Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR PADA MASA KODIFIKASI : PERSPEKTIF KITAB AT-TAFSIR WAL

MUFASSIRUN KARYA IMAM ADZ-DZAHABI

Noor Muhammad Rizki Kamil, Okky Octaviana


Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui proses kodifikasi atau pembukuan tafsir dari awal
perkembanganya melalui metode talaqqi hingga masa pembukuan yang sampai saat ini masih
dilakukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan
studi pustaka (library research). Artikel ini akan mengurai bagaimana proses perkembangan
kodifikasi (pembukuan) tafsir dalam kitab At-Tafsir wal Mufassirun karya Imam Adz-Dzahabi.
Di antara pembahasannya, Imam Adz-Dzahabi meyederhanakan proses kodifikasi Alquran
menjadi lima fase yang disebut dengan “Al-Khutuwat al-Khams”. Kesimpulan yang didapat
dari kajian tafsir pada masa kodifikasi adalah perkembangan tafsir bil matsur dan kemunculan
tafsir bi ra’yi.

Kata Kunci: kodifikasi; tafsir; imam adz-dzahabi; kitab at-tafsir wal mufassirun

PENDAHULUAN
Alquran merupakan kitab suci sekaligus pedoman hidup bagi umat Islam. Sebagai
pedoman hidup, Alquran berada pada posisi sentral sebagai rule of law yang mengatur jalannya
nilai, norma dan hukum yang hidup di tengah keberagaman umat manusia. Alquran diturunkan
dengan berbahasa Arab. Meski begitu, orang Arab yang berbahasa Arab pun terkadang tidak
memahami sebagian istilah-istilah yang ada dalam ayat Alquran. Oleh karena itu, hadirnya
Nabi di tengah mereka menjadi penjelas (mubayyin) terkait ayat-ayat yang sulit dipahami. Pada
mulanya, Nabi menjelaskan pada sahabat, kemudian sahabat mendengarkan, terkadang
penjelasan Nabi terkait ayat Alquran muncul akibat pertanyaan dari para sahabat. Proses ini
terus berlangsung hingga Nabi wafat. Ketidakhadiran Nabi di tengah-tengah mereka, membuat
para sahabat harus berijtihad dalam menafsirkan Alquran. Proses periwayatan terus terjadi
hingga masa tabiin. Seiring berkembangnya umat Islam, permasalahan hidup pun semakin
kompleks, sehingga para tabiin dan masa setelahnya harus bisa menjawab persoalan tersebut
dengan perspektif Alquran.
Kitab tafsir sebagai produk penafsiran dari para mufassir tidak begitu saja muncul
sebagaimana yang ada pada saat ini dengan tertib mushaf dari surat Al-Fatihah sampai An-
Naas. Akan tetapi, melalui beberapa proses dan fase perkembangan hingga akhirnya
terbentuklah suatu produk tafsir yang kaya dengan manahij at-tafsir (cara atau metode
penafsiran), qawaid at-tafsir (kaidah penafsiran) dan alwan at-tafsir (corak penafsiran).
Dilihat dari aspek sejarah tafsir itu sendiri, Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa
perkembangan tafsir mengalami tiga masa, yakni (1) tafsir pada masa Nabi Muhammad saw
dan sahabatnya yang perkembangannya berupa tafsir bil matsur, (2) tafsir pada masa tabi’in
yang inti perkembangan nya ditandai dengan berdiri nya madrasah-madrasah tafsir, (3) tafsir
pada masa kodifikasi yang inti pembahasan nya ditandai dengan cerita-cerita israiliyat yang
menjadi batu loncatan tafsir bil ra’yi (Adz-Dzahabi, 1946).
Dinamika perkembangan tafsir yang cukup bervariasi tersebut tidak dapat
terbantahkan, karena tafsir sendiri merupakan hasil karya dan kreasi manusia yang senantiasa
berkembang secara terus menerus dari generasi ke generasi, sampai kini dan masa-masa
mendatang. Abd. Muin Salim menyatakan bahwa, ada dua aliran (manhaj) dalam
perkembangan tafsir, yaitu aliran riwayah yang menggunakan Al-Qur’an, sunnah, atsar
sahabat, dan perkataan tabiin, serta aliran dirayah yang selain mempergunakan riwayat juga
mempergunakan data lain selain di atas (data riwayah). (Suaidah, 2021)
Maka dalam penelitian ini, penulis berusaha menguraikan secara spesifik tentang
proses kodifikasi atau pembukuan tafsir, dengan menjelaskan runtutan fase kodifikasi tafsir
sebagai jawaban bahwa tafsir yang ada pada saat ini memiliki proses perkembangan yang
sangat panjang.
