Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

DALAM PARADIGMA PANCASILA

Mata Kuliah Hukum dan


globalisasi

Program Studi Doktor Ilmu Hukum

Oleh :

RIZKI ADI PINANDITO


NIM. T312008021

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN.

A. LATAR BELAKANG.

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, merupakan salah satu hasil kerja

Pemerintah dalam merancang UU menggunakan konsep Omnibus Law. Sejak

pertama kali diumumkan, OMNIBUS LAW Cipta Lapangan Kerja, yang kemudian

diubah namanya menjadi OMNIBUS LAW Cipta Kerja ini, telah Menimbulkan

kontroversi bagi masyarakat. Selain karena proses perumusannya yang cenderung

tertutup dan tidak melibatkan publik, substansi dalam OMNIBUS LAW Cipta Kerja

dinilai akan berdampak buruk pada masyarakat karena mendorong agenda liberalisasi

ekonomi yang cukup masif. Regulasi dan aturan hukum yang ditujukan untuk

melindungi kepentingan publik akan dihapuskan atau diperlemah sehingga berpotensi

merugikan kesejahteraan masyarakat. Khususnya soal ketenagakerjaan. OMNIBUS

LAW Cipta Kerja akan mendorong lebih jauh fleksibilisasi tenaga kerja melalui revisi

atau penghapusan terhadap berbagai macam perlindungan ketenagakerjaan. Beberapa

serikat buruh dan pekerja di Indonesia menilai bahwa, jika hal-hal tersebut memang

benar akan dilakukan, maka kondisi kelas pekerja akan menjadi semakin sulit. Tidak

mengejutkan bila mereka telah menyuarakan penolakan mereka melalui rilis pers atau

aksi massa di jalanan. 1

Konsep Omnibus Law sejatinya lebih dikenal dalam sistem common

law seperti di Amerika Serikat, autralia, Britania, Hongkong, India, Irlandia, dsb.

Omnibus Law pertama kali dikenalkan pada tahun 1888 di Amerika Serikat. Pada saat

1
The Jakarta Post, “Workers, students continue to protest omnibus bill,” January 14, 2020,
https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/14/workers-studentscontinue-to-protest-omnibus-bill.html
itu terminologi yang digunakan adalah Omnibus Bill. Omnibus Bill tersebut adalah

perjanjian privat terkait pemisahan dua rel kereta api di Amerika. Pada tahun 1967

rancangan metode ini menjadi populer. Saat itu Menteri Hukum Amerika Serikat,

Pierre Trudeau mengenalkan Criminal Law Amendement Bill. Isinya mengubah

undang-undang hukum pidana dan mencakup banyak isu. Pada saat ini setidaknya ada

sembilan negara lain yang sudah menerapkan metode omnibus law sepanjang sejarah.

Misalnya Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia,

dan Singapura. Sebagian yang ia sebutkan adalah negara-negara tetangga Indonesia di

Asia Tenggara.2

Pendekatan omnibus law dianggap pemerintah dapat menjadi solusi

atas tumpang tindih regulasi di Indonesia. Baik yang dalam hubungan hirarki sejajar

horizontal maupun vertikal. Namun penyusunan omnibus law berbiaya mahal dan

tidak sederhana karena substansinya pasti multisektor dan dipersiapkan untuk super

power. Mengarah ke pengertian umum, Omnibus Law dapat diartikan sebagai suatu

UndangUndang (UU) yang dibuat untuk menyasar suatu isu besar yang mungkin

dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih

sederhana. Dari sisi pemerintah, mereka mengklaim setidaknya ada tiga manfaat dari

penerapan Omnibus Law. Pertama, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan

perundang-undangan. Kedua, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan

perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam

berbagai peraturan perundang-undangan.

Substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja telah dibahas secara

intensif dengan 31 Kementerian/Lembaga terkait, dan mencakup 11 klaster, yaitu: 1)

Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4)

2
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e2c1e4de971a/menelusuri-asal-usul-konsep-omnibus-law?
page=2
Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6)

Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9)

Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.

