Anda di halaman 1dari 10

Diskusi 3

Ekonomi Pemerintahan
Coba Anda cermati tentang Inpres No. 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan,
Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Sehubungan dengan hal diatas, berikan analisis Saudara terkait realokasi anggaran masa
pandemi Cocid-19 berdasarkan konsep penganggaran?

Jawab:
Pandemi Covid-19 adalah kejadian luar biasa yang berada di luar perkiraan negara-
negara dunia, termasuk Indonesia. Jika dilihat dari timeline-nya, Covid-19 resmi diumumkan
masuk ke Indonesia pada awal Maret tahun 2020. Dengan demikian, pandemi Covid-19
muncul ketika APBN 2020 bahkan belum menyelesaikan triwulan pertamanya. Dampak
pandemi memengaruhi aspek sosial maupun ekonomi masyarakat. Banyak daerah
memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berimbas pada pergerakan
ekonomi masyarakat. Mereka yang bekerja secara offline – yang merupakan mayoritas
pekerja di Indonesia – terpaksa berdiam diri di rumah. Keputusan tersebut tentu membuat
mereka tanpa penghasilan.
APBN 2020 disusun ketika pandemi Covid-19 belum marak. Sehingga postur
anggarannya tidak menyebut secara spesifik akan penanggulangan pandemi besar semacam
Covid-19. Untuk menyiasati hal tersebut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta
Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (Covid-19). Inpres ini berisi instruksi kepada seluruh pejabat dan lembaga yang ada
untuk mengalokasikan anggaran yang telah ada kepada percepatan penanganan Covid-19.
Misalnya, pengadaan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 seperti masker, APD untuk
dokter dan perawat, rapid antigen, hingga tabung oksigen.
Lewat Inpres No. 4 Tahun 2020, pemerintah sebenarnya membuktikan bahwa anggaran
tidak hanya dilihat sebagai fungsi pembiayaan semata, melainkan juga sebagai stabilisator
ekonomi yang peka terhadap perubahan sosial ekonomi seperti dampak yang dihasilkan oleh
pandemi. Inilah salah satu fungsi anggaran sebagai instrumen kebijakan fiskal, yaitu
stabilisasi. Fungsi ini pertama kali diperkenalkan oleh John Maynard Keynes. Jadi anggaran
tidak dilihat sebagai administrasi belaka, tetapi juga sebagai alat untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kestabilannya sehingga wujud aktivitas sosial dan ekonomi
masyarakat terjaga.

Referensi:
Harsasto, P., Widayati, W., Astuti, P., Martini, R., & Retno, N. (2022).Materi Pokok
Ekonomi Pemerintahan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran,
serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19).
Manajemen Proyek
Jelaskan model seleksi proyek dan menurut pemahaman Anda proyek yang dijalankan saat
ini sudah menghasilkan proyek yang bagus? Berikan penjelasan beserta dengan contohnya.

