Anda di halaman 1dari 19

Diselenggarakan oleh:

Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Hukum


Universitas Diponegoro

Disampaikan oleh:
Viktor Santoso Tandiasa
(Koordinator Tim Kuasa Hukum
Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020
1. Mengabulkan permohonan provisi PARA PEMOHON
2 Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020,
Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573), hingga adanya putusan akhir Mahkamah
Konstitusi terhadap pokok permohonan a quo

Permohonan diajukan 10 November 2020 – Perbaikan 24


November 2020

Untuk melakukan penundaan/penangguhan sebelum seluruh


Peraturan Pelaksana jadi bulan Februari 2021
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah,
dihapus dan/atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Nomor 245 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) berlaku kembali.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
“Kita mau membiasakan yang benar
atau mau membenarkan yang biasa?”

- Perkara No. 79/PUU-XVII/2019


(1 Dissenting Opinion)
- Perkara No. 59-60/PUU-XVIII/2020
(3 Dissenting Opinion)
- Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020
(Kabul dengan 5 Hakim Konstitusi)
Dissenting Opinion (Pendapat Berbeda) yakni:

- Dr. Anwar Usman (Ketua Majelis Hakim),


- Prof. Arief Hidayat (Anggota Majelis Hakim),
- Dr. Manahan Sitompul (Anggota Majelis Hakim)
- Dr. Daniel Yusmic (Anggota Majelis Hakim)
- Telah diperoleh adanya fakta hukum bahwa tata cara pembentukan UU 11/2020

tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan. Oleh karena
norma Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU 12/2011 mengharuskan
terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif maka dengan tidak terpenuhinya 1
(satu) asas saja, maka ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi terabaikan oleh proses
pembentukan UU 11/2020.
- Terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang
partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan
berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat [vide Risalah Sidang
tanggal 23 September 2021], pertemuan dimaksud belum membahas naskah
akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. Sehingga masyarakat
yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi
perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020
- Terdapat Fakta, naskah akademik dan Rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat (4)
UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan
masyarakat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis.
- Tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang
pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang;
terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama
DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020
tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan
cacat formil,
- Terdapat Fakta Hukum adanya Ketentuan Norma Pasal yang berubah,
menghilang dan diganti
Mahkamah dapat memahami persoalan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih
antar-UU yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law
yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di
Indonesia. Namun demikian, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut
kemudian dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku
karena antara tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam
meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional. Oleh karena
telah ternyata terbukti secara hukum adanya ketidakterpenuhannya syarat-syarat
tentang tata cara dalam pembentukan UU 11/2020, sementara terdapat pula tujuan
besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU 11/2020 serta telah banyak
dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak
diimplementasikan di tataran praktik. Dengan demikian, untuk menghindari
ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka berkenaan
dengan hal ini, menurut Mahkamah terhadap UU 11/2020 harus dinyatakan
inkonstitusional secara bersyarat.
Pertama, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun
sejak putusan ini diucapkan”.

Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan


dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu
sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.

Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan


perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan
dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan,
maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk
undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka
undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang
telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang


bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula
menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan
UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga
menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat
strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk
tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak
dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan
kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada
norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara
bersyarat tersebut. (Paragraf [3.20.5], Hal.414)
1. pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis
dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu,
2. tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru
3. tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan
pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan
mendasarkan pada norma UU 11/2020

Artinya:
1. Pelaksanaan UU 11/2020 dalam Hal ini Peraturan Pelaksana yang
sudah ada, di tangguhkan selama 2 tahun (Berlaku Surut)
2. Tidak dapat membentuk aturan pelaksana baru (Berlaku Pasca
Putusan)
3. Tidak dapat membuat kebijakan baru (Berlaku Kedepan
- Maksud dari, UU 11/2020 dinyatakan tetap berlaku dalam Amar Putusan, adalah
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Pembentuk UU untuk fokus
memperbaiki Tata Cara/Prosedur pembentukan UU 11/2020 agar sesuai dengan UU
12/2011 jo. UU 15/2019, termasuk merevisi UU 12/2011 jo. UU 15/2019 Selama 2 Tahun ke
depan.
- Maksud dari Menangguhkan Pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang
bersifat strategis dan berdampak luas, agar menghindari dampak yang lebih besar
terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama 2 Tahun ke depan.
- Memberikan Pilihan kepada Pembentuk UU, apabila tidak akan melanjutkan
Perbaikan UU 11/2020 sebagai bentuk mengakomodasi Penolakan Rakyat terhadap
UU 11/2020, sehingga apabila UU 12/2020 menjadi permanen Inkonstitusional, maka
terhadap UU, Pasal-Pasal, atau materi muatan yang telah dicabut atau diubah oleh
UU 11/2020, menjadi berlaku kembali.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan
inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum
mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo
tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang
diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana,
dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus
dinyatakan kehilangan objek;

[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon
dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
- Apabila UU Cipta Kerja masih tetap berlaku, artinya Ketentuan-ketentuan Norma

Pasal/materi muatan masih mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka seharusnya


terhadap perkara-perkara pengujian Materiil UU 11/2020 tidak perlu di Putuskan
Permohonan tidak dapat di Terima (NO), namun dapat dilanjutkan ke pemeriksaan
berikutnya.
- Apabila UU Cipta Kerja benar Masih Berlaku, artinya Ketentuan-ketentuan Norma

Pasal/Materi muatan masih mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maka apabila ada
ketentuan-ketentuan norma yang dianggap merugikan hak konstitusional warga negara,
maka Ketentuan Norma Pasal tersebut dapat diajukan pengujian Materiil ke Mahkamah
Konstitusi
Secara Normatif dan Konstitusional, Putusan MK bersifat Final and
Binding, yang artinya memiliki kekuatan hukum mengikat sejak
diucapkan putusannya.
Namun dalam Praktek terdapat Perkembangan Model Putusan untuk
memenuhi kebutuhan
Pengujian Materiil :
- 2004 : Model Putusan yang secara hukum membatalkan dan
menyatakan tidak berlaku (Legally Null And Void) Ex: Putusan
MK No. 011-017/PUU-I/2003
- 2006 : Model Putusan yang Langsung dapat di Eksekusi (Self
Implementing), Ex. Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006
tentang Penghinaan Presiden dalam KUHP.
- 2009 : Model Putusan yang tidak Langsung dapat Dieksekusi (Non-self
Implementing), artinya Putusannya masih memerlukan tindak
lanjut, Ex: Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009, tentang
Penggunaan KTP Elektronik, masih harus ditindak lanjuti
dengan Peraturan KPU No. 52 Tahun 2009, Putusan ini pun
merupakan Model Putusan diamana Mahkamah Membuat
Rumusan Norma Baru yakni Penggunaan KTP Elektronik.
- 2009 : Model Putusan Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally
Unconstitutional). Ex. Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009
- 2009-2012 : Model Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Constitutional), Ex: Putusan MK No. 115/PUU-VII/2009,
Putusan MK No. 49/PUU-VIII/2010, Putusan MK No.
92/PUU-X/2012
- 2013 : Model Putusan yang Pemberlakuannya di Tunda (Limited
Constitutional). Ex. Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 tentang
kewenangan MK tangani Pilkada, dan Putusan MK No. 14/PUU-
XI/2013 tentang Pemilu Serentak 2014 untuk dilaksanakan 2019
- Dinyatakan Cacat Prosedural
- Diberikan kesempatan untuk memperbaiki
- Mempertimbangkan Tujuan Nasional dalam UU
tersebut
HTTP://VSTLAWFIRM.COM

Anda mungkin juga menyukai