Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN HASIL AKHIR

BEM SELURUH INDONESIA

PENGESAHAN PERPPU CIPTA KERJA: PENGKHIANATAAN PRESIDEN DAN


DPR KEPADA KONSTITUSI DAN RAKYAT

1.1 LATAR BELAKANG

Persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak ada habisnya baik dari segi


investasi, perlindungan pekerja hingga permasalahan upah dan tunjangan yang
diberikan oleh perusahan ke pekerja dan banyak lainnya. Untuk menghadapi
permasalahan ketanagakerjaan tersebut pemerintah berkeinginan untuk
menerbitkan omnibus law yang menggabungkan beberapa perturan
perundangundangan untuk merampingkan regulasi sehingga tidak tumpang tindih
dalam pengaturannya. Pemerintah berharap dengan menerbitkan perturan
perundangundangan tersebut dapat mengatasi persoalan yang selama ini
menghambat investasi dan mampu mendorong kesejahteraan buruh.

Undang-Undang Cipta Kerja merupakan bagian dari dinamika regulasi dan


Parlemen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang lazim. Hingga saat ini, UU
Cipta Kerja masih menjadi perbincangan dan diskursus yang hangat di berbagai
kalangan dengan analisis sosial, hukum, dan lain-lain. Dalam penulisan ini,
penulis mengkaji dan menganalisis hubungan UU Cipta Kerja dengan hak-hak
karyawan ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Pembentukan hukum yang
baik dan dapat diterima oleh karyawan dan Pentingnya proses pembangunan harus
diperhatikan, karena itu diperlukan usaha untuk membina, mengarahkan, dan
melindungi tenaga kerja agar tercipta kesejahteraan yang terkait dengan kegiatan
yang dilakukan. Pada dasarnya, perlindungan bagi tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjaga agar mereka menjadi lebih manusiawi. Perusahaan juga sangat
dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia dan
mengurangi pengangguran.

Dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2020, DPR
RI memaksa pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Ciptaker). Hasil rapat ini dibalas dengan reaksi negatif, seperti penolakan dari
berbagai kalangan mulai dari buruh, mahasiswa, hingga akademisi. Kritik
terhadap UU Ciptaker mencakup aspek lingkungan, kepentingan pekerja, hingga
prosedur pembentukan (Richard, 2020). Pada realitasnya, UU Ciptaker cenderung
mengakomodasi kepentingan perusahaan daripada masyarakat. Substansi
pasal-pasal problematik pada UU Ciptaker memudahkan perusahaan untuk
melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam serta merepresi hak-hak
pekerja. Proses pembentukan UU Ciptaker jauh dari kata transparan dan
partisipatif. Beberapa kelompok masyarakat yang terdampak langsung oleh UU
Ciptaker, seperti buruh, cenderung diabaikan dan tidak terlalu didengarkan dalam
proses pembentukan UU ini. Meskipun menuai banyak protes, seperti angin lewat,
peraturan ini akhirnya tetap diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko
Widodo pada tanggal 2 November 2020.

Berbagai elemen masyarakat sipil tidak tinggal diam, permohonan judicial


review pun dilayangkan. Hasilnya, melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
yang berisi sembilan butir putusan yang dibacakan pada 25 Oktober 2021,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat
karena cacat formil dan prosedur di dalamnya. UU Ciptaker tidak dirumuskan
secara baik dengan prosedur maupun metode yang spesifik dan terstandar, atau
pendekatan yang sistematis berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU PPP) yang saat itu berlaku karena metode omnibus law
tidak diatur dalam aturan tersebut. UU Ciptaker juga tidak dibentuk dengan
menerapkan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik, termasuk
asas partisipasi yang bermakna. Selain itu, terdapat beberapa perubahan substansi
di berbagai bidang utama ketika RUU tersebut sudah disetujui DPR dan Presiden.
Namun, poin terpenting dari semua ialah bahwa Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa UU Ciptaker melanggar UUD NRI 1945 serta tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diperbaiki dalam waktu dua tahun
sejak putusan itu diumumkan. Dengan kata lain, UU Ciptaker harus direvisi dalam
waktu dua tahun, atau akan dinyatakan inkonstitusional permanen.

Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut diabaikan, Pemerintah


justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Bukannya menyelesaikan masalah dengan
menunggu dan membersamai DPR melaksanakan putusan tersebut, Pemerintah
justru mengambil jalan pintas dan semakin mengingkari amanat MK. Nahas,
Pemerintah justru mengaku bahwa produk hukum ini merupakan bentuk
penyempurnaan UU Ciptaker melalui mekanisme partisipasi publik (Kemenkeu,
2023). Padahal, dengan berbagai jenis penolakan dan minimnya urgensi
penerbitan, produk hukum ini justru semakin jauh dari partisipasi bermakna
karena dibentuk langsung oleh pemerintah. Dari segala sisi, Perppu
Undang-Undang Cipta Kerja hanya akan menjadi produk hukum yang
mengejawantahkan ambisi elite oligarki semata tanpa mengindahkan
kesejahteraan masyarakat di Indonesia.

1.2 KENAPA PERPU CIPTAKER HARUS DIHAPUSKAN?

Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2022 menerbitkan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja dengan alasan adanya
kegentingan yang memaksa, seperti dampak perang ukraina-rusia serta ancaman
inflansi dan berbagai alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal. Dalih
kekosongan hukum dianggap tak berdasar lantaran undang-undang lain di luar cipta
kerja tetap berlaku.Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat
dan memerintahkan perbaikan dalam aspek prosedur penyusunan yang disebut minim
partisipasi publik. UU Ciptaker dinilai cacat formil karena tidak menggunakan
metode pembentukan yang pasti, baku, dan standar. MK pun dalam putusannya
memerintahkan perbaikan UU Ciptaker dengan memberi batasan waktu selama dua
tahun. Jika pemerintah tidak memperbaiki maka uu cipta kerja dinyatakan
inkostitusional. Namun, pada 30 Desember 2022 pemerintah malah mengeluarkan
Perpu yang sama sekali tidak memperbaiki, baik dari sisi proses maupun substansi.
Banyaknya produk hukum yang mengalami cacat formil, yang tidak memenuhi
kualifikasi standar pembentukan hukum yang diatur dalam dalam UU No. 15 Tahun
2019 tentang perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam pembuatan UU Cipta Kerja pemerintah mengabaikan
asas keterbekukaan dan partisipasi yang bermakna sebagai salah satu unsur utama
dalam pembuastan peraturan perundang-undangan padahal suatu undang-undang yang
dibuat oleh Presiden dan DPR akan berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, partisipasi yang luas dan menampung aspirasi masyarakat sangat
diperlukan dalam pembuatan undang�undang. Namun, partispasi masyarakat
lagi-lagi diabaikan oleh pemerintah dengan penerbitan Perpu No 2 Tahun 2022.

MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil, namun MK memandang bahwa


pembuatan UU dengan metode Omnibus tetap diperlukan. Alasannya adalah untuk
mengatasi obesitas regulasi dan tumpang tindih aturan dari berbagai sektor. Oleh
karena itu, MK kemudian memerintahkan membuat landasan hukum yang dapat
mengakomodasi pembuatan UU dengan metode omnibus. Perintah itu direspons oleh
pemerintah dengan merevisi UU No. 12 Tahun 2012 yang kemudian menjadi UU No.
13 tahun 2022. Dengan adanya dasar hukum ini, diharapkan dapat menjadi landasan
hukum yang kuat dan susuai mengakomodasi pembutan undang�undang dengan
metode omnibus. Selain itu, MK juga memberikan kesempatan maksimal dua tahun
kepada pembuat undang-undang untuk dapat merevisi UU Cipta Kerja yang sesuai
denga asas dan tata cara pembutan undang-undang sesuai dengan UU No. 13 Tahun
2022. Alih-alih merevisi uu cipta kerja, Presiden justru menerbitkan perpu No. 2
Tahun 2022 sebagai jalan pintas menggantikan UU Cipta Kerja yang telah
dibatalkan.Dalam amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah
Konstitusi menyatakan Undang-undang no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih
tetap berlaku sapai dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu
dua tahun. Sehingga, masih ada waktu untuk melakukan revisi UU Cipta Kerja bukan
malah dengan mengeluarkan Perpu Cipta Kerja. Padahal, waktu dua tahun dianggap
cukup untuk proses legislasi secara normal. Apalagi DPR dan Presiden beberapa kali
membahas dan membuat UU dalam tempo yang cukup cepat. Namun, presiden malah
mengambil jalan pintas dengan menerbitkan perpu tersebut. Dengan demikian
semakin banyaknya produk hukum yang gagal maka dari itu seharusnya agenda
reformasi hukum harus dikawal, mengingat banyaknya produk hukum yang tidak
prorakyat namun malah memetingkan kepentingan para elite oligarki.serta
parameter-parameter tersebut tidak secara jelas diatur dalam aturan di Indonesia
terkait kegentingan memaksa. Sedang kan Perppu ini tidak melewati masukan dari
masyarakat atau public hearing. Perppu ini dalam perjalanannya langsung dirilis
begitu saja oleh pemerintah.yang mana bisa menjadikam upah minimum bisa berubah
kapan saja dan dimana saja tergantung kondisi dan posisi nya antek antek oligarki.