Jawab:
Berbeda dengan organisasi privat yang sangat profit-oriented, organisasi publik seperti
pemerintah lebih dituntut memiliki pertimbangan sosial dalam aktivitasnya. Begitu pula
dengan pemilihan proyek yang ingin dijalankan. Organisasi publik daripada melihat aspek
keuntungan semata, maka mereka perlu lebih mempertimbangkan aspek sosial budaya dan
aspek distribusi. Di mana keuntungan jangka panjangnya adalah berupa pelayanan publik
yang adil dan merata.
Untuk mendapatkan proyek yang selain memberi keuntungan juga diterima oleh publik,
maka ada beberapa yang perlu diperhatikan. Organisasi publik disesuaikan dengan kebutuhan
organisasi, yaitu yang memberi manfaat kepada organisasi dan masyarakat. Memayungi
tuntutan warga negara. Dan menilai apakah dana yang tersedia mencukupi untuk
menjalankan proyek hingga selesai. Organisasi dapat mengambil skema Public-private
partnership (PPP) dengan pihak swasta untuk memperoleh dana tambahan.
Kemudian, organisasi dapat menilai apakah suatu proyek yang akan dilaksanakan
memiliki nilai pemecahan suatu masalah atau antisipasi terhadap masalah yang akan datang.
Misalnya, pembangunan suatu fly over dilaksanakan untuk mengantisipasi pertambahan
frekuensi lalu lintas yang akan menimbulkan kemacetan di masa yang akan datang.
Untuk mempertimbangkan keuntungan, maka organisasi dapat menggunakan beberapa
metode. Pertama, metode Payback Period. Metode ini digunakan untuk mengetahui berapa
lama waktu pengembalian investasi atas suatu proyek. Dengan menghitung nilai kumulatif
cashflow setelah diskonto bernilai positif (Susanti & Runiawati, 2022: 4.9).
Kedua, dengan menggunakan metode Return on Investment (ROI). Yaitu dengan
membandingkan beberapa proyek mana yang lebih menguntungkan. Cara penghitungannya
yaitu dengan membagi rata-rata laba bersih dengan investasi awal.
Ketiga, dengan perhitungan Net Present Value. NPV memperkirakan nilai suatu mata
uang di masa mendatang dengan mempertimbangkan faktor bunga (interest rate). Sehingga
dapat diketahui apakah investasi yang akan dikembangkan memiliki keuntungan pada
beberapa tahun mendatang.
Terakhir, dengan menggunakan metode Internal Rate Return (IRR). Yaitu
membandingkan IRR dengan tingkat bungan yang disyaratkan.
Menurut saya, beberapa proyek dari pemerintah sebagai penyedia layanan masyarakat
mengalami kegagalan karena gagal dalam memperkirakan baik keuntungan finansial maupun
keuntungan pada aspek sosial budaya dan distribusi pelayanan yang berkeadilan. Beberapa
proyek itu diantaranya, pembangunan Bandara Kertajati, Bandara NYIA, Pembangkit Listrik
35.000 MW, dan penambahan armada Garuda Indonesia.
Misalnya proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Proyek ini tidak memperhitungkan
apakah kebutuhan listrik masyarakat dalam 10 tahun ke depan dapat menutupi setidaknya
cost di sisi penggunaan batu bara sebagai sumber daya pembangkitnya. Kenyataannya,
kebutuhan listrik masyarakat hingga hari ini belum mencapai 35.000 MW. Sehingga
kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik jadi lebih besar dibanding kebutuhan riil
masyarakat terhadap penggunaan listrik. Artinya, pemerintah dari tahun ke tahun selalu
mengalami defisit karena kontrak pengadaan batu bara untuk pembangkit listrik.
Kesimpulannya, beberapa proyek pemerintah masih mengalami kegagalan karena gagal
mengantisipasi kebutuhan mendatang.

Referensi:
Susanti, Elisa & Runiawati, Nunung. (2022). Materi Pokok Manajemen Proyek. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka.
Fitra, Safrezi. (2015). “Gagal Bangun Pembangkit, Negara Rugi Rp 17,7 Triliun”,
https://katadata.co.id/safrezifitra/berita.5e9a57003ab5a/gagal-bangun-pembangkit-
negara-rugi-rp-177-triliun, diakses pada tanggal 18 Oktober 2022, pukul 20.56 WIB.

Manajemen Logistik Organisasi Publik


Terdapat dua pertanyaan yang perlu didiskusikan dalam Diskusi 3;
1. Apa kaitan antara kodefikasi dan inventarisasi aset?
2. Cari contoh kasus aset pemerintah pusat/tanah yang belum memiliki sertifikat hak
milik! Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah agar aset tersebut tersertifikasi?

