Dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2020, DPR
RI memaksa pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Ciptaker). Hasil rapat ini dibalas dengan reaksi negatif, seperti penolakan dari
berbagai kalangan mulai dari buruh, mahasiswa, hingga akademisi. Kritik
terhadap UU Ciptaker mencakup aspek lingkungan, kepentingan pekerja, hingga
prosedur pembentukan (Richard, 2020). Pada realitasnya, UU Ciptaker cenderung
mengakomodasi kepentingan perusahaan daripada masyarakat. Substansi
pasal-pasal problematik pada UU Ciptaker memudahkan perusahaan untuk
melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam serta merepresi hak-hak
pekerja. Proses pembentukan UU Ciptaker jauh dari kata transparan dan
partisipatif. Beberapa kelompok masyarakat yang terdampak langsung oleh UU
Ciptaker, seperti buruh, cenderung diabaikan dan tidak terlalu didengarkan dalam
proses pembentukan UU ini. Meskipun menuai banyak protes, seperti angin lewat,
peraturan ini akhirnya tetap diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko
Widodo pada tanggal 2 November 2020.
Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa “tidak
terlalu lama” dan makin menipisnya kepastian waktu kerja bagi buruh (faktor dari
kurangnya transparansi). Demikian juga perpanjangan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Kerja
Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) misalnya, menyatakan dengan pengaturan ini
buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek/tanpa periode/secara terus menerus/tanpa
batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan
tetap.
Persoalan perjanjian kerja paruh waktu (PKWT) diatur dalam Perpu Cipta
Karya pada pasal 59 atau 1. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa PKWT hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Dalam UU
sebagai berikut:
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan,
jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Daya Perppu Ciptaker tak mengenal batasan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan
outsourcing. Didalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur batasan jenis kegiatan
yang dapat dikerjakan oleh buruh outsourcing. Pasalnya, tidak ada ketentuan baku
bidang apa saja yang boleh menggunakan tenaga outsourcing. Akibatnya, semua jenis
pekerjaan outsourcing diperbolehkan. Namun begitu, Perpu menjelaskan bahwa
aturan lebih jauh mengenai tenaga alih daya ini akan diatur dalam peraturan
pemerintah (PP). Dalam aturan lama, outsourcing tidak boleh melaksanakan kegiatan
pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi, buruh
(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang
pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib
membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
ketentuan sebagai berikut:
● masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
● masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
● masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
● masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
● masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,
5(lima) bulan upah;
● masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
● masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah;
● masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
● masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
● masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2
(dua) bulan upah;
● masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
● masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
● masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
● masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
● masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua
puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
● masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
● masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah
Ada variabel baru dalam penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP). Variabel itu
adalah indeks tertentu. Meski begitu, Perppu tersebut tak menjelaskan apa yang
dimaksud sebagai indeks tertentu itu. Hingga tidak ada kejelasan yang pasti didalam
Perpu Ciptaker ini. Sedangkan, dalam UU Ketenagakerjaan, variabel tersebut tidak
ada. Selama ini, UMP hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Tentang ini terdapat dalam pasal 88D Perppu Ciptaker;
Pasal 88D
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2)
dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum.
(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan Upah minimum diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
● Pasal 79 dan Pasal 84 Cuti Panjang Tidak Lagi Wajib UU Cipta Kerja
Pemberian cuti panjang tidak lagi menjadi hal yang wajib bagi perusahaan,
melainkan berbentuk opsional. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 79 UU Cipta
Kerja dan Perppu Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa cuti dan waktu istirahat yang
wajib diberikan oleh perusahaan hanya cuti tahunan, istirahat antar jam kerja, dan
libur mingguan. Selain itu, istirahat panjang hanya akan menjadi pilihan bagi
perusahaan.
● Pasal 59 Ayat (4) Kontrak Seumur Hidup dan Pasal 79 Ayat (2) huruf (b)
Pemotongan Waktu Istirahat UU Cipta Kerja
Pasal ini berpotensi membuat pekerja menjadi pegawai kontrak tanpa ada
batas waktunya sebab aturan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja diatur oleh
peraturan pemerintah. Waktu kerja menjadi tereksploitasi terhadap pekerja karena
pada Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan
selama satu hari dan enam hari bekerja dalam sepekan, sedangkan di dalam UU
Ketenagakerjaan yang lama diatur hari libur sebanyak dua hari dalam satu pekan.
Sementara dalam perppu ciptaker yang mencabut UU Nomor 11 tahun 2020 tentang
cipta kerja, penjelasan soal cuti dimuat dalam pasal 79. Namun, cuti haid dan
melahirkan bagi pekerja perempuan beserta upahnya selama mengambil dua cuti
tersebut tidak di jamin di dalam perppu ciptaker
Bunyi pasal 79
Pasal 79 ayat (3) perppu ciptaker, “cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b yang wajib di berikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit
12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12
(dua belas) bulan secara terus menerus”.
