Anda di halaman 1dari 6

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Tugas Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Undang Undang


Cipta Kerja

NAMA : RIZKY FADHILLAH


NPM : B1A019180
KELAS :D

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 91/PUU-XVIII/2020 Pengujian
Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Poin penting Sidang Putusan UU Cipta Kerja :


• UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional, namun dengan pertimbangan telah banyak
kebijakan turunan yang dibuat dan bahkan telah berlaku nya kebijakan ini maka MK
menyatakan UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstusional Bersyarat (dinyatakan bersyarat
karena MK harus menyeimbangkan proses pembentukan UU yang harus dipenuhi syarat
formil juga harus pertimbangkan tujuan pembentukan UU.
• Para pembentuk UU diberikan waktu paling lama dua tahun untuk perbaikan sesuai dengan
persyaratan tata cara pembentukan UU. UU CK harus patuh terhdap proses pembentukan
UU.
• Jika tidak dilakukan perbaikan maka dinyatakan Inkonstitusional Secara Permanen.
• Apabila dalam dua tahun tidak dapat menyelesai perbaikan maka UU atau pasal atau materi
muatan yang telah dicabut oleh UU CK kembali berlaku.
• Putusan MK juga menangguhkan segala tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas, termasuk tidak boleh menerbitkan PP baru yang berkaitan dengan UUCK
selama proses perbaikan.
• MK juga memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku unutk menjadi
pedoman didalam pembentukan undang-undang dengan metode omnibuslaw yang
mempunyai sifat kekhususan.

Analisis :

1. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi Menyatakan pembentukan


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu
2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;

Saya memandang hal inimerupakan upaya mencari jalan tengah terhadap polemik
yang ada di satu sisi Mahkamah Konstitusi mencoba memberikan kesempatan bagi
DPR Bersama-sama presiden untuk memperbaiki UU CK ini, disisi lain hal ini
memberikan angin segar bagi para pihak yang memperjuangkan hak
konstitusionalnya dalam penolakan terhadap pemberlakuan UU CK ini.
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan
perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah
ditentukan dalam putusan ini; Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka UU Cipta
Kerja menjadi inkonstitusional permanen. MK menegaskan bahwa apabila dalam
tenggang waktu dua tahun Presiden dan DPR RI tidak dapat menyelesaikan
perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi
muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja
dinyatakan berlaku kembali.
3. Dapat dilihat bahwa jika kita korelasikan dengan poin putusan sebelumnya yang
menyatakan UU CK Inkonstitusional Bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
namun pada poin ini UU CK tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan,
artinya Mahkamah Konstitusi telah membiarkan berlakunya sebuah Undang-Undang
yang bertentangan dengan Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun
1945. Hal ini merupakan hal yang fatal dimana selama janga waktu 2 tahun untuk
perbaikan, terdapat potensi hak konstitusional yang dirugikan dan Lembaga yang
seharusnya menindak hal tersebut malah membiarkan, hal ini tertntu menciderai
penegakan hukum di Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan
hukum lainnya, di antaranya kebutuhan pembentukan peraturan turunan UU Cipta.
Dengan tidak diperkenankannya penerbitan peraturan pelaksana, maka ketentuan-
ketentuan dalam UU Cipta Kerja tersebut menjadi tidak berfungsi, meskipun di sisi
lain MK menyatakan undang-undang tersebut masih berlaku

