Anda di halaman 1dari 16

Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law

Jilid III: Pembahasan Investasi dan Ketenagakerjaan

disusun oleh:
Danastri Puspitasari
Muhammad Ardiansyah
Muhammad Rayhan
Natalische Ramanda Ricko Aldebarant
Ricky Raytona
Shafira Dinda
Yoseph Satria Adiatma
Quick Review

RUU Cipta Kerja (RUU Cipker) memiliki dua kebijakan besar yang menjadi benang merah
mengapa RUU ini dibentuk, yaitu pertama mendorong peningkatan investasi di Indonesia melalui
kemudahan berusaha yang lebih ramah investasi, meningkatkan daya saing dan menciptakan
lapangan kerja. Kedua mengembangkan sektor UMK melalui dukungan riset dan inovasi sehingga
UMK dapat berkembang dan mampu bersaing di dunia usaha.1 Dua kebijakan utama tersebut
diharapkan nantinya dapat menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Kita dapat melihat semangat
dan ruh secara filosofis RUU Cipker dibuat dan ditujukan kepada siapa, namun dari situ terjadi
dilematis karena investasi dalam RUU Cipta ini menjadi “anak emas”. Beberapa peraturan yang
dirasa menghambat investasi direvisi karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan
yang sedang diemban.2

Upaya ini dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai mimpi Indonesia sebagai negara
maju dan menjadi 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia, oleh karena itu pemerintah akan memacu
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam logika pemerintah memerlukan investasi baru.
Investasi ini diharapkan mampu menyerap angkatan kerja baru dalam mengatasi masalah
pengangguran dan berkorelasi pada produktivitas, upah dan kesejahteraan. Khusus dalam
ketenagakerjaan, RUU ini dinilai akan mendorong fleksibilitas ketenagakerjaan. Muatan dari RUU
ini yang mungkin masih menimbulkan diskursus publik yaitu memperluas sistem kerja kontrak dan
outsourcing serta mengganti ketentuan umum terkait upah minimum, hak cuti dan pesangon. Melihat
kondisi seperti ini, maka perlu nya kita mengkaji kembali materi muatan yang ada di dalam RUU
Cipker dan mengetahui dampaknya terhadap kelas pekerja di Indonesia.

1
Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Cipker, hlm. 219
2
Prof. Ari Hernawan, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif Hukum
Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia
RUU Cipker Sebagai Hukum Pembangunan

Dalam masyarakat yang membangun apalagi secara berencana, maka justru hukumlah yang
mengarahkan dan membentuk kebiasaan. Jadi pembentukan hukum justru harus mendahului
pelaksanaan pemmbangunan di bidang-bidang lainnya agar pembangunan itu dapat membawa akibat
berbagai perubahan masyarakat (sosial changes) dan tidak mengakibatkan ketidakadilan atau
merugikan masyarakat.3

Pembentukan undang-undang ini tentu mempunyai raison d’etre. Pembuat undang-undang


menghendaki naiknya nlai investasi dengan cara perbaikan ekosistem investasi dan daya saing
bangsa, diantaranya dengan RUU Cipker. Hal ini bukanlah tanpa alasan, kondisi Investasi di
Indonesia memiliki nilai yang masih sangat kurang dibandingkan negara-negara tetangganya. Sebagai
contoh , berdasarkan riset dari World Bank, dalam lima tahun terakhir rata- rata arus masuk PMA ke
Indonesia hanya 1,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah Kamboja (11,8%
PDB), Vietnam (5,9% PDB), Malaysia (3,5% PDB), dan Thailand (2,6% PDB).Vietnam berhasil
mencatatkan pertumbuhan PMA tertinggi sejak tahun 2015 dengan nilai ±USD16,7 miliar 4
Pertumbuhan ekonomi negara ini melesat dari 5,03% pada 2012 menjadi 7,1% pada 2018. Kondisi
itu antara lain didorong oleh pesatnya peningkatan investasi langsung. Investasi asing langsung
atau foreign direct investment (FDI) dalam lima bulan pertama 2019 ke Vietnam mencapai US$16,74
miliar. Namun, Pemerintah telah menghadirkan draft RUU Cipker sebagai suatu langkah yang berani
sekaligus nekat dalam memudahkan perizinan investasi di Indonesia dengan menggunakan dalih
membantu percepatan pembangunan negara untuk menyambut Indonesia Emas 2045.

Penyusunan satu peraturan perundang-undagan perlu didasarkan atas penglihatan pada


persepektif ke depan, pendekatannya diarahkan kepada dua fungsi yaitu5 :

1. Memantapkan hukum yang sudah berlaku sekaligus menetapkan hukum yang baru sesuai
dengan kebutuhan. Dengan demikikan perubahan hukum akan dapat memenuhi
kebutuhan pada masa mendatang

3
Sumantoro, 1987, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 35
4
Meilani, Hilma,”Hambatan Dalam Meningkatkan Investasi Asing Di Indonesia dan Solusinya”, Info Singkat Kajian
Strategis Terhadap Isu Aktual dan Strategis , Vol. XI, No.19/I/Puslit/Oktober/2019
5
Ibid, hlm. 37
2. Mengkonkritkan citra dan kehendak masyarakat ke dalam rumusan norma-norma hukum.

Dari segi sosiologis, dapat dikatakan RUU Cipker ini harus memperhatikan hukum yang ada
di masyarakat dalam penerapannya. Hukum yang baik adalah hukum yang materinya diambil dari
masyarakat yang diatur atau terdampak.6 Dampak yang dapat dirasakan secara langsung adalah ketika
risiko yang datang tidak didukung dengan data dan persiapan yang matang, hal itu akan berdampak
terhadap hubungan industrial. Hal ini sesuai dengan sifat dan hakikat fungsi hukum yang disusun
untuk berperanan menampung kebutuhan masyarakat dan sekaligus mengarahkan sehingga oleh
Roscoe Found disebutnya Hukum sebagai alat pembangunan dan pembaharuan masyarakat (Law as
a tool of social engineering).7 Penerapan pendekatan ini perlu memperhatikan stakeholders yang ada
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, daya dukung baik itu faktor internal maupun eksternal harus
secara terintegrasi didukung demi tercapainya tujuan bersama, hak-hak pekerja juga perlu
diakomodasi dengan baik, karena seperti yang kita tahu isu ketenagakerjaan memiliki sensitivitas
yang tinggi di masyarakat, jangan sampai hanya karena ego sektoral yang ada di RUU ini menjadi
boomerang yang membawa malapetaka.

Kilas Balik Kemudahan Perizinan Investasi di Indonesia

Semangat pemerintah dalam memberikan mekanisme untuk meningkatkan kemudahan


perizinan investasi sudah muncul dari tahun 2007 yaitu melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) melalui salah terobosannya dengan
memperkenalkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu kegiatan penyelenggaraan suatu
perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga
atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya
dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu
tempat.8 Selanjutnya, dalam peraturan tersebut pemerintah mengkoordinasikan kebijakan penanaman
modal dan melaksanakan PTSP melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM). UU
Penanaman Modal memberikan kewenangan koordinasi dan melaksanakan PTSP kepada BKPM,

6
Ibid, Hlm. 36
7
Ibid.
8
Vide Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ((Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724)
namun kewenangan memberikan perizinan berusaha tetap berada pada menteri, pimpinan lembaga,
gubernur, atau bupati/walikota.

