Lebih dari 1.000 orang yang terdiri dari kelompok mahasiswa dan buruh
menggelar unjuk rasa dan pawai di Jakarta, Selasa (20/10), menolak Undang-Undang
Cipta Kerja. Mereka menuntut agar pemerintah membatalkan Omnibus Law dan menerbitkan
peraturan pemerintah pengganti UU alias perpu. Unjuk rasa ini digelar bertepatan satu tahun
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Sebagian mereka menggelar demonstrasi di dekat patung kuda, tak jauh dari kawasan
Monas, Jakarta, dan pengunjuk rasa lainnya mengawalinya dengan menggelar pawai di Jalan
Salemba, Jakarta. BEM SI, menurutnya, menyayangkan reaksi pemerintah dalam menanggapi
tuntutan pengunjuk rasa yang digelar sejak pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu Dia
mencontohkan sikap pemerintah dan DPR yang meminta masyarakat agar mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi. "Pemerintah justru menantang masyarakat untuk melakukan
judicial review terhadap UU Cipta Kerja, padahal mereka bisa melakukan tindakan untuk
mencabut undang-undang tersebut," katanya.
Pertanyaan :
1. Apakah sikap yang diberikan oleh DPR sudah tepat terhadap buruh dan
mahasiswa?
Menurut kelompok kami sikap yang diberikan DPR tidak tepat terhadap buruh
dan mahasiswa. Karena menurut kami dalam penyusunan UU Cipta Kerja sendiri
dari awal sudah bermasalah. Di mana dalam proses pembahasan UU Cipta Kerja
tidak transparan sehingga mengundang polemik secara substantif, dan berpotensi
menimbulkan kegaduhan. Pada UU Cipta Kerja banyak merugikan pihak buruh
seperti upah, jam kerja dan durasi kontrak, di mana RUU Cipta kerja menghapus
Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan. Perubahan tersebut meniadakan kewajiban
bagi pengusaha untuk membayar pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar
upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. dan juga banyak hak-hak
perempuan juga dihapuskan bahkan ditiadakan. Tak hanya itu, dalam UU Cipta
Dalam proses pembahasan UU ini, DPR melakukan rapat di hotel mewah yang
tidak bisa diakses publik. Dalam hal dokumentasi juga demikian; banyak sekali
dokumen saat pembahasan tidak bisa diakses publik. Padahal, Pasal 88 dan Pasal
96 UU PPP menghendaki adanya partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses
pembahasan. Di tahap penyusunan, UU Cipta Kerja tidak melibatkan publik dan
penyusunannya didominasi oleh pengusaha yang tergabung dalam satuan tugas
UU Cipta Kerja.
Begitu juga ketika peralihan dari tahap penyusunan ke tahap pembahasan yang
dilakukan melalui penerbitan Surat Presiden (surpres) yang dikirim ke DPR. Surat
ini diduga mengalami cacat formil karena dikeluarkan dengan tidak layak.
Berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk
Demokrasi saat ini sedang menggugat keabsahan surpres itu di Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Jika PTUN Jakarta mengabulkan gugatan ini, tentu akan menambah bukti kuat
bahwa telah terjadi pelanggaran formil saat penyusunan dan pembahasan UU
Cipta Kerja dilakukan. Selain memeriksa apakah prosedur pembuatan UU Cipta
Kerja sesuai kaidah hukum, UU Cipta Kerja juga bisa diuji secara materil.
Pengujian materil adalah pengujian atas pasal, ayat, atau bagian dari UU Cipta
Kerja yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK dapat
membatalkan pasal, ayat, atau bagian undang-undang itu.
Bulan lalu, DPR dan presiden telah memberi “hadiah” pada MK revisi UU MK
berupa perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga usia 70 tahun.
Ini diduga kuat diberikan sebagai bentuk gratifikasi legislasi yang dilakukan DPR
bersama presiden kepada MK. Diduga, salah satu tujuan pemberian itu adalah
agar UU Cipta Kerja tidak dibatalkan oleh MK jika nanti dilakukan pengujian ke
MK. Sehingga bisa dikatakan pemerintah dan DPR “menyogok” MK untuk tidak
membatalakan UU Cipta Kerja, yang padahal peluang membatalkan UU Cipta
Kerja besar mengingat kesalahan dalam penyusunan UU Cipta Kerja banyak
melanggar aturan UU.
2. Jika tidak berikan langkah dan sikap yang seharusnya pemerintah dan DPR
ambil?
Menurut kami langkah dan sikap yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan
DPR yaitu :
1) Pada saat proses draft seharusnya melakukan konsultasi juga kepada
pihak-pihak yang terkait karena UU Cipta Kerja ini menyangkut 130 juta
angkatan kerja di Indonesia, sehingga semuanya akan berdampak.
Sehingga dalam penyusunan UU Cipta Kerja harus dilakukan secara
terbuka, tidak hanya melibatkan elite-elite politik dan pemerintahan saja.
2) Pemerintah dan DPR harus dapat menempatkan omnibus law sebagai
salah satu cara pembenahan regulasi, tidak semata-mata bertujuan tunggal
dalam rangka mempermudah investasi yang justru berpotensi
mengabaikan kepentingan masyarakat lebih luas.