Meski Mahkamah Konstitusi memberikan panduan terkait


parameter-parameter yang dapat dianggap sebagai kegentingan memaksa dalam
Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan petunjuk bagi presiden
mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam keadaan darurat yang
memaksa, yakni :

1. Pertama, harus ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum sesuai dengan undang-undang.
2. Kedua, ada kekosongan hukum karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya, atau undang-undang yang ada tidak memadai.
3. Ketiga, proses pembuatan undang-undang dengan prosedur biasa
memerlukan waktu yang lama, sedangkan situasi darurat memerlukan tindakan cepat
untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut.

Melihat beberapa kriteria tersebut, pemerintah bertindak secara nyata


bahwasannya melakukan pembangkangan terhadap kriteria yang telah ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi, dimana dalam amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020,
MK Menyatakan UU 11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan
perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun. Perppu Cipta Kerja
masih berlaku hingga dilakukan perbaikan sampai November 2023. Hal tersebut
menunjukkan bukti keterangan waktu bahwa pemerintah melalui penerbitan Perppu
Cipta Kerja melakukan pembangkangan kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun
Mahkamah Konstitusi telah memberikan panduan, tetapi penerbitan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ini masih berpotensi menimbulkan
masalah karena dinilai bukan kegentingan yang memaksa namun justru memaksakan
kegentingan.Melalui langkah Pemerintah yang terlihat sangat mendesak pengesahan
Cipta Kerja membuat banyak sekali pihak yang semakin bertanya - tanya
bahwasannya apakah Cipta Kerja ini memang ditujukkan untuk rakyat atau bahkan
hanya untuk kepentingan korporat ?. Problematika yang semakin terkumpul hingga
menjadikan Cipta Kerja sebetulnya tidak memiliki legitimasi publik untuk dinilai
sebagai langkah konkret pemerintah dalam membenahi Negara Indonesia. Perppu
Cipta Kerja dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran konstitusi. Oleh karena itu,
DPR seharusnya membahas perppu tersebut secara terbuka pada masa sidang
berikutnya. Meskipun DPR memiliki wewenang untuk menerima atau menolak
perppu yang diajukan oleh pemerintah, namun demikian, dengan komposisi partai
pendukung pemerintah yang dominan, kemungkinan besar Perppu akan disetujui oleh
parlemen. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pembahasan Perppu di
DPR dilakukan secara transparan dan adil. Selain itu, pemerintah harus memberikan
penjelasan yang jelas dan terperinci kepada publik mengenai alasan-alasan yang
mendasari penerbitan Perppu Cipta Kerja, khususnya dalam hal keadaan genting yang
memaksa.

1.3 Pasal-pasal kontroversi dalam perpu ciptakerja

● Pasal 81 Angka 15 Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja


Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja
yang berbunyi bahwa “Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama”. Penggunaan frasa “tidak terlalu lama” ini mengubah
ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang sebelumnya “tiga tahun” sebagai salah
satu kriteria.

Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa “tidak
terlalu lama” dan makin menipisnya kepastian waktu kerja bagi buruh (faktor dari
kurangnya transparansi). Demikian juga perpanjangan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Kerja
Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) misalnya, menyatakan dengan pengaturan ini
buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek/tanpa periode/secara terus menerus/tanpa
batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan
tetap.

Persoalan perjanjian kerja paruh waktu (PKWT) diatur dalam Perpu Cipta
Karya pada pasal 59 atau 1. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa PKWT hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Dalam UU

Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maksimal hanya


boleh 2 tahun. Namun dalam Perppu Ciptaker, klausul tersebut dihapus. Perppu
Ciptaker justru menyebut bahwa lama kontrak akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 81 Perppu Ciptaker;

Ketentuan Pasal 59 (UU Ketenagakerjaan) diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan,
jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