Demi menyempurnakan PTSP, pada tahun 2018 pemerintah memperkenalkan mekanisme


perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau One Single Submission (OSS) dengan
menerbitkan PP No. 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintergrasi Secara Elektronik.
OSS merupakan perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama
menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem
elektronik yang terintegrasi. Melalui peraturan ini, pemerintah telah memangkas sebanyak tiga ratus
izin dan dan seratus empat puluh tujuh non izin.9

Walaupun penerapan OSS telah berhasil memangkas berbagai bentuk perizinan, tetapi
pemerintah menyatakan bahwa sampai sekarang masih terjadi obesitas peraturan perundang-
undangan yang saling tumpang tindih. Selanjutnya, pada akhir tahun 2019 Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai bahwa pelaksanaan OSS mendapatkan berbagai
kendala khususnya antara regulasi dari pemerintah pusat dan regulasi pemerintah daerah yang tidak
sinkron, salah satunya terkait kewenangan pemberian izin yang semula dimiliki pemerintah daerah
diubah sehingga Lembaga OSS yang menerbitkan izin atas nama pemerintah daerah tersebut.10 Lebih
lanjut, KPPOD menilai bahwa masih ada keterbatasan fasilitas penyelenggaraan OSS di berbagai
daerah dan sistem perizinan daerah mandiri berbasis-aplikasi melalui pelayanan terpadu satu pintu
(PTSP) yang belum terintegrasi dengan lembaga OSS.11

Penguatan Kemudahan Investasi melalui Kekuatan Sentralistik

Pemerintah dalam Naskah Akademik RUU Cipker menjelaskan bahwa pendelegasian


kewenangan pelaksanaan Undang- Undang kepada kementerian/lembaga atau badan dan/atau
pemerintah daerah dapat menimbulkan fenomena ego sektoral pada kementerian/lembaga atau badan
dan/atau pemerintah daerah sehingga terjadi obesitas peraturan perundang-undangan yang saling
tumpang tindih. Oleh karena itu, dalam RUU Cipker diperlukan suatu ketentuan yang menguatkan

9
Vide Naskah Akademik RUU Cipker, hlm. 24
10
Mochamad Januar Rizki, Dinilai Tak Maksimal, Aturan OSS Perlu Dievaluasi,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d78d3507a42d/dinilai-tak-maksimal-aturan-oss-perlu-dievaluasi/, diakses
11 Maret 2020.
11
Ibid.
kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan untuk mengontrol peraturan perundang-undangan
kemudahan berusaha.

Berkaitan dengan otonomi Daerah, Pasal 166-170 RUU Cipker telah mengubah berbagai
ketentuan dalam UU Pemerintah Daerah sehingga menibulkan penumpukkan kekuasaan di
pemerintah pusat.12 Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa walaupun Indonesia merupakan
negara kesatuan dan menganut sistem presidensial sehingga presiden memiliki kewenangan yang
cukup luas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan layaknya seorang raja, tetapi
sekiranya kita perlu mengingat nukilan Alexander Hamilton yang menyatakan bahwa presiden dalam
sistem presidensial merupakan raja yang diberi batasan kekuasaan oleh konstitusi. 13 Apabila
penumpukkan penguasaan yang diberikan kepada presiden tidak dibatasi secara jelas, maka itu akan
memberikan kewenangan yang berlimpah dan cenderung menuju kekuasaan otoriter yang dimiliki
oleh presiden.14

Reformasi Ketenagakerjaan

Reformasi ketenagakerjaan diharapkan dapat timbul dengan adanya RUU Cipker, isu
ketenagakerjaan dibahas dalam Bab IV tentang ketenagakerjaan pasal 88-92. Bab ini mengubah,
menghapus atau menetapkan peraturan baru dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
UU No. 40 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Dapat disimpulkan kurang lebih ada 6 aspek reformasi
ketenagakerjaan dalam RUU Cipker yaitu mengenai upah minimum, alih daya (outsourcing),
pesangon, durasi kerja dan sanksi. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada hakikatnya hubungan antara
majikan dengan pekerja/buruh merupakan hubungan yang bersifat privat,15 selain itu, salah satu pihak
yaitu pekerja/buruh, berada di bawah perintah pihak yang lain, majikan, yang menandakan adanya
kedudukan subordinate,16 yang menunjukan bahwa posisi buruh/pekerja lemah.17 Oleh karena itu,

12
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU
Cipker, hlm. 14
13
Zainal Arifin Mochtar, Politik Hukum RUU Cipker, Kompas, 9 Maret 2020.
14
Ibid.
15
Eka Wijaya dan Ari Hernawan, “Tinjauan Yurididis Mengenai Keberadaan Karyawan Berdasarkan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu di Koperasi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada”, Jurnal
Hukum Perdata, Volume 2, No.2, November 2013
16
Wiwoho Sudjono, 1970, Persetujuan Perburuhan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta
17
Susilo Andi Darma, “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum
Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29, No. 2, Juni 2017
untuk mendukung posisi yang tidak seimbang perlu adanya socialisering proses (campur tangan
pemerintah)18 agar tercapainya kesejahteraan yang merata dan adil bagi kedua belah pihak. Profesor
Ketenagakerjaan FH UGM, Ari Hernawan yang kerap disapa Prof. Ari mengatakan bahwa dalam
hukum ketenagakerjaan tidak mengenal adanya keadaan mengurangi. 19 Keadaan mengurangi yang
dimaksud adalah ketentuan yang berkurang baik secara formil maupun materiil UU Ketenagakerjaan
itu sendiri. Mudah dimaknai sebagai proses menghadirkan regulasi yang akan menggantikan atau
merubah ketentuan seperti pengupahan, hak-hak pekerja dalam bekerja, dan jaminan-jaminan sosial
yang lainnya dalam UU ketenagakerjaan itu harus bersifat meningkat, progresif, lebih mampu untuk
melindungi, dan pada intinya adalah tidak menurun dan maupun berkurang.

Pada bab ketenagakerjaan, terdapat 17 (tujuh belas) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah, dan 2 (dua) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.20 Tentunya hal ini menjadi masalah dikarenakan kehadiran RUU Cipker yang menyapu
‘jagad’ berbagai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, justru tidak dapat memberikan pengaturan
secara tuntas.21 Apabila dibandingkan dengan pemberi harapan untuk menyelesaikan masalah
ketenagakerjaan seperti perlindungan hak-hak pekerja dan peningkatan kesempatan lapangan kerja,
RUU Cipker terlihat lebih memfokuskan peningkatan ekonomi nasional melalui kemudahan
investasi.22

Permasalahan Pengupahan

Pasal 89 RUU Cipker telah mengubah Pasal 88 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
kebijakan pengupahan nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, padahal Pasal 88 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan-ketentuan dasar dalam kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja dan buruh yang isinya sebagai berikut :

(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) meliputi:

a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;

18
Repository UGM, Tanpa Judul, http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74496/potongan/S2-2014-338217-
chapter1.pdf, diakses 24 Februari 2020
19
Ari Hernawan, 2020, Dalam seminar Omnibus Law Cipker di MAP Corner FISIPOL UGM.
20
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Loc.cit.
21
Ibid.
22
Ibid.
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Mengapa Pemerintah menghapuskan ketentuan mengenai ketentuan mengenai hal-hal yang


dasar yang harus dicantumkan dalam kebijakan pengupahan nasional, sehingga harus diatur lebih
lanjut oleh PP. Perubahan tersebut akan menjadi masalah karena jika PP yang mengatur lebih lanjut
tersebut menemukan kendala dalam penyusunannya sehingga tidak kunjung diterbitkan, maka dapat
memunculkan ketidakpastian hukum dalam menjamin kebijakan pengupahan nasional di berbagai
daerah. Pemerintah juga menambahkan Pasal 88 B yang mengatur penetapan upah berdasarkan satuan
waktu dan/atau satuan hasil, sebelumnya ketentuan ini telah diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015.
Penambahan Pasal ini cukup bermasalah karena PP No. 78 Tahun 2015 sebenarnya telah ditolak oleh
serikat buruh selama bertahun-tahun dan ketentuan sistem pengupahan tersebut dapat menyebabkan
pengusaha yang ingin memanfaatkan pasal ini untuk menurunkan pembayaran upah ketika kapasitas
produksi berkurang.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha, pekerja, serikat
pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK dan jika
upaya tersebut tidak berhasil maka ada kewajiban untuk merundingkan antara pihak pengusaha dan
pihak buruh. Adapun pada RUU Cipker menghilangkan frasa-frasa tersebut dan merubahnya sebagai
berikut

