PASCAAMANDEMEN
Yanis Maladi*
Abstract Abstrak
Kata kunci: eksistensi hukum adat, konstitusi, kepastian hukum, harmonisasi hukum.
*
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Pengajar/Pembimbing Disertasi pada Program Doktor, Pasca-
sarjana Universitas Brawijaya Malang (e-mail: yanis.maladi@yahoo.com).
1
van Vollenhoven, 1931, +HW $GDWUHFW YDQ 1HGHUODQG ,QGLH 7ZHHGH 'HHO, Cetakan Kedua, Leiden. dalam
Yanis Maladi, 2009, Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law), Mahkota Kata,
Yogyakarta, hlm. 22.
Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen 451
belaka. Asas konkordansi hukum yang Benturan antara hukum modern dan hu-
mengharuskan hukum ‘negara penjajah’ kum setempat yang telah ada lebih dahulu
juga berlaku di ‘negara jajahan’ membuat sejak ratusan tahun yang lalu memang
hukum tertulis yang pada awalnya hanya menimbulkan jarak pemisah yang lebar
berlaku bagi penduduk golongan Eropa antara kedua format hukum. Tidak hanya per-
pada akhirnya diberlakukan bagi penduduk benturan antarhukum, pertemuan antara
golongan lain, termasuk pribumi. dua cara hidup atau kultur yang berbeda
Penggunaan asas konkordansi dan satu sama lain pun juga terjadi. Di Mikro-
pemberlakuan hukum positif tertulis oleh nesia contohnya, hukum yang berlaku di
pemerintah kolonial ini menuai kritik dan negara kepulauan itu adalah hukum yang di-
protes keras, termasuk dari van Vollen- transplantasi langsung dari hukum Amerika
hoven yang dikenal sebagai bapak hukum Serikat. “Micronesian law was transplanted
adat. Ditinjau dari pemikiran dan aliran LQ LWV HQWLUHW\ IURP WKH 8QLWHG 6WDWHV 7KHLU
pemikiran van Vollenhoven, dia termasuk customs and values could hardly been more
orang yang setuju dengan teori bahwa different from the legal system and its norms”.3
hukum tertulis negara lebih fungsional Penerapan hukum Amerika di Mikronesia
untuk menata suatu negeri yang dikelola telah mengakibatkan terjadinya perubahan
berdasarkan prinsip negara modern. Hal keadaan di negara tersebut. Hukum yang
yang ditentang oleh van Vollenhoven sesuai dengan kultur di Amerika Serikat
bukanlah niat untuk memodernisasi ternyata tidak kompatibel dengan kultur
dan memformalisasi tatanan hukum di Mikronesia. Ketidakcocokan ini alih-alih
Indonesia, melainkan niat pemerintah menyelesaikan masalah malah menimbulkan
kolonial untuk menjadikan substansi hukum persoalan dan kesengsaraan bagi rakyat
barat sebagai materi hukum perundang- Mikronesia. Kasus inkompatibilitas format
undangan di suatu negara yang mayoritas hukum ini merupakan salah satu contoh
penduduknya telah mempunyai hukumnya dari banyak kasus yang terjadi di berbagai
sendiri. Bahkan van Vollenhoven pernah belahan dunia, termasuk di Indonesia.
memberikan kritik kepada pendapat rekan Seiring dengan berjalannya waktu,
sejawatnya yang mengatakan bahwa pemikiran para ahli hukum Belanda dan
Indonesia tidak memiliki hukum (hukum kaum terpelajar kalangan pribumi pada saat
asli). Vollenhoven mengatakan bahwa itu mengakibatkan penguatan hukum adat
pendapat tersebut muncul karena teman dalam berbagai kebijakan hukum kolonial,
sejawatnya menggunakan kacamata jurist walaupun sedikit demi sedikit. Selama
Belanda. Beliau mengajurkan untuk jangan masa perjuangan kemerdekaan, pemakaian
menggunakan kacamata juristenrecht bila istilah hukum adat secara khusus pada awal
ingin menemukan hukum Indonesia asli.2 mulanya dipelopori oleh kalangan pemuda
2
Satjipto Rahardjo, 2009, 1HJDUD +XNXP \DQJ 0HPEDKDJLDNDQ 5DN\DWQ\D Genta Publishing, Yogyakarta,
hlm. 49-50.
