DAN AKSIOLOGI)
Oleh:
NURUL MAGHFIRAH
NIM: 80200223030
DOSEN PENGAMPU :
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah swt. karena dengan izin-Nya kami
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah
membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam, Nabi yang sepantasnya kita
jadikan teladan dari setiap sisi kehidupannya bilamana kita ingin merasakan
Epistimologis dan Aksiologis)”. Dalam makalah ini kami tuliskan sesuai dengan
hasil tinjauan pustaka yang dilakukan berdasarkan referensi yang relevan dengan
pembimbing dalam mata kuliah Study Hadis dan semua pihak yang telah
makalah ini tentu memiliki kekurangan maka kritik dan saran konstruktif sangat
kami butuhkan guna memperbaiki tulisan kami pada karya tulis ilmiah
Penulis
i
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULURAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH ......................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................... 2
C. TUJUAN PENULISAN ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. TINJAUAN ONTOLOGIS....................................................................... 3
B. TINJAUAN EPISTIMOLOGIS ................................................................ 8
C. TINJAUAN AKSIOLOGIS .................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN ....................................................................................... 14
B. IMPLIKASI ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini manusia membutuhkan pedoman.
Sebagai seorang muslim tentulah berpedoman pada al-Qur‟an, sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah:2
1
Seiring dengan perkembangan periwayatan hadis, telah muncul pula pemalsuan
hadis yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi
sebuah kepentingan, sehingga menambah dorongan para ulama hadis untuk
lebih hati-hati dalam melakukan periwayatan hadis. Misalnya kehatian-
hatian dalam menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadis baik berkenaan
dengan matan maupun sanad. Maka suatu riwayat dapat diketahui apakah
riwayat itu betul-betul hadis Nabi atau bukan, dengan menggunakan kaidah-
kaidah tersebut.
Salah satu pembahasan yang paling urgen untuk diketahui oleh para
pengkaji hadis tentang keadaan hadis, kapan hadis tersebut bisa dijadikan Hujjah
dan bagaimana kedudukan serta aplikasinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu hadis ( tinjauan ontologis)?
2. Bagaimana itu hadis ( tinjauan epistemologis?
3. Apa realisasi dari hadis itu ( tinjauan aksiologis)?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan tentang hadis dari segi ontologis
2. Menjelaskan bagaimana hadis itu dari segi epistemologis
3. Menjelaskan hadis dari segi aksiologis
2
BAB II
HADIS DAN SUNNAH
( TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)
A. Tinjauan Ontologi
1. Pengertian Hadis
Kata hadis sendiri secara etimologi (bahasa) bisa diartikan sebagai berikut:
a. Jadid yang berarti baru, merupakan antonim dari kata qadim (lama).
b. Qarib yang berarti dekat, diambil dari kalimat hadis al-„ahdi bi al-islam yang
berarti orang yang baru masuk Islam.
c. Khabar yang berarti warta atau berita.
Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau
نضَّر للا ا ْمراء سمِ ع ِمنَّاح ِديْثا فحفِظة حتَّى يبلِغه غيْره فاِنه ربَّ حامِل ِف ْقه ليْس ِبف ِقيْهوربَّ حامِل ِف ْقه اِ لى م ْن
مر ولز ْوم ْ ِل ومنا صحة ولةِ ا
ِ ل ِ ِ هو ا ْفقه مِ ْنه ثل ث خِ صال ليغِل عل ْي ِه َّن ق ْلب م ْسلِم ابدا اِ ْخل ص ا ْلعم ِل
ا ْلجماع ِة ف ِا َّن دعْوته ْم تحِ يْط مِ ْن ورائِ ِه ْم
4
Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah, 2009), h. 2.