Jawab:
Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 29/PMK.06/2010 tentang
Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara, yang dimaksud dengan kodefikasi
barang adalah pemberian kode BMN sesuai dengan penggolongan masing-masing BMN.
Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan tujuan dari kodefikasi adalah untuk menyeragamkan
penggolongan dan kodefikasi BMN secara nasional guna mewujudkan tertib administrasi dan
mendukung tertib pengelolaan BMN. Kaitannya dengan inventarisasi aset adalah kodefikasi
dilakukan untuk mempermudah dan menyederhanakan proses inventarisasi. Sehingga dapat
disimpulkan kodefikasi adalah bagian dari proses inventarisasi aset.
Sebagai organisasi publik, kegiatan pemerintah hampir melingkupi seluruh aspek sosial
kemasyarakatan. Untuk menunjang kegiatan tersebut, pemerintah memerlukan alat baik fisik
maupun nonfisik, yang kemudian menjadi aset BMN. Dikarenakan banyaknya lingkup
kegiatan pemerintahan, maka semakin banyak dan beragam pula aset yang dimiliki
pemerintah. sebagai tertib administrasi, dan untuk mempermudah pemerintah dalam
menginventarisasi seluruh aset, maka aset-aset tersebut perlu digolongkan dan dikodefikasi.
Contoh kasus mengenai aset tanah yang menyorot perhatian publik beberapa tahun
belakangan ini adalah pembelian Lahan di Cengkareng oleh Pemprov DKI. Kasus ini
bermula ketika Pemprov DKI membeli Lahan Cengkareng senilai Rp668 miliar. Lahan ini
dibeli dari seorang bernama Toeti Noezlar Soekarno (TNS). Permasalahan muncul setelah
diketahui bahwa lahan tersebut ternyata milik Pemprov DKI atas nama Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi DKI yang dibeli pada tahun 1957 dan 1964. Namun, kepemilikan tersebut
tidak disertai dengan Sertifikat Hak Milik (SHM). Sebaliknya, TNS menjual tanah tersebut
pada tahun 2014 kepada Pemprov DKI atas dasar SHM No. 13293/Cengkareng Barat,
134030/Cengkareng Barat, dan 13069/Cengkareng Barat atas nama Toeti. Belakangan,
Pemprov DKI menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat karena
telah mengeluarkan SHM tersebut.
Dari kasus di atas terlihat bahwa permasalahan aset tanah pemerintah seringkali disertai
dengan ketiadaan SHM. Pada dalam hukum tata usaha negara, SHM merupakan bukti legal
tertinggi kepemilikan tanah. Pemerintah terkesan abai terhadap penatausahaan BMN/D
sehingga dari kasus lahan Cengkareng tadi, pembeliannya bahkan telah dilakukan sejak tahun
1957, tetapi hingga kasus bergulir di tahun 2014 lahan tersebut tidak disertifikatkan.
Tetapi, menurut saya Pemprov DKI masih dapat melakukan peningkatan ke SHM atas
lahan Cengkareng. Pertama, Pemprov DKI perlu memenangkan gugatan di PTUN atas SHM
atas nama Toeti tersebut. Untuk melakukan itu, Pemprov DKI dapat memulainya dengan
melengkapi dokumen-dokumen legal kepemilikan tanah tersebut, dan bukti pembayaran yang
sah atas tanah. Karena lahan tersebut dibeli sebelum tahun 1960, maka bukti kepemilikan
tersebut kemungkinan adalah berupa Girik. Girik pada dasarnya bukanlah bukti kepemilikan
tanah, melainkan bukti pembayaran pajak atas tanah. Tetapi, untuk menguatkan gugatan,
Pemprov DKI dapat menyiapkannya.

Referensi:
Kusumastuti, Dyah & Sugiama, A. G. (2022). Materi Pokok Manajemen Logistik Organisasi
Publik. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
“Duduk Perkara Korupsi Pembelian Lahan Rusun Pemprov DKI Jakarta di Cengkareng”,
https://www.merdeka.com/peristiwa/duduk-perkara-korupsi-pembelian-lahan-rusun-
pemprov-dki-jakarta-di-cengkareng.html. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2022, pukul
19.32 WIB.
“Merunut Kasus Lahan Cengkareng Era Ahok Sampai Digugat Kembali”,
https://tirto.id/merunut-kasus-lahan-cengkareng-era-ahok-sampai-digugat-kembali-
f7Pq. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2022, pukul 19.33 WIB.