3
Tamanaha dalam Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 30-31.
452 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, Halaman 450 - 464
pada 1928 dalam suatu kongres pemuda. Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya: UUD
Mereka sepakat mencantumkan hukum adat 1945) kini menjadi relevan untuk dijadikan
sebagai pemersatu bangsa Indonesia dan bahan kajian bincangan rancang bangun
mengikrarkan hukum adat sebagai asas-asas hukum nasional Indonesia.
hukum Indonesia di masa mendatang. Ikrar
ini merupakan salah satu indikator nyata B. Pembahasan
dari gerakan modernisasi di kalangan kaum Setiap bangsa dan peradaban memiliki
terpelajar pribumi, namun dengan tetap karakter masing-masing yang unik. Karakter
mempertahankan warisan kultural dari bumi ini terbentuk berdasarkan sejarah dan
sendiri sebagai substansi utamanya. perkembangan budaya masyarakatnya.
Dalam kongres tersebut, Moh. Koesnoe Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan
menegaskan bahwa hukum adat telah men- kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak
jadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional.4 ada yang bersifat superior satu sama lainnya.
Sebagai cikal-bakal tersusunnya pengertian Hal yang sama terjadi di pembentukan
hukum adat milik bangsa Indonesia yang sistem hukum yang memiliki kaitan erat
berbeda dari adatrecht sebagaimana dengan budaya masyarakatnya. Seperti yang
diberikan oleh kalangan akademisi Barat, dikatakan von Savigny, sistem hukum adalah
para ahli hukum adat menjadikan keputusan bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak
kongres tersebut sebagai peristiwa yang lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act
monumental. of a legislator), tetapi dibangun dan dapat
Pada 1948, Soepomo secara akademis ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum
menggunakan istilah hukum adat dalam secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari
pidato dies beliau di Universitas Gadjah kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui
Mada. Sejak saat itu, istilah hukum adat suatu aktivitas hukum (juristic activity)5.
menjadi lebih lazim dipakai. Namun, istilah Akar katatanegaraan suatu negara
adatrecht di kalangan akademisi masih dengan demikian bisa dilacak dari sejarah
digunakan juga secara resmi di beberapa bangsa itu sendiri. Karakteristik dan
fakultas hukum, misalnya di Fakultas Hukum identitas suatu bangsa sangat menentukan
dan Masyarakat Universitas Indonesia. dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di
Cita-cita dan harapan bangsa Indonesia dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari
yang menghendaki hukum adat sebagai alat salah satu konsensus dasar yang termaktub
pemersatu bangsa telah memberi harapan dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang
bagi pembangunan hukum adat Indonesia tujuan atau cita-cita bersama (the general
ke depan. Amandemen terhadap pasal-pasal goals of society or general acceptance of
Undang-undang Dasar Negara Republik the same philosophy of government)6. Oleh
4
Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (editor), 1996, Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan
Soalannya Menghadapi Era Globalisasi, Ubhara Press, Surabaya, hlm. 5.
5
M. D. A. Freeman, 2001, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, Edisi Ketujuh, Sweet & Maxweel Ltd, London,
hlm. 904-905.
6
William G. Andrews, 1968, Constitutions and Constitutionalism, Edisi Ketiga, Van Nostrand Company, New
Jersey, hlm. 12-13.
Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen 453
7
Muhammad Yamin, 1959, 1DVNDK 3HUVLDSDQ 8QGDQJ 8QGDQJ 'DVDU , Djilid Pertama, Siguntang, Jakarta,
hlm. 111-112.