3
Contoh hadis Nabi yang berupa perbuatan ( Fi’li) :
2. Sinonim Hadis
Ada bebberapa istilah yang merupakan sinonim dari hadis yaitu sunnah,
Sunnah secara etimologi adalah jalan yang dilalui baik itu tercela maupun terpuji.5
Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda,
karena beberapa ulama berbeda pendapat diantaranya6 :
1) Menurut ulama pakar hadis semua hal yang berasal dari Nabi, baik yang
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Jadi,
menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik semisal tubuh, rambut,
jenggot, maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum
ataupun sesudah beliau diangkat jadi rasul. Mayoritas dari ulama pakar hadis
menetapkan bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi (sinonim) bagi perkataan
hadis. Dengan demikian pengertian hadis dan sunnah adalah sama menurut
mereka.
2) Menurut ulama usul fikih, segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (selain
al-Qur’an) berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, namun mereka
5
Al-Tirmidzi, Sunan al-Turmudzi, Al-Maktabah al-Syamilah, [CD-ROM] Version 12 G.
6
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahah al-Hadis|, (Cet. I; Bandung: Alma’arif, 2010),
h.20
4
membatasinya hanya dengan yang bisa dijadikan sebagai acuan pengambilan
hukum.7 Hal ini disebabkan mereka memandang nabi Muhammad sebagai
pembuat syariat, disamping Allah. Hanya saja ketika ulama usul fikih
mengucapakan hadis secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah
qauliyyah. Karena sunnah menurut mereka mempunyai arti yang lebih luas dari
hadis, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum tidak
hanya sebatas ucapan saja.
3) Menurut ulama fikih lain lagi, mereka memberikan pengertian bahwa sunnah
adalah segala suatu hal dari Nabi yang tingkatanya tidak sampai pada tingkatan
wajib atau fardhu, artinya mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak
sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka memandang nabi
Muhammad sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatanya
mengandung hukum syara’8
b. Khabr
Secara bahasa berarti berita yakni berita dan apa yang biasa dinukil atau
ulama ahli hadis berpendapat: مااضيف اىل النيب صلى هلل عليه وسلم او ْغيه
“Apa yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. atau dari yang selainnya”. Dari
segi istilah muhadditsin, khabar identik dengan hadis yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi (baik secara marfu’, mauqf, dan maqthu’) baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat. Khabar memiliki cakupan yang lebih
umum daripada hadis10 Dengan demikian, khabar mencakup segala sesuatu yang
berasal dari Nabi Muhammad Saw dan selainnya (seperti perkataan sahabat dan
tabiin). Dalam suatu pendapat menyebutkan bahwa: “semua hadis adalah khabar,
7
Muhammad al-Zafzaf , Al- Ta’rif bi al-Quran wa al-Hadis|, (Cet.I, t.d), h. 194.
8
Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani,, h. 10.
9
Abdul Mannan ar-Rasikh, Kamus Istilah-Istilah Hadis, (Cet.II; Bekasi; Darul Falah, 2012), h. 89.
5
c. Atsar )
Secara bahasa, berarti sisa dari sesuatu. Adapun secara terminologi mencakup 3
hal:
3) Para pakar fiqhi dari Khurasan menamakan semua hadis mauquf dengan
nama atsar, sedangkan hadis marfu’ dengan nama khabar. Sebagian ulama
mengatakan bahwa atsar lebih umum daripada khabar, yaitu atsar berlaku
bagi segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. maupun dari
selainnya, sedangkan khabar khusus bagi segala sesuatu yang berasal dari
sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan
untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk
Sinonimnya Spesifikasi
Persetujuan dilakukan
(taqriri) sekali
sahabat
11
Subhi As-shalih, membahas Ilmu – Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) hal. 17
7
B. Tinjauan Epistemologis Hadis dan Sunnah
1. Unsur hadis
Suatu perkataan dapat disebut hadis ketika memiliki 3 unsur, yaitu sanad,
matan, dan rawi. Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, dan memiliki kaitan