Sumber rujukan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab At-Tafsir wal
Mufassirun. Dengan alasan bahwa kitab ini merupakan kitab yang sering dirujuk oleh para
mufassir mutaakhirin karena berisi pembahasan yang lengkap dan otentik, serta mampu
menjawab permasalahan seputar dunia penafsiran (Redaksi, 2018).

TEORI DAN METODE PENELITIAN


Sebelum menjelaskan tentang perkembangan tafsir, ada baiknya dikemukakan terlebih
dahulu bagaimana maknanya secara bahasa dan istilah. Term tafsir merupakan turunan dari
kata fa-sa-ra yang bermakna penjelasan (Razi, 2010:441). Sedangkan menurut Ibnu Abbas,
kata tafsir dalam firman Allah “Wa ahsana tafsira” bermakna elaborasi (tafsil) (al-Qattan,
t.t.:316). Dengan demikian, secara umum maksud dari kata tafsir dalam konteks memahami
Alquran adalah usaha untuk menjelaskan dan mengelaborasi makna dari Alquran.
Adapun tafsir secara istilah, ada beragam pengertian yang diberikan oleh para
ulama. Di antaranya dari Ibn Hayyan al-Andalusi. Ilmu yang membahas tata cara menuturkan
lafadz Alquran (ilmu qira’at), dan menggali petunjuk-petunjuknya (ilmu bahasa), hukum-
hukumnya yang tunggal dan tersusun (ilmu at-tasrif, ilmu ‘irab, ilmu al-bayan, ilmu al-
badi’), menggali makna yang terkandung dalam kalimat yang tersusun (mencakup haqiqah
dan majaz), serta pengetahuan lain yang turut menyempurnakan pemahaman (nasikh mansukh,
asbab an-nuzul), dan pengetahuan lainnya (Al-Andalusi, 1993:10, lihat juga (Ghani, 2006;9-
10, lihat juga dalam (Suyuṭi, 2008:759). Sementara itu, menurut Nashruddin Baidan, ilmu
tafsir membahas teori-teori yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, jadi penafsiran
Alquran merupakan upaya menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-
Qur`an dengan menerapkan teori-teori tersebut (Baidan, 2011:67)
Istilah kodifikasi erat kaitannya dengan kata tadwin berasal dari kata Arab dawwana,
secara bahasa berarti menghimpun, atau mengumpulkan. Kata masdar-nya berarti himpunan,
kumpulan (Al-Hanafī, n.d.; 304). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam kitab
Tadwin as-Sunnah yang memberi penjelasan kata tadwin yakni mengikat (taqyid) sesuatu yang
terpisah, cerai berai dan mengumpulkannya ke dalam sebuah diwan atau buku yang memuat
lembaran-lembaran (Azami, 2006:20). Definisi tersebut menjadi dasar bagi Azami bahwa
tadwin tidak mengandung arti penulisan (kitabah). Memang proses pengumpulan atau
penghimpunan tersebut tidak mungkin meninggalkan kegiatan tulis menulis, tetapi kata tadwin
tidak dimaksudkan untuk makna menulis/mencatat (Azami, 2006:20).
Hal senada dijelaskan Manna al-Qaththan bahwa tadwin adalah mengumpulkan
lembaran-lembaran yang telah tertulis dan hafalan, disusun secara sistematis menjadi satu buku
(Manna’ al-Qaththan, 1992:33). Al-Baghdadi juga menjelaskan makna tadwin dengan
menyusun, mendaftar dan mengumpulkannya ke dalam suatu susunan atau buku (kitab) yang
terdiri dari beberapa lembaran. Selanjutnya, istilah kodifikasi dalam perspektif hukum adalah
membukukan hukum sejenis, secara lengkap, sistematis menjadi satu dalam satu kitab Undang-
Undang (Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, S.H., 2015:119). Sedangkan dalam
hubungannya dengan tafsir, kodifikasi tafsir merupakan suatu proses dibukukannya tafsir-tafsir
Alquran.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pada
prosesnya, penulis mendalami makna suatu permasalahan dengan menggunakan pendekatan
untuk menelusurinya (Mustari, M., & Rahman, 2012). Adapun pendekatan yang digunakan
dalam menyusun penelitan ini adalah studi pustaka (library research). Penulis menghimpun
data dari berbagai sumber primer dan sekunder, lalu data dan informasi yang diperoleh
dianalisis dan diolah untuk memperoleh kesimpulan penelitian yang akhirnya dituangkan
dalam bentuk laporan tertulis (G. Ghinaurraihal, 2021).

