KEPADA PEKERJA
Oleh :
Mirah Sumirat, S.E
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia
Aturan Ketenagakerjaan Tidak Perlu dirubah
dalam rangka mendongkrak Investasi
“Menurut kajian World Economic Forum (WEF), maraknya korupsi merupakan penghambat utama investasi di Indonesia.
WEF menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di
Indonesia. Hal tersebut lantaran maraknya praktik suap, gratifikasi, favoritisme, dan pelicin yang dilakukan sejumlah
oknum, terutama dalam pengurusan perizinan.”
Sumber : https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia
Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2017-2018 menunjukkan, korupsi merupakan
hambatan tertinggi untuk berbisnis di Indonesia dengan skor 13,8. Hal tersebut mengakibatkan berbisnis di Indonesia
memiliki biaya yang tinggi karena praktik korupsi. Selain itu, faktor yang menyebabkan terhambatnya bisnis di Indonesia
adalah inefisiensi birokrasi pemerintah dengan skor 11,2, akses ke pembiayaan dengan skor 9,2, dan infrastruktur yang
tidak memadai dengan skor 8,8.
Faktor penghambat kelima adalah tidak stabilnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan skor 8,6. Adapun
instabilitas pemerintah dan rasio pajak menempati urutan selanjutnya dengan masing-masing sebesar 6,5 dan 6,4.
Sumber : https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/24/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia
MENGENAI UU CIPTA KERJA
TAHAP PERENCANAAN
Federasi maupun Konfederasi Serikat Pekerja TIDAK PERNAH dilibatkan
dalam tahap perencanaan pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode
Omnibus.
Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK NO
91/2020
[3.17.8] Bahwa selain keterpenuhan formalitas semua tahapan di atas, masalah lain yang harus
menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat.
Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya
juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai
salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh
lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1)
dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut
serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila
pembentukan undang undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan
keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka
dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat
(people sovereignty).
Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK NO
91/2020
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-
undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful
participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara
sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya
memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be
heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga,
hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be
explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok
masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap
rancangan undangundang yang sedang dibahas.
TAHAP PEMBAHASAN DPR
Pada tahap ini DPR juga tidak melibatkan Serikat Pekerja dalam
pembahasan untuk menjaring partisipasi Pekerja. Contoh, KSPI baru
dilibatkan setelah berulang kali melakukan aksi unjuk rasa.
Pembahasan beleid ini di DPR juga terkesan terburu – buru yang membuat
masyarakat berasumsi ada kejanggalan di dalam pembahasan.
TAHAP PEMBAHASAN DPR
Karena tergesa – gesa, DPR tidak menyadari bahwa metode Omnibus
bukanlah metode pembuatan UU yang dikenal di dalam UU No 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan dan UU No 15
tahun 2019 tentang Perubahan UU No 12 tahun 2011.
Pasal 4
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Undang-Undang ini mengatur
kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j. pengenaan sanksi.
Bahwa berdasarkan Pasal 4 huruf b UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat
diketahui bahwa ketenagakerjaan termasuk ke dalam bagian kebijakan strategis. Dengan
demikian dengan ditangguhkannya keberlakuan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
beserta turunannya terhadap kebijakan yang bersifat strategis, maka tunduk dan patuh terhadap
Putusan tersebut Pemerintah harus menangguhkan keberlakuan UU Nomor 11 tahun tahun
2020 beserta turunannya terhadap segala hal tentang ketenagakerjaan. Artinya pengaturan
ketenagakerjaan kembali menggunakan aturan sebelumnya, yakni UU No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan beserta turunannya.
Hal ini tentu sangat bisa dilakukan karena memang aturan ketenagakerjaan telah eksis sebelum
lahirnya UU Cipta Kerja, artinya sekalipun UU Cipta Kerja ditangguhkan tidak akan terjadi
kekosongan hukum.
Mengenai PERPPU No 2 tahun 2022 tentang
Cipta Kerja
PERPPU CIPTA KERJA telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU
Cipta Kerja.
Hal ini dapat ditemukan dalam PERPPU NO 2/2022 Pasal 185 yang menyatakan :
“Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang ini,
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Mengenai PERPPU No 2 tahun 2022 tentang
Cipta Kerja
PERPPU memang hak subjektif Presiden, namun tentu PERPPU harus dibuat dengan tetap
memperhatikan syarat terbitnya dan harus segera disahkan DPR menjadi Undang – Undang
demi terpenuhinyakebutuhan atas suatu kekosongan hukum karena kegentingan memaksa.
