Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah era kepemimpinan Presiden Ir. H. Joko Widodo sejak awal selalu
mengumandangkan untuk mempermudah berinvestasi, semangat ini bisa jadi bukankarena
unsur pihak lain melainkan pengalaman sebelum menjadi seorang presiden adalah seorang
pengusaha Meubel, yang dalam menjalankan usahanya mengalami kendala dalam prosedur
perijinan dan peraturan-peraturan lain yang menghambat dirinya dalam berusaha Kendala
peraturan dan perijinan dalam berinvestasi itulah akhirnya membuat Presiden Joko Widodo
melontarkan konsep Omnibus Law dalam peraturan perundang-undangan. Konsep ini
pertama kali disampaikan oleh presiden JokoWidodo dalam pidato pertamanya setelah
pelantikan dirinya sebagai presiden yang kedua kalinya periode 2019-2024.
Persoalan hukum tidak semata-mata dilihat dari kacamata hukum sajamelainkan juga
dari kacamata sosial atau yang biasa disebut dengan sosiologi hukum. Perlu diketahui juga
bahwa sosiologi hukum menjelaskan masalah hukum dari aspek-aspek sosial. Adanya isu
yang tengah memanas di Indonesia,Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja
kerap kali menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagaimana tidak, dari segi
perumusanya pun dinilai telah cacat karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga
muatan materi yang ada didalamnya juga cenderung pro pemerintah saja. Tidak
terkecualidengan persoalan upah. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
perihal upah termasuk dalam pasal 89 dimana dalam pasal ini mengenal sistemupah
minimum kabupaten. Sedangkan dalam RUU Omnibus Law justru meniadakanya dan
penentuan upah hanya berdasarkan UMP (Upah Minimum Provinsi).
Berkaca pada kondisi perekonomian masyarakat Indonesia yang mayoritasmasih
menengah kebawah dan cenderung miskin ketika dihadapkan dengan kebijakan seperti itu
tentu tidaklah ideal. Oleh karena Indonesia merupakan negara hukum dengan sistim civil law
yang menjadikan konstitusi sebagai hukum tertinggi maka posisi masyarakat sangatlah lemah
dalam hal ini. Kemudian banyaknya masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan juga
menjadi salahsatu faktor mengapa masyarakat terlihat legowo dengan adanya problematika
seperti ini. Maka dari itu diperlukan perspektif lain diluar daripada jalur hukumitu sendiri.
Dengan adanya analisis semacam ini diharapkan kedepanya mampu memberikan resolusi
yang sekiranya mampu memecah kerancuan kebijakan ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimana implikasi yang dihadapi masyarakat pekerja akibat munculnya pasal kontroversi
(Pasal 88C) dalam RUU Omnibus Law
2.Seperti apa tinjauan sosio yuridis dalam problematika tentang upah?
3.Bagaimana resolusi yang ditawarkan guna menangani persoalan upah diIndonesia?
1.3Tujuan
1.Mengetahui hubungan kausalitas yang dirasakan mayarakat oleh adanya pasal88C RUU
Omnibus Law
2.Menganalisis persoalan upah dari sisi Sosio Yuridis3.Memberikan resolusi yang tepat
3.Bagaimana UU Cipta Kerja Kluster Perpajakan dengan pendekatan Investasi dan
Kepatuhan Pajak serta Tax Ratio yang diharapkan.
BAB 2
PEMBAHASAN
Selain itu bisa juga diketahui bahwa tujuan dimunculkan ide atau gagasan Omnibus Law
adalah:
(1) untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien
(2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baikditinkat pusat maupun daerah untuk
menunjang iklim investasi
(3) agar pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif
(4) untuk memutus mata rantai birokrasi administrasi yang berlama-lama
(5) untuk meningkatkan hubungan koordinasi antarinstansi terkait karena telah diatur dalam
kebijakan omnibus regulation yang terpadu dan
(6) sebagai jaminan adanya kepastian hukum dan perlindungan bagi pengambil kebijakan
Secara garis besar implikasi yang ditimbulkan RUU Cipta Kerja ini hanyaakan
mendatangkan investor buruk yang bakal mengeksploitasi sumber daya alam(SDA),
melegalkan upah murah. Sementara hukuman bagi pengusaha nakal hanyasanksi
administrative, sementara pemerintah semakin lepas tangan karena mekanisme upah
diserahkan melalui kesepakatan antara pengusaha dan buruh. Posisi pengusahadan buruh
dianggap setara termasuk dalam menentukan upah. Pemerintah tidak lagi melakukan
intervensi terhadap pengupahan. Upah yang diterima buruh akan berkurang karena tidak ada
lagi upah minimum sektoral, upah minimum kabupaten/kota. Bahkan RUU Cipta Kerja akan
mengatur UM Padat Karya yang nominalnya lebih rendah dari UM Provinsi. “Pengaturan
pengupahan RUU Cipta Kerja lebih buruk daripada UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini bukan
hanya semakin memiskinkan buruh dan keluarganya, tapi juga pemerintah meliberalkan
sektor ketenagakerjaan.
1.) Kegiatan sektor di tentukan dalam tingkatan risiko: rendah, sedang, dantinggi berdasarkan
parameter kesehatan (health), keselamatan(safety),dan lingkungan (environment)
2.)Semakin tinggi potensi risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnistertentu, semakin ketat
kontrol dari Pemerintah dan semakin banyakperizinan yang dibutuhkan atau inspeksi yang
dilakukan
3.)Kelompok risiko sektor:
a)sektor risiko rendah hanya didaftarkan
b)sektor risiko menengah menggunakan standar
c)sektor risiko tnggi wajib mendapatkan izin.
b.Daftar bidang usaha yang tertutup hanya untuk kegiatan usaha yangdidasarkan untuk
kepentingan nasional (national interest), konvensiinternasional, dan kepatutan
c.Menghapus ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dan cukupdiatur dalam UU
Penanaman Modal (perlu mengubah 13 UU sektor yangmengatur persyaratan investasi
d.Mengubah konsepsi pembedaan PMA dan PMDAN dan hanya mengaturketentuan dan
batasan kepemilikan saham oleh asing (share holding )yang ditetapkan oleh Presiden
3. Administrasi Pemerintahan.
a.Dalam rangka penerapan perizinan yang berbasis standar dan RBAmemerlukan adanya
perubahan dan penataan kewenangan perizinan yangsaat ini tersebar diantara K/L dan daerah.
b.Presiden berwenang untuk melaksanakan seluruh kewenanganpemerintahan (c.q. peizinan)
termasuk yang telah didelegasikan oleh UUkepada Menteri / Kepala dan / atau Gubernur dan
Bupati/Walikota
c. UU oleh Menteri / Kepala dan Pemda merupakan pelaksanaan dari kewenangan Presiden
(delegasi kewenangan Presiden) dan dengan demikian Peraturan Menteri/ Kepala dan Perda/
Perkada merupakan pelaksanaan dari pendelegasian dari PP atau Perpres danNSPK (Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria)
d.Penetapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) oleh Presiden.Presiden
berwenang membatalkan Perda dengan Peraturan Presiden.
f.Sanksi yang berkaitan dengan administrasi perizinan berbentuk sanksi administratif dan
sanksi perdata dan menghapus sanksi yang bersifat pidana (mengikuti ketentuan KUHP)
g. Penegakan hukum (sanksi pidana)
Pada UU KUP terdapat tiga pokok perubahan antara lain yaitu pengurangan sanksi bunga,
pengurangan imbalan bunga, dan penghapusan beberapa ketentuan yang menimbulkan makna
ganda pada UU KUP sebelumnya. Pengurangan sanksi bunga yang terdapat pada Pasal
8,9,13,14, dan 19 UU KUP diubah menjadi sebesar pajak kurang bayar dikali dengan tarif
bunga per bulan dikali jumlah bulan. Tarif bunga per bulan ini mengacu pada suku bunga
acuan yang telah ditentukan oleh Menteri Keuangan yang dihitung pada tanggal dimulainya
penghitungan sanksi dibagi 12 lalu ditambah oleh uplift factor berdasarkan tingkat kesalahan
yang dilakukan oleh wajib pajak. Besaran uplift factor pada pengenaan sanksi administratif
yang dimaksud yaitu :
1. Pasal 19 ayat 1 terkait bunga penagihan, pasal 19 ayat 2 terkait angsuran atau penundaan
pembayaran pajak, dan pasal 19 ayat 3 terkait kurang bayar penundaan penyampaian SPT
Tahunan uplift factor sebesar 0%;
2. Pasal 8 ayat 2 dan 2a terkait kurang bayar Pembetulan SPT, pasal 9 ayat 2a dan 2b terkait
pembayaran/penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, dan pasal 14 ayat
3 terkait pajak tidak/kurang dibayar akibat salah tulis/hitung atau PPh tahun berjalan uplift
factor sebesar 5%;
3. Pasal 8 ayat 5 terkait pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT uplift factor sebesar 10%; dan
4. Pasal 13 ayat 2 terkait Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan pasal 13 ayat 2a
terkait pengembalian Pajak Masukan (PM) dari PKP yang tidak berproduksi uplift factor
sebesar 15%.
Pada pengurangan imbalan bunga juga terjadi perubahan yang pada UU KUP sebelumnya
sebesar 2% per bulan diubah menjadi sebesar pajak lebih bayar dikali tarif bunga per bulan
dikali dengan jumlah bulan. Tarif bunga per bulan ini juga mengacu pada suku bunga acuan
yang telah ditentukan oleh Menteri Keuangan, berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan
sanksi dibagi 12. Terdapat penghapusan pada ketentuan mengenai pidana pajak yang telah
diputus tetap dapat diterbitkan ketetapan pajak dan ketentuan mengenai kealpaan pertama
kali wajib pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan yang sulit dibuktikan.
Pada klaster meningkatkan pendanaan investasi perubahan yang terjadi yaitu ketentuan
pengalihan Barang Kena Pajak (BKP) untuk tujuan setoran modal pengganti saham (inbreng)
yang semula merupakan penyerahan BKP tetapi dalam UU Ciptaker ini bukan lagi termasuk
dalam penyerahan BKP.
Pada klaster mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela terdapat
beberapa perubahan yaitu :
1. Semua PM atas perolehan BKP dan/atau JKP sebelum berproduksi dapat dikreditkan
sepanjang faktur pajak memenuhi ketentuan formal dan material.
2. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP dan pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
sebelum dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan menggunakan pedoman
pengkreditan PM sebesar 80% dari Pajak Keluaran (PK) yang seharusnya dipungut.
3. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean yang tidak dilaporkan pada SPT Masa PPN yang diberitahukan dan/atau
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh PKP sepanjang
sesuai ketentuan.
4. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh PKP
sebesar jumlah pokok PPN dengan ketentuan telah dilakukan pelunasan dan tidak
dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan.
Pajak tidak dapat berdiri sendiri. Kinerja otoritas pajak dapat diukur berdasarkan determinan-
determinan perekonomian lainnya yang mempengaruhi kinerja perpajakan. Suatu kebijakan
ekonomi pasti akan berpengaruh terhadap kinerja perpajakan, begitu pun sebaliknya. Salah
satu contohnya adalah kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp36 juta
menjadi Rp54 juta setahun, dimulai tahun 2016. Sebuah dilema kebijakan yang harus diambil
pemerintah.
Di satu sisi, kenaikan ini bertujuan untuk mendorong konsumsi masyarakat dan memberikan
keringanan bagi masyarakat dengan kategori low-middle class income. Fungsi utama dari
naiknya konsumsi masyarakat ada dua, yaitu meningkatkan potensi Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dari sisi perpajakan dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi perekonomian
makro. Namun, di sisi lain, kenaikan PTKP ini menghilangkan potensi pajak konkret yang
berujung pada semakin beratnya mengejar tax ratio. Lantas, apa itu tax ratio?
Ada satu ukuran kinerja perpajakan yang sampai saat ini masih digunakan di seluruh dunia,
yaitu tax revenue to GDP ratio, atau sering kenal dengan istilah tax ratio. Tax ratio
merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara
penerimaan perpajakan dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dalam kurun waktu tertentu,
umumnya satu tahun. Gambaran sederhananya seperti ini, PDB adalah nilai total keseluruhan
barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu Negara dalam kurun waktu satu tahun. Pajak
hanyalah instrumen fiskal yang digunakan untuk menarik dan mengalihkan sebagian nilai
tersebut menjadi penerimaan Negara yang yang diatur berdasarkan Undang-Undang.
Tax ratio sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas,
tax ratio mencakup penerimaan perpajakan beserta penerimaan SDA dan Minerba, sedangkan
dalam arti sempit, tax ratio hanya mengukur penerimaan perpajakan, baik pajak pusat
maupun bea dan cukai. Di Indonesia, ukuran yang fair digunakan adalah tax ratio dalam arti
sempit. Sejak tahun 2015 hingga 2017, tax ratio Indonesia hanya berkutat di angka 10 persen
di mana tax ratio tahun 2017 berada di level 10,8 persen dengan total PDB nominal sebesar
Rp13.588,8 trilliun dan pertumbuhan ekonomi 5,07 persen (Berita Resmi BPS nomor 16
tanggal 5 Februari 2018). Terlebih, di tahun 2018, tax ratio hanya ditarget sebesar 10,9
persen. Artinya, untuk menembus level 11 persen saja masih sulit di tengah tingginya tax
ratio negara lain. Jika kebutuhan belanja sekitar 15-16 persen dari total PDB, idealnya tax
ratio harus mendekati angka tersebut untuk mendorong fiscal sustainability dan menjamin
defisit tetap terkendali.
Diolah dari data yang dirilis World Bank, IMF, dan OECD, negara-negara maju (developed
countries) memiliki tax revenue to GDP ratio yang tinggi – meskipun tidak begitu apple to
apple dibandingkan dengan Indonesia karena perbedaan komponen yang dimasukkan –
seperti Amerika Serikat di level 26 persen, Inggris 30,6 persen, Jerman 37 persen, dan
negara-negara Skandinavia dengan rasio di atas 40 persen. Sementara itu, di wilayah Asia
Tenggara – ukuran yang lebih relevan untuk dibandingkan – tax ratio Indonesia masih lebih
rendah dibandingkan Malaysia 14,4 persen, Filipina 13,67 persen, Singapura 14,29 persen,
dan Kamboja 15,3 persen. Padahal, PDB Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan
ASEAN, nomor 5 se-Asia, dan 15 se-dunia.
Bahkan, tax ratio Indonesia masih lebih rendah dibanding nilai rata-rata tax revenue to GDP
ratio dunia di level 15,06 persen (World Bank: 2016). Melihat data dan fakta ini, tidak dapat
dipungkiri bahwa idealnya tax ratio linier dengan kemajuan perekonomian suatu Negara.
Realitas ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menggenjot penerimaan agar tax
ratio paling tidak mampu menembus level 11 persen. Lalu, di mana pokok persoalannya?
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa tidak fair menggunakan PDB sebagai ukuran riil
dari suatu perekonomian. PDB hanya mengukur nilai output di suatu Negara tanpa
mempedulikan apakah faktor produksi tersebut berasal dari dalam atau luar negeri. Belum
lagi, nilai foreign direct investment (FDI) yang tinggi semakin merefleksikan bahwa belum
tentu PDB mencerminkan nilai sebenarnya dari pergerakan ekonomi di suatu negara. FDI di
Indonesia tahun 2017 sekitar Rp650 trilliun dan menjadi negara dengan tujuan investasi asing
terbesar keempat di dunia (UNCTAD, Juni 2017). Dengan kata lain, PDB hanya mengukur
keberlanjutan (sustainability), bukan kemandirian (independence).
Meskipun demikian, seluruh negara di dunia menerapkan PDB sebagai suatu standar
mengukur kinerja tax ratio. Artinya, berbagai komponen dalam PDB memiliki potensi
pajaknya masing-masing, hanya tergantung kompleksitasnya. Untuk menyoroti pelbagai
permasalahan dalam menilai kinerja perpajakan, dapat dianalisis dari beberapa determinan.
Mari kita bagi ke dalam dua kuadran, yaitu secara global dan institusional.
Secara global, faktor pertama yang mempengaruhi capaian tax ratio Indonesia masih rendah
ialah komponen dalam PDB. PDB dengan pendekatan sektor lapangan usaha menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang besar. Apa implikasinya? Produk-produk
agraris, terutama pertanian, merupakan komoditas yang non-taxable. Tahun 2017, dari data
BPS, sektor usaha pertanian, peternakan, dan perikanan menyumbang 13,1 persen dari total
PDB.
Angka ini tergolong tinggi dibandingkan negara lain dengan tax ratio yang tinggi seperti
Amerika Serikat (0,9%), Inggris (0,6%), Jepang (1%), Singapura (0%), Malaysia (8,4%), dan
Filipina (9,4%). Selain produk agrikultur, produk dari industri (manufacturing) juga dominan
di mana Indonesia mencatatkan angka 40,3 persen dari PDB. Namun, produk industri juga
didominasi oleh komoditas-komoditas seperti kelapa sawit dan batubara yang masih menjadi
unggulan ekspor Indonesia. Komoditas semacam ini juga tidak memiliki potensi pajak yang
besar. Potensi pajak yang besar harusnya bersumber dari jasa (service), terutama jasa
keuangan dan konstruksi. BPS mencatat nilai PDB dari sektor jasa tahun 2017 adalah sebesar
46persen dari total PDB. Angka ini masih tergolong kecil dibanding Negara lain dengan tax
ratio yang tinggi seperti Amerika Serikat (80,2%), Inggris (80,4%), Jepang (69,4%),
Singapura (74%), Malaysia (54%), dan Filipina (59,8%). Dari data ini, dapat dianalisis bahwa
secara tax base Indonesia masih lemah.
Secara institusional – tentunya yang harus lebih disoroti – faktor pertama adalah regulasi dan
kebijakan. Tax ratio berkaitan erat dengan kepatuhan pajak (tax compliance). Akan tetapi, tax
compliance hanya dapat mengukur tingkat kepatuhan secara riil dari sisi penyampaian SPT
karena lebih sulit mengukur tax compliance dari sisi pembayaran pajak. Pada tahun 2017,
tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan mencapai 72,5 persen. Angka ini merupakan
angka tertinggi yang pernah dicapai DJP, tentunya menjadi suatu prestasi yang patut
diapresiasi.
Tax compliance berkaitan pula dengan biaya kepatuhan (compliance cost). Artinya, semakin
rendah biaya kepatuhan, yaitu biaya yang ditanggung seseorang atau suatu entitas untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya, akan semakin tinggi kepatuhan pajak. Inovasi
perpajakan di bidang IT seperti e-filing, e-billing, e-registration,e-bukpot, dan sejenisnya
menjadi komitmen DJP untuk meningkatkan pelayanan, yang bermuara pada naiknya tingkat
kepatuhan pajak. Meskipun demikian, angka ini tidak mampu menjadi acuan untuk mengukur
tax ratio karena hanya menghitung angka pelaporan, bukan pembayaran, apalagi terkait
besarnya pembayaran. Untuk itu, pemeriksaan dan extra effort penggalian potensi perlu terus
ditingkatkan karena kepatuhan pelaporan dan pembayaran idealnya linier.
Faktor kedua, kenaikan PTKP sejak tahun 2016 menjadi sebesar Rp54 juta setahun turut
berimbas pada kinerja penerimaan. Saat ini, PTKP di Indonesia merupakan yang tertinggi
kedua di Asia Tenggara setelah Vietna
m, diikuti Malaysia Rp28 juta dan Thailand Rp23 juta. Kenaikan PTKP ini di satu sisi
menunjukkan bahwa pemerintah berpihak pada masyarakat berpenghasilan menengah ke
bawah, di samping juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, terjadi
tax loss dari sektor Pajak Penghasilan sekitar Rp70 trilliun di tahun 2017. Sebuah dilema
kebijakan yang harus diambil. Namun, tetap ada potensi pajak dari kebijakan ini, yaitu pajak
atas konsumsi (PPN) dan investasi (PPh) yang harus mampu digali. Sebuah harapan atas
pilihan yang diambil pemerintah.
Faktor ketiga adalah penguatan organisasi, regulasi, dan sumber daya manusia. DJP saat ini
sedang menggencarkan reformasi perpajakan sebagaimana tertuang ke dalam KMK nomor
885 tahun 2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan. Tim reformasi perpajakan
ini berfokus pada lima aspek transformasi, yaitu perbaikan organisasi, proses kerja,
pengelolaan data dan informasi, sumber daya manusia, dan peraturan perundang-undangan.
Sejak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerima amanah sebagai menteri keuangan
di akhir tahun 2005, suara perubahan di tubuh Kementerian Keuangan mulai bergema.
Reformasi besar terlaksana berkat komitmen pemerintah dalam berbenah, terutama
membersihkan praktik-praktik KKN di Kementerian Keuangan, termasuk di dalamnya
Direktorat Jenderal Pajak.
Terakhir, sinergitas antar lembaga menjadi faktor terakhir untuk memperkuat dan
memperkaya basis data. Sinergitas semacam ini dapat dilaksanakan berupa pertukaran
informasi atau konfirmasi status wajib pajak. Melalui UU nomor 9 tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, lembaga keuangan wajib memberikan
akses terhadap data dan informasi keuangan kepada DJP. Selain itu, sinergitas dengan
kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau bahkan BUMN/BUMD sangat penting,
terutama untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Pelaksanaan Instruksi Presiden nomor 7
tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 dengan
Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pajak
karena Wajib Pajak yang ingin memperoleh pelayanan publik dari suatu instansi harus
terlebih dahulu mendapatkan status wajib pajak aktif dari DJP. Hanya saja, KSWP ini masih
belum seluruhnya dilaksanakan kementerian/lembaga, baru diterapkan di beberapa
kementerian dan pemerintah daerah. Rasanya sinergitas seperti ini perlu diperluas hingga
BUMN/BUMD dan swasta agar setiap masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan publik
harus terlebih dahulu memastikan kewajiban perpajakannya terpenuhi. Bukankah untuk
membangun bangsa yang besar membutuhkan kerja sama dari seluruh elemen? Inilah salah
satu bentuknya.
Tren pertumbuhan ekonomi yang semakin tahun semakin meningkat menjadi tantangan
tersendiri bagi DJP untuk menggenjot penerimaan karena kenaikan PDB seyogyanya diiringi
kenaikan penerimaan yang mampu dihimpun. PDB Indonesia yang besar – terbesar di Asia
Tenggara, kelima di Asia, dan kelima belas di dunia – juga menjadi tantangan bagi
pemerintah untuk menjaga ritme tax ratio agar stabil atau bahkan meningkat. Belum lagi,
pada tahun 2030 perekonomian Indonesia diprediksi menjadi kelima terbesar di dunia (studi
Pricewaterhouse Coopers). Sebuah potret yang membanggakan bagi bangsa kita yang besar
ini. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hingga kuartal IV tahun 2018
juga meningkat, yaitu di level 5,21 persen dari yang sebelumnya di level 5,1 persen pada
kuartal IV tahun 2017.
Namun, DJP tidak mungkin bekerja sendirian. Perlu ada sinergitas secara menyeluruh yang
melibatkan berbagai pihak. Pajak adalah masalah bersama. Pemerintah saat ini sedang
berupaya berbenah diri agar kepercayaan masyarakat semakin tinggi. Efek tax amnesty juga
diprediksi akan berpengaruh pada kinerja perpajakan karena berkaitan dengan pembenahan
basis data dan menjadi garis start penegakan hukum. Dengan reformasi perpajakan yang
sungguh-sungguh diikhtiarkan, rasanya selalu ada harapan bagi kinerja perpajakan kita,
paling tidak mampu menembus tax ratio di level 11-12 persen di tahun 2018 atau 2019, atau
bahkan 14-15 persen di 2020. Terlebih, penegakan hukum pasca tax amnesty akan menjadi
instrumen untuk mendongkrak kinerja perpajakan, khususnya dalam menegakkan keadilan.
(*)