Omnibus Law menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat sejak pertama kali
dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato nya, sebab konsep tersebut lazim nya
banyak digunakan oleh negara-negara yang menganut system Common Law seperti Amerika
Serikat, Inggris, Korea Selatan, Australia, dan Jerman, dan dianggap tidak cocok jika diterapkan
di Indonesia yang menganut system Civil Law, dikhawatirkan jika dipaksakan diterapkan di
Indonesia, maka akan membuat masalah baru di kemudian hari, selanjutnya prinsip sentralisasi
yang mencuat dari konsep Omnibus Law yang akan diterapkan ini dianggap sebagai bentuk
penghianatan terhadap agenda Reformasi yang telah diperjuangkan, sebab pemerintah daerah
akan dibatasi hak nya dalam mengeksekusi kebijakan serupa di daerah sebagai wilayah
administrasi nya.
Salah satu RUU Omnibus Law yang menjadi sorotan tajam ialah mengenai Cipta
Lapangan Kerja, berdasarkan informasi yang diakses di kemenkeu.go.id dan setkab.go.idtertanggal
16 Januari 2020 dijelaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia,
Airlangga Hartato bahwa dalam RUU tentang Cipta Lapangan Kerja terdapat 1244 pasal yang
terkandung dari 79 Undang-Undang dan akan terbagi menjadi 11 klaster (penyederhanaan
perizinan, persyaratan investasi, Ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan
perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan investasi, administrasi
pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, Kawasan
ekonomi)
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga
mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia, Prof Maria Farida Indrati menyampaikan
keberatanya mengenai omnibus law yang sedang dikerjakan secara cepat oleh Pemerintah dan
DPR, Prof Maria berpandangan bahwa penysunan 1 (satu) UU yang mengatur satu substansi
saja diperlukan banyak tahapan, terlebih lagi jika membuat 1 (satu) UU yang mengakomodir
lebih dari 70 UU seperti omnibus law ini jelas membutuhkan kajian yang lebih mendalam atau
komprehensif, dengan dimulai dari proses pemetaan, penyisiran sejumlah UU, hingga
mencabut pasal-pasal yang saling tumpang tindih di berbagai peraturan. Omnibus law adalah
konsep yang lazim digunakan oleh negara-negara dengan system Common Law dan apabila
diterapkan pada Indonesia yang menganut Civil Law tentu nya dikhawatirkan akan memiliki
masalah baru terkait dengan kepastian hukum dan berpotensi menyulitkan serta
membingungkan banyak orang nanti nya, sebab jika UU Omnibus Law dari berbagai macam
aturan hanya diambil sepotong-sepotong akan jadi seperi apa? Misalnya, mencabut pasal 1
dalam sebuah UU yang mengatur definisi bisa berdampak juga pada tidak sinkron nya dengan
pasal-pasal lain. Bagi nya, membuat sebuah UU yang mengatur hajat hidup orang banyak tidak
boleh dilakukan dengan sembarangan, Prof Maria mencontohkan proses penyusunan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memakan waktu hingga puluhan tahun
dalam proses pengkajian nya demi tercipta sebuah aturan yang menjadi cerminan jati diri
bangsa.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Ronald Rofiandri dalam keterangan nya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
yang diselenggarakan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menilai ada empat prasyarat yang
perlu dipenuhi sebelum omnibus law dibahas. Pertama, pemerintah serta DPR perlu menjamin
bahwa sasaran dari omnibus law adalah perubahan, pencabutan, atau pemberlakuan dari fakta
yang terkait tetapi terpisah dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua,
pemerintah bersama DPR perlu melakukan pemetaan regulasi yang terkait baik secara
horizontal maupun vertikal dan landasan dari setiap UU yang direvisi melalui omnibus law
serta perlu diuji kembali landasan sosiologis serta filosofisnya. Ketiga, omnibus law yang
nantinya dibahas tidak boleh diposisikan menjadi UU payung karena system hukum dan
legislasi Indonesia tidak mengenal UU semacam itu Dan Keempat, apabila omnibus law bersifat
umum maka regulasi tersebut perlu mencabut ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan.