(1) Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh.

Perubahan tersebut tidak hanya menghilangkan kewajiban untuk menghindari PHK tetapi
juga dapat membuka kesempatan terjadinya PHK yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha
dikarenakan pekerja/buruh merupakan pihak yang lemah dalam kesepakatan tersebut, maka
kesepakatan terkait PHK juga akan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi pekerja/buruh karena
dapat menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi PHK dengan pihak perusahaan.

RUU Cipker juga menghilangkan aturan pada pasal 152 UU Ketenagakerjaan yang mengatur
rincian permohonan PHK. Aturan mengenai PHK ini juga dibuat lebih general dan menghilangkan
kepastian untuk pihak yang di PHK dengan banyaknya pengurangan pasal-pasal terkait sehingga
PHK lebih mudah untuk dilakukan.

Prof Ari mengatakan dalam UU 13/2003 diatur tentang kompensasi ketika terjadinya PHK
dan kompensasi tersebut dapat dibagi dalam 3 jenis, yakni:

1. Memperoleh pesangon
2. Penghargaan masa kerja
3. Penggantian hak pekerja

Poin pertama yaitu terkait dengan perolehan pesangon sejauh ini belum terdapat masalah karena di
dalam RUU CiKa yang berkaitan dengan memperoleh pesangon relatif sama pengaturannya dengan
yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Poin kedua kedua terkait dengan
penghargaan masa kerja pada Pasal 89 RUU CiKa yang mengubah Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan telah memunculkan pengurangan nilai maksimal penghargaan masa kerja yang
sebelumnya 10 bulan upah menjadi maksimal 8 bulan upah. Tentu maksud pemerintah yang demikian
dengan jelas tidak menunjukan orientasinya untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh apalagi
diperparah dengan tidak ter klasifikasinya maksud pemerintah mengubah ketentuan penghargaan
masa kerja yang sudah ada sebelumnya menjadi lebih rendah lagi. Seperti disebutkan pada bagian
awal oleh Prof Ari, sehiarusnya dalam pengaturan dalam hukum ketenagakerjaan tidak diperbolehkan
mengurangi atau seminimalnya adalah sama dengan pengaturan yang sudah ada sebelumnya. Poin
ketiga terkait dengan penggantian hak pekerja adalah suatu hal yang wajib dan seharusnya tidak dapat
dikurangi karena hal itu dalam ketentuannya merupakan sebuah hak dan hak sejauh wawasan kita
adalah bersifat utuh dan tidak dapat dikurangi.

Permasalahan Outsourcing

Selanjutnya terkait dengan permasalahan outsourcing yang bersumber dari RUU Cipker.
Outsourcing atau Alih Daya adalah bentuk hubungan kerja yang pekerja/buruhnya tidak berada
dibawah tanggung jawab perusahaan yang berkepentingan langsung sebagai pihak pertama namun
diperoleh melalui kontrak dari suatu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 23 Menurut
penuturan Prof. Ari hanya ada 5 jenis pekerjaan di Indonesia yang dilegalkan untuk menjalankan alih
daya, yakni; cleaning service, jasa pengamanan, catering, jasa pertambangan, dan jasa transportasi. 24
Ditambah dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan kejelasan terkait
pekerjaan yang dapat dilakukan yakni tidak boleh merupakan pekerjaan pokok atau pekerjaan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi.25