HASIL PENELITIAN
Dalam kitab At-Tafsir wal Mufassirun, Imam Adz-Dzahabi menggunakan istilah
“ushur” jamak dari “al-ashru” ketika menjelaskan periode atau masa perkembangan tafsir pada
fase kodifikasi (Adz-Dzahabi, 1946). Berbeda tatkala beliau menjelaskan tafsir pada masa
Nabi, sahabat dan tabiin, diksi yang digunakan adalah “al-ashru” yang artinya hanya satu
periode. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa proses tadwin at-tafsir dimulai setelah fase
tabiin dan terus berlanjut hingga hari kiamat. Oleh karena itu, istilah “ushur” dirasa lebih cocok
untuk menggambarkan proses tadwin yang begitu panjang, karena prodak tafsir akan terus
bermunculan, baik yang berbahasa arab maupun non arab.
Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa fase kodifikasi tafsir mulai dilakukan
bersamaan dengan fase tadwin dan penyusunan berbagai ilmu-ilmu syariah lainnya (Adz-
Dzahabi, 1946:104). Meski begitu, antara penyusunan satu ilmu dengan ilmu lainnya memiliki
perbedaan mana yang lebih dulu di kodifikasi. Fase awal kodifikasi tafsir ini dimulai pada abad
ke-2 H. Tepatnya pada fase akhir kejayaan Bani Umayyah yang runtuh pada tahun 132 H pada
masa Khalifah Muhammad bin Marwan (Adz-Dzahabi, 1946:104).
Pada saat bersamaan, seiring runtuhnya bani Umayyah, Islam selanjutnya berada di
bawah kepemimpinan Bani Abbasiyah. Pada fase ini, perluasan wilayah sudah tidak lagi
banyak dilakukan sebagaimana terjadi pada masa Bani Umayyah. Fokus utama yang terlihat
pada fase Abbasiyah adalah pada perkembangan ilmu pengetahuan. Maka pada fase ini, banyak
di antara cabang-cabang ilmu yang mulai dibukukan, seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid, termasuk
di dalamnya ilmu tafsir Alquran itu sendiri (Adz-Dzahabi, 1946:104).
Apabila kita riview kembali proses perkembangan tafsir Alquran hingga pada fase
kodifikasi ini, Imam Adz-Dzahabi memberikan ringkasan melalui “al-Khutuwat al-Khams”
yaitu 5 (lima) fase kodifikasi tafsir dari sejak zaman Nabi hingga kemudian fase penulisan
tafsir menjadi karya tafsir yang hari ini kita bisa baca (Adz-Dzahabi, 1946:104)
Fase Pertama
Pada awal masa perkembangannya, tafsir dikembangkan melalui metode talaqqi dan
riwayat. Nabi menyampaikan pada sahabat, begitu pula sahabat menyampaikan pada tabiin.
Pada masa ini ada perdebatan apakah tafsir sudah ditulis atau belum, tetapi pada intinya tafsir
pada saat itu berkembang melalui riwayat. Imam Adz-Dzahabi mengatakan fase pertama
perkembangan tafsir adalah pada fase nabi, sahabat dan tabiin (Adz-Dzahabi, 1946:104)
Fase Kedua
Pada fase kedua, tafsir belum menjadi suatu ilmu yang mandiri, belum menjadi suatu
prodak dan masih menjadi bagian dari ilmu hadis (Adz-Dzahabi, 1946:104). Tafsir bil matsur
adalah tafsir yang berdasarkan pada atsar atau riwayat, yaitu tafsir Alquran dengan Alquran,
Alquran dengan hadis, Alquran dengan pendapat sahabat dan Alquran dengan perkataan tabiin
(Ash-Shabuni, 2001:107). Dalam ilmu hadis, empat sumber tafsir bil matsur ini menjadi bagian
dari ilmu hadis.