4. Bahwa dapat diketahui secara umum isu hukum yang dipermasalahkan pemohon
antara lain :
a. Format susunan peraturan dari UU CK yang menggunakan Teknik
omnibuslaw
b. Pembentukan UU CK bertentangan dengan asas pembentukan peraturan
perundang undangan
c. Adanya perubahan terhadap materi muatan pasca persetujuan Bersama DPR
dan presiden. Ada banyak kesalahan pengutipan. Selain itu, peraturan turunan,
peraturan pemerintah justru mengatur norma yang tidak diatur dalam Undang-
Undang Cipta Kerja atau UUCK. Bahkan semakin kacau dengan peraturan
menteri yang memberikan pengaturan yang berbeda dengan peraturan
pemerintah. 
5. Mahkamah juga menemukan perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara
substansial. Mereka mencontohkan halaman 151-152 RUU Cipta Kerja hasil
pengesahan antara DPR dengan pemerintah yang membahas tentang perubahan
Pasal 46 pada UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Akan
tetapi, Pasal 46 tidak termuat dalam UU No. 11 tahun 2020 di halaman 227-228.
Selain itu, ada juga perubahan substansi di halaman 388 RUU Ciptaker yang
disetujui DPR dan presiden mengubah UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Aturan tersebut mengubah ketentuan Pasal 7 ayat 8 yang semula berbunyi
“Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan
usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.” Namun pada halaman 610
UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah
menjadi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e
merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.” Perubahan tersebut menghilangkan
kata “menengah.” Mahkamah juga menemukan kesalahan pengutipan dalam rujukan
pasal yakni Pasal 6 UU 11/2020 yang mengacu pada Pasal 5 ayat 1 huruf a,
sementara muatan materi Pasal 5 mengarah ke Pasal 4. Berdasarkan dari temuan
tersebut, Mahkamah menyatakan ada cacat formil yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 5 UU 12/2011.
6. Mahkamah Konstitusi tidak memberikan penjelasan perubahan seperti apa yang
harus dilakukan oleh pembentuk Undang-undang (Presiden dan DPR), apakah
perubahan harus dilakukan pada bagian-bagian tertentu atau mengubah secara
keseluruhan serta apakah yang harus diubah adalah proses diskusi, sosialisasi
maupun pengenalan substansi lebih gencar dilakukan pembentuk Undang-undang
kepada pemangku kepentingan substansi saja atau, mengingat bahwa putusan ini
merupakan putusan Uji Formil.
7. Mahkamah Konstitusi menyatakan untuk menangguhkan penerbitan peraturan
pelaksana baru mengenai UU Cipta Kerja. Namun tidak memberikan keterangan
apakah peraturan pelaksana yang telah diterbitkan seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta
Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi
Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral dan peraturan
lain yang telah dibentuk masih tetap berlaku atau ditangguhkan pula
keberlakuannya, hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum atas Peraturan
Pelaksana yang telah diterbitkan.
8. Putusan MK memutus sebelas perkara sehubungan dengan permohonan uji
materi UU Cipta Kerja. Menarik untuk diperhatikan bahwa sehubungan dengan
sepuluh perkara lainnya, MK menyatakan bahwa permohonan telah kehilangan
objek pengujian dikarenakan dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK telah
menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
9. Oleh karenanya, MK menyatakan bahwa uji formil maupun uji materiil dalam
permohonan selain daripada permohonan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan
tidak dapat diterima. Amar putusan MK tersebut sudah barang tentu menimbulkan
permasalahan hukum tersediri karena MK melakukan inkonsistensi dalam
putusannya. Di satu sisi MK menyatakan bahwa seluruh UU Cipta Kerja masih
berlaku hingga Presiden dan DPR RI melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja
dengan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Hal tersebut
berarti bahwa dalam jangka waktu tersebut seluruh materi muatan UU Cipta Kerja
masih mengikat dan berlaku bagi seluruh masyarakat.
10. Namun di sisi lain, MK tidak konsisten karena dalam kesepuluh putusan lainnya
MK menyatakan seluruh uji formil maupun uji materiil yang diajukan terhadap UU
Cipta Kerja tidak dapat diterima dengan dasar permohon telah kehilangan objek
sengketa atau dapat diartikan bahwa UU Cipta Kerja sudah tidak berlaku. Putusan
MK tersebut dengan kata lain menghalangi penggunaan hak konstitusi warga negara
untuk melakukan pengujian terhadap materi muatan UU Cipta Kerja, setidak-
tidaknya hingga Presiden dan DPR melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja
atau paling lama dua tahun sejak putusan MK dibacakan.
11. Mahkamah Konstitusi menyatakan untuk mengangguhkan segala
tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas mengenai UU Cipta
Kerja. Namun terdapat ketidakjelasan tindakan/kebijakan seperti apa yang bersifat
strategis dan berdampak luas, ketidakjelasan ini dapat menjadi salah satu alasan dan
celah dari pembentuk undang-undang untuk tetap melaksanakan tindakan maupun
kebijakan mengenai UU Cipta Kerja.
12. Di dalam pertimbangannya, MK hanya menyatakan memberi kesempatan
kepada pembentuk undang-undang untuk mengkaji kembali substansi yang menjadi
keberatan dari masyarakat. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan perubahan
terhadap ketentuan peraturan pelaksana yang telah berlaku sebelumnya. Kedua,
terdapat ambiguitas dalam amar putusan yang menyatakan untuk menangguhkan
segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
13. Putusan MK yang memerintahkan penangguhan segala tindakan/kebijakan yang
bersifat strategis dan berdampak luas sudah barang tentu bukan merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal itu kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara dan/atau Pengadilan Negeri. Selain itu, perintah tersebut baru dapat
dilakukan dalam hal terdapat suatu gugatan yang diajukan terhadap pemerintah yang
kemudian oleh pengadilan dikabulkan untuk dilakukan penundaan sampai adanya
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Ketiga, inkonsistensi putusan MK
menghalangi penggunaan hak konstitusional warga negara yang bermaksud
mengajukan uji materiil terhadap materi muatan UU Cipta Kerja.
14. Terdapat empat hakim konsitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting
opinion) endapat berbeda pertama diajukan dua hakim, Arief Hidayat dan Anwar
Usman. Keduanya menyatakan tidak ada alasan untuk menolak penerapan
metode omnibus law meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut Arief Hidayat dan Anwar
Usman, penggunaan pembentukan undang-undang melalui metode omnibus
law boleh dilakukan tanpa memasukkannya terlebih dahulu ke dalam ketentuan UU
No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Baik Arief
Hidayat maupun Anwar Usman berpendapat, ada materi muatan dalam UU Ciptaker
yang perlu dikabulkan, terutama ihwal hukum ketenagakerjaan. "Hal ini berkaitan
erat dengan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to
fullfil) hak konstitusional buruh, yakni terkait dengan upah, pesangon, outsourcing,
dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)," kata hakim konstitusi.
15. Pendapat berbeda kedua diajukan oleh hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul
dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat bahwa sepanjang sejarah
berdirinya MK, belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait dengan metode apa
yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945. "Artinya, metode lain dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus,
dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala
dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan
sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum,"
kata hakim konsitusi.
16. Baik Manahan Sitompul maupun Daniel Yusmic mengatakan bahwa
pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan
partisipasi publik sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU No. 12/2011
Mahkamah menyatakan UU a quo adalah konstitusional karena UU No. 12/2011
sama sekali tidak mengatur metode omnibus walaupun dalam praktik pembentukan
undang-undang sudah digunakan. "Di sisi yang lain Mahkamah seharusnya tidak
menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara undang-undang yang satu
dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan egosektoral yang
berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya," ujar  hakim
konsitusi.

Anda mungkin juga menyukai