Sistem Ekonomi Indonesia


Berdasarkan dasar negara Indonesia, sistem perekonomian yang paling cocok dan sesuai
dengan sistem perekonomian Indonesia adalah sistem perekonomian Pancasila.
a. Kemukakan menurut pendapat Sdr mengapa demikian?
b. Sebutkan bagaimana ciri-ciri sistem perekonomian Pancasila seperti yang tertuang
pada UUD 1945 Pasal 33 !
c. Apakah sistem perekonomian Pancasila masih relevan untuk diterapkan pada kondisi
saat ini? Berikan penjelasan disertai alasan Anda!

Jawab:
Jika menurut Tom Gunadi (dalam Suharyono & Sovie, 2022: 1.6) sistem perekonomian
adalah sistem kemasyarakatan dalam rangka mencapai kemakmuran, maka sistem
perekonomian yang cocok bagi Indonesia adalah sistem perekonomian Pancasila. Hal itu
karena nilai falsafah dari masyarakat Indonesia yang tercantum dalam Pancasila, yaitu gotong
royong. Sistem perekonomian Pancasila adalah usaha untuk meningkatkan taraf hidup yang
lebih dengan mengedepankan kepentingan umum dan diselenggarakan secara kekeluargaan
dan gotong royong. Ini berbeda sekali dengan sistem kapitalisme yang mengedepankan nilai-
nilai individualisme.
UUD 1945 Pasal 33 memuat secara universal ciri khas sistem perekonomian Pancasila.
Karena nilai falsafah bangsa Indonesia adalah kekeluargaan dan gotong royong, yang artinya
menafikan sikap individualistis, maka sistem perekonomian Pancasila dirancang untuk usaha
gotong royong tersebut. Pertama, setiap sumber daya alam yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kehidupan banyak orang dikualifikasikan sebagai usaha milik negara.
Pengaturan ini dilakukan untuk menghindari persaingan antar individu untuk memperebutkan
sumber daya alam yang penting, yang pada akhirnya mereka yang memiliki modal kuat akan
mengalahkan mereka yang bahkan tak bermodal sama sekali.
Kedua, usaha ekonomi masyarakat diutamakan penyelenggaraannya melalui basis
koperasi. Koperasi adalah badan usaha atas dasar asas kekeluargaan. Setiap anggota koperasi
meskipun berasal dari berbagai latar belakang berbeda, dan mungkin dengan kepentingan
yang berbeda-beda, tetap memiliki satu tujuan dan kesamaan hak dalam usaha
penghidupannya melalui koperasi.
Apakah sistem perekonomian Pancasila masih relevan untuk diterapkan pada kondisi
saat ini? Menurut saya sistem tersebut semakin relevan bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Bahkan menurut saya sistem ini dapat dipakai secara universal kepada seluruh bangsa-bangsa
di dunia. Alasannya, pertama, dari sisi historis ekonomi dunia. Sejak berakhirnya Perang
Dingin yang dimenangkan Amerika Serikat, negara-negara dunia berlomba-lomba
menerapkan sistem kapitalisme. Sejak saat itu pula, kita melihat berbagai ketidakadilan
dalam perekonomian. Orang-orang terkaya dunia seperti Jeff Bezos bahkan memiliki
kekayaan lebih besar dibanding 100 juta orang Amerika digabungkan. Ketimpangan seperti
ini tidak mungkin dilazimkan dalam sistem perekonomian kekeluargaan.
Berbeda dengan ekonomi kekeluargaan a la Pancasila. Setiap orang berhak untuk hidup
makmur dalam kekayaan, tetapi, dalam usahanya mencapai ke arah itu, setiap orang dilarang
menginjak hak dan kesempatan orang lain yang pada akhirnya menciptakan kesenjangan
pendapatan. Sistem perekonomian Pancasila memanusiakan manusia. Setiap orang diberikan
haknya, tidak dibiarkan menderita seperti yang terjadi pada para homeless di Amerika
Serikat.
Subsidi silang seperti yang ada penerapannya pada BPJS Kesehatan menurut saya salah
satu contoh terbaik dari implementasi sistem perekonomian Pancasila. Setiap orang
berkewajiban membayar iuran BPJS meskipun ia tidak pernah memakainya. Hal itu karena
iuran yang dibayarnya dapat digunakan oleh orang lain yang sedang membutuhkan dana
berobat. Inilah inti dari usaha kekeluargaan.
Referensi:

Tugas Akhir Program


BAHAN BACAAN
Kepatuhan Penyelenggara Negara terhadap Standar Pelayanan Publik
Ombudsman RI telah mengumumkan ke publik tanggal 27 November 2019 penilaian
atau survei kepatuhan terhadap standar pelayanan publik. Penilaian Ombudsman dalam
survei ini mencakup total 17.717 pelayanan dan 2.366 unit layanan. Penilaian kepatuhan
dilakukan secara serentak pada 4 (empat) Kementerian, 3 (tiga) Lembaga, 6 (enam) Provinsi,
36 Pemerintah Kota dan 215 Pemerintah Kabupaten.
Penilaian terhadap kementerian menunjukkan bahwa sebanyak 50% masuk dalam zona
hijau dengan predikat kepatuhan tinggi dan 50% masuk dalam zona kuning dengan predikat
kepatuhan sedang, dengan 591 produk layanan yang dinilai. Untuk lembaga, menunjukkan
seluruhnya memiliki predikat kepatuhan sedang (zona kuning), terhadap 1.186 produk
layanan.
Penilaian terhadap pemerintah provinsi menunjukkan bahwa 33,33% pemerintah
provinsi masuk dalam zona hijau, predikat kepatuhan tinggi. 50% masuk dalam zona kuning,
predikat kepatuhan sedang dan 16,67% masuk dalam zona merah predikat kepatuhan rendah.
Hal yang paling sering dilanggar adalah hak masyarakat memperoleh informasi yang cepat
dan transparan tentang alur dan mekanisme mengenai perizinan dan non-perizinan yang
pengguna layanan akses, tidak memenuhi kewajiban untuk mempublikasikan indikator
sistem, mekanisme dan prosedur.
Penilaian terhadap pemerintah kabupaten menunjukkan bahwa sebanyak 26,51%
pemerintah kabupaten masuk dalam zona merah, predikat kepatuhan rendah. 40,47% masuk
dalam zona kuning dan 33,02% masuk dalam zona hijau dengan 15.629 produk layanan yang
tersebar di 215 pemerintah kabupaten. Komponen standar pelayanan publik yang paling
sering dilanggar terutama adalah yang berkaitan dengan hak kelompok disabilitas
mendapatkan akses dan fasilitas yang mudah dan layak serta hak pengguna layanan untuk
menilai penyelenggara layanan melalui alat pengukuran kepuasan pelanggan.
Survei ini menggunakan indikator yang diolah berdasarkan pasal 21 UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik berkewajiban
memenuhi 14 komponen standar pelayanan yang meliputi : (a) dasar hukum; (b) persyaratan;
(c) sistem, mekanisme, dan prosedur; (d) jangka waktu penyelesaian; (e) biaya/tarif; (f)
produk pelayanan; (g) sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; (i)
pengawasan internal; (j) penanganan pengaduan, saran, dan masukan; (k) jumlah pelaksana;
(l) jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan; (m) jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk
komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya dan risiko keragu-raguan; dan
evaluasi kinerja pelaksana.
Dari gambaran hasil pengawasan pelayanan publik oleh Ombudsman RI sepanjang
tahun 2019, khususnya untuk pengaduan masyarakat dan kepatuhan terhadap standar
pelayanan publik menunjukkan bahwa penyelenggara negara perlu usaha serius melakukan
perbaikan untuk menciptakan pelayanan publik prima di tahun 2020. Beberapa hal yang
mesti dilakukan penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga ke daerah adalah
mengupayakan: (a) melakukan upaya proaktif koordinasi penyelesaian laporan masyarakat
dengan Ombudsman RI; (b) memenuhi standar pelayanan publik sebagaimana komponen
yang terdapat dalam pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik.
Proses peningkatan kualitas pelayanan publik memerlukan adanya komitmen terhadap
asas-asas pemerintahan yang baik sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)
diamanatkan oleh UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 tahun 2014, pada Pasal 10
menyatakan bahwa AUPB meliputi asas : kepastian hukum, kemanfaatan, ketidak
berpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan
umum, dan pelayanan yang baik.
Demi mewujudkan kualitas pelayanan untuk tercapainya pelayanan publik prima, salah
satu indikator sasaran pembangunan dalam Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2020
sesuai Perpres Nomor 61 tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020, bagian
pembangunan aparatur adalah meningkatnya inovasi dan kualitas pelayanan publik. Presiden
Joko Widodo, dalam pidatonya mengenai visi Indonesia di Sentul International Convention
Center tanggal 14 Juli 2019, yang menggagas lima hal untuk visi pembangunan Indonesia
lima tahun kedepan, salah satunya juga menekankan pentingnya agenda reformasi birokrasi,
terletak pada kecepatan pelayanan dan perizinan.
Apabila penyelenggara negara/instansi pemerintah berkomitmen kuat dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengutamakan
aspek pelayanan dan keadilan, maka visi dan tujuan untuk mencapai peningkatan kualitas
pelayanan publik prima dapat diwujudkan.

Sumber: Disarikan dari tulisan Ratna Sari Dewi


dalam https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--proyeksi- peningkatan-kualitas-
pelayanan-publik-2020i, diakses 03 Mei 2021.

Pertanyaan:
Standar pelayanan publik memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang menjadi
dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun dalam
pelaksanaannya di lapangan, sering kali ditemukan ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian yang
dilakukan oleh oknum penyelenggara pelayanan publik memberikan citra buruk dan
berkurangnya kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah (pusat dan daerah).
Untuk meminimalisir hal itu, diperlukan norma etika yang dimiliki oleh penyelenggara
negara/instansi pemerintah.
Analisislah prinsip etika manajemen pemerintahan yang wajib dimiliki oleh pelaksana
pelayanan publik sehingga dapat mengembalikan kepercayaan dan kepuasan masyarakat
dalam memeroleh pelayanan publik prima!

Jawab:
Pelayanan adalah kegiatan yang menghasilkan beberapa output untuk mendukung
kehidupan sistem manusia secara umum (Lakhe & Mohanty, 1995: 140). Menurut Budi
Setiyono (2020: 1.4) secara umum istilah layanan meliputi beberapa aspek yang melekat,
yaitu: (1) adanya produk/jasa pelayanan; (2) adanya penyedia layanan; (3) adanya konsumen.
Maka, prasyarat dari pelayanan publik yang prima adalah efektivitas produk/jasa yang
dihasilkan, efisiensi proses oleh penyedia layanan, dan kepuasan konsumen (consumer
satisfaction).
Pelayanan prima merupakan sebuah istilah dari terjemahan kata bahasa Inggris
“excellent service”. Untuk mengetahui bagaimana sebuah pelayanan prima, kita dapat
melihatnya dari pelayanan yang diberikan bank kepada nasabahnya. Pada saat nasabah
datang, pelayanan yang diterimanya tidak hanya sekadar transaksi keuangan. Pelayanan itu
ditambah lagi dengan keramahan Satpam, ruangan ber-AC, hiburan TV di ruang tunggu,
hingga disediakan air mineral dan permen di bagian customer service. Sehingga nasabah
mendapatkan pelayanan lebih dari yang diharapkannya. Inilah yang menurut Catherine
DeVrye (1997, dalam Setiyono, 2020: 5.4) sebut sebagai exceed expectations (melampaui
harapan konsumen).
Pelayanan publik prima adalah kegiatan instansi pemerintah dan aparaturnya dalam
menghasilkan produk dan jasa yang memuaskan masyarakat lebih dari yang mereka
harapkan. Misalnya, pelayanan pencatatan sipil di suatu instansi pemerintah daerah
menetapkan standar pelayanan 7 hari kerja dokumen selesai dan dapat diterima masyarakat.
Tetapi jika pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dalam 4 hari akan lebih baik dokumen itu
segera diberikan tanpa harus seseorang menunggu 3 hari lagi. Pada level exceed expectations
seperti tadi, pelayanan publik telah memuat efisiensi dan efektivitas, sekaligus kepuasan
konsumen. Inilah inti dari pelayanan publik prima.
Untuk menghasilkan pelayanan yang prima, pemerintah tidak dapat hanya sekadar
penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP). Lebih dari itu, pemerintah juga perlu