Dalam ilmu hadis, ada yang disebut hadis marfu, yakni hadis yang datang dari
Rasulullah, ada pula hadis mauquf, yang datang dari sahabat, atau hadis maqtu yang datang
dari tabiin (Laila, 2021). Masing-masing dari empat sumber ini memiliki nama sendiri. Hadis-
hadis yang datang dari Nabi, dikumpulkan dan diberi nama Al-jami wa Sunan. Hadis yang
datang dari sahabat dan tabiin dikenal dengan nama Al-muwatho dan Al-mushannaf.
Dapat dikatakan produk hadis lebih awal dari tafsir, dan tafsir merupakan salah satu
bab dari bab-bab hadis. Dalam kitab hadis induk yang ada riwayatnya seperti Kutubussittah
tidak lepas dari masalah tafsir. Fase kedua dari tadwin at tafsir dimulai ketika hadis-hadis nabi
mulai dibukukan dengan menyusun bab-bab yang beragam. Salah satu bab yang terdapat dalam
bab-bab hadis ini adalah bab tentang tafsir (Adz-Dzahabi, 1946:104).
Tokoh-tokoh pengumpul hadis pada masa awal, apabila dilihat dari segi umurnya rata
rata di abad 2 H sampai permulaan abad 3 H. Di antara mereka adalah Syu’bah bin Hijaj ( w160
H), Yazid bin Harun As-Salami ( w. 117 H), Waki bin Al-Jarrah ( w.197 H), Sufyan bin
Uyainah (w. 198 H), Ruh bin Ubadah al-bashri (205 H), Abdurrazzak bin Hamam (w. 211 H)
dan lain-lain.
Ketika proses tadwin al hadis, riwayat yang dikumpulkan bukan hanya tentang ihwal
kehidupan sehari-hari mereka, tetapi masuk juga di dalamnya penjelasan tafsir. Ketika mereka
meriwayatkan tafsir Rasulullah, sahabat, dan tafsir tabiin yang berkaitan dengan ayat-ayat
Alquran, maka tujuannya bukan untuk menyusun tafsir, tetapi mengumpulkan hadis-hadis
mereka yang terkait dengan ayat-ayat Alquran.
Fase Ketiga
Memasuki fase ketiga dari perkembangannya, tafsir melepaskan diri dari hadis. Tafsir
menjadi suatu kajian ilmu yang mandiri, tidak lagi menyatu dengan hadis (Adz-Dzahabi,
1946:105). Fase ketiga ini dimulai pada abad awal ke-4 H sampai pertengahan abad ke 5 H.
Tafsir disusun menggunakan metode riwayat. Tafsir pada masa ini masih dilengkapi dengan
sanad yang bersambung pada rasulullah. Inilah yang membuat tafsir pada masa ini lebih
terjaga, dan masih bisa diteliti menggunakan ilmu jarh wa ta’dil.
Di samping itu, selain masih ada isnad, tafsir pada masa ini masih sangat kental nuansa
periwayatannya yang disandarkan pada nabi, sahabat dan tabiin. Sangat sedikit sekali
menggunakan ra’yu atau ijtihad, kecuali pada tafsir Imam At-Thabari, selain menafsirkan ayat-
ayat Alquran, beliau juga memberikan penilaian atas riwayat-riwayat tersebut. Termasuk
menentukan harakat nahwu dan istimbat hukum. Sampai saat ini, sulit menentukan siapa orang
yang pertama kali membukukan tafsir. Imam Adz-Dzahabi, mencoba untuk menjawabnya
melalui kisah yang dituangkan dalam karyanya At-Tafsir wal Mufassirun, meski pada akhirnya
beliaupun tidak menentukan siapa orang yang pertama kali membukukan tafsir Alquran.
Seorang pustakawan, yang mengkodifikasi berbagai macam karya-karya ilmu bukan
hanya di bidang tafsir, bernama Ibnu Nadim. Dalam kitabnya Al-Fihrasat, beliau menjelaskan
ada seseorang bernama Abu al-Abbas menanyakan apakah kitab Ma’ani Alquran karya Al farra
bisa dikatakan sebagai kitab pertama yang mentadwin Alquran. Ada seorang murid atau
rekannya yang bernama Umar bin Bukair yang biasa bertemu dengan Amir yang bernama al-
Hasan bin Sahl, beliau sangat menyukai ilmu Alquran tafsir dan sering bertanya kepada Umar
bin Bukair, tapi ada kalanya Umar tidak bisa memberikan jawaban, maka ia meminta bantuan
pada Al-Farra untuk menjelaskan ayat-ayat yang sifatnya musykil.