8
Jeremy Bentham, 1823, ,QWURGXFWLRQ WR WKH 3ULQFLSOHV RI 0RUDOV DQG /HJLVODWLRQ, dalam E. Utrecht, 1983,
3HQJDQWDU GDODP +XNXP ,QGRQHVLD, Cetakan XI, PT Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 12.
9
Paul Scholten, 1934, $VVHU¶V +DQGOHLGLQJ WRW GH %HRHIHQLQJ YDQ KHW 1HGHUODQGVFK %XUJHUOLMNH 5HFKW $OJHPHHQ
Deel, hlm.16.
454 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, Halaman 450 - 464
10
Lahirnya “teori keputusan” (beslissingenleer) yang dipelopori oleh ter Haar banyak dipengaruhi oleh jalan
pikiran Paul Scholten dalam “Algemeen Deel”, bagian I, Ibid, hlm. 236.
11
Louis Henkin, 1978, 7KH 5LJKW RI 0DQ 7RGD\ Westview Press, Boulder, Colorado, hlm.1-2.
12
Periksa: Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009.
13
Periksa: Pasal 7 (1) Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundangan (UU 10/2004) .
14
Iman Sudiat, 1978, $VDV DVDV +XNXP $GDW %HNDO 3HQJDQWDU, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 22.
15
Soepomo dalam Iman Sudiyat, Ibid., hlm. 8.
Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen 455
lagi namun ia masih tetap menjiwai hukum- sebagai sarana menunjang perkembangan
hukum lainnya karena pembangunan hukum modernisasi dan pembangunan.” Ada pula
tidak bisa memisahkan atau melepaskan diri TAP IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
dari sejarahnya.16 Haluan Negara, pada Bab III Pembangunan
Selama perjalanan hukum ketata- Hukum bagian Umum: “Pembangunan
negaraan kita di masa-masa Orde Lama, hukum harus dilaksanakan berdasarkan
Orde Baru, Orde Reformasi, sampai nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan
amandemen Konstitusi Negara, secara mengakui dan menghormati hukum agama
konsisten pemerintahan negara merespon dan hukum adat.” Terakhir kita memiliki TAP
positif terlaksananya kepastian hukum IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria
perspektif hukum adat. Misalnya pada tahun dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang
1960, dikeluarkan TAP II/MPRS/1960 yang menghendaki pengakuan, penghormatan,
pada lampiran satunya menetapkan hukum dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat menjadi landasan tata hukum nasional. adat.
Kemudian ada TAP IV/MPR/1973 yang pada Meskipun undang-undang Kekuasaan
butir dua menentukan, “Pembinaan bidang Kehakiman beberapa kali mengalami
hukum harus mampu mengarahkan dan pergantian/penyempurnaan, namun undang-
menampung kebutuhan-kebutuhan hukum undang ini tetap konsisten mengawal dan
sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang menempatkan hukum adat sebagai hukum
berkembang ke arah modernisasi menurut yang eksis dan berkedudukan kuat (strong
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di legal pluralism). Setiap hakim yang
segala bidang sehingga tercapai ketertiban menangani sengketa atau perkara diwajibkan
dan kepastian hukum sebagai prasarana yang untuk menggali sumber-sumber hukum yang
ditujukan ke arah peningkatan pembinaan hidup dan berkembang di tengah-tengah
kesatuan bangsa sekaligus berfungsi masyarakat17.
16
Periksa: Pasal 104 (1) jis. Pasal 32, Pasal 43 UUDS 1950.
17
Periksa: Pasal 17, 20 (1), 23 (1), dan 27 (1) UU 19/1964. Pasal 23 (1) yang isinya hampir sama dengan Pasal
17 menyatakan, “Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.Pasal 27 (1) yang isinya hampir sama dengan Pasal 20 (1)
menyatakan, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Periksa lagi: UU 14/1970 dalam penjelasan umum bagian 7 memberikan petunjuk kepada kita, bahwa yang
dimaksud dengan hukum tak tertulis dalam undang-undang ini adalah hukum adat. Pasal 27 (1) menyatakan,
“Hakim sebagai penegak hukum dan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat”. Penjelasan pasal ini menyatakan, “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari ni-
lai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Periksa lagi: UU 35/1999 dan UU 4/2004. Pasal 28 (1) menyatakan, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Penjelasan pasal ini berbu-
nyi, “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”
Periksa lagi: UU 48/2009. Pasal 5 (1) menyatakan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
456 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, Halaman 450 - 464
18
R. Otje Salman, 2002, 5HNRQVHSWXDOLVDVL +XNXP $GDW .RQWHPSRUHU, Alumni, Bandung, hlm. 34.
19
Siti Maryam Salahuddin, 2008, “Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Konsti-
WXVL 9RO 1R , Jakarta, hlm. 142.
Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen 457
hukum.20 Artinya setiap putusan pengadilan karenanya, mereka akan melakukan apa
itu mencerminkan kepastian yang memiliki saja (yang wujudnya ‘kepastian’) untuk
akibat hukum (rechtsgevolgen) berbentuk mempertahankan hubungan sosial tersebut.
dwang (pemaksaan) atau kepastian dalam Langkah yang ditempuh untuk itu adalah
bentuk lainnya. Dalam uraian Anthony dengan mencari penyelesaian melalui
Allott mengenai postulat dasar dari hukum, negosiasi, penyelesaian dengan musya-
ciri-ciri keputusan hakim adalah “keputusan warah, atau menggunakan pihak ketiga
hakim yang dapat dipaksakan”.21 Sementara (pengadilan). Bagi mereka, mempertahankan
LWX 1DGHU GDQ 7RGG PHQJLGHQWL¿NDVL FDUD hubungan sosial (terutama kekerabatan)
cara penyelesaian sengketa yang ada dalam adalah hal yang penting. Maka di sini dapat
masyarakat, dan menguraikan bahwa salah kita lihat letak pentingnya keputusan yang
satu dari cara-cara penyelesaian sengketa dihasilkan pihak ketiga (termasuk pengadilan
adalah dengan melakukan tindakan dan pranata hukum adat)24 sebagai terapi
paksaan (coercion) melalui pengadilan hukum melalui musyawarah yang bersifat
(adjudication).22 kompromistis untuk menyelesaikan seng-
Tujuan utama dan yang paling penting keta atau untuk mengembalikan kondisi
dari setiap keputusan yang mengakhiri masyarakat kembali normal.25
VHQJNHWD GDQ NRQÀLN \DQJ WHUMDGL GDODP
masyarakat tidak terletak pada prosesnya 2. Harmonisasi Hukum Adat dan
tetapi pada adanya jaminan kepastian Hukum Negara
hukum bagi pihak-pihak yang mengakhiri Penegasan identitas bangsa Indonesia
sengketa. Dalam laporan hasil studi mereka sebagai negara hukum dalam konstitusi
pada masyarakat nelayan Skandinavia yang terletak dalam Pasal 1 (3) UUD 1945 dan
sedang bersengketa, Nader dan Todd dalam penjelasan atas UUD 1945 yang
menemukan bahwa hal yang mendorong menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
para pihak untuk menyelesaikan sengketa- yang berdasarkan atas hukum (5HFKWVWDDW ,
nya adalah hasrat mempertahankan tidak berdasarkan kekuasaan belaka
kelanjutan hubungan sosial mereka.23 Oleh (Machtstaat). Satu hal yang menarik di
20
ter Haar dalam Iman Sudiyat, 1978, Asas-asas Hukum Adat, %HNDO 3HQJDQWDU, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
hlm. 21.
21
A. N Allott, 1967, “Law and Social Anthropology with Special Reference to African Laws”, 6RFLRORJLHV 9R
No. 1, Berlin, Duncker & Humblot.
22
Laura Nader dan Harry Todd, 1978, ,QWURGXFWLRQ WKH 'LVSXWLQJ 3URFHVV /DZ LQ 7HQ 6RFLHWLHV, Columbia Uni-
versity Press, New York, hlm. 9.
23
Ibid, hlm. 17 dan 18.
24
van Dijk dalam E. Utrecht Op. Cit. hlm. 248. menyatakan: “Het adat-recht wordt gevormd en onderhouden in
de beslissingen en gedragingen der daartoe competente organen ven gemeenschap en maatschap, in onder-
linge binding, begrenzing en vervlechting binnen de eenheid van de sociale en rechtsorde waarin zij fungeren”.
Hukum adat dibuat dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan dan tingkah laku mereka (orang dan badan
hukum) yang (a) berkuasa dalam suatu masyarakat yang mengenal satu tata tertib hukum, dan (b) bertugas
mempertahankan kedua tata tertib itu.
25
Yanis Maladi, 2009, Op. Cit., hlm. 92.
458 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, Halaman 450 - 464
sini adalah apakah dengan mempertegas negara hukum Republik Indonesia adalah
identitas bangsa kita sebagai negara hukum suatu negara yang memiliki kepedulian (a
segala sesuatunya telah berhasil terjawab, state with conscience and compassion).
khususnya mengenai eksitensi hukum Negara hukum Indonesia bukan negara
adat dalam kerangka hukum nasional? yang hanya bekerja sebagai perwujudan
Pada bagian pendahuluan penulis sempat hukum formal belaka namun lebih dari itu
menyinggung bahwasanya di Indonesia telah negara Indonesia harus mampu mewujudkan
terjadi benturan hukum yang disebabkan moral yang terkandung dalam konstitusinya
oleh perbedaan kultur. Di satu sisi Indonesia (moral design). Seperti dikatakan oleh
memiliki hukum nasional (tertulis) yang Robin M Williams bahwa moral, nilai,
bersumber dari hukum sebelumnya yakni atau kebudayaan itu merupakan “blue
hukum kolonial pada waktu Indonesia di- print of behavior” dari tingkah laku warga
“jajah”. Di sisi lain, kita memiliki hukum masyarakat27.
yang tumbuh dan lahir dari kemurnian Mahkamah Konstitusi sebagai salah
budaya (culture) kita yang biasa kita sebut satu “produk” konstitusi pascareformasi
sebagai hukum adat. merupakan salah satu lembaga negara yang
Penegasan negara hukum Indonesia memegang peranan penting menciptakan
pascaamandemen UUD 1945 tidak harus negara hukum à la Indonesia. Mahkamah
GLOLKDW VHEDJDL VXDWX EDQJXQDQ \DQJ ¿QDO Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga
tetapi suatu bangunan yang harus secara negara yang memiliki peran mengawal dan
terus-menerus dibangun untuk menjadi menafsirkan konstitusi diharapkan mampu
Indonesia yang sesungguhnya. Misalnya menjaga negara hukum à la Indonesia dengan
melalui penampilan ciri khas keindonesiaan tetap memelihara harmonisasi antara hukum
yang membumi ke dalam habitat, tradisi, adat dan hukum nasional dalam konstitusi
nilai-nilai kosmologi, serta cita-cita modern kita yang pluralis. Pasal 18B UUD 1945
Indonesia. Harus ada harmonisasi hukum telah membuktikan semangat negara untuk
adat dan hukum nasional dalam proses tetap mempertahankan dan menghormati
membangun negara hukum à la Indonesia. pengakuan terhadap hak-hak masyarakat
Seperti kata orang Belanda, “kita hanya adatnya.
dapat mengayuh perahu dengan dayung Salah satu contoh harmonisasi hukum
milik kita sendiri”. adat dan hukum nasional bisa kita lihat
Berangkat dari semangat kons- dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor
titusionalisme bangsa kita yang khas, 47-48/PHPU.A-VI/2009 ketika Mahkamah
konstitusi harus dibaca secara bermakna, Konstitusi telah memainkan perannya dengan
seperti yang dikatakan Ronald Dworkin26 baik, dengan tidak hanya melihat hukum
sebagai “moral reading”. Dari pembacaan dari kacamata Juristenrecht belaka. Dalam
tersebut dibuatlah suatu konstruksi bahwa putusan tersebut Mahkamah Konstitusi
26
Ronald Dworkin dalam Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 92-93.
27
Robin Williams dalam Yanis Maladi, Op. Cit., hlm. 38.
Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen 459
28
Ahmad Sodiki, 2009, “Konstitusionalitas Pemilu Model Masyarakat Yahukimo”, Jakarta, Jurnal Konstitusi
9R , hlm. 4-5.
29
Satjipto Rahardjo, “MA yang Progresif”, Harian Kompas, 8 Juni 2009.
30
Ahmad Sodiki, Op. Cit. hlm. 3.
Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen 461
nasional dan hukum adat. Masyarakat tersebut juga penulis maknai sebagai sebuah
Indonesia adalah masyarakat majemuk yang upaya konstitusi untuk menjunjung tinggi
memang menuntut pandangan konstitusi asas kekeluargaan sebagai satu kesatuan
pluralis. Jadi, konstitusi pluralis bisa bangsa Indonesia yang memegang teguh
dimaknai sebagai sebuah penghormatan prinsip %KLQQHND 7XQJJDO ,ND. Indonesia
dan pengakuan negara terhadap hak-hak adalah negara yang memiliki ideologi
adat dan masyarakat hukumnya. Karena Pancasila dan konsep %KLQQHND 7XQJJDO
begitulah hukum seharusnya, hukum Ika. Pluralisme dalam sebuah kesatuan akan
bukanlah sekedar mengejar kepastian hukum mewadahi konstitusi modern yang menuntut
tetapi mempertimbangkan nilai-nilai hukum keseimbangan dan keserasian antara
lain yang hidup dalam masyarakat, yaitu wawasan yang berlingkup nasional dalam
harmoni, manfaat dan stabilitas.31 kenyataan yang beraneka ragam dari suatu
Hukum adat memang diakui dan tetap masyarakat yang majemuk.
dijunjung oleh konstitusi bangsa Indonesia,
namun bukan berarti tidak ada batasan C. Penutup
terhadap hukum adat dan masyarakat Pengakuan dan penghormatan eksis-
hukumnya. Ada kalanya terjadi sebuah tensi hukum adat dalam konstitusi
pembatasan hukum adat ketika bertentangan telah memberikan gambaran yang jelas
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik bahwasanya bangsa Indonesia memiliki
Indonesia yang tidak terlepas dari koridor kultur yang khas dalam hukum. Hukum adat
konstitusi. Sebagai contoh, dapat ditelaah adalah hukum yang lahir dari kebutuhan
makna Pasal 33 (3) UUD 1945 yang hukum dan perasaan rakyat Indonesia.
menggariskan bahwa “Bumi dan air dan ke- Maka dengan sendirinya hukum adat dapat
kayaan alam yang terkandung di dalamnya mampu menjawab segala masalah-masalah
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk hukum yang dihadapi oleh rakyat dalam
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. kehidupan sehari-hari. Hukum adat harus
Pengertian “rakyat” dari Pasal 33 (3) dikaji dalam rangka pembangunan hukum
di atas harus dipahami tanpa terkecuali, nasional karena secara alamiah situasi
yakni termasuk masyarakat hukum adat.32 dan kondisi masyarakat di masing-masing
Namun batasan tersebut bukanlah suatu hal daerah berbeda. Perbedaan itu selanjutnya
yang dipertentangkan ketika kita berbicara juga menimbulkan variasi dalam nilai-nilai
masalah eksistensi hukum adat, karena satu sosial budaya mereka, termasuk nilai-nilai
dengan yang lain saling mengisi, bahkan hukum sebagai produk budaya.
mempertegas keberadaan masyarakat Gambaran di atas menunjukkan bahwa
hukum adat sebagai rakyat Indonesia yang walaupun di satu sisi hukum adat tetap
dijamin oleh UUD 1945. Amanah konstitusi mempertahankan nilai-nilai tradisional
31
Ahmad Sodiki, Ibid., hlm. 2-3.
32
Lies Sugondo, 2007, Masyarakat Adat dalam Kerangka Hukum Nasional. Makalah hukum disampaikan dalam
pelatihan bagi dosen-dosen pengajar hak asasi manusia di Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007.
462 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, Halaman 450 - 464
yang dimilikinya, di sisi lain hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
adat pun dapat menerima perubahan masyarakat.
yang mempengaruhinya. Di sinilah letak Masing-masing masyarakat memiliki
ÀHNVLELOLWDV GDUL KXNXP DGDW .RQVWLWXVL otonomi terhadap nilai-nilai hukumnya,
sebagai hukum yang bersifat organik, karena sesungguhnya masyarakat itulah
memberikan sebuah jaminan kepastian yang membutuhkan adanya nilai-nilai
hukum kepada hukum adat dan masyarakat hukum itu. Adanya konstitusi sebagai
hukumnya dengan mencantumkan peng- aturan normatif tertinggi dalam hierarki
akuan dan penghormatan terhadap hukum perundang-undangan yang telah mem-
yang hidup dalam masyarakat. Jaminan berikan tempat tersendiri terhadap peng-
kepastian hukum oleh konstitusi juga akuan dan penghormatan pada hukum
diwujudkan dengan mewajibkan kepada adat harus dimaknai sebagai semangat dan
para hakim (hakim dan hakim konstitusi) cita-cita bangsa Indonesia dalam rangka
sebagai pemberi dan pencipta keadilan di mewujudkan negara hukum à la Indone-
masyarakat untuk wajib menggali, meng- sia yang mampu membahagiakan rakyat-
ikuti, dan memahami nilai-nilai hukum nya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudiyat, Iman, 1978, Asas-asas Hukum Adat, MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
%HNDO 3HQJDQWDU, Penerbit Liberty, Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Yogyakarta. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Utrecht, E., 1983, 3HQJDQWDU GDODP +XNXP Rakyat Republik Indonesia Nomor
Indonesia, Cetakan XI, PT Ichtiar Baru, IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan
Jakarta. Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
van Vollenhoven, Cornelis, 1931, Het Alam.
$GDWUHFW YDQ 1HGHUODQG ,QGLH 7ZHHGH Undang-undang Dasar Negara Republik
Deel, Cetakan Kedua, Leiden. Indonesia Tahun 1945.
Yamin, Muhammad, 1959, 1DVNDK 3HU Undang-undang Dasar Sementara 1950.
siapan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964
Djilid Pertama, Siguntang, Jakarta. tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
B. Artikel dan Makalah Negara Tahun 1964 Nomor 107,
Rahardjo, Satjipto, “MA yang Progresif”, Tambahan Lembaran Negara Nomor
Harian Kompas, 8 Juni 2009. 2699).
Sugondo, Lies, 2007, Masyarakat Adat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
dalam Kerangka Hukum Nasional. tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Makalah hukum disampaikan dalam Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
pelatihan bagi dosen-dosen pengajar Negara Tahun 1970 Nomor 74,
hak asasi manusia di Yogyakarta, 21-24 Tambahan Lembaran Negara Nomor
Agustus 2007. 2951).
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
C. Peraturan Perundangan dan Putusan tentang Perubahan atas Undang-
Hakim undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Indonesia Nomor 47-48/PHPU.A- Kehakiman (Lembaran Negara Tahun
VI/2009. 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Negara Nomor 3879).
Sementara Republik Indonesia Nomor Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
II/MPRS/1960 tentang Garis-garis tentang Mahkamah Konstitusi
Besar Pola Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
Semesta Berencana Tahapan Pertama 98, Tambahan Lembaran Negara
1961-1969. Nomor 4316).
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
Republik Indonesia Nomor IV/ tentang Pembentukan Peraturan
MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Perundangan (Lembaran Negara Tahun
Haluan Negara. 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Negara Nomor 4389).
Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
464 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, Halaman 450 - 464