Meski demikian, hal ini berpotensi menimbulkan masalah apabila omnibus law yang bersifat
umum berhadapan dengan aturan yang bersifat khusus yang mengesampingkan aturan umum.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan
bahwasanya pemerintah serta DPR untuk tidak memaksakan keberadaan omnibus law karena
sangat sulit untuk menyatukan banyak objek hukum dalam satu UU. Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti keberpihakan pemerintah kepada pengusaha
dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU yang diusung
pemerintahan Presiden Joko Widodo ini dinilai akan memperparah ketimpangan penegakan
hukum di Indonesia. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan Omnibus
Law memberikan keringanan kepada pengusaha dengan mengurangi syarat lingkungan hidup,
mempermudah perpanjangan izin usaha, dan penghapusan pidana bagi korporasi pelanggar
hak, selain itu aturan tersebut memperparah ketimpangan penegakan hukum, khususnya
terkait konflik lahan antara masyarakat dengan korporasi. Selain berimplikasi pada penegakan
hukum yang sangat lemah bagi perusahaan pelanggar hak dan perusak lingkungan.
Rumusan yang diatur dalam Pasal 251 RUU Omnibus Law Cipta Kerja:
Perda provinsi dan peraturan gubernur dan/atau perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota,
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan.
Perda provinsi dan peraturan gubernur dan/atau perda kabupaten/kota dan peraturan
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
dengan peraturan presiden.
Rumusan yang diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak bertentangan dengan
Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 karena berdasarkan UU No 23 Tahun 2014, Perda
Provinsi dibatalkan oleh Menteri dan Perda Kabupaten/Kota dibatalkan oleh Gubernur,
sedangkan dalam rumusan RUU Omnibus Law Cipta Kerja baik Perda
Provinsi/Kabupaten/Kota dicabut oleh Peraturan Presiden, dan yang mengeluarkannya adalah
Presiden bukan Menteri atau Gubernur. Namun seharusnya pencabutan Perda oleh Presiden
bukan oleh Peraturan Presiden tetapi oleh Keputusan Presiden. Karena pencabutan suatu Perda
oleh Lembaga yang lebih tinggi sifatnya hanya menetapkan pencabutan perda bukan mengatur.
Restaria Hutabarat dalam artikel nya yang berjudul “Politik Perburuhan di Indonesia”
menjelaskan bahwasanya kebijakan perburuhan yang diterapkan selalu dilator belakangi oleh
kepentingan tertentu yang disusupkan dalam grand strategy kebijakan nasional (elective mirror
thesis: hukum mencerminkan kepentingan pihak tertentu).
Salah satu kepentingan yang melatarbelakangi nya adalah program globalisasi Multi
National Coorperation yang didirikan oleh Negara-negara kaya kapitalis di dunia yang kita
kenal antara lain sebagai IMF dan World Bank. Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, IMF
menawarkan pemberian hutang kepada Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan
perubahan beberapa kebijakan agar lebih menguntungkan Negara-negara kapitalis tersebut.
Dalam salah satu pasal dalam Letter of Intent dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan
beberapa perubahan yang berkaitan dengan perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility
labour market atau dalam bahasa awam dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat
fleksibel, Letter Of Intent merupakan Salah satu dokumen yang harus ditandatangani Indonesia
yang merupakan perjanjian untuk mendapatkan pinjaman dari IMF. “Following the major reform
of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation
relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been
passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial
dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to
ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including
freedom of association, and preserving a flexible labor market” (Letter of Intent Indonesia,18 Maret
2003 dapat dilihat dihttp://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm).
Jika melihat komposisi Satgas yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Perekonomian
Nomor 378 tahun 2019 dimana didominasi oleh pengusaha dari berbagai sector jelas
memperlihatkan kearah mana RUU Omnibus Law ini akan dibawa, Pemerintah jelas
berorientasi pada nilai ekonomis dan keuntungan bisnis dibandingkan memperhatikan
kesejahteraan dari para pekerja/buruh itu sendiri, padahal merekalah yang akan menjadi objek
serta yang akan merasakan dampak nya secara langsung. Tidak dilibatkan nya buruh serta
pegiat lingkungan jelas merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi, sebab kepentinggan
dan hak nya tidak mungkin akan terakomodir, sehingga di masa yang akan datang akan sangat
dimungkinkan terjadi ketimpangan social yang akan semakin meningkat jumlah nya. Yang
terakhir, Omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini bisa menambah beban regulasi jika gagal
diterapkan. Dengan sifatnya yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu
undang-undang, pembahasan undang- undang omnibus law dikhawatirkan tidak akan
komprehensif. Pembahasan akan berfokus pada undang-undang omnibus law dan melupakan
undang-undang yang akan dicabut, yang akan menghadirkan beban regulasi lebih kompleks.
Misalnya,bagaimana dampak turunan dari undang-undang yang dicabut, dampak terhadap
aturan pelaksanaannya, dan implikasi praktis di lapangan. Belum lagi jika undang-undang
omnibus law ini gagal diterapkan dan membuat persoalan regulasi semakin runyam.
Dalih lex posterior derogat legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama) saja
tidak cukup karena menata regulasi tidak bisa dengan pendekatan satu asas. Dari beberapa
alasan diatas, jelaslah bahwa Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bukanlah solusi untuk
mengatasi permasalahan akan penyerapan tenaga kerja di Indonesia, akan tetapi jika dilihat dari
awal proses pembuatanya yang cacat serta tujuan nya yang hanya berorientasi pada profit dan
peningkatan nilai investasi tentu saja sangat bertolak belakang dengan tujuan nasional bangsa
Indonesia yang tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk
melaksanakan fungsi sebagai instrument yang dapat menunjang kesejahteraan warga negara
nya tanpa diskriminasi dan atas dasar persamaan untuk mendapat hidup yang layak serta
memperoleh kebahagiaan dari berbagai aspek.
C. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Karpet Merah Oligarki
Joko Widodo yang terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode
2019-2024 menjalankan Pemerintahan dengan penuh ambisi pada semangat industrialisasi
dengan mengundang investor besar beserta iming-iming dua kata kunci: kebijakan deregulasi
serta percepatan. Dua kata kunci yang tidak hanya bisa dipahami dari pembantu-pembantu nya
maupun sumber media yang berpihak kepada pemerintah, tetapi juga bagaimana kata kunci
tersebut dijalankan secara sistematik, bahkan pada tataran operasional hingga kemudian
lahirlah ide untuk membuat sebuah Undang-undang sapu jagat, yang salah satu nya bernama
Cipta Lapangan Kerja. Omnibus Law, sebagaimana regulasi yang lain yang dibentuk oleh
Pemerintah Jokowi, memang diinisiasi untuk menciptakan iklim yang “kondusif” bagi
investasi, kepentingan korporasi, dan ruang bagi penyediaan ekspansi kapital. Tanpa
memahami politik hukum perburuhan tentang apa dan mengapa sebuah aturan perlu diatur
kembali, direvisi, atau dicabut, penting bagi kita untuk melihat bagaimana aturan-aturan itu
kemudian berdampak pada kepentingan buruh yang semakin lama semakin tergerus. Sialnya
lagi, praktik tersebut dilegitimasi oleh norma hukum yang dibuat hanya dalam kerangka
formal.
Pemerintah menggiring opini masyarakat bahwasanya dengan investasi yang masuk
akan memiliki dampak nilai ekonomis yang baik bagi sebuah negara serta imbas nya akan
berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru dan penyerapan tenaga kerja, akan tetapi
narasi yang dibuat indah tersebut sebenarnya mengabaikan perlindungan terhadap pekerja.
Dengan dalih fleksibilitas tenaga kerja sebenarnya terkandung muatan yang dapat
mencelakakan pekerja karena ketidakpastian nya serta potensi kesewenang-wenangan nya,
beberapa hal yang berpotensi kuat memperbudak atau mencelakakan para pekerja antara lain:
a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan marak terjadi akibat dari turun nya jumlah pesangon
yangnantinyaakandidapatkan.PHKmassalakan
mengancam semua pekerja karena biaya untuk memecat (pesangon) dinilai murah ketimbang
harus terus menerus menggaji buruh, disini tidak ada kepastian dalam kerja. Jika
membandingan antara Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan
muatan yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sangat berbeda,
walaupun UU Ketenagakerjaan yang saat ini dipakai dianggap jauh dari kata baik untuk buruh,
akan tetapi substansi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini akan jauh lebih buruk.
dalam pasal 153 UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berlaku saat ini mengatur
bahwa perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerjaapabila:
- Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 bulan secaraterus-menerus
- Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku
- Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
- Pekerjamenikah
b. Kesewenang-wenangan pengusaha dalam memberikan upah layak bagi pekerja : Upah pekerja
akan semakin kecil karena dihitung berdasarkan jamatau produktivitas kerja nya, sehingga
mau-tidak mau pekerja akan melakukan kerja dengan intensitas yang Panjang demi
mendapatkanupahyangdianggaplayak.JikadibandingkandenganUndang-UndangNomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada beberapa hal yang tidak terakomodir dalam
muatan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini. Dalam pasal 93 UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan diatur mengenai pekerja yang tetap menerima upah meskipun tidak bisa
bekerja dengan ketentuan- ketentuan yang sudah diatur. Contoh pemberian upah kepada buruh
yang sedang sakit. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:
- untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dariupah;
- untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dariupah;
- untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari upah;dan
- untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari upah sebelum pemutusan
hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tidak diatur mengenai upah buruh yang tetap
dibayarkan meski buruh tidak bekerja sesuai dengan ketentuan- ketentuan. Sehingga jika ada
buruh yang tidak bisa bekerja dengan alasan- alasan yang diatur seperti dalam UU No 13 Tahun
2003, maka buruh berpotensi untuk tidak akan mendapat upah. Hal ini tentu merugikan buruh
apalagi jika buruh tersebut tidak memiliki pos-pos penghasilan lain atau hanya mengandalkan
pekerjaannya sebagai buruh sebagai buruh. Beberapa kekhawatiran seperti pekerja yang
istirahat makan atau menjalankan ibadah akan dianggap sedang tidak bekerja sehingga akan
mengurangi upah yang didapatkan nya, kemudian potensi diskriminasi terhadap perempuan
juga sangat besar kemungkinan nya untuk terjadi, karena pekerja perempuan yang mengajukan
cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran, akan dianggap tidak bekerja dan imbas nya tidak
akan mendapat upah sepeser pun.
c. Tenaga Kerja Asing yang mengancam: Pemerintah Indonesia yang memiliki obsesi untuk
mendatangkan investor sebanyak mungkin tentu saja akan mencoba sebisa mungkin untuk
memuluskan syarat dari investor yang akan masuk, termasuk dari investor asing/luar negeri
yang akan menanamkan investasi nya di Indonesias, persyaratan tersebut diantara nya terkait
dengan diijinkan nya investor asing tersebut untuk mengikutsertakan atau memboyong pekerja
dari negara nya untuk bekerja di Indonesia sebagai tempat yang menjadi tujuan investasi, dan
dimaksutkan untuk menekan biaya produksi serta menaikan laba yang diperoleh dari para
investor tersebut, hal ini tentu saja menjadi momok yang menakutkan, khusus nya bagi
masyarakat Indonesia sendiri, dikarenakan ada potensi besar Tenaga Kerja Asing tersebut dapat
masuk ke Indonesia tanpa sebuah kualifikasi atau persyaratan tertentu, yang menyebabkan
posisi Tenaga Kerja asli Indonesia terancam keberadaan nya, berdasarkan data yang dihimpun
dari Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (2019) disebutkan bahwasanya hingga
akhir tahun 2018 terdapat sekitar 95.335 pekerja Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Indonesia
yang jika diperinci dari TKA berjumlah 95.335 orang itu terdapat tenaga asing profesional yang
menyumbang sebesar 30.626 orang, manajersebanyak
21.237 orang, dan adviser/konsultan/direksi sebanyak 30.708 orang serta sebagian besar
didominasi dari Negara Republik Rakyat Tiongkok sebesar
32.000 orang. Jika Omnibus Law ini disahkan, maka tidak menutup kemungkinan posisi
masyarakat Indonesia akan tergusur dengan kehadiran Tenaga Kerja Asing tersebut.
d. Kepastian Kerja Yang Sulit dan Jaminan Hak Pekerja dihilangkan : Para pekerja dalam system
kontrak maupun pekerja outsourcing (pekerja alih daya) akan berada pada posisi yang sulit
karena ketidakpastian kerja yang didapat dikarenakan Fleksibilitas system kerja yang
diterapkan, hal ini berdampak juga pada pemberian jaminan hak bagi para pekerja serta minim
nya pesangon yang didapatkan jika kontrak kerja nya habis atau jika dilakukan pemutusan
hubungan kerja oleh perusahaan, jaminan serta fasilitas kesejahteraan bagi para buruh sendiri
sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yakni dalam
Pasal 100yaitu:
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuanperusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruhdanukurankemampuanperusahaansebagaimanadimaksudpadaayat(1)danayat(2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah
Muatan yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini memiliki potensi besar
untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan kewajiban pengusaha akan hak berupa
jaminan kerja bagi buruh, apabila hal ini benar-benar terjadi maka jelaslah Negara tidak
memperhatikan kesejahteraan para buruh dan mewujudkan kemakmuran bagi warga negara
nya.
e. Sanksi Pidana bagi pengusaha pelanggar hak pekerja akan dihapuskan: Jika dibandingkan,
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003) mencantumkan sanksi bagi
korporasi apabila melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut, sanksi
nya dibagi menjadi Sanksi Pidana (tercantum dalam pasal 183 sampai 189), serta sanksi
Administratif (tercantum dalam pasal 190). Adapun sanksi pidana dapat berupa pidana penjara
(maksimal 5 tahun), kurungan, dan/atau denda (maksimal 500 juta rupiah) serta tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayarkan hak pekerja dan atau ganti
rugi kepada karyawan yang bersangkutan. Dalam muatan substansi Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja ini sanksi pidana pelanggaran hak ketenagakerjaan akan dihilangkan dan
difokuskan pada pemberian sanksi administrative, sehingga pelanggaran hak ketenagakerjaan
akan semakin massive, pengusaha dimungkinkan bisa menghindari pemenuhan hak pekerja
seperti BPJS (ketenagakerjaan dan kesehatan), melakukan pemecatan terhadap pekerja yang
mendirikan serikat atau ikut dalam serikat buruh yang telah ada/terbentuk, membayar upah
yang minim serta melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak tanpa takut denga n
adanya saksi berupapemidanaan.
Berdasarkan kajian diatas, terdapat banyak poin yang merugikan pekerja di sektor formal
dan informal atas diberlakukannya Undang-undang Omnibus Law. Oleh karena itu kami BEM
KBM Untirta menyatakan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.
Mosi Penolakan BEM KBM Untirta Terhadap Omnibus Law Cipta Kerja
[ 3 ] RUU Cipta Kerja, tidak memiliki asas keterbukaan informasi, materil, keadilan dan
ketertiban hukum.
Penjelasannya
Demikian kajian dan penolakan omnibus law disusun berdasarkan data empiris dan aktual. Besar
harapan dapat di gunakan dengan semestinya sebagai landasan pergerakan demi mewujudkan
kesejahteraan Indonesia yang adil dan beradab.