Umar meminta kepada Al-Farra untuk menuliskan kitab yang isinya adalah penjelasan
terkait beberapa ayat yang musykil, kemudian permintaannya ini diterima oleh Al-Farra,
sehingga tersusunlah kitab bernama Ma’ani Alquran. Maka Al-Farra meminta para muridnya
untuk berkumpul dan menuliskan tafsiran-tafsirannya terkait ayat Alquran. Setiap hari
muridnya menulis apa yang diimlakan oleh Al-Farra. Setelah terkumpul, Al-Farra bersama
dengan muridnya mendatangi sebuah masjid dan ketika itu ada seseorang muadzin sekaligus
qori yang mana Al-Farra memintanya untuk membacakan ayat Alquran di depan banyak orang.
Qori tersebut membaca dari surat Al-Fatihah kemudian ditafsirkan oleh Al-Farra sampai
alquran tersebut selesai dibaca.
Abu al-Abbas memberikan komentar atas apa yang dilakukan oleh Al-Farra,
bahwasanya tidak ada seorang pun yang melakukan seperti Al-Farra terkait dengan bagaimana
beliau menafsirkan alquran. Kisah ini dikutip oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab At-Tafsir
wal Mufassirun untuk memberikan statemen atau isyarat bahwa apakah mungkin yang menulis
tafsir pertama kali itu bisa dinisbahkan kepada Al-Farra, karena dari segi umur pun beliau
cukup tua, yakni wafat pada 207 H. Namun yang menjadi persoalan adalah apabila Al-Farra
yang dianggap menulis tafsir pertama, lalu apakah yang ditulis Al-Farra mengenai tafsir-tafsir
ayat yang musykil saja cukup untuk menisbahkan bahwa beliau yang pertama kali menulis tafsir
(Adz-Dzahabi, 1946:105)
Menurut Imam Adz-Dzhahabi, kita tidak bisa memastikan hal tersebut, karena Ibnu
Nadim sendiri yang menjadi penjelas riwayat ini tidak secara yakin mengatakan Al-Farra
adalah penulis tafsir Alquran yang pertama. Imam Adz-Dzahabi juga menambahkan, jika yang
ditulis oleh Al-Farra hanya ayat-ayat yang musykil saja, berati sama saja halnya seperti yang
ditulis oleh Abu Ubaidah dalam kitabnya Majazul quran. Tapi bisa dikatakan hal yang
dilakukan oleh mereka adalah sebagai masa-masa awal kemunculan kitab tafsir tertib dari Al
fatihah sampai dengan An-Naas (Adz-Dzahabi, 1946:105).
Para salafusolih juga sudah terbiasa dengan kehidupan menafsirkan Alquran, tapi tidak
bisa dikatakan bahwa pada masa itu tafsir Alquran sudah ada. Kebiasaan tersebut terbukti
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abi Malikah, “ aku mendapati Mujahid pernah bertanya
kepada Ibnu Abbas yang mana beliau sambil menulis di atas wahn (kumpulan catatan) nya.
Kemudian Ibnu Abbas mengatakan, “tulislah apa yang aku tafsirkan, sehingga Mujahid
menulis semua tafsir Alquran. Kalau memang dari riwayat ini bahwa penulisan tafsir itu sudah
ada di masa sahabat dan tabiin, maka sebenarnya bisa dinisbahkan pada beliau, tetapi
manuskripnya tidak ditemukan. Maka Imam Adz-Dzahabi mengatakan sulit untuk menentukan
siapa yang pertama kali menuliskan Alquran menjadi satu karya yang tertib sebagaimana hari
ini (Adz-Dzahabi, 1946:105-106).
Fase Keempat
Tafsir pada masa keempat ini masih tetap menggunakan periwayatan, akan tetapi terjadi
peringkasan isnad atau sanadnya sudah mulai dihapus. Jadi ketika seorang mufassir
menafsirkan Alquran, diksi yang digunakan hanya sighat tahammul nya saja, seperti qola ibnu
Abbas, qola Rasulullah saw. tanpa menyebutkan rantai sanadnya. Maka dari sinilah fase ini
menjadi fase dimana tafsir bil matsur dianggap lemah menurut Imam Adz-Dzahabi (Adz-
Dzahabi, 1946:107). Karena salah satu kelemahan tafsir bil matsur adalah tidak bisa dipastikan
validitas riwayatnya karena tidak diketahui siapa perawinya.