Pada klaster ketenagakerjaan ini Pemerintah berupaya untuk mengharmonisasikan 3

undang-undang tersebut agar sejalan sehingga mampu memberikan sebuah ruang

kepada investor untuk melihat regulasi yang telah disempurnakan tanpa perlu

khawatir adanya regulasi yang tumpang tindih dan mengakibatkan kerugian kepada

investor itu sendiri

Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia merupakan sumber

dari segala sumber hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Sumber dari

segala sumber hukum adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta

cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan wtak bangsa Negara yang

bersangkutan. Karena itu Pancasila merupakan dasar Negara yang mampu

mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan UndangUndang No. 5

Tahun 1985, Pancasila merupakan satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sistem Peraturan PerundangUndangan

dikembangkan di Indonesia harus merupakan penjabaran dan pengalaman dari kelima

sila dari Pancasila secara bulat dan utuh, dan diselenggarakan dalam rangka

pelaksanaan Sistem Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Dasar 1945.

.Di dalam proses perancangan Omnibus Law Cipta Kerja ini banyak

sekali opini-opini masyarakat yang tidak setuju dengan adanya perundangan

undangan ini. Adanya opini-opini publik ini tidak lain disebabkan karena

pengerjaannya yang di deadline hanya selama 100 hari oleh Presiden Jokowi dan juga

tidak melibatkan banyak pihak dalam pembuatannya. Akan tetapi ada satu hal yang
sangat penting dan menjadi permasalahan utama didalam penyusunan OMNIBUS

LAW ini. Permasalahan tersebut adalah adanya pemotongan pesangon kepada para

buruh yang diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan

Pada konteks ini lah kenapa para buruh dan masyarakatbanyak sekali

yang menolak adanya OMNIBUS LAW Cipta Kerja ini. Inti permasalahan tersebut

terletak di dalam pasa 66546589 ayat 45 OMNIBUS LAW Cipta Kerja yang

mengganti ketentuan pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang menyebutkan beberapa ketentuan perhitungan uang pesangon

yang mengalami perubahan pada ayat 1 pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 tahun

2003 yang diganti dengan redaksi “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atauuang penghargaan masa kerja”,

kemudian pada ayat 3 pasal 156 perubahan yang dilakukan pada huruf g dan h

diganti dengan kententuan huruf g yang berbunyi “masa kerja 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih, 8 (delapan) bulan upah”. Perubahan tersebut merupakan

upayamenghapuskan perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana yang

telah diatur masa kerja 24 tahun atau lebih akan mendapatkan 10 bulan upah yang

diterimanya.

Hal tersebut merupakan permasalahan yang sedang dihadapi oleh

Pemerintah, anggota DPR, dan masyarakat sehingga pengesahan Omnibus Law Cipta

Kerja ini dianggap belum sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Problematika ini masih terus di suarakan oleh kaum buruh dan masyarakat untuk

menolak disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah. Pemerintah dan

DPR seharusnya sudah tahu bahwa adanya sebuah hukum yang berlaku sudah

semestinya memberikan rasa adil kepada masyarakat dan mampu memberikan

kebahagiaan kepada masyarakat. Namun disisi lain Pemerintah juga tetap harus
berupaya dan konsisten untuk menumbuhkan perekonomian rakyat sebagai jalan

untuk mencapai kesejahteraan sosial.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah Pengaruh Globalisasi dalam Omnibus Law Cipta Kerja?

2. Apakah Omnibus Law Cipta Kerja sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?
BAB II

PEMBAHASAN.

A. Pengaruh Globalisasi dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Menurut Duhaime Legal Dictionary arti dari omnibus adalah

semua atau untuk semua, Menelusuri sejarah Omnibus Law di seluruh bagian

dunia akan dapat disimpulkan bahwa Omnibus Bill atau Omnibus Law ini

sebenarnya bermuara pada negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon atau

Common Law System. Secara spesifik adalah Amerika Serikat yang dalam

sejarahnya tercatat melakukan Omnibus Bill pada tahun 1888 yang itu

dilatarbelakangi oleh adanya perjanjian privat terkait pemisahan dua rel kereta

api di Amerika Serikat.3 Seperti halnya Irlandia yang pada tahun 2008 juga

telah mengeluarkan undang-undang yang dapat dikatakan sebagai Omnibus

Law karena mencabut kurang lebih 3.225 undang-undang.4 Kanada juga

memiliki pengaturan yang bercirikan Omnibus Law yakni UU Amandemen

Hukum Kriminal pada tahun 1968-1969. Melalui penjelasan di atas dapat

disimpulkan bahwa konsep Omnibus Law ini telah berkembang dengan baik

di negara Common Law seperti yang telah menjadi contoh pada uraian ini.

Indonesia jelas lebih condong terhadap sistem hukum yang

dianut oleh negara Eropa kontinental, bukan Common Law System. Hal ini

sudah menjadi ketentuan yang dikehendaki oleh konstitusi sebagaimana

mestinya bahwa sistem hukum kita adalah sistem hukum tertulis dan

menghendaki adanya hierarki peraturan berjenjang (Stufenbau Theory).5

3
http://demajusticia.org/wp-content/uploads/2020/02/Mengupas-Omnibus-Law-Bikin-GakLaw-8.pdf
4
Tribun Jateng, “Penjelasan Omnibus Law dan Negara-Negara yang Sudah Menerapkan”,
https://jateng.tribunnews.com/2019/12/16/penjelasan-omnibus-law-dan-negara-negara-yang-sudah-
menerapkan,
5
Stufenbau theory adalah teori sistem hukum berjenjang yang ketentuan peraturan dibawahnya tidak boleh
Namun, yang perlu kita ilhami bersama bahwa dewasa ini

semakin terdapat konvergensi antara dua sistem hukum terbesar tersebut,

termasuk salah satunya dalam metode pembuatan peraturan perundang-

undangan. Ditambah lagi bahkan di Belanda juga telah membuat undang-

undang dengan metode omnibus sejak tahun 2006.6

Secara harfiah, kata Omnibus berasal dari bahasa Latin “omnis”

yang berarti “banyak”. Umumnya hal ini dikaitkan dengan sebuah karya sastra

hasil penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang

menggambarkan sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek.

Sehingga dengan definisi tersebut jika dikontekskan dengan undang-undang

maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah

kebijakan tertentu, tercantum dalam dalam berbagai undang-undang kedalam

satu payung undang-undang.

Sejarah omnibus dapat dilihat di beberapa negara yang telah

menerapkan misalnya Amerika Serikat, Kanada hingga Inggris. Konsep

Omnibus Law sebenarnya sudah cukup lama. Bahwa di negara Amerika

Serikat (AS) tercatat undang-undang tersebut pertama kali dibahas pada 1840.

Kemudian di Kanada, background paper yang dipublikasikan Library of

Parliament dari Parlemen Kanada tentang Omnibus bill: Frequently Ask

Questions, Bedard (2012: 2) menyatakan sulit untuk menyatakan kapan

pertama kali Omnibus Bill diajukan di Parlemen Kanada. House of Commons

Procedure and Practice memperkirakan praktek Omnibus Bill dimulai pada

tahun 1888, ketika sebuah usul OMNIBUS LAW diajukan dengan tujuan

meminta persetujuan terhadap 2 (dua) perjanjian jalur kereta api yang terpisah.

bertentangan dengan yang ada di atasnya


6
Zainal Arifin Mochtar dalam paparan materi “Omnibus Law : Solusi atau Involusi” Seminar Nasional Dies
Natalis FH UGM ke 74
Namun, OMNIBUS LAW semacam omnibus juga ditengarai ada pada awal

tahun 1868, yaitu pengesahan sebuah undang-undang untuk memperpanjang

waktu berlakunya beberapa undang undang pasca konfederasi Kanada.

Salah satu Omnibus Bill terkenal di Kanada (yang kemudian

menjadi Criminal Law Amendment Act, 1968-69 yang terdiri dari 126

halaman dan 120 klausul) adalah perubahan terhadap Criminal Code yang

disetujui pada masa kepemimpinan Pierre Eliot Trudeau (Menteri Kehakiman

di pemerintahan Lester Pearson). Undang-undang ini mengubah beberapa

kebijakan, yaitu masalah homoseksual, prostitusi, aborsi, perjudian,

pengawasan senjata, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.

Konsep hukum omnibus juga telah dicoba oleh negara-negara

Asia Tenggara yaitu di negara Vietnam dengan melakukan penjajakan

penggunaan teknik omnibus dilakukan untuk implementasi perjanjian WTO

sedangkan di negara Filipina, penggunaan Omnibus Law lebih mirip dengan

apa yang ingin dilakukan di Indonesia. Filipina memiliki Omnibus Investment

Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991. Berdasarkan policy paper

yang disusun oleh Aquino, Correa, dan Ani (2013: 1), pada tanggal 16 Juli

1987, Presiden Corazon C. Aquino menandatangani Executive Order No. 26

yang dikenal sebagai The Omnibus Investments Code of 1987 (Peraturan

Omnibus tentang Investasi Tahun 1987). Peraturan tersebut ditujukan untuk

mengintegrasikan, memperjelas, dan menyelaraskan peraturan perundang-

undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di

negara tersebut. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan tentang fungsi

dan tugas Dewan Investasi (Board of Investments); investasi dengan insentif;


insentif untuk perusahaan multinasional; dan insentif untuk perusahaan

pemrosesan ekspor.

Keinginan dari Pemerintah untuk melaksanakan Omnibus Law

Cipta Lapangan Kerja mendapatkan respon gelombang demo yang cukup

besar dari golongan buruh dan masyarakat. Demo itu didasarkan isi dari pasal-

pasal dalam OMNIBUS LAW Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang

dianggap merugikan masyakat Indonesia dan golongan buruh.

Bahwa pada awal tahun 2020 tepatnya tanggal 13 Februari 2020

Pemerintah Indonesia menyerahkan secara legal Rancangan Undang-Undang

Cipta Lapangan Kerja, yang mana hal tersebut merupakan suatu aturan

perundang-undangan inisiatif dari eksekutif kepada Legislatif Dewan

Perwakilan Rakyat Indonesia. Kemudian pada tanggal 05 Oktober 2020,

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Omnibus Law OMNIBUS

LAW Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang telah

disahkan tersebut mencakup 11 (sebelas) bidang kebijakan seperti berikut :

1. Penyederhanaan perizinan tanah.

2. Persyaratan investasi.

3. Ketenagakerjaan.

4. Kemudahan dan perlindungan UMKM.

5. Kemudahan berusaha.

6. Dukungan riset dan inovasi.

7. Administrasi pemerintahan.

8. Pengenaan sanksi.
9. Pengendalian lahan.

10. Kemudahan proyek pemerintah.

11. Kawasan Ekonomi Khusus.

Omnibus Law versi Jokowi kali ini akan berbentuk undang-

undang yang di dalamnya mengatur berbagai macam hal dan kemudian

digabungkan dengan tujuan untuk menghapuskan ketentuan yang telah ada

sebelumnya. Terlepas dari berbagai pandangan yang ada, dapat ditarik

kesimpulan bahwa di dalam Omnibus Law diatur berbagai macam substansi

yang berbeda dan pembentukan Omnibus Law bertujuan untuk simplifikasi

berbagai regulasi yang ada. Bila dilihat secara kasat mata, tentu Omnibus Law

ini memudahkan pemerintah untuk menciptakan suatu peraturan yang dapat

mencakup berbagai bidang kehidupan di dalam satu buah produk hukum.

Apabila dilihat dari sudut pandang konsep pragmatisme,

seharusnya sebuah produk hukum bertujuan untuk mewujudkan kepentingan

masyarakat dan kesejahteraan sosial sehingga dalam penyusunannya haruslah

didasarkan pada fakta empiris yang terjadi di masyarakat dan apa saja yang

menjadi kebutuhan masyarakat. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai

landasan sosiologis pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.

Penerapan Omnibus Law untuk menaikkan jumlah investor

seperti saat ini bukanlah yang pertama kalinya, sekitar 25 tahun yang lalu

Presiden Soeharto pernah menerbitkan PP No. 20/1994 tentang Kepemilikan

Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal

Asing sebagai bentuk peraturan pelaksana berbagai UU antara lain UU Tenaga

Atom, UU Pers, UU Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam

Negeri, UU Ketenagalistrikan, UU Telekomunikasi, UU Perkeretaapian, UU


Penerbangan, dan UU Pelayaran. Namun, PP No. 20/1994 dinilai bertentangan

dengan berbagai UU tersebut karena telah mengubah materi muatan yang

tertutup untuk modal asing dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.7

B. Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Paradigma Pancasila.

Undang- undang Omnibus Law bertujuan untuk menciptakan

lapanagan pekerjaan baru dan menciptakan iklim bisnis yang mampu

mendongkrak daya perekonomian Indonesia pasca pandemi. Namun

demikiian, sebenarnya tidak ada penelitian yang secara detail yang

mengungkapkan kenapa investasi di indonesia rendah. Dari informasi umum

yang beredar bahwa rendahnya investasi di Indonesia dikarenakan proses izin

yang sering dianggap terlalu birokratis dan memakan waktu yang cukup

panjang. Penyebab yang lain yang sering dianggap sebagai penghalang

investasi adalah persoalan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam melakukan

investasi di Indonesia.

Dengan prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya

bahwa setiap pekerjaan bagi orang Indonesia itu dalam segala tindakan dan

kelakuannya harus berdasarkan perikemanusiaan, memanusiakan manusia

secara adil dan beradab melalui pekrjaan yang di dapatkan. Selain itu, dapat

dinyatakan disini bahwa nilai moral yang berhubungan dengan sila kedua

adalah nilai kemanusiaan yang mempunyai kecenderungan kepada sikap

untuk memberikan pekerjaan kepada masyarakat Indonesia sesuai kodrat yang

memang dikenedaki oleh Tuhan YME.

Jika dihubungkan dengan nilai nilai Pancasila, Keadilan bagi

seluruh Rakyat Indonesia, maka Undang- Undang Cipta Kerja harus betul-

7
Maria Farida, “Omnibus Law”, UU Sapu Jagat?”, https://kompas.id/baca/opini/2019/12/31/omnibus-law-uu-
sapujagat/,
betul mendasari nilai moral bangsa kita, sehingga rakyat dapat merasakan

keadilan seutuhnya dan bukan secara parsial, apalagi kalau pekerjaan tersebut

untuk sebagian golongan masyarakat tertentu. Inilah yang menjadi

kehawatiran masyarakat, karena peningkatan investasi, khususnya investasi

dari luar tidak hanya mendatangkan sisi positif melainkan sisi negatif pula,

termasuk kehawatiran adanya TKA.

Kondisi ekonomi dari sebagian besar masyarakat saat ini

memang bisa dikatakan belum cukup memadai. Sebagaimana dijelaskan

sebelumnya, kebanyakan masyarakat masih menjadi pekerja informal yang

kebanyakan bekerja dalam keadaan rentan, tanpa adanya jaminan sosial, dan

perlindungan ketenagakerjaan. Selain itu, lebih dari setengah penduduk

Indonesia masih berada di posisi ekonomi yang rentan sehingga dapat dengan

mudahnya tersungkur dalam kemelaratan. Maka dari itu, agenda pembangunan

ekonomi untuk memperbaiki nasib dan kesejahteraan masyarakat dan kelas

pekerja di Indonesia masih tetap dibutuhkan.

Meskipun begitu, alih-alih akan meningkatkan taraf hidup

masyarakat, OMNIBUS LAW Cipta Kerja justru akan membawa malapetaka

bagi masyarakat dan kelas pekerja. Masalahnya, agenda ekonomi yang dibawa

oleh OMNIBUS LAW ini cenderung didominasi oleh kepentingan kelas

pengusaha dan pemodal sehingga mendorong kebijakan-kebijakan yang dapat

memperbaiki iklim berbis nis bagi mereka. Investor dan pengusaha

menginginkan buruh yang tidak hanya murah secara ekonomi tetapi juga patuh

secara politik. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang

diusung oleh OMNIBUS LAW Cipta Kerja hanya akan mempermudah proses

akumulasi kekayaan bagi pengusaha sembari mengabaikan kepentingan dan


kesejahteraan kelas pekerja: yakni dengan memperluas praktek tenaga kerja

fleksibel, kebijakan upah murah, dan penghapusan berbagai hak-hak yang

melindung pekerja. Dengan demikian, OMNIBUS LAW ini justru akan

menambah kerentanan kerja dan menempatkan kelas pekerja dalam posisi

yang lebih sulit dan semakin tidak menentu.

Sistem ketenagakerjaan seperti ini tidak lain merupakan bentuk

perpanjangan dari apa yang disebut Tjandraningsih (2012) sebagai “state-

sponsored precarious work” yakni kerentanan kerja yang disponsori dan

dipaksakan oleh negara kepada kelas pekerja. Kelas pekerja diperlakukan

layaknya barang dagangan, sebagai buruh murah dan patuh made in Indonesia,

yang diobral oleh negara secara cuma-Cuma oleh kepada kelas pemodal dan

pengusaha. Padahal, kebijakan ekonomi ke depan, Perubahan kebijakan

ketenagakerjaan dalam OMNIBUS LAW Cipta Kerja justru akan menjauhkan

kelas pekerja di Indonesia dari cita-cita atas kerja layak (decent work) yang

telah ditetapkan oleh ILO. Padahal sistem ketenagakerjaan yang berpihak pada

kelas Pekerja dibutuhkan bagi mereka untuk mencapai kesejahteraan hidup

yang lebih baik. Bukannya memberikan keadilan ekonomi bagi masyarakat

dan kelas pekerja, OMNIBUS LAW Cipta Kerja akan memperlebar jurang

ketimpangan sosial yang sudah parah. Di saat kelas penguasa dan pemodal

dapat mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan politik lebih banyak, kelas

pekerja ke depannya akan semakin terpinggirkan dari hasil pertumbuhan

ekonomi dan berhadapan pada kondisi kerja serta kehidupan yang penuh

dengan ketidakpastian. bagaimana yang telah dijelaskan, baik secara proses

perumusannya maupun dasar dan logika yang digunakan untuk

membenarkannya, OMNIBUS LAW Cipta Kerja memiliki banyak


kejanggalan. Selain proses perumusannya yang tertutup, ia juga cenderung

lebih Banyak melibatkan pengusaha ketimbang para pekerja. Maka dari itu,

tidak mengejurkan bila isi kandungan OMNIBUS LAW Cipta Kerja dianggap

lebih menguntungkan kepentingan pengusaha maupun investor asing.

Selain itu, Omnibus Law Cipta kerja dianggap tidak pancasilain

dikarenakan terdapat beberapa isu lainnya. Salah satunya adalah dampak

terhadap AMDAL dan izin lokasi. Untuk menyederhanakan perizinan

berusaha, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan melakukan klasifikasi

perizinan usaha berdasarkan resiko. Ke depan, tidak semua bentuk usaha

membutuhkan izin. Tetapi izin hanya diperlukan bagi kelompok usaha yang

memiliki resiko tinggi. Sedangkan usaha yang hanya memiliki resiko pada

level sedang dan rendah, maka dalam proses pendaftaran hanya cukup dengan

melakukan pemenuhan standar dan registrasi di OSS.

Alat ukur dalam melakukan penilaian resiko ditentukan oleh

tiga aspek, yaitu kesehatan (health), keamanan dan keselamatan (security), dan

lingkungan (environment). Paling tidak ada tiga pengelompokan jenis usaha

sesuai dengan resikonya atau Risk Based Approach (RBA), yaitu: pertama,

Kelompok resiko sumber daya alam; kedua, kelompok resiko industry

pengolahan; dan ketiga, kelompok sektor jasa. Penyederhanaan sistem

perizinan yang akan diatur dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

merujuk pada sistem Online Single Submission (OSS) yang telah diatur

sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2018 tentang Pelayanan

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Eletronik. Namun, implementasi dari

sistem OSS ini dianggap belum dapat berjalan dengan baik. dikarenakan

masih ada tumpang tinding regulasi dan kewenangan antara pusat dan daerah.
Dalam memperoleh izin usaha, pelaku usaha cukup

memberikan pernyataan kesanggupan untuk memenuhi komitmen izin untuk

penyelesaian izin prasyaratnya, yaitu Izin Lokasi, Izin Lingkungan, IMB, atau

persyaratan izin usaha lainnya (jika dipersyaratkan). Sebelum memenuhi

komitmen, pelaku usaha hanya mengantongi izin usaha dengan kegiatan usaha

yang sangat terbatas, seperti: pengadaan sarana, pengadaan SDM, pemenuhan

sertifikasi, dan pelaksanaan produksi. Namun, untuk bisa melakukan kegiatan

operasional atau komersial, pelaku usaha harus mengantongi izin operasional

atau komersial dengan segera memenuhi komitmen yang telah dinyatakan

untuk disanggupi, seperti: standar, sertifikat, dan/atau lisensi; pendaftaran

barang/jasa; dan/atau pendaftaran kepabeanan dan perpajakan.

Terkait dengan kewajiban Analisis Dampak Lingkungan

(AMDAL) yang harus dilakukan bagi investor, dalam sistem OSS Pengusaha

nantinya hanya akan diminta untuk menerapkan standar pengelolaan

lingkungan dan pengumuman. Penggunaan rezim standar dalam Omnibus Law

ini akan menghapus izin lingkungan. Kelemahan dari skema ini adalah

pengusaha dapat membangun terlebih dahulu, baru setelah itu pemerintah

hadir untuk melakukan pengawasan/inspeksi atas komitmen pengusaha dalam

menerapkan standar usaha yang telah ditentukan. Celakanya, jika pengusaha

membangun dan belum menerapkan standar, dan dampaknya dirasakan secara

massif oleh masyarakat.

Dalam melakukan pembangunan akan mewajibkan penggunaan

jasa profesi ahli konstruksi bersertifikat dalam seluruh tahapan yang terdiri

dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengujian yang kemudian

menghilangkan proses evaluasi terhadap rencana teknis bangunan gedung


yang dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan, pernyataan profesional dari penguji

bersertifikat tentang kelaikan bangunan gedung akan dijadikan sebagai dasar

untuk menerbitkan Sertifikat Laik Fungsi oleh Pemerintah.

Isu-isu lain seputar pengaturan-pengaturan hukum dalam

Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan nilai nilai Pancasila dapat

dilihat pada Gambar Tabel 1 berikut ini:


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.

Omnibus Law ini sebenarnya bermuara pada negara dengan sistem hukum

Anglo-Saxon atau Common Law System. Secara spesifik adalah Amerika

Serikat yang dalam sejarahnya tercatat melakukan Omnibus Bill pada

tahun 1888 yang itu dilatarbelakangi oleh adanya perjanjian privat terkait

pemisahan dua rel kereta api di Amerika Serikat. Secara harfiah, kata

Omnibus berasal dari bahasa Latin “omnis” yang berarti “banyak”.

Umumnya hal ini dikaitkan dengan sebuah karya sastra hasil

penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang menggambarkan

sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek. Sehingga dengan

definisi tersebut jika dikontekskan dengan undang-undang maka dapat

dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan

tertentu, tercantum dalam dalam berbagai undang-undang kedalam satu

payung undang-undang. Pada awal tahun 2020 tepatnya tanggal 13

Februari 2020 Pemerintah Indonesia menyerahkan secara legal Rancangan

Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang mana hal tersebut

merupakan suatu aturan perundang-undangan inisiatif dari eksekutif

kepada Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Kemudian pada

tanggal 05 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan

Omnibus Law OMNIBUS LAW Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Omnibus Law versi Jokowi kali ini akan berbentuk undang-undang yang

di dalamnya mengatur berbagai macam hal dan kemudian digabungkan

dengan tujuan untuk menghapuskan ketentuan yang telah ada sebelumnya.

Terlepas dari berbagai pandangan yang ada, dapat ditarik kesimpulan


bahwa di dalam Omnibus Law diatur berbagai macam substansi yang

berbeda dan pembentukan Omnibus Law bertujuan untuk simplifikasi

berbagai regulasi yang ada. Bila dilihat secara kasat mata, tentu Omnibus

Law ini memudahkan pemerintah untuk menciptakan suatu peraturan yang

dapat mencakup berbagai bidang kehidupan di dalam satu buah produk

hukum. Undang- undang Omnibus Law bertujuan untuk menciptakan

lapanagan pekerjaan baru dan menciptakan iklim bisnis yang mampu

mendongkrak daya perekonomian Indonesia pasca pandemi. Namun

demikiian, sebenarnya tidak ada penelitian yang secara detail yang

mengungkapkan kenapa investasi di indonesia rendah. Dari informasi

umum yang beredar bahwa rendahnya investasi di Indonesia dikarenakan

proses izin yang sering dianggap terlalu birokratis dan memakan waktu

yang cukup panjang. Penyebab yang lain yang sering dianggap sebagai

penghalang investasi adalah persoalan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

dalam melakukan investasi di Indonesia. Meskipun begitu, alih-alih akan

meningkatkan taraf hidup masyarakat, OMNIBUS LAW Cipta Kerja

justru akan membawa malapetaka bagi masyarakat dan kelas pekerja.

Masalahnya, agenda ekonomi yang dibawa oleh OMNIBUS LAW ini

cenderung didominasi oleh kepentingan kelas pengusaha dan pemodal

sehingga mendorong kebijakan-kebijakan yang dapat memperbaiki iklim

berbis nis bagi mereka. Investor dan pengusaha menginginkan buruh yang

tidak hanya murah secara ekonomi tetapi juga patuh secara politik. Oleh

karena itu, kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang diusung oleh

OMNIBUS LAW Cipta Kerja hanya akan mempermudah proses

akumulasi kekayaan bagi pengusaha sembari mengabaikan kepentingan


dan kesejahteraan kelas pekerja: yakni dengan memperluas praktek tenaga

kerja fleksibel, kebijakan upah murah, dan penghapusan berbagai hak-hak

yang melindung pekerja. Selain itu, Omnibus Law Cipta kerja dianggap

tidak pancasilain dikarenakan terdapat beberapa isu lainnya seperti

masalah AMDAL dan izin usaha yang memungkinkan terjadinya

kecurangan didalam praktiknya, isu upah tenaga kerja yang dipangkas, isu

kontrak kerja dan alih daya yang tidak memihak pada pekerja, dan

permasalahan cuti yang diangap oleh buruh tidak memihak pada

kepentingan mereka.

B. Saran.

Perlu difikirkan harmonisasi dengan kebijakan daerah. Sebab, Omnibus

Law di level undang-undang dapat mencabut pula perda. Namun, perlu

telaah mendalam agar tidak berkesan mereduksi otonomi. Atau malah

menuju sentralisasi kekuasaan yang bertolak belakang dengan visi

reformasi. ormasi aturan melalui Omnibus Law hanya salah satu strategi

agar ramah investasi. Perlu disertai penegakan hukum yang kuat agar

investor merasa nyaman karena kepastian hukum menjadi niscaya, tidak

saja aturan namun kompatibelnya norma dengan pelaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai