Anda di halaman 1dari 29

Kajian Omnibus Law BEM KBM Untirta 2020

Omnibus Law menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat sejak pertama kali
dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato nya, sebab konsep tersebut lazim nya
banyak digunakan oleh negara-negara yang menganut system Common Law seperti Amerika
Serikat, Inggris, Korea Selatan, Australia, dan Jerman, dan dianggap tidak cocok jika diterapkan
di Indonesia yang menganut system Civil Law, dikhawatirkan jika dipaksakan diterapkan di
Indonesia, maka akan membuat masalah baru di kemudian hari, selanjutnya prinsip sentralisasi
yang mencuat dari konsep Omnibus Law yang akan diterapkan ini dianggap sebagai bentuk
penghianatan terhadap agenda Reformasi yang telah diperjuangkan, sebab pemerintah daerah
akan dibatasi hak nya dalam mengeksekusi kebijakan serupa di daerah sebagai wilayah
administrasi nya.

Salah satu RUU Omnibus Law yang menjadi sorotan tajam ialah mengenai Cipta
Lapangan Kerja, berdasarkan informasi yang diakses di kemenkeu.go.id dan setkab.go.idtertanggal
16 Januari 2020 dijelaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia,
Airlangga Hartato bahwa dalam RUU tentang Cipta Lapangan Kerja terdapat 1244 pasal yang
terkandung dari 79 Undang-Undang dan akan terbagi menjadi 11 klaster (penyederhanaan
perizinan, persyaratan investasi, Ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan
perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan investasi, administrasi
pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, Kawasan
ekonomi)

(Sumber : Bahan Presentasi Kementrian Koordinator Ekonomi Republik


Indonesia)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato bersama dengan Menteri
Hukum dan HAM Republik Indonesia Yassona Laoly dalam keterangannya di kantor
Kementrian Koordinator Perekonomian yang dilansir diberbagai media pada tanggal 9 Januari
2020 mengatakan bahwasanya penyusunan draft RUU sudah mencapai 95% dan sedang
memasuki tahap finalisasi sehingga dalam beberapa hari ke depan draft RUU sudah bisa
diserahkan pada DPR untuk dibahas kemudian dapat diundangkan menjadi Undang-undang
yang sah. Menanggapi hal itu, muncul reaksi dari masyarakat sipil terutama dari serikat buruh
serta aktivis-aktivis pegiat lingkungan, dalam beberapa hari ke belakang banyak sekali dijumpai
aksi demonstrasi yang dilakukan secara serentak di beberapa wilayah di Indonesia dan
gelombang massa aksi tersebut masih akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan
sebagai bentuk pengawalan dan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah,
beberapa hal yang menjadi perhatian utama adalah secara formiil tidak adanya pelibatan publik
secara transparan khusus nya pelibatan buruh dan pegiat lingkungan dalam pembahasan nya
(lihat Keputusan Menko Perekonomian No 378/2019 tentang pembentukan Satgas), serta
penyusunan yang terkesan tergesa-gesa, kemudian secara materiil ada beberapa hal yang
menjadi kekhawatiran besar bagi masyarakat yakni mengenai penghapusan sistem upah
minimum, pemberian pesangon maksimal hanya 6 (enam) bulan upah, penerapan sistem
outsorscing dan kontrak, memudahkan masuk nya tenaga kerja asing, menghilangkan sanksi
pidana dan diganti menjadi sanski administrasi maupun perdata bagi pengusaha maupun
perusahaan yang berlaku semena-mena terhadap karyawan, serta dampak lingkungan berupa
ancaman krisis ekologis sebagai dampak dari proses percepatan penerbitan perizinan usaha
yangakan mengatur ulang mengenai mekanisme penilaian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang tentu akan berpotensi kuat melahirkan konflik dan masalahbaru.
OMNIBUS LAW