Namun, dalam RUU Cipker ini justru seperti ingin menghadirkan bentuk hubungan kerja alih
daya sebagai jenis pekerjaan yang semakin legal untuk dijalankan di Indonesia yang itu diinisiasi
dengan dihilangkannya ketentuan materiil pasal 64 dan 65 UU Naker padahal di dalam pasal tersebut
secara khusus dan mendetail mengatur perihal alih daya.26 Kemudian aturan mengenai outsourcing
hanya diatur pada satu pasal yaitu pada pasal 66, Pada pasal a quo diberlakukan aturan yang lebih
general sehingga lebih fleksibel. RUU Cipker juga tidak menyebutkan jenis pekerjaan serta waktunya
sehingga penggunaan pekerja dari perusahaan penyedia jasa buruh ini bisa meliputi semua jenis
pekerjaan serta waktunya. Menilik materiil yang ada di dalam RUU Cipker justru menimbulkan
kekhawatiran karena pembatasan seperti apa alih daya itu menjadi tidak jelas dan itu menjadi masalah
jika bentuk hubungan kerja alih daya ini menjangkau pekerjaan pokok. Melalui bentuk Omnibus Law
yang seperti ini terdapat indikasi pemerintah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk lebih
fleksibel dalam melakukan rekrutmen karyawan terutama melalui mekanisme alih daya
(outsourcing).27 Oleh karena itu, yang patut dipertanyakan adalah kemana nantinya hak-hak pekerja,
jaminan-jaminan sosial, serta tunjangan-tunjangan yang sepatutnya dimiliki oleh seorang pekerja.

23
Vide Pasal 64, 65, dan 66, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
24
Ari Hernawan, Loc. Cit.
25
Lihat Pasal 66, Ayat (1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
26
Lihat Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipker dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
27
Tirta Citradi, Februari 18, 2020, CNBC Indonesia, Ini Jeroan RUU Cipker yang Bikin Pekerja Resah,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218160526-4-138750/ini-jeroan-ruu-cipta-kerja-yang-bikin-pekerja-
resah/2, Diakses tanggal Februari 24, 2020
Pengaturan TKA

Pasal 89 RUU Cipker mengganti ketentuan pada pasal 42 UU no 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, RUU a quo merubah ayat (1) sebagai berikut :

(1) “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan
rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat. “

Ketentuan dalam pasal tersebut sudah pernah diatur dalam Perpres 20/2018 yang pada awalnya
menuai kontroversi karena pemberi kerja cukup memiliki RPKTA untuk memperkerjakan TKA, hal
tersebut bertentangan Pasal 43 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya dikarenakan izin
pemberika kerja kepada TKA dan RPKTA diatur dalam pasal yang berbeda.28 Dengan perubahan
tersebut, maka pemerintah menghilangkan penerbitan izin yang diperlukan pemberi kerja tenaga
asing dan menggantinya dengan RPTKA dari pemerintah pusat.

Kemudian terdapat perluasan pengecualian pemberi kerja yang harus mendapatkan


pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari pemerintah pusat Pada pasal 42 ayat (3)
sebagai berikut:

a. anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan
mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk
jangka waktu tertentu.

Perluasan pengecualian tersebut juga sudah pernah diatur dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing,29 namun hal tersebut bertentangan dengan Pasal 43 ayat (3)

28
Monika Suhayati, Kontroversi Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Info Singkat,
Vol. X, No. 09, Mei, 2018.
29
Vide Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Tahun 2018
Nomor 39
UU Ketenagakerjaan yang pada awalnya awalnya hanya pegawai diplomatik dan konsuler pada
kantor perwakilan negara asing saja30.