Dan jika pasal yang ada dalam UU eksisting ini, sepanjang tidak dan dihapus
oleh Perppu Ciptaker, maka tetap berlaku.
1. Bank Tanah
Bank tanah tetap memberikan hak pengelolaan bagi tanah yang akan dikelola Pada
UndangUndang Cipta Kerja terdapat ayat (3) berganti frasa yang asalnya pemberian
jangka waktu atas hak pengelolaan semula 90 tahun menjadi dapat diberikan
perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan
dengan tujuan pemberian haknya. Walaupun ketentuan jangka waktu hak pengelolaan
90 tahun dihapuskan namun tetap saja beberapa luas klaim tanah negara di hak
pengelolaan untuk dikelola bank tanah. Selain menyimpang Reforma Agraria,
kehadiran Bank Tanah justru mempermudah praktik perampasan lahan.
2. Hak Pengelolaan
Dalam hal substansi, hak pengelolaan sama dengan UU Cipta Kerja tanpa ada
perubahan. Sejatinya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 tidak mengenal Hak
Pengelolaan. Munculnya Hak Pengelolaan menjadikan kondisi penguasaan tanah akan
semakin kacau karena kontra terhadap wujud hak menguasai dari negara. Bahwa Hak
menguasai negara mengacu kepada Pasal 33 Ayat 3, dan bukan berarti Negara
memiliki tanah. Pada putusan MK No.001- 021-022/PUU-1/2003 bahwa HMN berarti
kebijakan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Hal ini
mengembalikan kepada konsep domein verklaring pada rezim Agrarische Wet masa
kolonial yang secara tegas sudah dihapus dalam UUPA 1960.
Pasal 143 sampai Pasal 145 WNA dan badan hukum asing dapat memiliki sarusun
yang berdiri diatas tanah HGB, jelas melanggar konsepsi terkait tentang rumah susun
dan melanggar asas pemisahan horizontal prinsip UUPA tentang kepemilikan hak atas
tanah bagi WNA. jika mengacu kepada UndangUndang Pokok Agraria, hanya Warga
Negara Indonesia saja yang memiliki hak atas tanah. Warga Negara Asing diberikan
hak milik atas satuan rumah susun. Namun Undang�Undang Rusun menyatakan
bahwa kepemilikan Warga Negara Asing atas satuan rumah susun tetap merujuk
kepada pada ketentuan hak-hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria
sehingga warga negara asing hanya diperbolehkanmemiliki hak pakai. Dengan begitu,
sesungguhnya hak milik rumah susun adalah bentuk lain hak pakai.
Pasal 147 baik UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja menyatakan bahwa
“tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan
hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang
berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik” Transformasi dokumen mengenai
pertanahan menjadi berbentuk elektronik tentunya bisa menjadi masalah mengingat
pendokumentasian administrasi pertanahan saja masih tidak transparan apalagi
kewenangan ini akan ditarik kepada pemerintah pusat.
Tak hanya mengancam dan merampas hak-hak pekerja, Perppu Ciptaker pun
mengandung sejumlah pasal yang berpotensi membahayakan lingkungan dan
masyarakat adat. Salah satunya Pasal 25 yang memangkas partisipasi masyarakat
dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan hanya
melibatkan masyarakat yang terdampak langsung, mengeksklusikan elemen lain yang
berkepentingan seperti pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh dalam
segala keputusan AMDAL. Hal ini berpotensi mengabaikan dampak jangka panjang
bagi lingkungan dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan AMDAL. Selain
itu, terdapat pula Pasal 162 yang menetapkan sanksi pidana atau denda bagi setiap
orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, di mana pasal
ini dikhawatirkan menjadi alat kriminalisasi bagi masyarakat atau aktivis yang
menolak tambang. Tidak berhenti sampai di sana, Perppu Ciptaker juga masih
mempertahankan pasal ‘pemutihan’ terhadap pelanggaran izin usaha dalam Pasal
110A dan 110B, menghapus ketentuan kecukupan 30 persen luas kawasan hutan,
hingga pemberian royalti 0 persen bagi perusahaan yang melakukan pengembangan
atau pemanfaatan batu bara melalui Pasal 128A.
Kesimpulan
Tuntutan
1. Menuntut dan mendesak presiden dan dpr untuk mencabut pengesahan perpu cipta
kerja
2. Menuntut dan mendesak pemerintah dan dpr untk mengkaji ulang uu cipta kerja
secara terbuka serta melibatkan seluruh elemen masyarakat
3. Menuntut dan mendesak presiden dan dpr merevisi dan mengkaji kembali
pasal-pasal yang bermasalah