● Tak Ada Batasan Jenis Pekerjaan Outsourcing/Alih

Daya Perppu Ciptaker tak mengenal batasan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan
outsourcing. Didalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur batasan jenis kegiatan
yang dapat dikerjakan oleh buruh outsourcing. Pasalnya, tidak ada ketentuan baku
bidang apa saja yang boleh menggunakan tenaga outsourcing. Akibatnya, semua jenis
pekerjaan outsourcing diperbolehkan. Namun begitu, Perpu menjelaskan bahwa
aturan lebih jauh mengenai tenaga alih daya ini akan diatur dalam peraturan
pemerintah (PP). Dalam aturan lama, outsourcing tidak boleh melaksanakan kegiatan
pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi, buruh

outsourcing hanya mengerjakan kegiatan penunjang atau tidak berhubungan


langsung dengan proses produksi. Dapat dilihat dipasal 64 Perppu Ciptaker;Pasal 64
Perppu Ciptaker

(1) Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada


Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

(2) Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

● Pasal 81 Angka 42 Ketenagakerjaan, Pasal 154A Pemutus Hubungan Pekerjaan


(PHK), Pasal 172 Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu contohnya, yakni ketika
mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal
154A mengenai alasan pemutusan hubungan kerja. Alasannya, yakni pekerja/buruh
yang mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan, maka buruh akan
mendapatkan ancaman untuk di phk. Pada pasal 172 UU Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena
sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Akan tetapi, ketentuan ini justru dihapus
melalui UU Cipta Kerja sehingga buruh tidak mendapatkan pesangon tersebut.

● Pasal 64 Tenaga Alih Daya UU Cipta Kerja


dalam pasal 64 UU Cipta Kerja pemerintah memunculkan kembali Pasal 64
tentang alih daya (outsourcing), yang sebelumnya dihapus di UU Cipta Kerja, tidak
memberikan kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha. Kehadiran Pasal 64 ini tidak
memuat kepastian penggunaan pekerja alih daya yaitu hanya untuk pekerjaan yang
bersifat penunjang pelaksanaan pekerjaan alih daya, yang ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP).
“Diamanatkannya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan di tingkat PP akan
membuka ruang bebas kepada Pemerintah mengatur dan merevisinya sehingga
menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha,” .
Seharusnya Perpu Cipta Kerja menyatakan secara tegas bahwa pekerjaan yang
bisa dialihdayakan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang dimuat
dalam UU No. 13 Tahun 2003. Bila ketentuan ini dimuat di tingkat UU maka akan
sulit untuk diubah, dan ini akan memberikan kepastian kepada pekerja dan pengusaha.
“Terbitnya Pasal 64 di Perpu no. 2 menambah banyak pasal di UU No. 13
Tahun 2003 yang diturunkan ke tingkat PP. Sebagai contoh, Pasal tentang kompensasi
PHK yang sebelumnya ada di UU No. 13 Tahun 2003, saat ini diatur di PP no. 35
Tahun 2021 yang isinya lebih rendah,” .

● Pesangon Berpotensi lebih kecil

Perppu Ciptaker menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan. Ketiadaan beleid


ini membuat hilangnya kesempatan pekerja mendapatkan pesangon dua kali lipat dari
ketentuan apabila perusahaan tidak melakukan PHK bukan karena efisiensi. Sehingga
membuat keresahan untuk para pekerja jika hilangnya kesempatan tersebut. Jika
dikembalikan dalam konteks substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hal-hal yang menyangkut efisiensi atau kondisi ekonomi
bukan merupakan larangan atau alasan pemutusan hubungan kerja. Jenis larangan
pemutusan hubungan kerja ini hanyalah karena alasan kesehatan, kewajiban sebagai
warga negara, agama, ikatan perkawinan, produksi, kebebasan berserikat, ras, gender
dan politik. Dalam Perppu Ciptakernya dapat diihat dipasal 156;
Pasal 156 Perppu Ciptaker

(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang
pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
(1) Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib
membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
ketentuan sebagai berikut:
● masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
● masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
● masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
● masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
● masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,
5(lima) bulan upah;
● masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
● masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah;
● masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
● masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
● masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2
(dua) bulan upah;
● masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
● masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
● masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
● masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
● masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua
puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
● masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
● masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah

● Ada Variabel Tambahan dalam UMP

Ada variabel baru dalam penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP). Variabel itu
adalah indeks tertentu. Meski begitu, Perppu tersebut tak menjelaskan apa yang
dimaksud sebagai indeks tertentu itu. Hingga tidak ada kejelasan yang pasti didalam
Perpu Ciptaker ini. Sedangkan, dalam UU Ketenagakerjaan, variabel tersebut tidak
ada. Selama ini, UMP hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Tentang ini terdapat dalam pasal 88D Perppu Ciptaker;