Pada intinya RUU Cipker berusahan untuk mengadopsi pengaturan yang sudah tercantum
dalam Perpres 20/2018 yang ketentuannya bertentangan dengan UU Ketenagakerjan dikarenakan
dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU P3, Perpres tidak boleh bertentangan
dengan norma atau aturan hukum diatasnya termasuk UU. Selain itu, Pemerintah merasa bahwa
fungsi kontrol dan pengawasan TKA di dalam negeri dapat lebih optimal ketika dilakukan satu pintu
oleh pemerintah pusat. Namun, bagaikan pisau bermata dua jika mekanisme tersebut tidak
dimanfaatkan oleh pemerintah pusat untuk kepentingan rakyatnya seperti contoh membuka kuota
TKA untuk sektor-sektor industri dengan komoditas tinggi akan menyebabkan terjadinya penguasaan
TKA di sektor tersebut. Tentunya permasalahan tersebut semakin menjauhkan kesejahteraan rakyat
karena seolah-olah rakyat hanya dapat menguasai sektor bawah daripada sektor atas dan secara
otomatis juga akan berdampak pada pendapatan perkapita maupun GNP.

30
Ibid.
Melalui pembahasan terhadap RUU Cipta Kerja, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan
investasi telah dijadikan ‘anak emas’ untuk merevisi segala peraturan yang dirasa menghambat
kemudahan berinvestasi di Indonesia karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan
ekonomi yang sedang diemban melalui kacamata pemerintah. Oleh karena itu, berdasarkan kajian
Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid I - Jilid III, Dema Justicia FH UGM mengambil sikap
sebagai berikut:

1. Menolak draft RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh Pemerintah;


2. Mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasan dan mengembalikan draft
RUU Cipta Kerja kepada Pemerintah; atau
3. Mendesak Pemerintah untuk menarik kembali draft RUU Cipta Kerja dari DPR
RI; dan
4. Mendesak Pemerintah untuk melakukan perbaikan permasalahan formil dan
materiil RUU Cipta Kerja secara terbuka dengan menampung aspirasi
masyarakat secara menyeluruh.
Referensi

A. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun
2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4279)
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita
Negara Tahun 2018 Nomor 39
Rancangan Undang-Undang Cipker
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipker
B. Buku
Sudjono, Wiwoho, 1970, Persetujuan Perburuhan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada
Yogyakarta, Yogyakarta
Sumantoro, 1987, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta
C. Jurnal
Darma, Susilo Andi, “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah
Hukum Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29, No. 2, Juni
2017
Hilma, Meilani,,”Hambatan Dalam Meningkatkan Investasi Asing Di Indonesia dan
Solusinya”, Info Singkat Kajian Strategis Terhadap Isu Aktual dan Strategis , Vol. XI,
No.19/I/Puslit/Oktober/2019
Suhayati, Monika, Kontroversi Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Asing, Info Singkat, Vol. X, No. 09, Mei, 2018.
D. Kajian
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan
Rekomendasi Terhadap RUU Cipker,
Repository UGM, Tanpa Judul,
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74496/potongan/S2-2014-338217-
chapter1.pdf, diakses 24 Februari 2020
E. Berita
Citradi, Tirta, Februari 18, 2020, CNBC Indonesia, Ini Jeroan RUU Cipker yang Bikin Pekerja
Resah, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218160526-4-138750/ini-jeroan-ruu-
cipta-kerja-yang-bikin-pekerja-resah/2, Diakses tanggal Februari 24, 2020
Mochtar, Zainal Arifin, Politik Hukum RUU Cipker, Kompas, 9 Maret 2020.
Rizki, Mochamad Januar, Dinilai Tak Maksimal, Aturan OSS Perlu Dievaluasi,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d78d3507a42d/dinilai-tak-maksimal-
aturan-oss-perlu-dievaluasi/, diakses 11 Maret 2020.
F. Seminar
Hernawan, Ari, 2020, Dalam seminar Omnibus Law Cipker di MAP Corner FISIPOL UGM.
Hernawan, Ari, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif
Hukum Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan
Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai