas didalam al-

Qur’an.
3. Ingkar Sunnah
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham
yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber
kedua hukum Islam.17

Pada zaman Nabi Muhammad saw, umat Islam telah menyepakati bahwa sunnah
merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping al-Qur‟an. Belum atau tidak ada
bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad saw ada dari
kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Bahkan pada masa Khulafa al- Rasyidin (632-661M) dan Bani Umayyah (661-750 M)
belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah
Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada
penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.18

Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok


muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad saw dan
tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh
puluhan, kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya
dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama‟ah al-Qur‟an dan
Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan al- Qur‟an sebagai petunjuk dalam
melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya.
Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.

Hal ini dapat dipahami dari uraian al-Syafi‟i dalam kitabnya “Al-Umm”, mereka
itu oleh al-Syafi‟i dibagi menjadi 3 golongan yaitu:

• Golongan yang menolak seluruh sunnah Nabi saw


• Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki

17
Drs. Suyitno, M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Cet. I, IAIN Raden Fatah Press,
Palembang, 2006), h. 275.
18
H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Cet. I, Penerbit: Gaung Persada Press,
Jakarta, 2008), h. 277

12
kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
• Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad dan hanya
menerima sunnah yang berstatus Mutawatir.19
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok
pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa
mereka tidak menjadikan sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut
kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.

19
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa 1991), h. 141
13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hadis ialah Sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan
atau perbuatan atau persetujuan, Sinonim dari hadis, yaitu Sunnah,
Khabar, dan Atsar, Sunnah pada dasarnya, tidak sama dengan hadis.
Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh
oleh Nabi SAW. Yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila
hadis bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah
khusus berhubungan dengan perbuatan – perbuatan beliau. Perbedaan al-
Qur‟an dengan hadis dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-qur’an mukjizat Rasul, sedangkan hadis bukan mukjizat sekalipun hadis
qudsi.
b. Al-qur‟an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan
orang- orang jahil .sedangkan hadis tidak terpelihara seperti al-Qur‟an
c. Al-qur‟an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis tidak
banyak diriwayatkan secara mutawatir..
d. Kebenaran ayat- ayat al-Qur‟an bersifat qath‟i al- wurud ( pasti atau mutlak
kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran hadis
kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali mutawatir.
e. Al-Qur‟an redaksi ( lafal) dan maknanya dari Allah dan hadis Qudsi maknanya
dari Allah redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang hadis
nabawi berdasrkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu.
f. Proses penyampaian al-Qur‟an melalui wahyu yang tegas (jali) sedang hadis
qudsi melalui wahyu, atau ilham, atau mimpi dalam tidur.
g. Kewahyuhan al-Qur‟an disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang
dibacakan) sedangkan kewahyuan sunnah disebut wahyu ghair matluw ( wahyu
yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan yakin
kemmudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri.

14
h. Membaca al-Qur‟an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf pahalanya 10
kebaikan, sedang membaca hadis sekalipun qudsi tidak dinilai ibadah.
i. Diantara surah al-Qur‟an wajib dibaca dalam shalat seperi membaca surah al-
Fatihah yang dibaca pada setiap raka‟at. Sedangkan dalam hadis tidak ada yang
harus dibaca dalam shalat sekalipun qudsi, bahkan tidak sah shalat seseorang
yang menggantikan surah al-Qur‟an dengan hadis qudsi.
2. Dari segi epistemologi hadis meliputi: Unsur- unsur hadis terdiri dari sanad,
matan, rawi dan mukharrij, Kalsifikasi hadis dari segi kuantitas perwinya
yaitu mutawatir dan ahad, ( sebagian ulama berpendapat (mutawatir,
masyhur,dan ahad) sedangkan klasifikasi hadis dari segi kualitas sanad dan
matannya yaitu shahih, hasan dan dha’if.
3. Dari segi aksiologis meliputi: Otoritas Nabi saw tidak terletak pada
persetujuan masyarakat atau pendapat para ulama dan semacamnya
melainkan telah ditegaskan dalam al-Qur‟an sehingga dapat diterima oleh
masyarakat sejak awal.Otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad saw, beliau bertindak sebagai penetap hukum bagi masyarakat.
Berdasarkan al- Qur‟an dan al-Hadis, para sahabat dan kaum muslimin
hingga dewasa ini selalu mengamalkan al-Hadis di samping mengamalkan
al-Qur‟an, karena hadis merupakan sumber hukum, banyak ayat al-qur‟an
dan hadis yang menjelaskan bahwa hadis merupakan salah satu sumber
hukum Islam selain al-qur‟an yang wajib diikuti. Fungsi hadis terhadap al-
qur‟an: sebagai bayan at-Taqrir, sebagai bayan at-Tafsir, sebagai bayan at-
Tasyri‟, sebagai bayan an-Naskh. dan adapun Ingkar as-sunnah adalah
sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi
sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Munculnya ingkar sunnah karena adanya kesalahan dalam
menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga mereka
menganggap bahwa al-Qur‟an adalah satu-satunya pegangan atau pedoman
bagi umat Islam. Ada tiga golongan yang termasuk inkar al- Sunnah, yaitu:

15
a. Golongan yang menolak seluruh sunnah
b. Golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan
dengan petunjuk al-qur‟an
a. Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad, golongan ini hanya
menerima sunnah yang berstatus mutawatir.
B. Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya
diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca
dalam memahami tentang hadis dan sunnah. Terkhusus bagi para mahasiswa,
penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang hadis. Dan lebih khusus
lagi bagi para pendidik yang mengajarkan Ilmu Hadis, sehingga bisa mengenalkan
hadis secara menyeluruh lewat ilmu hadis.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Tirmidzi, Sunan al-Turmudzi, Al-Maktabah al-Syamilah, [CD-ROM] Version


12 G.

Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahannya, diterjemahakan oleh


Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Quran, Semarang: PT. Karya Toha
Putra 2002, h.2.

Imam al-Suyuti, Mukhtasar al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, alih bahasa Rafiq Saleh
Tahurid dengan judul,”Apa itu al-Quran”, (Cet.IV; Jakarta: Gema Insani
Press, 1991),

Kamaruddin Amin, menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, (cet. 1;


Bandung: Penerbit Hikmah, 2009), h. 1
Drs. Suyitno, M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Cet. I, IAIN Raden Fatah Press,
Palembang, 2006)

H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Cet. I, Penerbit: Gaung Persada
Press, Jakarta, 2008), h. 277

https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html, diakses pada 15 september


2023 pukul 19.00

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahah al-Hadis|, (Cet. I; Bandung: Alma’arif,


2010), h.20

Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama
Terhadap Hadis Ahad, Jurnal: Suhuf 1, Vol.20 (Mei, 2018), h. 55.

Zulfahmi, Otoritas Nabi Muhammad Saw. Kajian Atas Peran dan Fungsi Hadis
dalam Hukum Islam, Jurnal Tahdis 1, Vol.6 (2015), h. 123.

17

Anda mungkin juga menyukai