Pada fase yang keempat ini banyak ditemukan pemalsuan sanad yang disandarkan pada
sahabat, tetapi tidak bisa dipastikan ketersambungannya karena sanadnya tidak ditemukan,
padahal orang tersebut tidak meriwayatkannya. Juga banyak terjadi percampuran antara
riwayat yang shahih dan dhoif. Oleh karenanya para peneliti atau penukil tafsir yang
mengambil sumber dari fase yang ke empat ini, bisa saja menganggap bahwasanya semua
riwayat yang datang pada mereka itu shahih, padahal tidak semuanya shahih. Lantas kemudian
kalangan muta’akhirin yang hidup pada abad keempat, kelima dan seterusnya mengambil tafsir
yang sudah dihilangkan sanadnya dan menganggap itu adalah dalil yang shahih padahal tidak
semuanya shahih.
Begitu juga pada fase ini sudah banyak riwayat-riwayat israiliyat yang masuk
kemudian dianggap sesuatu yang benar, padahal itu cerita israiliyat yang tidak pasti
kebenarannya. Inilah yang menjadi awal bahaya pemalsuan tafsir dan masuknya israiliyat
dalam tafsir Alquran. Contohnya, ketika banyak mufassir yang meriwayatkan tafsir tentang
surat Al-fatihah ayat ketujuh tentang al-maghdub dan ad-dhallin yang jumlahnya sampai 10
riwayat dan pendapat terkait makna ini. Padahal menurut Imam Adz-Dzahabi, kita tidak
memerlukan banyak riwayat tentang hal ini, karena nabi sudah secara tegas memberikan
penjelasan.
Para sahabat juga sudah sepakat bahkan menurut Imam Abi Hatim ini sudah menjadi
ijma, bahwa artinya adalah Yahudi dan Nasrani. Ini menjadi bukti bahwa beragam riwayat
yang tadi tidak bisa dipastikan keshahihannya itu tetap dinukil oleh para mufassir kalangan
mutaakhirin, padahal kita hanya perlu membatasi pada yang shahih saja dengan meyakini
bahwa maknanya adalah Yahudi dan Nasrani, tidak perlu dikompromikan dengan tafsir-tafsir
yang bisa saja riwayatnya tidak shahih. Contoh kitab tafsir pada masa ini adalah Al-Bustan
yang ditulis oleh Abu al-Lais as-Samarkandi dan Tafsir Ma’alim at-Tanzil yang ditulis oleh
Abu Muhammad al-Husain Ibn Mas’ud al-Baghawi asy-Syafii (Amri, n.d.)
Fase Kelima
Perkembangan tafsir pada fase kelima, sudah mulai muncul tafsir bil aqli atau sering
dikenal dengan bi-ra’yi. Kemunculan tafsir aqli merupakan suatu bentuk usaha kalangan
mufassir yang mencoba untuk menafsirkan secara bil matsur pada beberapa ayat dengan
melakukan metode tarjih. Banyaknya riwayat yang mereka terima, menjadi sebab utama
dilakukannya suatu usaha guna memastikan riwayat mana yang paling kuat di antara riwayat-
riwayat bil matsur yang mereka terima.
Menurut Imam Adz-Dzahabi, usaha itu bukan sesuatu yang tercela dan masih bisa
diterima selama masih mengikuti kaidah-kaidah kebahasaan dan petunjuk-petunjuk Alquran
yang sesuai dengan syariat. Usaha untuk melakukan penafsiran secara ijtihadi ini semakin
bertambah. Tujuan penafsiran bukan lagi hanya untuk melakukan tarjih atas beberapa riwayat
berdasarkan pendekatan kebahasaan, tetapi juga terpengaruh dengan berbagai macam
pengetahuan yang beragam seperti keilmuan-keilmuan di luar islam ataupun dari peradaban
islam tetapi mempengaruhi tafsir (Adz-Dzahabi, 1946:108).
Berbagai macam ilmu mulai masuk ke dalam tafsir, termasuk di dalamnya pendapat
yang beragam juga pertentangan keyakinan-keyakinan yang dikaji dalam ilmu kalam masuk
ke dalam ilmu tafsir. Belakangan, ada satu kitab yang ditulis di dalam nya berbagai macam
ilmu pengetahuan dan pendapat-pendapat dari para ilmuwan, sampai tidak ditemukan tafsiran
dari ayat tersebut, karena banyaknya yang dikutip dari berbagai macam ilmu dan pendapat di
dalam kitab tafsir tersebut. Misalnya kitab tafsir karya al-Razi, sebagian peneliti mengatakan
bahwa di dalamnya terdapat berbagi macam ilmu, mulai dari ilmu filsafat, fikih, aqidah, kalam,
tetapi satu yang tidak ada, yaitu tafsir.
Banyak ilmu yang masuk dalam penafsiran Alquran, tapi poin yang ingin diambil dari
maksud ayat itu sendiri kemudian sulit ditemukan, namun bukan terati tidak ada, karena
bercampur dengan berbagai macam ilmu (Adz-Dzahabi, 1946:108). Setiap orang yang
memiliki kapasitas ilmu tertentu, kemudian mencoba menafsirkan Alquran. Dominasi
penafsirannya akan dipengaruhi oleh ilmu yang sudah mereka kuasai. Ahli Bahasa nahwu,
ketika ia menafsirkan Alquran tidak ada yang menjadi fokus utamanya kecuali terkait dengan
masalah-masalah nahwu, seperti contohnya tafsir al-Zujjaj, Al-wahdi di dalam tafsir Al-basith
dan tafsir karya abi hayyan dalam kitab Al-bahrul Muhith.
Ketika ada orang yang menekuni ilmu tentang ketuhanan atau filsafat, maka fokus
kajiannya adalah mengutip pemikiran para filsuf atau bahkan membantahnya, seperti kitab
tafsir Mafatihul Ghiob karya Fakhrur Razi. Begitu pula para Fuqaha yang dominasi
penafsirannya adalah dalam bidang fikih seperti Abu Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakar Ibn
Faraj al- Qurtubi (w. 567 H) dalam kitab tafsirnya al-Jami` li Ahkam al- Qur’an, beliau menitik
beratkan penafsirannya pada ayat-ayat hokum fikih (Amri, n.d.). Ahli sejarah yang pusat
penafsirannya berkutat dengan persoalan sejarah, memastikan keshahihan kisah-kisah, seperti
tafsir At-tsalabi dan Al-Khazin. Kalangan ahlul bida (yang terpapar pemahaman bid’ah dalam
akidah) yang sebenarnya tidak ada kepentingan mereka dalam menafsirkan alquran melainkan
untuk mengukuhkan pemahaman mereka sendiri. Begitupula kalangan ahli tasawuf, yang fokus
penafsirannya pada bidang tafsir isyari yang berkaitan dengan perjalanan riyadhoh mereka.
Intinya pada fase kelima ini, tafsir ijtihadi aqli sudah banyak muncul dan salah satu
yang menjadi fenomenanya ialah tafsir-tafsir disusun berdasarkan kecenderungan corak-corak
keilmuan yang sudah dikuasai oleh para mufassir sebelum ia menafsirkan Alquran.
Berkembang sampai hari ini metode tafsir ijtihadi dengan beragam keilmuan tadi yang
tujuannya adalah agar tafsir itu sejalan dengan apa yang mereka pelajari, terlepas ayat tersebut
mendukung teori ilmu yang mereka yakini atau bahkan ayat yang tidak berhubungan pun
ditarik agar sesuai dengan pemahaman mereka.
Mereka mengklaim bahwasanya hal tersebut merupakan I’jazul quran yang mana
Alquran itu sejalan dengan berbagai ilmu pengetahuan. Namun bukan berarti tafsir bi ra’yi ini
kemudian begitu saja menjadi tafsir yang dominan dan tidak ada ulama yang memberikan sikap
terhadap perkembangan tafsir bi rayi ini, ada juga ulama yang tetap berfokus pada tafsir bil
matsur untuk mengimbangi tafsir bi ra’yi.
Mereka menafsirkan Alquran secara bil matsur, meskipun mampu menafsirkan secara
ijtihadi, tetapi tetap ingin mempertahankan nilai nilai murni dari Alquran yang disampaikan
oleh penafsir utama yaitu Rasulullah, sahabat dan juga tabiin. Mereka juga melakukan proses
penelitian mana yang shahih dan yang tidak. Seperti yang dilakukan oleh Imam Suyuti (w. 919
H) dalam kitabnya Ad-Dur al-Mantsuri.
Pada masa ini juga muncul teori tafsir baru, yakni teori tafsir maudhui, jadi alquran
ditafsirkan berdasarkan tema-tema tertentu saja. Seperti imam Ibnu Al-Qayyim yang hanya
menafsirkan ayat ayat yang berkaitan dengan aqsam (sumpah) seperti yang terdapat pada kitab
At Tibyan fi Aqsam Alquran, Raghib Al-Asfahani menulis kitab Majazul Quran, Abu Ja’far
An-Nahas yang menulis kitab Nasikh wal Mansukh minal Quran. Abu Hasan al-Wahidi
menulis kitab Asbab Nuzul Quran.
