Anda di halaman 1dari 5

Klasifikasi Hukum dan Mazhab Ilmu Hukum

Hukum memiliki banyak definisi. Bahkan, menurut L.J. van Apeldoorn, hukum
punya banyak segi cakupan,1 sehingga mustahil untuk mendapatkan definisi final. Selain
itu, definisi juga dapat mengekang aspek hukum, karena definisi berarti memberi satu
pengertian khusus dengan membatasi sifat-sifatnya, sementara sifat hukum itu sendiri
dinamis mengikuti jiwa zaman (zeitgeist). Kesulitan dalam mendefinisikan hukum juga
diutarakan oleh G.W. Paton, yang berpendapat jika kejelasan definisi mesti dimulai dari
menentukan genus, seperti adagium definitie per genus et differentiam yang artinya
pemberian definisi mesti menentukan genusnya, ciri-ciri dan perbedaannya.
Namun, setidaknya untuk mendapatkan pengertian hukum yang sesuai dengan
konteks hukum di Indonesia, ada dua definisi yang dapat mengakomodirnya. Pertama,
berdasarkan pendapat normatif, merumuskan bahwa hukum adalah segala yang
dibentuk oleh penguasa/pemerintah. Disini, hukum diyakini sesuatu yang
dibentuk/direkayasa untuk mengatur ketertiban. Roscoe Pound menyebutnya sebagai a
tool for social engineering atau alat untuk memperbaiki masyarakat. Bagi pemerintah,
ketertiban masyarakatnya merupakan modal awal suatu pembangunan dan sanksi hukum
dapat menjaga titik keseimbangan (restitution in integrum).
Kedua, pendapat sosiologis merumuskan bahwa hukum adalah suatu proses sosial
yang hidup di masyarakat. Ia lahir dengan sendirinya mengikuti aspek alamiah
masyarakat, bukan sesuatu yang sengaja dibentuk. Seperti yang dikatakan pendiri Mazhab
Sejarah, von Savigny: das Recht ist nicht gemacht es ist und wird mit dem Volke; hukum
tidak sengaja dibuat, tetapi lahir dan tumbuh bersama dengan masyarakat. Indonesia
dengan luas dan beragamnya masyarakat yang ada memiliki banyak hukum-hukum adat
yang terbentuk seiring pembentukan masyarakat adat itu sendiri. Van Vollenhoven
membaginya menjadi 19 wilayah hukum adat.
Kemudian, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai hukum,
maka perlu adanya klasifikasi dengan kriteria-kriteria.

Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis


Hukum tertulis (ius scripta) adalah hukum yang tertuang dalam bentuk naskah
perundang-undangan. Hukum tertulis dirumuskan dan dibentuk secara sengaja oleh suatu
badan yang berwenang. Hukum tertulis merupakan hukum yang paling tinggi dan kuat

1
Suyanto, dkk. Buku Materi Pokok: Pengantar Ilmu Hukum.
nilainya. Hukum tertulis semestinya menjadi landasan dalam pembuatan peraturan dan
penyelesaian konflik antar masyarakat. Di Indonesia, hukum tertulis yang tertinggi adalah
Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, peraturan perundang-undangan dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Sistem hukum Indonesia merupakan dinamika dari hukum Belanda, hukum agama,
dan hukum adat. Terutama hukum Belanda, yang banyak mengisi perundang-undangan
Negara Indonesia. Ini berkaitan dengan sejarah bangsa Indonesia yang telah melewati
ratusan tahun masa kolonial oleh Belanda. Hukum Belanda sendiri banyak berasal dari
hukum Romawi kuno.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan adopsi langsung dari
Wetboek van Strafrecht yang disahkan penggunaannya melalui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946. Mengapa Indonesia mengadopsi langsung produk hukum yang jelas-jelas
berasal dari kolonial? Pertama, perlu diperhatikan bahwa selama ratusan tahun
masyarakat telah terbiasa menyelesaikan persoalan baik pidana maupun perdata, selain
dengan hukum adat juga dengan hukum kolonial. Kedua, mungkin seperti sebuah
adagium “ubi societas ibi ius” yaitu seiring kemunculan komunitas masyarakat maka
hukum akan mengaturnya.
Lagipula, penggunaan hukum kolonial (barat) selain hukum adat karena hukum adat
tidak memiliki hal-hal fundamental yang dimiliki hukum kolonial seperti hak-hak atas
benda (zakelijke rechten), pembedaan hukum publik dengan hukum privat (publiekrecht
dan privaatrecht), dan pemisahan atas peradilan hukum pidana dengan hukum perdata. Di
zaman modern, penegakan hukum akan terasa sulit jika hal-hal fundamental yang
disebutkan tadi tidak dimiliki oleh suatu sistem hukum.
Hukum adat terbentuk dari suatu kebiasaan yang hidup di masyarakat. Kebiasaan
yaitu suatu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dan berlangsung ajeg. Kebiasaan-
kebiasaan itu mencakup perbuatan baik maupun buruk yang telah ditentukan masyarakat.
Hukum adat memiliki batas-batas yang samar dengan keputusan berada di tangan
fungsionaris adat. Contohnya, di alam masyarakat Minangkabau pemegang otoritas adat
disebut ninik mamak yang dengan kebijaksanaannya memutus perkara-perkara adat.
Beberapa ahli hukum mengambil pandangan bahwa hukum adat perlu “penegasan”
karena faktanya masih ada masyarakat di daerah yang lebih memegang erat hukum adat
ketimbang hukum positif. Seringnya konflik masyarakat adat dengan perusahaan-
perusahaan mengenai tanah adat juga menjadi alasan penting perlunya hukum adat
dipertegas.
Hukum Publik dan Hukum Privat
Pada kehidupan masyarakat yang semakin modern dan kompleks, ada banyak sendi-
sendi kehidupan yang perlu diatur. Hukum adat menjadi semakin tertinggal. Pemisahan
antara yang publik dengan yang personal adalah suatu kebutuhan.
Untuk mengatur kepentingan antar individu muncullah hukum privat, yaitu hal-hal
esensial dalam hubungan antar individu seperti, permasalahan keluarga, perkawinan,
waris, harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Sementara
hukum publik mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Jadi, negara
memberi jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan
warga negara.
Klasifikasi hukum publik dan hukum privat pertama kali diajukan oleh Ulpianus,
seorang filosof Romawi. Hukum privat Indonesia sendiri merupakan adopsi dari
kodifikasi hukum Belanda, yaitu kodifikasi Burgerlijke Wetboek (BW). Sedangkan
hukum Belanda, menurut Van Kan, adalah hasil salinan langsung dari code civil Prancis
ke bahasa nasional Belanda.
Hukum perdata memiliki arti sempit dan arti luas. menurut arti sempit, hukum
perdata meliputi ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam KUH Perdata. Sedangkan
hukum perdata menurit arti luasnya, memasukkan ketentuan-ketentuan mengenai
perdagangan sebagaimana halnya dalam KUHD dan kegiatan bisnis.
Yang perlu diperhatikan biasanya hukum perdata menurut arti luasnya dinamakan
oleh orang sebagai hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai
hukum perdata. Jadi, untuk berbicara tentang hukum perdata, perlu disepakati terlebih
dulu istilah mana yang sedang digunakan.

Mazhab-Mazhab Ilmu Hukum


Hukum memberi banyak pandangan dan penjelasan bagi para penggiatnya. Ibarat
seekor gajah yang diteliti oleh orang-orang buta. Orang yang berada di depan
menggambarkan gajah bulat dan panjang karena ia memegang belalainya. Lain lagi orang
yang berada di samping gajah menggambarkan gajah lebar dan tipis karena memegang
telinganya. Begitu pula dengan teori-teori dalam ilmu hukum yang memberi pengertian
luas dan berbeda-beda.
Dua ratus tahun lalu Immanuel Kant berkata, “Masih juga sarjana hukum mencari
definisi tentang hukum.” Mengapa sulit bagi para ahli hukum untuk mengambil satu
konklusi tentang hukum? Menurut Lemaire karena, “De veelzijdigheid en
veelomavaendheid van het recht brengen niet aen met zich, dat het onmogelijk is in een
enkele definitie aan te geven wat recht is”. Artinya: banyaknya segi dan luasnya hukum
tidak memungkinkan perumusan hukum dalam suatu definisi apakah hukum itu
sebenarnya.
Akibat dari banyaknya perbedaan-perbedaan definisi yang diberikan para sarjana
hukum maka timbullah aliran-aliran dalam hukum.

Mazhab Sejarah
Lahirnya Mazhab sejarah merupakan reaksi atas para pengikut hukum alam.
Pelopornya adalah Friedrich Carl von Savigny. Mazhab ini dipengaruhi oleh Montesquieu
yang lebih dulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara kesadaran bangsa
dengan pengaruh nasionalisme di awal abad ke- 19. Von Savigny berpendapat bahwa
hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa dan rohani bangsa, selalu
ada hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa. Hukum tidaklah
dibentuk oleh orang, tetapi ia alamiah muncul di tengah-tengah rakyat.
Mazhab sejarah menitikberatkan pandangannya pada jiwa atau semangat suatu
bangsa (volksgeist) yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan
kepribadiannya. Maka jelaslah bahwa hukum merupakan suatu kesatuan yang alamiah
dari sejarah suatu bangsa dan karena itu hukum selalu berubah-ubah menurut tempat dan
waktu.2
Beragamnya bangsa-bangsa di dunia sehingga jiwa dan kepribadiannya bermacam-
macam pula. Jiwa suatu bangsa tercermin dalam bahasanya, adat istiadatnya, dan
hukumnya. Seperti halnya budaya, hukum tumbuh melalui suatu proses yang perlahan-
lahan.
Hukum hidup dalam kesadaran bangsa, maka hukum berpangkal dalam kesadaran
bangsa. Hukum bersumber pada perasaan keadilan yang naluriah yang dimiliki setiap
bangsa. Namun tidak berarti bahwa jiwa setiap warga negara bangsa itu menghasilkan
hukum, karena yang dapat berwujud hukum itu jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan
berada dalam setiap individu dan menghasilkan hukum positif.3

2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. 1986. Hlm. 60-61
3
Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.
Mazhab Sosiologis
Aliran sosiologis berangkat dari pemikiran bahwa hukum tidak bisa hanya melalui
pendekatan logika (positivisme) saja, melainkan juga melihat riil apa yang hidup dalam
masyarakat. Jadi, hukum adalah gejala masyarakat. Sementara aliran positivisme
mementingkan akal, aliran sosiologis mengedepankan pengalaman.
Mazhab sosiologis merupakan hasil dari proses dialektika antara mazhab positivisme
dan mazhab sejarah. Mazhab ini muncul di Eropa dengan pelopornya Eugen Ehrlich, dan
berkembang di Amerika oleh Roscoe Pound. Istilah sosiologis dalam mazhab ini menurut
G.W. paton kurang tepat. Ia lebih menggunakan istilah “metode fungsional”.
Menurutnya, itu dimaksudkan untuk menghindari kerancuan antara hukum sosiologis
dengan sosiologi hukum.
Menurut Ehrlich, perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, tetapi
pada perkembangan di masyarakat. Dengan demikian sumber hukum yang diambil adalah
kebiaasan yang hidup di masyarakat (living law). Perbedaan dari posisi Ehrlich dengan
Pound di mazhab ini hanya dari penggunaan istilah saja, dimana Ehrlich menyebutnya
sebagai kenyataan sosial, sedangkan Pound menyebutnya sebagai jiwa bangsa.
Friedmann melihat ada beberapa kelemahan dari teorinya Ehrlich yang antara lain:
1. Buramnya perbedaan antara norma hukum dengan norma sosial lainnya.
2. Kebiasaan pada masyarakat modern sebagai sumber hukum tergantikan oleh
undang-undang.
3. Undang-undang yang dibentuk oleh penguasa memengaruhi masyarakat.

Hukum sebagai rekayasa sosial


Roscoe Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk mengubah
masyarakat (law is a tool of social engineering). Agar hukum menjadi alat yang
dimaksud maka hukum perlu melindungi kepentingan-kepentingan, yaitu kepentingan
kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi.
Menurut Pound hukum yang berlaku bisa jadi berbeda dengan hukum dalam text
book. Untuk itu Pound menganjurkan agar para sarjana hukum melakukan pendekatan
dari akibat-akibat sosial yang ditimbulkan oleh lembaga-lembaga hukum.
Ahli hukum hendaknya mengadakan peraturan perundang-undangan yang efektif
bagi tujuannya. Dalam melakukan rekayasa sosial hukum mesti dikembangkan terus-
menerus sehingga tetap selaras dengan nilai-nilai sosial yang selalu berubah.

Anda mungkin juga menyukai