PERTANYAAN
1. Apakah benar penerbitan PERPPU adalah jawaban atas perintah MK untuk melakukan
perbaikan terhadap UU Cipta Kerja ?
2. Apakah benar ada kekosongan hukum yang membenarkan diterbitkannya PERPPU ?
3. Apakah benar ada kegentingan memaksa ?
Mengenai PERPPU No 2 tahun 2022 tentang
Cipta Kerja
1. Apakah benar penerbitan PERPPU adalah jawaban atas perintah MK untuk
melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja ?
PERPPU terbit karena subjektivitas Presiden, tentu sulit hal ini akan selaras dengan
aspirasi publik dan tidak mungkin memenuhi asas partisipasi bermakna
sebagaimana yang dimaksud oleh Putusan MK No 91/2020.
Putusan MK memerintahkan untuk dilakukan perbaikan, tentu pembahasan di DPR
dengan melibatkan partisipasi bermakna dari public atau stake holder terdampak
adalah jawabannya, bukan dengan penerbitan PERPPU.
Mengenai PERPPU No 2 tahun 2022 tentang
Cipta Kerja
2. Apakah benar ada kekosongan hukum yang membenarkan diterbitkannya
PERPPU ?
Berdasarkan Pasal 52 (1) “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.”
Penjelasan Pasal 52 Ayat (1) menyatakan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa
sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.”
Dengan demikian ada limitasi masa berlaku sebuah PERPPU, yaitu sampai dengan masa siding pertama
DPR setelah PERPPU terbit, hal ini dapat dipahami dimaksudkan agar terpenuhi makna “PERPPU terbit
karena kegentingan memaksa”.
Mengenai PERPPU No 2 tahun 2022 tentang
Cipta Kerja
PERPPU No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diundangkan pada 30 Desember 2022.
Berdasarkan informasi di laman resmi DPR RI, setelah PERPPU tersebut diundangkan, DPR RI telah
melakukan sidang paripurna pada 10 Januari 2023, 7 Februari 2023 dan 16 Februari 2023. Yang mana tidak
satupun dari ketiga rapat paripurna tersebut yang menyinggung tentang pentingnya pembahasan PERPPU
Cipta Kerja.
Maka :
1. Diabaikannya PERPPU Cipta Kerja pada rapat paripurna pertama pasca PERPPU terbit adalah bukti
hal – hal yang diatur dalam PERPPU Cipta Kerja bukanlah hal yang dalam kegentingan memaksa
karena faktanya DPR RI tidak segera membahasnya, bukanlah karena untuk mengisi kekosongan
hukum karena faktanya ada aturan yang telah eksis sebelum UU Cipta Kerja dan PERPPU Cipta Kerja
terbit.
2. PERPPU Cipta Kerja telah Daluarsa karena tidak dibahas dalam rapat paripurna pertama setelah
PERPPU Cipta Kerja terbit.
KESIMPULAN
Bahwa oleh karena UU Cipta Kerja telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku oleh PERPPU No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dan PERPPU
No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah Daluarsa karena tidak dibahas
dalam paripurna pertama DPR pasca PERPPU tersebut terbit, maka oleh
karenanya aturan Ketenagakerjaan seharusnya Kembali pada UU No 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bserta aturan turunannya.
KERUGIAN PEKERJA atas BERLAKUNYA
UU CIPTA KERJA
PERATURAN PEMERINTAH NO. 34
PENGGUNAAN TKA
a. Pemberi kerja TKA hanya diwajibkan memeiliki RPTKA
yang telah disahkan menteri atau pejabat yang
ditunjuk. Tidak lagi wajib memiliki surat izin
mempekerjakan TKA. (Pasal 6 ayat (1))
b. Batasan PKWT menjadi lebih lama untuk PKWT berdasar jangka waktu,
yakni 5 (lima) tahun. (Pasal 6)
c. Batasan PKWT menjadi lebih tidak pasti untuk PKWT berdasar selesainya
suatu pekerjaan tertentu karena jangka waktu perjanjian diserahkan pada
kesepakatan para pihak, tidak ada batas maksimum.(Pasal 9 )
PERATURAN PEMERINTAH NO. 35
ALIH DAYA
a. Alih daya dapat dilakukan di semua jenis usaha, tidak ada lagi batasan
kegiatan poko dan penunjang.
WAKTU ISTIRAHAT
Hilangnya batas minimum istirahat panjang dan diserahkan ke
perjanjian masing – masing. (Pasal 35).
PERATURAN PEMERINTAH NO. 35
ALASAN PHK
a. Munculnya alasan efisiensi karena mengalami kerugian.
(Pasal 43 ayat (1))