menyiapkan sumber daya aparatur yang kompeten dan berintegritas. Untuk itu, aparatur
pemerintah wajib mengetahui dan menerapkan etika yang melandasi pelayanan publik.
Pejabat publik dan aparatur pemerintahan perlu asas yang menjadi titik tolak mereka dalam
berpikir dan bertindak.
Dalam sistem Hukum Administrasi Negara (HAN) Indonesia, ada asas-asas umum
dalam menjalankan pemerintahan yang baik (good governance). Asas-asas itu lazim disebut
dengan “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AUPB). AUPB tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asas-asas
tersebut diantaranya: (a) Kepastian Hukum; (b) Kemanfaatan; (c) Ketidakberpihakan; (d)
Kecermatan; (e) Tidak menyalahgunakan wewenang; (f) Keterbukaan; (g) Kepentingan
umum, dan; (h) Pelayanan yang baik. Untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada
pemerintah, pejabat publik dan seluruh aparatur pemerintahan hendaknya menumbuhkan
sikap integritas dalam bertindak sesuai asas-asas di atas.
Sedangkan dalam kaitannya dengan etika pelayanan publik, maka seorang aparatur
menyadari sepenuhnya bahwa tindakan-tindakan yang diambilnya dalam melayani
masyarakat diatur oleh prinsip dan nilai-nilai baik dan buruk yang ada di masyarakat. Etika
lebih penting daripada peraturan. Maksudnya adalah seringkali pejabat publik dalam
menjalankan peraturan tidak mengindahkan etika yang berlaku di masyarakat. Misalnya,
anggota DPR yang melakukan studi banding ke luar negeri tetapi lebih dimaksudkan sebagai
liburan. Secara peraturan ini terlihat benar, tetapi etika melihat ini sebagai intensi culas.
Secara universal, etika pelayanan publik terdiri dari 4 aspek: integritas, kejujuran,
keadilan, dan ketidakberpihakan. Integritas adalah prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
yang diyakini. Tidak goyah dalam menegakkannya. Seorang pejabat/aparatur pemerintah
mengetahui batasan-batasan mereka dalam menggunakan wewenang dan tidak melampaui
batasan tersebut. Kepatuhan mereka terhadap hukum dilandasi oleh kesadaran mereka akan
supremacy of law. Hukum berada di atas segalanya, bahkan jika itu bertentangan dengan
kepentingan atasan mereka sekalipun. Integritas adalah sikap awal dalam pemerintahan yang
baik. Tanpa integritas, pelaksanaan good governance akan ‘jauh panggang dari api’.
Etika yang mengikuti berikutnya adalah nilai kejujuran. Jika melihat dari contoh
anggota DPR tadi, nilai kejujuran tidak diterapkan dalam pemerintahan. Meskipun secara
peraturan tidak menyalahi, tetapi tindakan tersebut tidak etis. Pejabat/aparatur pemerintahan
hendaknya menyadari bahwa jabatan dan fasilitas yang mereka terima adalah atribut yang
melekat kepada mereka dalam rangka melayani masyarakat. Bukan alat yang digunakan
untuk kepentingan pribadi. Kejujuran berkaitan dengan transparansi. Pejabat/aparatur terbuka
dalam memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Proyek publik dilaksanakan terlebih
dulu melalui tender yang terbuka, dan tanpa tendensi memenangkan salah satu pihak.
Kemudian dalam menyelenggarakan pelayanan publik aparatur mengedepankan prinsip
keadilan. Adil bermakna “sesuai pada tempatnya”. Sesuatu yang tidak dilaksanakan sesuai
tempatnya berarti tidak adil. Keadilan di sini bukan diartikan sebagai kesamaan (equality),
tetapi sebagai kesetaraan (equity). Barangkali pengertian justice as fairness dari John Rawls
dapat mengungkapnya secara lebih jelas. Menurut Rawls, keadilan hendaknya diterapkan
sebagai pelayanan lebih terhadap kaum minoritas. Meskipun secara kewarganegaraan antara
orang kaya dan orang miskin memiliki hak yang setara, tetapi, pada beberapa hal orang
miskin didahului kepentingannya. Orang kaya dan orang miskin berada pada posisi ‘start’
yang tidak sama. Jadi, tugas pemerintah adalah mendorong posisi tersebut berada pada titik
yang sama, yaitu dengan cara memberdayakan orang-orang yang lemah.
Terakhir, adalah ketidakberpihakan. Dalam tata pemerintahan Indonesia, kode etik
aparatur pemerintah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Pasal 10 memuat tentang etika PNS sebagai
aparatur pemerintah dalam bermasyarakat. Salah satu etika tersebut adalah memberikan
pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif. Aparatur pemerintah
memahami bahwa negara Republik Indonesia diperjuangkan oleh Founding Fathers sebagai
rumah bagi seluruh suku bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara. Jabatan yang mereka
emban semata digunakan untuk melayani bangsa Indonesia menuju negeri yang adil dan
makmur sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Ketidakberpihakan ini misalnya PNS
tidak bertindak untuk menjembatani kepentingan kekuasaan. Meskipun birokrasi saat ini
adalah alat untuk menjalankan program penguasa, tetapi, sepanjang itu tidak merugikan dan
menguntungkan pihak tertentu saja, aparatur sah-sah saja melaksanakannya. Sebaliknya, jika
itu merugikan atau hanya menguntungkan pihak tertentu, aparatur berkewajiban
mengevaluasi dan memberikan saran untuk tidak melaksanakannya.
Jika pelayanan publik diselenggarakan oleh pemerintah dengan menegakkan kode etik
pemerintahan, dan segala tindakan didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik,
maka kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan menguat. Selain itu, setiap instansi
pemerintah sebaiknya transparan dalam menginformasikan dan menerapkan SOP yang ada.
SOP tersebut tidak berisi alur pelayanan yang berbelit-belit. Atau dalam leksikon
pemerintahan negara-negara Barat disebut sebagai red tape. Jika hal-hal yang disebutkan tadi
diterapkan, maka exceed expectations terpenuhi, dan pelayanan publik prima tercapai.

Referensi:
Lakhe, R. R., & Mohanty, R. P. (1995). “Understanding TQM in Service System”,
International Journal of Quality & Reliability Management, Vol. 12 No. 9 (hlm. 139-
153).
Setiyono, Budi. (2020). Materi Pokok Manajemen Pelayanan Umum. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.

Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik
PNS.

Anda mungkin juga menyukai