Pasal 88D
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2)
dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum.
(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan Upah minimum diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

● Buruh Kasar Tenaga Kerja Asing (TKA)


Dapat dilihat dalam Perppu Ciptaker terdapat keberadaan TKA. Serikat
buruh, misalnya, menyoroti perizinan TKA, terutama untuk yang unskilled worker
atau buruh kasar. Dalam Perppu tersebut, memang tak disebutkan soal larangan hal
tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 81 Perppu Ciptaker;

Pasal 81 Perppu Ciptaker


(4) Ketentuan Pasal 42 (UU Ketenagakerjaan) diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
1. Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib
memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh
Pemerintah Pusat.
2. Pemberi Kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi;
a. Direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau
pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang�undangan;
b. Pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing;
atau
c. Tenaga Kerja Asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis
kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi,
Perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan
penelitian untuk jangka waktu tertentu.

● Pasal 79 dan Pasal 84 Cuti Panjang Tidak Lagi Wajib UU Cipta Kerja
Pemberian cuti panjang tidak lagi menjadi hal yang wajib bagi perusahaan,
melainkan berbentuk opsional. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 79 UU Cipta
Kerja dan Perppu Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa cuti dan waktu istirahat yang
wajib diberikan oleh perusahaan hanya cuti tahunan, istirahat antar jam kerja, dan
libur mingguan. Selain itu, istirahat panjang hanya akan menjadi pilihan bagi
perusahaan.

padahal pada Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga


kerjaan dalam pasal 79,pemerintah menjelaskan soal cuti panjang bagi pekerja yang
telah bekerja selama 6 tahun di perusaaan yang sama.Cuti panjang yang diatur
sebagaimana dimaksud adalah sekitar 2 bulan pada tahun ketujuh hingga tahun ke
delapan masing-masing 1 bulan tiap tahunnya. UU tersebut pun mengatur secara jelas
peraturan soal istirahat panjang yang dibuat dalam beberapa poin khusus.

● Pasal 88C, 88D, dan 88F Upah Minimum UU Cipta Kerja


Munculnya “indeks tertentu” pada Pasal 88D ayat 2 Perppu Cipta Kerja dinilai
semakin meyakinkan upah murah bagi para buruh. Upah minimum kota/kabupaten
sebagai dasar upah minimum pekerja dihapuskan juga turut dihapuskan pada Pasal
88C. Pasal ini dapat mengancam kesejahteraan para pekerja, terutama bagi mereka
yang bekerja di sektor informal dan tidak tergabung dalam serikat pekerja.

● Pasal 78 Waktu Kerja Lembur UU Cipta Kerja


Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pekerja hanya
dibolehkan menjalani lembur maksimal selama tiga jam per hari dan 14 jam
seminggu, sedangkan dalam pasal ini jam lembur diubah menjadi 4 jam sehari dan 18
jam seminggu. Pasal ini secara tidak langsung memaksa para pekerja untuk bekerja
lebih extra dengan ketidakpastian tarif upah dan minimnya hak-hak yang akan
didapatkan oleh para pekerja.

● Pasal 59 Ayat (4) Kontrak Seumur Hidup dan Pasal 79 Ayat (2) huruf (b)
Pemotongan Waktu Istirahat UU Cipta Kerja
Pasal ini berpotensi membuat pekerja menjadi pegawai kontrak tanpa ada
batas waktunya sebab aturan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja diatur oleh
peraturan pemerintah. Waktu kerja menjadi tereksploitasi terhadap pekerja karena
pada Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan
selama satu hari dan enam hari bekerja dalam sepekan, sedangkan di dalam UU
Ketenagakerjaan yang lama diatur hari libur sebanyak dua hari dalam satu pekan.

● Cuti haid dan melahirkan

Mengutip pasal 81 dan 82 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan


menyebutkan pekerja atau buruh perempuan berhak mendapatkan cuti haid dan
melahirkan. Namun, nihil penjelasan soal dua cuti tersebut di perppu ciptaker.

Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan “pekerja /buruh perempuan yang dalam


masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pegusaha, tidak wajib bekerja
pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”. Dan Pasal 82 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan, “pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5
( satu setengah ) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah )
bulan sesudah melahirkan anak dan perhitungan dokter kandungan atau bidan”

Sementara dalam perppu ciptaker yang mencabut UU Nomor 11 tahun 2020 tentang
cipta kerja, penjelasan soal cuti dimuat dalam pasal 79. Namun, cuti haid dan
melahirkan bagi pekerja perempuan beserta upahnya selama mengambil dua cuti
tersebut tidak di jamin di dalam perppu ciptaker

Bunyi pasal 79
Pasal 79 ayat (3) perppu ciptaker, “cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b yang wajib di berikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit
12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12
(dua belas) bulan secara terus menerus”.

Perppu ciptaker ini berarti mengubah,menghapus, dan menetapkan pengaturan


baru terhadap beberapa ketentuan yang di atur sebelumnya, termasuk UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Tidak hanya itu, 3 UU lainnya yang terdampak adalah UU Nomor 40 Tahun


2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Dan jika pasal yang ada dalam UU eksisting ini, sepanjang tidak dan dihapus
oleh Perppu Ciptaker, maka tetap berlaku.

● Pengadaan tanah kepentingan umum untuk investor


● Walaupun tertulis "reforma agraria" itu hanya kamuflase. Tujuan sesungguhnya
bukanlah untuk reforma agraria, tetapi untuk kepentinganpembangunan infrastruktur
dan kebutuhan pengembang. Hal ini akan semakin memicu konflik agraria. Beberapa
pasal bermasalah tersebut sebagaimana berikut:

1. Bank Tanah

Bank tanah tetap memberikan hak pengelolaan bagi tanah yang akan dikelola Pada
UndangUndang Cipta Kerja terdapat ayat (3) berganti frasa yang asalnya pemberian
jangka waktu atas hak pengelolaan semula 90 tahun menjadi dapat diberikan
perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan
dengan tujuan pemberian haknya. Walaupun ketentuan jangka waktu hak pengelolaan
90 tahun dihapuskan namun tetap saja beberapa luas klaim tanah negara di hak
pengelolaan untuk dikelola bank tanah. Selain menyimpang Reforma Agraria,
kehadiran Bank Tanah justru mempermudah praktik perampasan lahan.

2. Hak Pengelolaan

Dalam hal substansi, hak pengelolaan sama dengan UU Cipta Kerja tanpa ada
perubahan. Sejatinya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 tidak mengenal Hak
Pengelolaan. Munculnya Hak Pengelolaan menjadikan kondisi penguasaan tanah akan
semakin kacau karena kontra terhadap wujud hak menguasai dari negara. Bahwa Hak
menguasai negara mengacu kepada Pasal 33 Ayat 3, dan bukan berarti Negara
memiliki tanah. Pada putusan MK No.001- 021-022/PUU-1/2003 bahwa HMN berarti
kebijakan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Hal ini
mengembalikan kepada konsep domein verklaring pada rezim Agrarische Wet masa
kolonial yang secara tegas sudah dihapus dalam UUPA 1960.

3. Hak Milik Warga Negara Asing

Pasal 143 sampai Pasal 145 WNA dan badan hukum asing dapat memiliki sarusun
yang berdiri diatas tanah HGB, jelas melanggar konsepsi terkait tentang rumah susun
dan melanggar asas pemisahan horizontal prinsip UUPA tentang kepemilikan hak atas
tanah bagi WNA. jika mengacu kepada UndangUndang Pokok Agraria, hanya Warga
Negara Indonesia saja yang memiliki hak atas tanah. Warga Negara Asing diberikan
hak milik atas satuan rumah susun. Namun Undang�Undang Rusun menyatakan
bahwa kepemilikan Warga Negara Asing atas satuan rumah susun tetap merujuk
kepada pada ketentuan hak-hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria
sehingga warga negara asing hanya diperbolehkanmemiliki hak pakai. Dengan begitu,
sesungguhnya hak milik rumah susun adalah bentuk lain hak pakai.

4. Tanda Bukti Elektronik

Pasal 147 baik UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja menyatakan bahwa
“tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan
hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang
berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik” Transformasi dokumen mengenai
pertanahan menjadi berbentuk elektronik tentunya bisa menjadi masalah mengingat
pendokumentasian administrasi pertanahan saja masih tidak transparan apalagi
kewenangan ini akan ditarik kepada pemerintah pusat.

1.4 Jadi, Perppu Ciptaker untuk Siapa?

Adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) adalah tolok


ukur suatu produk hukum telah tersusun sempurna secara formil sehingga aspek
materiilnya juga memenuhi keadilan yang dikehendaki masyarakat. Sebagaimana
didefinisikan dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, meaningful participation
adalah: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk
dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan
atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Pembahasan Perppu Ciptaker yang
tergesa-gesa berimplikasi pada kegagalan memenuhi syarat dasar partisipasi, antara
lain tidak menghadirkan secara berimbang para pihak, seperti serikat pekerja atau
kelompok orang yang terdampak langsung yang mendukung ataupun keberatan. Akan
tetapi seperti yang kita ketahui bersama, nihilnya meaningful participation dalam
pembentukan Perppu Cipta Kerja tak cuma perihal ketiadaan ruang partisipasi akibat
proses legislasi kilat, melainkan juga bagaimana Perppu Ciptaker terus melaju bahkan
kini resmi diketuk palu, di tengah gelombang protes besar-besaran yang dilayangkan
berbagai elemen masyarakat.

Lebih lanjut, Perppu Ciptaker replika yang mereplikasi hampir seluruh


substansi dari UU Cipta Kerja mempertahankan berbagai pasal bermasalah yang
merugikan dan tak memihak kepada rakyat. Misalnya, mengenai perizinan berusaha,
Pasal 6 Perppu Ciptaker memungkinkan pengusaha untuk berinvestasi hanya dengan
Izin Usaha Berusaha (Izin Prinsip) atau izin lainnya secara elektronik dari pemerintah.
Tanpa adanya persyaratan yang jelas dan ketat, investasi yang dijalankan berpotensi
untuk dilakukan secara semena-mena dan mengganggu ketertiban umum. Lebih
lanjut, Pasal 79 Perppu ini juga menyebutkan cuti dan waktu istirahat yang wajib
diberikan pengusaha hanya cuti tahunan, istirahat antara jam kerja, dan libur
mingguan. Sementara itu, cuti istirahat panjang yang sebelumnya diwajibkan oleh UU
Ketenagakerjaan justru menjadi pilihan perusahaan menurut Perppu ini sehingga
memungkinkan berkurangnya jatah libur bagi para pekerja. Perppu Ciptaker juga
mengatur ketidakpastian upah minimum bagi pekerja. Pasal 88D mengatur klausul
“indeks tertentu” yang memuluskan upah murah bagi pekerja. Bahkan, pada Pasal
88F, disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat menetapkan
formula penghitungan upah minimum yang berbeda sehingga semakin mungkin untuk
merugikan para pekerja. Selain itu, dalam Perppu ini, tak ada batasan durasi yang
diatur mengenai kontrak kerja. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, disebutkan
bahwa kontrak cuma bisa diperpanjang dua tahun untuk selanjutnya diangkat sebagai
karyawan tetap. Hal ini, dapat berdampak pada kerentanan dan ketidakpastian
keamanan kerja bagi tenaga kerja, serta memberikan keleluasaan bagi pengusaha
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa alasan yang jelas
dan adil.

Tak hanya mengancam dan merampas hak-hak pekerja, Perppu Ciptaker pun
mengandung sejumlah pasal yang berpotensi membahayakan lingkungan dan
masyarakat adat. Salah satunya Pasal 25 yang memangkas partisipasi masyarakat
dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan hanya
melibatkan masyarakat yang terdampak langsung, mengeksklusikan elemen lain yang
berkepentingan seperti pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh dalam
segala keputusan AMDAL. Hal ini berpotensi mengabaikan dampak jangka panjang
bagi lingkungan dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan AMDAL. Selain
itu, terdapat pula Pasal 162 yang menetapkan sanksi pidana atau denda bagi setiap
orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, di mana pasal
ini dikhawatirkan menjadi alat kriminalisasi bagi masyarakat atau aktivis yang
menolak tambang. Tidak berhenti sampai di sana, Perppu Ciptaker juga masih
mempertahankan pasal ‘pemutihan’ terhadap pelanggaran izin usaha dalam Pasal
110A dan 110B, menghapus ketentuan kecukupan 30 persen luas kawasan hutan,
hingga pemberian royalti 0 persen bagi perusahaan yang melakukan pengembangan
atau pemanfaatan batu bara melalui Pasal 128A.
Kesimpulan

Pernyataan yang sertai dengan kualifikasi hukum yang mengarah kepada


PERPU NO 2 TAHUN 2022 yang berisikan tentang UU Cipta Kerja yang menjadi
pusat perhatian bagi kalangan ahli politik maupun ahli hukum tentang ke-urgensian
nya terhadap situasi yang terjadi saat ini belum memenuhi beberapa aspek. Antara
lain aspek kepentingan yang tergesa gesa. Terus tersahkan nya PERPU NO 2 TAHUN
2022 apakah ini bisa menjadi penyelamat kamu buruh atau bahkan boomerang untuk
mereka yang mementingkan kekayaan konglomerat. Partai dan perseorangan.
Isu yang telah terangkap denga ada nya keputusan yang sah secara tergesa
gesa penting bagi kaum pemerintah untuk mengkaji tentang dampak bagi masyarakat
tersebut dan pada aspek Pada klaster ketenagakerjaan, Perppu Cipta Kerja (Perppu
CK) hanya memuat perubahan minor dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK)
yang masih tetap merugikan tenaga kerja atau Pelanggaran pada asas ini dapat
menyebabkan munculnya jurang hukum atau legal gap. Selain tergesa-gesa, proses
penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja juga dinilai tidak partisipatif buruh.
Semangat dari Perppu Cipta Kerja sejalan dengan politik hukum perburuhan
neoliberal. Sudah selayak nya untuk ada kata penolakan atas tergesa gesa nya yang di
lakukan oleh beberapa oknum yang ingin menjadikan UU ini untuk mencapai
kekayaan dan memperbudak manusia dengan cara yang halus.

Tuntutan

1. Menuntut dan mendesak presiden dan dpr untuk mencabut pengesahan perpu cipta
kerja

2. Menuntut dan mendesak pemerintah dan dpr untk mengkaji ulang uu cipta kerja
secara terbuka serta melibatkan seluruh elemen masyarakat

3. Menuntut dan mendesak presiden dan dpr merevisi dan mengkaji kembali
pasal-pasal yang bermasalah

4. Menuntut dan mendesak indepensi presiden dan dpr agar mengutamakan


kesejahteraan rakyat
Daftar Pustaka

CNN Indonesia. (2020). “Jokowi Teken UU Ciptaker 1.187 Halaman, Nomor


11 Tahun 2020". CNN Indonesia. Tersedia pada
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201102230532-32-565122/jokowi-teken-u
u-ciptaker-1187-halaman-nomor-11-tahun-2020.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2023). “Baleg Setujui RUU


Penetapan Perppu Nomor 2/2022 tentang Ciptaker Dibawa ke Paripurna,” dpr.go.id,
15 Februari 2023. Tersedia pada
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/43315/t/Baleg+Setujui+RUU+Penetapan+Perpp
u+Nomor+2+Tahun+2022+tentang+Ciptaker+Dibawa+ke+Paripurna.

Hukumonline.com. (2022). “Arti Meaningful Participation dalam Penyusunan


Peraturan”. Hukumonline.com. Tersedia pada
https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-imeaningful-participation-i-dalam-penyus
unan-peraturan-lt62ceb46fa62c0.

Kementerian Hukum dan HAM RI. (2022). “Yasonna: Pemerintah Patuhi


Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja Demi Kepastian Hukum”. Kemenkunham RI.
Tersedia pada
https://bpsdm-dev.kemenkumham.go.id/berita-utama/yasonna-pemerintah-patuhi-putu
san-mk-tentang-uu-cipta-kerja-demi-kepastian-hukum.

Kementerian Keuangan RI. (2023). “Perppu Cipta Kerja Berikan Kepastian


Berusaha, Wamenkeu: Bantu Indonesia Hadapi Ancaman Resesi Dunia”.
Kemenkeu RI. Tersedia pada
https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Perppu-Cipta-K
erja-Berikan-Kepastian-Berusaha.

Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, Hakiimi Irawan


Bangkid Pamungkas, dkk. (Pemohon) (2020).

Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 138/PUU-VII/2009, Saor Siagian, dkk.


(Pemohon) (2009).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja, Perppu
Nomor 2 Tahun 2022. LN 2022 No. 238 TLN No. 6841.

Paddock, Richard C. (10 Oktober 2020). "Indonesia's Parliament Approves


Jobs Bill, Despite Labor and Environmental Fears" (dalam bahasa Inggris). New York
Times. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. (2022). “Perppu Ciptaker:
Praktik gal-Ugalan dan Pengabaian terhadap Partisipasi Publik yang Bermakna”.
Pshk.or.id. Tersedia pada
https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/perppu-ciptaker-praktik-ugal-ugalan-dan-peng
a baian-pemerintah-terhadap-partisipasi-publik-yang-bermakna/.

Anda mungkin juga menyukai