Banyak pula berkembang tafsir maudhui yang mengumpulkan banyak ayat kemudian
membahas suatu fenomena sosial di masyarakat untuk kemudian menjawab persoalan tersebut.
Fenomena yang muncul pada saat ini, generasi muta’akhirin menafsirkan secara ijtihadi pada
hakikatnya tidak terlepas dari penafsiran yang dilakukan oleh para mutaqaddimin. Mereka
tidak terlalu mendapatkan kesulitan dalam menulis tafsir Alquran, karena dewasa ini kalau
dibandingkan dengan masa sahabat dan tabiin, saat ini cukup mudah untuk menafsirkan
Alquran, karena sifatnya hanya menambahkan, meringkas atau memberikan catatan atau ta’liq
atas tafsir-tafsir yang sudah ada. Bentuknya bisa menjelaskan maksudnya, atau dalam rangka
membantah (Adz-Dzahabi, 1946;109).

KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan yang telah di uraikan, dapat disimpulkan bahwa
kegiatan tafsir al-Qur’an sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw, sahabat sampai masa
tabi’in dan terus mengalami masa perkembangan dari masa ke masa. Hingga pada masa tafsir
mengalami perkembangan dengan ditandai munculnya kitab-kitab tafsir. Hal demikian terjadi
pada masa kodifikasi sebagaimana di jelaskan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam “al-khutuwat al-
khams”.
Pada prosesnya, tafsir disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Kemudian menjadi
suatu prodak dan masih menjadi bagian dari ilmu hadis. Selanjutnya, tafsir dikodifikasi
menjadi suatu fan ilmu dan memisahkan dari ilmu hadits. Perkembangan berikutnya terjadi
peringkasan isnad sehingga memicu kemunculan tafsir bil aqli atau sering dikenal dengan tafsir
bil ra’yi dan akan terus berkembang hingga saat ini dengan berbagai metode dan corak
penafsiran.

DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, M. H. (1946). At-Tafsir wal Mufassirun (Jilid 1). Al-Mustasna.
Al-Andalusi, A. H. (1993). Andalusî, Abû Ḣayyân al-. 1993. al-Baḣru al-Muḣîṭ. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Hanafī, M. M. al-H. al-W. (n.d.). Syarh al-Musammā Tāj al-’Arūs min Jawāhir al-Qāmūs.
Dār al-Fikr.
Amri. (n.d.). Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw Hingga Masa Kodifikasi.
STAIN Sultan Qaimuddin Kendari.
Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, S.H., M. H. (2015). Perkembangan Hukum Indonesia
Dalam Menciptakan Unifikasi Dan Kodifikasi Hukum Mahasaraswati Denpasar.
Advokasi, 5.
Ash-Shabuni, M. A. (2001). Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Pustaka Amani.
Azami, M. . (2006). Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yakub (3rd
ed.). Pustaka Firdaus.
Baidan, N. (2011). Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar.
G. Ghinaurraihal, E. Z. & M. B. Y. (2021). Metode, Sumber dan Corak Tafsir Pada Penulisan
Kitab Tafsir Isyaratul I’jaz Karya Said Nursi. Jurnal Iman Dan Spiritualitas.
Ghânî, A. al-F. ‘Abd. (2006). Rauḍah aṭ-Ṭâlibîn fi Manâhij al-Mufassirîn. Al-Azhar
University.
Laila, L. I. (2021). Pengantar Studi Hadis. Universitas Islam As-Syafi’iyah.
Manna’ al-Qaththan. (1992). Mabāhis ‘Ulūm al-Hadīs. Maktabah Wahbah.
Mustari, M., & Rahman, M. T. (2012). Pengantar Metode Penelitian. Laksbang Pressindo.
Râzî, M. I. A. B. I. ‘Abdul Q. ar-. 2010. M. aṣ-Ṣiḣḣaḣ. B. D. al-M. (2010). Mukhtâr aṣ-
Ṣiḣḣaḣ Beirut: Dâr al-Ma’rifah. Dâr al-Ma’rifah.
Suyûṭî, J. ad-D. A. ibn A. B. (2008). al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`an. Muassasah Ar-Risâlah
Nâsyirûn.

Anda mungkin juga menyukai