yang sangat erat. Adapun defenisi sanad, matan dan rawi adalah sebagai berikut:
a. Sanad ( )سند, berasal dari kata yang berarti mu’tamad (sandaran, tempat bersandar,
tempat berpegang, yang dipercaya, yang sah). Hal demikian disebabkan, karena
terminologi, ialah: “ الفاظ اْلديث الَّت تتقوم ِبا معانيةlafaz-lafaz hadis, yang didalamnya
yang sama, yaitu bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafaz hadis itu sendiri
c. Rawi, ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa
yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Adapula yang
menyebutkan bahwa poin ketiga dalam unsur hadis adalah mukharrij. Mukharrij
2. Klasifikasi Hadis
sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian
dengan Hadis.12
12
Idri, studi hadis, (cet.1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 39
8
selanjutnya, pada abad ketiga hadis mulai kodifikasi dan pembukuan serta
munculnya cabang ilmu yang khusus mengkaji hadis. Ketelitian serta kehati-hatian
diantaranya klasifikasi dari segi kuantitas dan kualitas hadis, tujuannya untuk
Hadis Sahih, Sahih adalah kata bahasa Arab dan diserap kedalam bahasa
Indonesia yang berarti benar, sempurna, sah dan sehat. hadis shahih secara istilah,
para ulama berbeda pendapat. As-Suyuti menyebutkan bahwa “Hadis sahih adalah
hadis yang sanadnya bersambung, diriwayakan oleh perawi yang adil dan dhabit dan
tidak ditemukan kejanggalan juga tida ber’illat”. Ajjaj al-Khatib menyebutkan bahwa
“hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dengan periwayatan seorang
perawi yang tsiqah dan (berasal) dari orang yang tsiqah pula, mulai dari awal sanad
sampai pada akhir sanad dengan tidak ada kejanggalan dan cacat didalamnya.
Dengan demikian, maka hadis shahih ialah yang telah memenuhi syarat dan
kriterianya yaitu sanad bersambung, perawinya adil, perawinya dhabith, tidak ada
hasan berarti baik atau bagus. Secara terminology, Ibn Hajar a-Atsqalani
mendefenisikannya sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh perawi adil, kurang
syadz). Adapun hadis hasan yang dikemukakan oleh jumhur muhadditsin, bahwa
“hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil, (tapi) ta begitu kokoh ingatannya,
bersambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”.
Hadis dhaif, Kata dhaif secara bahasa berarti lemah. Defenisi hadis dhaif secara
istilah, bahwa hadis dhaif adalah hadis yang tidak memiliki salahsatu syara atau lebih
9
dari syarat-syarat hadis shahih dan hasan. maka ulama berbeda pendapat.26 An-
yang wajib ada dalam hadis sahih dan hasan”. Adapun Ajjaj al-Khatib berpendapat
bahwa “hadis dhaif adalah hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul”.
Hadis Mutawarir, secara bahasa memiliki arti yang sama dengan mutatabi, yang
artinya beruntun atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak.
diriwayakan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula
dapat difahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan itu terus-menerus
hingga sampai kepada akhirnya”. Adapun Subhi Shalih mendefenisikan “Mutawair
ialah hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan adat mustahil mereka
bersepakat berdusta, sejak awal sanad, tengah dan akhirnya”.13 Adapun syarat hadis
mutawatir yaitu: diperoleh dari Nabi Saw Bilangan perawinya yang banyak, dan
Hadis Ahad, kata Ahad berasal dari bahasa Arab yang berarti satu. Sedangkan
hadis ahad secara istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dimana hadis
tersebut bersumber dari Nabi yang menurut periwayatannya tidak sampai kepada hadis
mutawatir. Adapun pembagian hadis ahad yakni: Hadis masyhur (yang diriwayatkan
3orang atau lebih), hadis Aziz (yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi), dan hadis gharib
Nabi Muhammad Saw memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat
manusia. Kedudukan Nabi Saw menjadi lebih kuat ketika adanya perintah Allah Swt agar
13
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap
Hadis Ahad, Jurnal: Suhuf 1, Vol.20 (Mei, 2018), h. 55.