A. Sekilas Tentang OmnibusLaw


Omnibus berasal dari Bahasa latin “omnis” yang berarti banyak, atau berarti untuk
semua nya. Dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Garner menyebutkan Omnibus :
relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having varius
purposes yang berarti berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus,
apabila digandeng dengan kata Law atau Bill maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk
semua, menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, omnibus law berasal dari omnibus bill,
yakni Undang-Undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Pakar Hukum Tata Negara,
Bivitri Savitri menjelaskan bahwa Omnibus law merupakan sebuah Undang-undang yang
dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara untuk merampingkan regulasi dari
segi kuantitas ataujumlah.
Menurut Firman Freaddy Busroh pakar hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
Sumpah Pemuda dalam Jurnal nya yang berjudul “Konseptualisasi Omnibus Law dalam
Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan” menyebutkan beberapa tujuan dari Omnibus
Law, yakni mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien;
menyeragamkan kebijakan pemerintah,baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menunjang
iklim investasi; pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif dan efisien; mampu memutus rantai
birokrasi yang berlama-lama; meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena
telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu; serta adanya jaminan kepastian
dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.
B. Penerapan Omnibus Law di negaralain
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasanya konsep Omnibus law bukan hal baru dalam
dunia hukum, tercatat banyak negara telah menerapkan nya
a. Amerika Serikat : Amerika Serikat merupakan negara federal/serikat berbentuk Republik, yang
memiliki 50 negara bagian. Omnibus Law pertama kali diterapkan di Amerika Serikat pada
tahun 1888 dalam perjanjian privat terkait pemisahan dua rel kereta api di Amerika, kemudian
pada tahun 1967 konsep omnibus law mulai terkenal ketika terbit Criminal Law Amandement Bill
(perubahan UU Pidana). Beberapa contoh produk omnibus law yang pernah diterapkan di
Amerika Serikat, yaitu Transportation Equity Act For the 21 st Century (TEA-21), aturan ini
dianggap yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat karena ada 9012 section yang terangkum
dalam 9 bab, dalam TEA-21 ini diatur secara komprehensif mengenai transportasi dan jalan raya
di Amerika Serikat sehingga sudah lengkap. Kemudian ada Omnibus Trade and
Competitiveness act of 1988 (OCTA), aturan ini tersusun dari 10 bab, 44 sub bab dan 10.013
pasalsertaberisimengenaistrategiperbaikanneracaperdaganganAmerikaSerikatsaatitu.
b. Korea Selatan : Sejarah Omnibus law di Korea selatan diawali dengan proses reformasi regulasi
yang berjalan, proses ini terbagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama mengenai Upaya
pemangkasan atas jumlah regulasi existing dikenal dengan Guillotine Approach, kemudian pada
tahap kedua adalah proses peningkatan kualitas regulasi di 10 area prioritas dengan
menerapkan metode RIA (Regulatory ImpactAssesment)
c. Australia : Jika dilihat secara historis, tidak dapat ditelusuri secara pasti sejak kapan omnibus
bill pertama muncul di Australia. Akan tetapi, jika melihat penerapan yang ada hingga saat ini,
Australia masih menerapkan praktik penyusunan peraturan perundang- undangan melalui
konsep omnibus law. Contoh produk legislasi omnibus law adalah Civil Law and Justice
(Omnibus Amendments) Act 2015. Undang-Undang ini membuat perubahan kecil terhadap
undang-undang keadilan sipil dalam beberapa undang-undang yang telah ada. UndangUndang
omnibus ini mengubah peraturan di dalam 16 undang-undang yang memiliki muatan yang
berbeda.
C. Omnibus Law Dalam Kerangka Hukum TataNegara
Dalam penerapanya, sebenarnya omnibus law lebih banyak diterapkan oleh negara-
negara yang menganut system Common Law seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, Inggris,
Korea Selatan, Jerman, Selandia Baru dll dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negara
nya masing-masing dalam rangka menyederhanakan tumpang tindih regulasi dan menjamin
kemudahan dalam iklim dunia bisnis.
System hukum Indonesia yang menganut Civil Law System menjadi salah satu alasan
belum dikenal nya konsep Omnibus law dalam pedoman penyusunan peraturan perundang-
undangan.DalamUUNo15Tahun2019tentangPerubahanAtasUUNo.12Tahun2011tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dikenal atau dicantumkan nya konsep
omnibus law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum maupun sebagai kerangka
metodologis untuk melakukan revisi peraturan perundang-undangan, begitu pula di dalam
hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) UU
tersebut, Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus
law belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsep
omnibus law berposisi sejajar atau sama dengan UU lain atau bahkan bisa mengarah sebagai
UU Payung karena mengatur secara menyeluruh, meliputi banyak substansi/muatan dan
kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain, akan tetapi Indonesia justru tidak
menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama dibawah TAP MPR dan UU Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai yang tertinggi dalam Hierarki aturan
Perundang- undangan. Sehingga persoalan secara teori peraturan perundang-undangan
mengenai kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan omnibus law dapat
diterapkan jika posisi nya sama atau sejajar dengan UU lain, akan tetapi jika berfungsi sebagai
UU Payung sama seperti yang sering dicetuskan oleh beberapa pejabat negara maka perlu
diperhatikan apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, maka
tidak semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika
ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas lex spesialis derogat legi
generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Oleh sebab itu, harus
diatur dalam hierarki perundang-undangan.
UU Payung karena mengatur secara menyeluruh, meliputi banyak substansi/muatan dan
kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain, akan tetapi Indonesia justru tidak
menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama dibawah TAP MPR dan UU Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai yang tertinggi dalam Hierarki aturan
Perundang- undangan. Sehingga persoalan secara teori peraturan perundang-undangan
mengenai kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan omnibus law dapat
diterapkan jika posisi nya sama atau sejajar dengan UU lain, akan tetapi jika berfungsi sebagai
UU Payung sama seperti yang sering dicetuskan oleh beberapa pejabat negara maka perlu
diperhatikan apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, makatidak
semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika
ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas lex spesialis derogat legi
generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Oleh sebab itu, harus
diatur dalam hierarki perundang-undangan perihalkedudukannya.
Di sisi lain walaupun konsep omnibus law masih dimungkinkan diterima dalam system
hukum Indonesia, tetapi tidak sejalan dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan
dengan berdarah-darah puluhan tahun lalu, dengan ada nya omnibus law berpotensi besar
memunculkan persoalan dalam penghormatan terhadap otonomi daerah yang menekankan
pada kehendak daerah mengatur daerahnya, karena dengan adanya omnibus law, maka secara
otomatis peraturan tingkat daerah juga harus mematuhi aturan baru dari konsep omnibus law.
Keinginan kuat dari Pemerintah pusat terhadap peningkatan investasi, tidak selama nya bisa
diakomodir daerah, sebab ada investasi tertentu yang tidak bisa diterima oleh daerah karena
dianggap dapat memudarkan nilai kultural masyarakat setempat, oleh sebab itulah dikenal
dengan istilah desentralisasi sehingga daerah memiliki otonomi nya sendiri untuk menentukan
dan mengelola segala hal yang berkaitan dengan investasi. Dengan prinsip sentralisasi yang
akan menjadi muara apabila omnibus law ini diundangkan menjadi UU yang sah, maka jelas ini
adalah bentuk penghianatan terhadap agenda Reformasi yang telah diperjuangkan. Dengan
beberapa pertimbangan tersebut dapat dilihat apakah penyusunan Omnibus Law bertujuan
untuk sepenuhnya demi kepentingan masyarakat, atau hanya untuk mengakomodir segelintir
orang saja yang beraliansi dengan Oligarki, jika omnibus law dibuat untuk melindungi
kepentingan penguasa dan mengesampingkan hak-hak pekerja serta masyarakat sipil secara
umum, lebih baik Omnibus Law tidak perlu untuk dibuat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwasanya untuk saat ini, penerapan Omnibus Law bukanlah solusi untuk menunjang tujuan
yang diimpikan oleh Presiden Joko Widodo, pengoptimalan terhadap aturan yang sudah ada
jauh lebih urgent dilakukan dibandingkan dengan membuat omnibus law dengan tergesa-gesa
tanpa kajian yang matang dan komprehensif.
D. Pandangan pakar mengenai OmnibusLaw

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga
mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia, Prof Maria Farida Indrati menyampaikan
keberatanya mengenai omnibus law yang sedang dikerjakan secara cepat oleh Pemerintah dan
DPR, Prof Maria berpandangan bahwa penysunan 1 (satu) UU yang mengatur satu substansi
saja diperlukan banyak tahapan, terlebih lagi jika membuat 1 (satu) UU yang mengakomodir
lebih dari 70 UU seperti omnibus law ini jelas membutuhkan kajian yang lebih mendalam atau
komprehensif, dengan dimulai dari proses pemetaan, penyisiran sejumlah UU, hingga
mencabut pasal-pasal yang saling tumpang tindih di berbagai peraturan. Omnibus law adalah
konsep yang lazim digunakan oleh negara-negara dengan system Common Law dan apabila
diterapkan pada Indonesia yang menganut Civil Law tentu nya dikhawatirkan akan memiliki
masalah baru terkait dengan kepastian hukum dan berpotensi menyulitkan serta
membingungkan banyak orang nanti nya, sebab jika UU Omnibus Law dari berbagai macam
aturan hanya diambil sepotong-sepotong akan jadi seperi apa? Misalnya, mencabut pasal 1
dalam sebuah UU yang mengatur definisi bisa berdampak juga pada tidak sinkron nya dengan
pasal-pasal lain. Bagi nya, membuat sebuah UU yang mengatur hajat hidup orang banyak tidak
boleh dilakukan dengan sembarangan, Prof Maria mencontohkan proses penyusunan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memakan waktu hingga puluhan tahun
dalam proses pengkajian nya demi tercipta sebuah aturan yang menjadi cerminan jati diri
bangsa.

Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Ronald Rofiandri dalam keterangan nya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
yang diselenggarakan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menilai ada empat prasyarat yang
perlu dipenuhi sebelum omnibus law dibahas. Pertama, pemerintah serta DPR perlu menjamin
bahwa sasaran dari omnibus law adalah perubahan, pencabutan, atau pemberlakuan dari fakta
yang terkait tetapi terpisah dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua,
pemerintah bersama DPR perlu melakukan pemetaan regulasi yang terkait baik secara
horizontal maupun vertikal dan landasan dari setiap UU yang direvisi melalui omnibus law
serta perlu diuji kembali landasan sosiologis serta filosofisnya. Ketiga, omnibus law yang
nantinya dibahas tidak boleh diposisikan menjadi UU payung karena system hukum dan
legislasi Indonesia tidak mengenal UU semacam itu Dan Keempat, apabila omnibus law bersifat
umum maka regulasi tersebut perlu mencabut ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan.
Meski demikian, hal ini berpotensi menimbulkan masalah apabila omnibus law yang bersifat
umum berhadapan dengan aturan yang bersifat khusus yang mengesampingkan aturan umum.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan
bahwasanya pemerintah serta DPR untuk tidak memaksakan keberadaan omnibus law karena
sangat sulit untuk menyatukan banyak objek hukum dalam satu UU. Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti keberpihakan pemerintah kepada pengusaha
dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU yang diusung
pemerintahan Presiden Joko Widodo ini dinilai akan memperparah ketimpangan penegakan
hukum di Indonesia. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan Omnibus
Law memberikan keringanan kepada pengusaha dengan mengurangi syarat lingkungan hidup,
mempermudah perpanjangan izin usaha, dan penghapusan pidana bagi korporasi pelanggar
hak, selain itu aturan tersebut memperparah ketimpangan penegakan hukum, khususnya
terkait konflik lahan antara masyarakat dengan korporasi. Selain berimplikasi pada penegakan
hukum yang sangat lemah bagi perusahaan pelanggar hak dan perusak lingkungan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah dalam keterangan


nya yang dimuat oleh CNN saat diskusi di Kantor LBH Jakarta pada 19 Januari 2020
menyampaikan bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law yang tengah digodok
pemerintah akan menimbulkan daya rusak terhadap lingkungan hidup dan memaksa
masyarakat mengungsi. rancangan Omnibus Law akan resmi melakukan pengusiran,
peracunan dan akan membentuk pengungsian sosial ekologi kolosal di Indonesia karena akan
adanya bencana lingkungan hidup di Indonesia.
Materi muatan yang masuk dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja banyak menimbulkan
pertentangan di kalangan masyarakat sebagaimana disampaikan oleh Ketua Bidang Hukum Tata Negara
Fakultas hukum Untirta dan Sekretaris Pusat Kajian Konstitusi FH Untirta, Lia Riesta Dewi, S.H.,M.H.
diantaranya yaitu :
RUU Omnibus Law Cipta Kerja dikhawatirkan akan merenggut beberapa kewenangan Pemda ke Pusat.
Pasal 16 Ayat (1) RUU yang berbunyi : “Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan
RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan
persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat
melalui Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 77 yang terdapat dalam Pasal 23 RUU ini yang berbunyi : “Pemerintah Pusat dapat menerapkan sanksi
administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Pemerintah Pusat
menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.”
Pasal 6 ayat (5) dalam Pasal 35 RUU ini yang berbunyi :
Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai kawasan
penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.”
Ketiga bunyi pasal tersebut jelas Pemerintah Pusat mengambil kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah, yang dikhawatirkan Pemerintah Pusat tidak akan sanggup mengambil alih
itu semua karena jumlah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia ini sangat
banyak. Berdasarkan data dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 41 kabupaten/kota yang
memiliki RDTR.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dapat menimbulkan gejolak pada saat disahkan bukan hanya karena
tidak berpihak kepada daerah tapi karena pada saat pelaksanaannya menimbulkan kerancuan dan
kebingungan untuk semua pihak baik itu masyarakat, pelaku usaha, penegak hukum, akademisi,
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat hal ini dikarenakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang
diharapkan dapat menghapus tumpang tindih peraturan dari 82 UU menjadi 1 UU dan
memudahkan untuk berinvestasi di Indonesia tapi sebaliknya semakin menjadi tumpang tindih
karena yang dihapus dalam UU terdahulu itu hanya beberapa pasal saja tidak mencabut utuh 1 UU,
dan RUU Omnibus Law ini ada Bab di dalam Bab dan Pasal di dalam pasal dengan jumlah 1028
halaman. Sehingga tidak ada penyederhanaannya tetapi semakin membuat bingung masyarakat,
pelaku usaha dan aparat penegak hukum kalau ingin menggunakan RUU Omnibus Law ini.
RUU ini tidak akan berjalan efektif dalam tahap pelaksanaannya setelah menjadi UU dikarenakan untuk
RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dapat berjalan efektif harus dilengkapi oleh peraturan
pelaksananya. Setelah RUU ini menjadi UU kurang lebih ada 519 Peraturan Pemerintah yang harus
dibentuk, 14 Peraturan Presiden yang harus dibentuk dan 1 Peraturan Menteri yang harus dibentuk.
Sehingga jumlah keseluruhan peraturan pelaksana dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja ada 534
peraturan pelaksana yang harus dibentuk, dan itu tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu
satu atau dua tahun, mungkin sampai dengan berakhirnya masa jabatan Jokowi sebagai Presiden,
peraturan pelaksananya belum selesai dibentuk. Karena fakta hari ini salah satu penyebab
banyaknya UU yang tidak efektif dan tumpang tindih karena peraturan pelaksananya tidak pernah
dibentuk bahkan sampai dengan UU nya dicabut dan diganti oleh yang baru.
Pemberlakuan Kembali Pasal yang Telah Dicabut oleh Putusan Mahkamah Konstitusi pada Perubahan
Pasal 251 UU Pemda
Pasal 251 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (7), dan Ayat (8) UU No 23 Tahun 2014 UU No 23 Tahun 2014
yang terkait dengan Perda telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XIV/2016. Terkait hal ini, amar putusan a quo menyatakan bahwa pasal-pasal di atas bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan MK
ini juga mengacu pada vide yang menjadi pertimbangan yuridis, in casu Putusan MK Nomor
137/PUU-XIII/2015.
Bunyi Pasal 251 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (7), dan Ayat (8) UU No 23 Tahun 2014 UU No 23
Tahun 2014 terkait Perda tersebut dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja diatur kembali sebagai
berikut :
Rumusan yang dibatalkan :
(1) Perda provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
menteri.
(2) Perda Kabupaten/kota dan peraturan Bupati/walikota yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Rumusan yang diatur dalam Pasal 251 RUU Omnibus Law Cipta Kerja:
Perda provinsi dan peraturan gubernur dan/atau perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota,
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan.
Perda provinsi dan peraturan gubernur dan/atau perda kabupaten/kota dan peraturan
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
dengan peraturan presiden.

Rumusan yang diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak bertentangan dengan
Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 karena berdasarkan UU No 23 Tahun 2014, Perda
Provinsi dibatalkan oleh Menteri dan Perda Kabupaten/Kota dibatalkan oleh Gubernur,
sedangkan dalam rumusan RUU Omnibus Law Cipta Kerja baik Perda
Provinsi/Kabupaten/Kota dicabut oleh Peraturan Presiden, dan yang mengeluarkannya adalah
Presiden bukan Menteri atau Gubernur. Namun seharusnya pencabutan Perda oleh Presiden
bukan oleh Peraturan Presiden tetapi oleh Keputusan Presiden. Karena pencabutan suatu Perda
oleh Lembaga yang lebih tinggi sifatnya hanya menetapkan pencabutan perda bukan mengatur.

OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA

A. Politik Hukum Perburuhan

Restaria Hutabarat dalam artikel nya yang berjudul “Politik Perburuhan di Indonesia”
menjelaskan bahwasanya kebijakan perburuhan yang diterapkan selalu dilator belakangi oleh
kepentingan tertentu yang disusupkan dalam grand strategy kebijakan nasional (elective mirror
thesis: hukum mencerminkan kepentingan pihak tertentu).
Salah satu kepentingan yang melatarbelakangi nya adalah program globalisasi Multi
National Coorperation yang didirikan oleh Negara-negara kaya kapitalis di dunia yang kita
kenal antara lain sebagai IMF dan World Bank. Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, IMF
menawarkan pemberian hutang kepada Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan
perubahan beberapa kebijakan agar lebih menguntungkan Negara-negara kapitalis tersebut.
Dalam salah satu pasal dalam Letter of Intent dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan
beberapa perubahan yang berkaitan dengan perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility
labour market atau dalam bahasa awam dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat
fleksibel, Letter Of Intent merupakan Salah satu dokumen yang harus ditandatangani Indonesia
yang merupakan perjanjian untuk mendapatkan pinjaman dari IMF. “Following the major reform
of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation
relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been
passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial
dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to
ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including
freedom of association, and preserving a flexible labor market” (Letter of Intent Indonesia,18 Maret
2003 dapat dilihat dihttp://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm).

B. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja BukanSolusi


Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebagai salah satu dari 4 (empat) Omnibus Law
yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun 2020 dianggap oleh banyak pihak
sebagai produk Legislasi yang cacat serta tidak layak untuk diterapkan dalam system hokum
Indonesia saat ini, RUU yang rencana nya terdiri dari 11 kluster ini dianggap akan menjadi
sumbermasalahdikemudianhari.
Buruh sebagai salah satu elemen yang terkena dampak dan dirugikan secara langsung
bereaksi keras terhadap penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang akan membuat
Celaka para buruh, Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) melakukan aksi
demonstrasi pada tanggal 13 Januari 2020 di depan Kantor DPR Republik Indonesia, dalam aksi
tersebut, terdapat beberapa tuntutan yang disuarakan, yakni :
1. Menolak semua upaya pembuatan omnibus law yang tidak demokratis, mengutamakan
kepentinganbisnisdanhanyamenyengsarakanrakyatIndonesia
2. Menolak semua usaha bagi perluasan praktek pasar tenaga kerja yang fleksibel (Labour
Market Flexibility) diIndonesia
3. Menolak RUU cipta lapangan kerja yang di dalamnya mengandung pasal- pasal yang
ditujukan bagi perampasan hak atas kerja, upah layak, hak demokratis serikat buruh dan hak-
hak dasar buruhlainnya.
4. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan semua upayamengorbankan rakyat
demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan investasi. Gerakan buruh bersama rakyat juga
menolak segala kebijakan yangdilakukan
oleh pemerintah yang membuat rakyat semakin sengsara dan miskin seperti kenaikan iuran
BPJS, kenaikan tarif dasar listrik, dan lain sebagainya
Disamping itu ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan, mengapa Omnibus Law
Cipta Lapangan Kerja bukanlah suatu solusi atas permasalahan perampasan ruang hidup serta
penghisapan yang terjadi sekarang ini, bahkan berpotensi akan menjadi sumber masalah baru
apabila aturan tersebut telah sah menjadi hokum positif yang akan diterapkan di Indonesia,
adapun alasanya yaitu sebagai berikut:
Pertama, RUU Cipta Lapangan Kerja yang merupakan salah satu produk dari konsep
Omnibus Law banyak mengenalkan hal yang kurang lazim jika dibandingkan dengan hokum
positif yang diterapkan di negara kita saat ini dan belum pasti bisa diterapkan di Indonesia
tentunya. Dengan dalih sebagai inovasi di bidang pembaharuan hukum tetapi justru jika
dipikirkan, konsep tersebut sebenarnya belum cocok diterapkan di Negara ini, padahal jika
melihat pada teori sitem hukum Lawrence Meir Friedman disebutkan bahwa berhasil atau
tidaknya penegakan hukum bergantung pada Legal Substance (Substansi Hukum), Legal Structure
(Struktur Hukum/Pranata Hukum) serta Legal Culture (Budaya Hukum). Adanya kesesuaian
antara subtansi hukum dan budaya hukum adalah suatu keharusan, sederhannya apakah suatu
subtansi hukum yang hendak dikeluarkan sudah sesuai atau tidak jika diterapkan dalam
budaya hukum (legal culture) di tempat berlakunya aturan tersebut. Jika tidak, maka harus
dipertanyakan apakah subtansi hukum ini memang mengakomodir kebutuhan masyarakat
banyak atau hanya diperuntukan bagi segilintir orang saja. Dalam omnibus law RUU Cilaka ini
banyak sekali muatan substansi dalam materi yang dikeluarkan dari Kementrian Menko
Perekonomian yang tidak layak diterapkan bagi pekerja di negara ini, sebagai contoh mengenai
skema upah per jam. Meski sudah lumrah diterapkan dalam dunia kerja di negara- negara maju
seperti Luksemburg, Australia, Perancis, Selandia Baru, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris,
Irlandia, dan Kanada, hal tersebut jelas mendapat penolakan dari para buruh. Pernyataan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang dikutip dari Tempo
menganggap pemerintah tidak menyampaikan sejelas-sejelasnya definisi upah per jam yang
akan diatur melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
(Cilaka). penerapan upah per jam ini bisa berpotensi menghapus upah minimum atau jaringan
pengaman agar buruh tidak miskin, sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi
Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003, itu
baru satu contoh saja, padahal masih banyak permasalahan serupa yang belum menemui titik
terang akan solusipermasalahan.
Kedua, Berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan
Keamanan Republik Indonesia yang dikutip dari Tempo pada 22 Januari 2020, dikatakan bahwa
draft RUU Omnibus Law telah disebar ke masyarakat, sedangkan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartato menyampaikan pernyataan yang sangat
bertolak belakang dengan yang disampaikan oleh Menkopolhukam, ditegaskan bahwa draft
rancangan undang-undang omnibus law perpajakan maupun cipta lapangan kerja belum
disebar ke publik. Sehingga bila ada draft yang beredar dipastikan adalah hoaks, jelas disini
terjadi Inkonsistensi dari pemerintah terkait beredarnya draft RUU Cipta Lapangan Kerja yang
juga menambah pandangan negatif masyarakat tentang transparansi dan muatan materi dalam
RUU Cipta Lapangan Kerja. Padahal berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 j.o Undang-undang No 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, materi yang akan diundangkan wajib disebarluaskan ke masyarakat untuk
memperoleh masukan dan dapat dipantau secara langsung oleh publik. Bahkan pemerintah
sendiri membenarkan larangan untuk menyebarkan pembahasan Omnibus Law dengan dalih
tidak ingin terjadi kegaduhan. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa pemerintah
menutup diri dari masukan publik terhadap muatan materi atau substansi dari RUU Omnibus
Lawini.
Ketiga, Komposisi satuan tugas (satgas) Omnibus Law juga sangat bermasalah, Satgas
omnibus law sendiri dibentuk oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto berdasarkan
Keputusan Menko Perekonomian Nomor 378 tahun 2019 tentang Pembentukan Satuan Tugas,
Satgas ini bertujuan untuk menginventarisasi dan memberi masukan terkait RUU Omnibus Law
dan diketuai oleh Ketua umum Kamar Dagang Indonesia (KADIN) serta Menko Perekonomian
sebagai pengarah. Komposisi dari satuan tugas ini sendiri melibatkan beberapa pihak seperti
akademisi dan beberapa pihak yang dianggap perlu. Namun pada realitanya satuan tugas ini
didominasi oleh kelompok pengusaha. Dari 127 nama yang masuk menjadi bagian Satgas
bersama ini, ada 16 pengurus Kadin nasional maupun daerah yang jadi anggota Satgas.
Beberapa di antaranya adalah Erwin Aksa, Hendro Gondokusumo, Anton J Supit, Bobby Gafur
Umar, James T Riady, Raden Pardede, hingga Shinta Kamdani. Selain perwakilan Kadin, sekitar
22 orang anggota satgas tercatat sebagai ketua asosiasi bisnis. Di antaranya:
1. Ade Sudrajat saat ini sebagai ketua Asosiasi PertekstilanIndonesia
2. Sanny Iskandar saat ini sebagai ketua Himpunan KawasanIndustri
3. Eddy Widjanarko saat ini sebagai ketua Asosiasi PersepatuanIndonesia
4. Hariyadi Sukamdani saat ini sebagai ketua Asosiasi Perhimpunan HotelIndonesia
5. Aryan Warga Dalam saat ini sebagai ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia
6. Yukki Nugrahawan Hanafi saat ini sebagai ketua Asosiasi Logistik dan ForwarderIndonesia
7. Joko Supriyono saat ini sebagai ketua Gabungan Pengusaha Kelapa SawitIndonesia
8. Adhi Lukman saat ini sebagai ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh
Indonesia
9. Benny Soetrisno saat ini sebagai ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh
Indonesia
10. Roy Nicholas Mande saat ini sebagai ketua Asosiasi Pengusaha RitelIndonesia
11. Moenardji Soedargo saat ini sebagai ketua Gabungan Perusahaan KaretIndonesia
12. Pandu Patra Sjahrir saat ini sebagai ketua Asosiasi Pertambangan BatubaraIndonesia
13. Indroyono Soesil saat ini sebagai ketua Asosiasi Pengusaha HutanIndonesia
14. Tirto Kusnadi saat ini sebagaiketua Gabungan Perusahaan FarmasiIndonesia
15. Surracti Sasmita saat ini sebagai ketua Asosiasi PengusahaIndonesia
16. Kamaluddin Hasyim saat ini sebagai ketua Gabungan Usaha Penunjang Energi danMigas
17. Iskandar Z Hartawi Gabungan Pelaksana Konstruksi NasionalIndonesia
18. Joseph Pangalila saat inisebagai ketua Gabungan Perusahaan Nasional Rancang bangun
Indonesia

Jika melihat komposisi Satgas yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Perekonomian
Nomor 378 tahun 2019 dimana didominasi oleh pengusaha dari berbagai sector jelas
memperlihatkan kearah mana RUU Omnibus Law ini akan dibawa, Pemerintah jelas
berorientasi pada nilai ekonomis dan keuntungan bisnis dibandingkan memperhatikan
kesejahteraan dari para pekerja/buruh itu sendiri, padahal merekalah yang akan menjadi objek
serta yang akan merasakan dampak nya secara langsung. Tidak dilibatkan nya buruh serta
pegiat lingkungan jelas merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi, sebab kepentinggan
dan hak nya tidak mungkin akan terakomodir, sehingga di masa yang akan datang akan sangat
dimungkinkan terjadi ketimpangan social yang akan semakin meningkat jumlah nya. Yang
terakhir, Omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini bisa menambah beban regulasi jika gagal
diterapkan. Dengan sifatnya yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu
undang-undang, pembahasan undang- undang omnibus law dikhawatirkan tidak akan
komprehensif. Pembahasan akan berfokus pada undang-undang omnibus law dan melupakan
undang-undang yang akan dicabut, yang akan menghadirkan beban regulasi lebih kompleks.
Misalnya,bagaimana dampak turunan dari undang-undang yang dicabut, dampak terhadap
aturan pelaksanaannya, dan implikasi praktis di lapangan. Belum lagi jika undang-undang
omnibus law ini gagal diterapkan dan membuat persoalan regulasi semakin runyam.
Dalih lex posterior derogat legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama) saja
tidak cukup karena menata regulasi tidak bisa dengan pendekatan satu asas. Dari beberapa
alasan diatas, jelaslah bahwa Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bukanlah solusi untuk
mengatasi permasalahan akan penyerapan tenaga kerja di Indonesia, akan tetapi jika dilihat dari
awal proses pembuatanya yang cacat serta tujuan nya yang hanya berorientasi pada profit dan
peningkatan nilai investasi tentu saja sangat bertolak belakang dengan tujuan nasional bangsa
Indonesia yang tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk
melaksanakan fungsi sebagai instrument yang dapat menunjang kesejahteraan warga negara
nya tanpa diskriminasi dan atas dasar persamaan untuk mendapat hidup yang layak serta
memperoleh kebahagiaan dari berbagai aspek.
C. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Karpet Merah Oligarki

1. Legitimasi Perbudakan Era Modern

Joko Widodo yang terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode
2019-2024 menjalankan Pemerintahan dengan penuh ambisi pada semangat industrialisasi
dengan mengundang investor besar beserta iming-iming dua kata kunci: kebijakan deregulasi
serta percepatan. Dua kata kunci yang tidak hanya bisa dipahami dari pembantu-pembantu nya
maupun sumber media yang berpihak kepada pemerintah, tetapi juga bagaimana kata kunci
tersebut dijalankan secara sistematik, bahkan pada tataran operasional hingga kemudian
lahirlah ide untuk membuat sebuah Undang-undang sapu jagat, yang salah satu nya bernama
Cipta Lapangan Kerja. Omnibus Law, sebagaimana regulasi yang lain yang dibentuk oleh
Pemerintah Jokowi, memang diinisiasi untuk menciptakan iklim yang “kondusif” bagi
investasi, kepentingan korporasi, dan ruang bagi penyediaan ekspansi kapital. Tanpa
memahami politik hukum perburuhan tentang apa dan mengapa sebuah aturan perlu diatur
kembali, direvisi, atau dicabut, penting bagi kita untuk melihat bagaimana aturan-aturan itu
kemudian berdampak pada kepentingan buruh yang semakin lama semakin tergerus. Sialnya
lagi, praktik tersebut dilegitimasi oleh norma hukum yang dibuat hanya dalam kerangka
formal.
Pemerintah menggiring opini masyarakat bahwasanya dengan investasi yang masuk
akan memiliki dampak nilai ekonomis yang baik bagi sebuah negara serta imbas nya akan
berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru dan penyerapan tenaga kerja, akan tetapi
narasi yang dibuat indah tersebut sebenarnya mengabaikan perlindungan terhadap pekerja.
Dengan dalih fleksibilitas tenaga kerja sebenarnya terkandung muatan yang dapat
mencelakakan pekerja karena ketidakpastian nya serta potensi kesewenang-wenangan nya,
beberapa hal yang berpotensi kuat memperbudak atau mencelakakan para pekerja antara lain:
a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan marak terjadi akibat dari turun nya jumlah pesangon
yangnantinyaakandidapatkan.PHKmassalakan
mengancam semua pekerja karena biaya untuk memecat (pesangon) dinilai murah ketimbang
harus terus menerus menggaji buruh, disini tidak ada kepastian dalam kerja. Jika
membandingan antara Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan
muatan yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sangat berbeda,
walaupun UU Ketenagakerjaan yang saat ini dipakai dianggap jauh dari kata baik untuk buruh,
akan tetapi substansi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini akan jauh lebih buruk.
dalam pasal 153 UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berlaku saat ini mengatur
bahwa perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerjaapabila:
- Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 bulan secaraterus-menerus
- Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku
- Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya

- Pekerjamenikah

- Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusuibayinya


- Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di
dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerjabersama
- Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan
kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan perusahaan,
atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerjabersama
- Pekerja yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib mengenai perbuatan perusahaan
yang melakukan tindak pidanakejahatan
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau statusperkawinan
- Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan
Sementara dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tidak diatur mengenai pelarangan
pemutusan hubungan kerja perusahaan terhadap buruh dengan ketentuan yang sudah diatur
seperti dalam UU No 13 Tahun 2003. Hal ini merugikan buruh karena tidak ada dasar hukum
jika buruh di PHK oleh perusahaan karena buruh mengalami keadaan sesuai ketentuan dalam
pasal 153 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan hal tersebut, tentu saja
akan menjadi angin segar bagi perusahaan untuk melakukan kesewenang-wenangan terhadap
pekerja yang bekerja di perusahaan nya, selain itu perlakuan diskriminasi terhadap calon tenaga
kerja maupun pekerja yang sudah bekerja akan sangat dimungkinkan terjadi jika melihat
pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan (pekerja hamil, menjalankan ibadah sesuai agama nya,
cacat, sakit ataupun perbedaan agama maupun politik) yang tidak diatur dalam rumusan draft
yang ada pada Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Di Indonesia sendiri antara tahun 2017
sampai dengan 2019 telah terjadi ratusan ribu kasus PHK contohnya kasus PHK masal yang
terjadi di PT Arnott’s yang memaksa 300 orang pekerjanya untuk mengundurkan diri secara
sukarela, PT Freeport (PHK 8.300 buruh), PT PDK (PHK 1.300 buruh), Awak Mobil tangka
Pertamina(PHK1.950buruh)sertasektorperbankanyakniBankDanamonyangmem-PHK
2.322 pegawainya tahun 2017 silam. Padahal Disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi daripengusaha.”

b. Kesewenang-wenangan pengusaha dalam memberikan upah layak bagi pekerja : Upah pekerja
akan semakin kecil karena dihitung berdasarkan jamatau produktivitas kerja nya, sehingga
mau-tidak mau pekerja akan melakukan kerja dengan intensitas yang Panjang demi
mendapatkanupahyangdianggaplayak.JikadibandingkandenganUndang-UndangNomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada beberapa hal yang tidak terakomodir dalam
muatan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini. Dalam pasal 93 UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan diatur mengenai pekerja yang tetap menerima upah meskipun tidak bisa
bekerja dengan ketentuan- ketentuan yang sudah diatur. Contoh pemberian upah kepada buruh
yang sedang sakit. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:
- untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dariupah;
- untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dariupah;
- untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari upah;dan
- untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari upah sebelum pemutusan
hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tidak diatur mengenai upah buruh yang tetap
dibayarkan meski buruh tidak bekerja sesuai dengan ketentuan- ketentuan. Sehingga jika ada
buruh yang tidak bisa bekerja dengan alasan- alasan yang diatur seperti dalam UU No 13 Tahun
2003, maka buruh berpotensi untuk tidak akan mendapat upah. Hal ini tentu merugikan buruh
apalagi jika buruh tersebut tidak memiliki pos-pos penghasilan lain atau hanya mengandalkan
pekerjaannya sebagai buruh sebagai buruh. Beberapa kekhawatiran seperti pekerja yang
istirahat makan atau menjalankan ibadah akan dianggap sedang tidak bekerja sehingga akan
mengurangi upah yang didapatkan nya, kemudian potensi diskriminasi terhadap perempuan
juga sangat besar kemungkinan nya untuk terjadi, karena pekerja perempuan yang mengajukan
cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran, akan dianggap tidak bekerja dan imbas nya tidak
akan mendapat upah sepeser pun.
c. Tenaga Kerja Asing yang mengancam: Pemerintah Indonesia yang memiliki obsesi untuk
mendatangkan investor sebanyak mungkin tentu saja akan mencoba sebisa mungkin untuk
memuluskan syarat dari investor yang akan masuk, termasuk dari investor asing/luar negeri
yang akan menanamkan investasi nya di Indonesias, persyaratan tersebut diantara nya terkait
dengan diijinkan nya investor asing tersebut untuk mengikutsertakan atau memboyong pekerja
dari negara nya untuk bekerja di Indonesia sebagai tempat yang menjadi tujuan investasi, dan
dimaksutkan untuk menekan biaya produksi serta menaikan laba yang diperoleh dari para
investor tersebut, hal ini tentu saja menjadi momok yang menakutkan, khusus nya bagi
masyarakat Indonesia sendiri, dikarenakan ada potensi besar Tenaga Kerja Asing tersebut dapat
masuk ke Indonesia tanpa sebuah kualifikasi atau persyaratan tertentu, yang menyebabkan
posisi Tenaga Kerja asli Indonesia terancam keberadaan nya, berdasarkan data yang dihimpun
dari Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (2019) disebutkan bahwasanya hingga
akhir tahun 2018 terdapat sekitar 95.335 pekerja Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Indonesia
yang jika diperinci dari TKA berjumlah 95.335 orang itu terdapat tenaga asing profesional yang
menyumbang sebesar 30.626 orang, manajersebanyak
21.237 orang, dan adviser/konsultan/direksi sebanyak 30.708 orang serta sebagian besar
didominasi dari Negara Republik Rakyat Tiongkok sebesar
32.000 orang. Jika Omnibus Law ini disahkan, maka tidak menutup kemungkinan posisi
masyarakat Indonesia akan tergusur dengan kehadiran Tenaga Kerja Asing tersebut.

d. Kepastian Kerja Yang Sulit dan Jaminan Hak Pekerja dihilangkan : Para pekerja dalam system
kontrak maupun pekerja outsourcing (pekerja alih daya) akan berada pada posisi yang sulit
karena ketidakpastian kerja yang didapat dikarenakan Fleksibilitas system kerja yang
diterapkan, hal ini berdampak juga pada pemberian jaminan hak bagi para pekerja serta minim
nya pesangon yang didapatkan jika kontrak kerja nya habis atau jika dilakukan pemutusan
hubungan kerja oleh perusahaan, jaminan serta fasilitas kesejahteraan bagi para buruh sendiri
sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yakni dalam
Pasal 100yaitu:
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuanperusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruhdanukurankemampuanperusahaansebagaimanadimaksudpadaayat(1)danayat(2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah

Muatan yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini memiliki potensi besar
untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan kewajiban pengusaha akan hak berupa
jaminan kerja bagi buruh, apabila hal ini benar-benar terjadi maka jelaslah Negara tidak
memperhatikan kesejahteraan para buruh dan mewujudkan kemakmuran bagi warga negara
nya.
e. Sanksi Pidana bagi pengusaha pelanggar hak pekerja akan dihapuskan: Jika dibandingkan,
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003) mencantumkan sanksi bagi
korporasi apabila melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut, sanksi
nya dibagi menjadi Sanksi Pidana (tercantum dalam pasal 183 sampai 189), serta sanksi
Administratif (tercantum dalam pasal 190). Adapun sanksi pidana dapat berupa pidana penjara
(maksimal 5 tahun), kurungan, dan/atau denda (maksimal 500 juta rupiah) serta tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayarkan hak pekerja dan atau ganti
rugi kepada karyawan yang bersangkutan. Dalam muatan substansi Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja ini sanksi pidana pelanggaran hak ketenagakerjaan akan dihilangkan dan
difokuskan pada pemberian sanksi administrative, sehingga pelanggaran hak ketenagakerjaan
akan semakin massive, pengusaha dimungkinkan bisa menghindari pemenuhan hak pekerja
seperti BPJS (ketenagakerjaan dan kesehatan), melakukan pemecatan terhadap pekerja yang
mendirikan serikat atau ikut dalam serikat buruh yang telah ada/terbentuk, membayar upah
yang minim serta melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak tanpa takut denga n
adanya saksi berupapemidanaan.

2. Pertegas Bencana Ekologis


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007) ygmenjadi rujukan dasar bagi para pelaku
Penanggulangan Bencana dan aktivis Lingkungan Hidup tidak dijelaskan mengenai terminologi
bencana ekologis, sehingga banyak pendapat yang mendefinisikan bencana ekologis. Abetnego
Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) periode 2012-2017 membedakan
secara jelas antara bencana alam dengan bencana ekologis. Bencana alam disebabkan oleh alam,
dan bencana ekologis disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak menghargai lingkungan,
denganmengambilcontohbanjiryangterjadidibeberapadaerah,AbetnegoTariganberpendapat
bahwa banjir bukanlah bencana alam, melainkan bencana ekologiss yang disebabkan utama nya
karena tindakan manusia. Bencana ekologis dapat diatasi dengan 3 (tiga) tindakan, yaitu Kesadaran
masyarakat yang perlu dibina agar dapat menjaga lingkungan, Kebijakan pemerintah yang tegas
serta komitmen untuk menegakan nya, serta Penegakan hukum yang harus dikedepankan. Dari
pengertian yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwasanya bencana ekologis dapat terjadi
karena tindakan manusia yang melakukan eksploitasi alam secara berlebihan tanpa diimbangi
dengan pemulihanya kembali, beberapa contoh aktivitas manusia yang memungkinkan terjadinya
bencana ekologis yaitu adalah penebangan pohon dan penggundulan hutan, pembangunan pabrik
di tempat yang sebenarnya tidak direkomendasikan untuk berdiri (contoh: pembangunan pabrik
semen di Kawasan Cekungan Air Tanah), penambangan pada tanah tanpa memperhatikan kondisi
sekitar serta beberapa hal lain. Diakui memang, eksploitasi alam tersebut dapat menambah
pemasukan bagi daerah maupun negara dengan nilai ekonomis yang dihasilkan, akan tetapi hal
tersebut tidak sebanding dengan kerusakan alam yang dihasilkan karena nya Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja yang ditujukan untuk menggaet investor sebanyak-banyak nya memiliki
kemungkinan yang sangat tinggi terhadap makin parah nya kerusakan lingkungan yang
dihasilkan. RUU Cilaka akan membuat penggusuran ruang hidup masyarakat untuk kepentingan
investasi semakinmarak.
Mempertahankan ruang hidup akan semakin sulit bagi masyarakat. Sejarah telah
membuktikan bahwa nafsu menggenjot keuntungan jangka pendek kerap berimplikasi pada
ongkos lingkungan dan kesehatan jangka panjang. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera,
banjir Jakarta, lubang tambang yang menganga di seluruh nusantara, kekeringan di Jawa Barat dan
Nusa Tenggara - semua adalah pembelajaran bagi kita untuk tidak lupa menghitung ongkos
lingkungan dalam pembangunan (CatatanTEMPO).
Pakar Hukum Lingkungan Dr. Wahyu Nugroho, SH., MH yang juga berprofesi sebagai
Dosen Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta menyoroti penyusunan
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini, terkhsus pada aspek lingkungan, bahwa Pemerintah
Indonesia seharusnya memiliki cara pandang yang holistik terhadap kebijakan omnibus law yang
bukan hanya mengedepankan investasi, melainkan juga menyeimbangkan dengan instrumen
lingkungan hidup yang merupakan instrumen pokok sebagai fungsi pengendalian atas terjadinya
pencemaran ataukerusakan lingkungan hidup dalam rangka menegakkan hukum lingkungan yang
bermakna preventif, dan disinilah negara berperan fungsi regulerend dan controlling. Dalam catatan
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang diterbitkan pada 2018 (www.mongabay.co.id)
disebutkanbahwasanyaIndonesiadalamkondisidaruratekologis,halinidisebabkandarisituasi
atau keadaan genting akibat kerusakan lingkungan hidup. Ini bersumber dari aktivitas monopoli
penguasaan sumber daya alam tidak ramah lingkungan yang berdampak pada hilangnya akses
masyarakat terhadap sumber penghidupan.dalam catatan WALHI dinyatakan bahwa sekitar
159.178.237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30,65% wilayah Indonesia
(darat dan laut). Sebagai gambaran, luas daratan Indonesia sekitar 191.944.000 hektar dan luas laut
mencapai 327. 381.000 hektar. Sebaran izin tersebut, 59,77% ada di darat dan 13,57% di laut.
Penggunaan ruang bisa lebih besar, apabila data perizinan daerah dapat teregistrasi atau
dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian atau lembaga. Walhi juga mencatat, ada 302
konflik lingkungan hidup dan Agraria terjadi sepanjang 2017, serta 163 orang dikriminalisasi. Data
ini bersumber dari 13 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian
bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis. Jika dilihat dari segi
penerapan hukum, dari hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan oleh WALHI dinyatakan
bahwa penindakan kepada korporasi belum maksimal.
Putusan badan peradilan masih dominan menguntungkan korporasi beberapa
kekhawatiran yang mungkin terjadi apabila Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini berlaku,
diantara nya yaitu berkaitan dengan Penghilangan atau pemangkasan izin AMDAL, UKL-UPL, izin
lingkungan, IMB demi percepatan dan kemudahan dalam melakukan investasi. Ketika dokumen-
dokumen tersebut dihilangkan, maka yang menjadi kekhawatiran adalah pengendalian terhadap
pencemaran maupun pengrusakan lingkungan tidak akan dapat terkontrol secara baik lagi, selain
itu upaya pencegahan bencana menjadi tidak efektif lagi dikarenakan hilang nya persyaratan-
persyaratan tersebut. Dan yang tidak kalah penting yaitu hilang nya ruang partisipasi aktif public
untuk turut menentukan, memantau, memberi saran atau bahkan melakukan penolakan
berdasarkan kajian yang dilakukan.

Berdasarkan kajian diatas, terdapat banyak poin yang merugikan pekerja di sektor formal
dan informal atas diberlakukannya Undang-undang Omnibus Law. Oleh karena itu kami BEM
KBM Untirta menyatakan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.

Mosi Penolakan BEM KBM Untirta Terhadap Omnibus Law Cipta Kerja

[ 1 ] RUU Cipta Kerja, diciptakan untuk keuntungan Oligarki.


Penjelasannya

[ 2 ] RUU Cipta Kerja, mengembalikan masa Orde Baru.


Penjelasannya

[ 3 ] RUU Cipta Kerja, tidak memiliki asas keterbukaan informasi, materil, keadilan dan
ketertiban hukum.
Penjelasannya

[ 4 ] RUU Cipta Kerja, mengkhianati Reforma Agraria.


Penjelasannya

[ 5 ] RUU Cipta Kerja, menciptakan Kerusakan Lingkungan Hidup.


Penjelasannya

[ 6 ] RUU Cipta Kerja, tidak ramah kepada hak-hak buruh perempuan.


Penjelasannya

Demikian kajian dan penolakan omnibus law disusun berdasarkan data empiris dan aktual. Besar
harapan dapat di gunakan dengan semestinya sebagai landasan pergerakan demi mewujudkan
kesejahteraan Indonesia yang adil dan beradab.

Anda mungkin juga menyukai