14
Abdul Mutualli, Dikotomi Hadis Ahad-Mutawatir; Menurut Pandangan Ali Mustafa Ya’qub,
Jurnal: Tahdis 2, Vol.9 (2018), h. 208-209
10
menaati beliau tanpa syarat dan menjadikan hidup Nabi sebagai panutan yang sempurna
Keberadaan Nabi Saw tidak sekedar sebagai penyampain ajaran Allah, tetapi
ketika beliau masih hidup maka ajaran-ajaran Allah Swt tercermin dalam kehidupan
beliau sehari-hari dan ketika beliau telah wafat, maka ajaran Allah Swt tercermin dalam
hadis-hadis yang beliau tinggalkan. Selain itu, Nabi Saw diyakini sebagai implementasi
ajaran al-Qur’an, karena banyak perilaku beliau yang pantas diikuti seperti perkataan,
Dengan demikian, otoritas Nabi Muhammad Saw sangatlah jelas dan tidak
menerima hadis yang disampaikan oleh Rasulullah. Sehingga antara hadis dan al-Qur’an
tidak dapat dipisahkan dan keduanya saling terikat dan berhubungan.
Umat Islam meyakini bahwa hadis merupakan sumber hukum setelah al Qur’an,
dalam dalil-dalil al-Qur’an atau hadis, terkait dengan pengakuan bahwa hadis dan sunnah
kesatuan yang saling berhubungan. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, memuat
ajaran-ajaran yang pada umumnya masih bersifat umum dan global, adapun hadis
15
Zulfahmi, Otoritas Nabi Muhammad Saw. Kajian Atas Peran dan Fungsi Hadis dalam Hukum
Islam, Jurnal Tahdis 1, Vol.6 (2015), h. 123.
16
https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html, diakses pada 15 september 2023
pukul 19.00
11
memiliki fungsi untuk menjelaskan dan memerinci hal-hal yang belum jelas didalam al-
Qur’an.
3. Ingkar Sunnah
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham
yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber
kedua hukum Islam.17
Pada zaman Nabi Muhammad saw, umat Islam telah menyepakati bahwa sunnah
merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping al-Qur‟an. Belum atau tidak ada
bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad saw ada dari
kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Bahkan pada masa Khulafa al- Rasyidin (632-661M) dan Bani Umayyah (661-750 M)
belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah
Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada
penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.18
Hal ini dapat dipahami dari uraian al-Syafi‟i dalam kitabnya “Al-Umm”, mereka
itu oleh al-Syafi‟i dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
17
Drs. Suyitno, M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Cet. I, IAIN Raden Fatah Press,
Palembang, 2006), h. 275.
18
H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Cet. I, Penerbit: Gaung Persada Press,
Jakarta, 2008), h. 277
12
kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
• Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad dan hanya
menerima sunnah yang berstatus Mutawatir.19
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok
pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa
mereka tidak menjadikan sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut
kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
19
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa 1991), h. 141
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadis ialah Sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan
atau perbuatan atau persetujuan, Sinonim dari hadis, yaitu Sunnah,
Khabar, dan Atsar, Sunnah pada dasarnya, tidak sama dengan hadis.
Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh
oleh Nabi SAW. Yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila
hadis bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah
khusus berhubungan dengan perbuatan – perbuatan beliau. Perbedaan al-
Qur‟an dengan hadis dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-qur’an mukjizat Rasul, sedangkan hadis bukan mukjizat sekalipun hadis
qudsi.
b. Al-qur‟an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan
orang- orang jahil .sedangkan hadis tidak terpelihara seperti al-Qur‟an
c. Al-qur‟an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis tidak
banyak diriwayatkan secara mutawatir..
d. Kebenaran ayat- ayat al-Qur‟an bersifat qath‟i al- wurud ( pasti atau mutlak
kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran hadis
kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali mutawatir.
e. Al-Qur‟an redaksi ( lafal) dan maknanya dari Allah dan hadis Qudsi maknanya
dari Allah redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang hadis
nabawi berdasrkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu.
f. Proses penyampaian al-Qur‟an melalui wahyu yang tegas (jali) sedang hadis
qudsi melalui wahyu, atau ilham, atau mimpi dalam tidur.
g. Kewahyuhan al-Qur‟an disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang
dibacakan) sedangkan kewahyuan sunnah disebut wahyu ghair matluw ( wahyu
yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan yakin
kemmudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri.
14
h. Membaca al-Qur‟an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf pahalanya 10
kebaikan, sedang membaca hadis sekalipun qudsi tidak dinilai ibadah.
i. Diantara surah al-Qur‟an wajib dibaca dalam shalat seperi membaca surah al-
Fatihah yang dibaca pada setiap raka‟at. Sedangkan dalam hadis tidak ada yang
harus dibaca dalam shalat sekalipun qudsi, bahkan tidak sah shalat seseorang
yang menggantikan surah al-Qur‟an dengan hadis qudsi.
2. Dari segi epistemologi hadis meliputi: Unsur- unsur hadis terdiri dari sanad,
matan, rawi dan mukharrij, Kalsifikasi hadis dari segi kuantitas perwinya
yaitu mutawatir dan ahad, ( sebagian ulama berpendapat (mutawatir,
masyhur,dan ahad) sedangkan klasifikasi hadis dari segi kualitas sanad dan
matannya yaitu shahih, hasan dan dha’if.
3. Dari segi aksiologis meliputi: Otoritas Nabi saw tidak terletak pada
persetujuan masyarakat atau pendapat para ulama dan semacamnya
melainkan telah ditegaskan dalam al-Qur‟an sehingga dapat diterima oleh
masyarakat sejak awal.Otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad saw, beliau bertindak sebagai penetap hukum bagi masyarakat.
Berdasarkan al- Qur‟an dan al-Hadis, para sahabat dan kaum muslimin
hingga dewasa ini selalu mengamalkan al-Hadis di samping mengamalkan
al-Qur‟an, karena hadis merupakan sumber hukum, banyak ayat al-qur‟an
dan hadis yang menjelaskan bahwa hadis merupakan salah satu sumber
hukum Islam selain al-qur‟an yang wajib diikuti. Fungsi hadis terhadap al-
qur‟an: sebagai bayan at-Taqrir, sebagai bayan at-Tafsir, sebagai bayan at-
Tasyri‟, sebagai bayan an-Naskh. dan adapun Ingkar as-sunnah adalah
sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi
sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Munculnya ingkar sunnah karena adanya kesalahan dalam
menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga mereka
menganggap bahwa al-Qur‟an adalah satu-satunya pegangan atau pedoman
bagi umat Islam. Ada tiga golongan yang termasuk inkar al- Sunnah, yaitu:
15
a. Golongan yang menolak seluruh sunnah
b. Golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan
dengan petunjuk al-qur‟an
a. Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad, golongan ini hanya
menerima sunnah yang berstatus mutawatir.
B. Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya
diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca
dalam memahami tentang hadis dan sunnah. Terkhusus bagi para mahasiswa,
penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang hadis. Dan lebih khusus
lagi bagi para pendidik yang mengajarkan Ilmu Hadis, sehingga bisa mengenalkan
hadis secara menyeluruh lewat ilmu hadis.
16
DAFTAR PUSTAKA
Imam al-Suyuti, Mukhtasar al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, alih bahasa Rafiq Saleh
Tahurid dengan judul,”Apa itu al-Quran”, (Cet.IV; Jakarta: Gema Insani
Press, 1991),
H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Cet. I, Penerbit: Gaung Persada
Press, Jakarta, 2008), h. 277
Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama
Terhadap Hadis Ahad, Jurnal: Suhuf 1, Vol.20 (Mei, 2018), h. 55.
Zulfahmi, Otoritas Nabi Muhammad Saw. Kajian Atas Peran dan Fungsi Hadis
dalam Hukum Islam, Jurnal Tahdis 1, Vol.6 (2015), h. 123.
17