Anda di halaman 1dari 2

RIVIEW TENTANG OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

Dengan waktu penyusunan yang relatif singkat, DPR akhirnya mengesahkan


Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja
alias Cilaka) sebagai undang-undang, Senin (5/10/2020). Mengikuti jejak revisi
Undang-Undang Minerba, peraturan yang disusun dengan metode omnibus ini juga
memanfaatkan masa pandemi COVID-19 untuk mengurangi kebisingan dan
penolakan dari kelompok penolak, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, serikat buruh
hingga rakyat pekerja secara luas. Sedikitnya ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang
direvisi sekaligus melalui beleid sapujagat ini.

Omnibus Law mencakup 11 klaster dari 31 kementerian dan lembaga terkait. 11


klaster tersebut adalah: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3)
Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5)
Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi
Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek
Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi. Telah banyak pihak menyampaikan
kekhawatiran atas substansi dari undang-undang ini. Mengingat cakupannya yang
luas dan kompleks, perhatian atas UU Cipta Kerja cenderung parsial: fokus pada
klaster-klaster tertentu. Kelompok buruh, misalnya, fokus mengkritisi pasal-pasal
pada klaster ketenagakerjaan; sedangkan aktivis lingkungan memberika.

Terdapat beberapa hal yang perlu dipersoalkan secara hukum dalam proses
pembentukan undang-undang itu. Pertama, meski draf rancangan sudah diserahkan
pemerintah ke DPR, hingga kini belum ada draf dan naskah akademis rancangan itu
yang dipublikasikan secara resmi. Sejauh ini, masyarakat hanya mendapatkan draf
yang beredar melalui aplikasi percakapan online. Draf yang beredar tersebut berisi 15
bab dan 73 pasal serta merevisi 79 undang-undang. Bila merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana pernyataan Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK), ketiadaan publikasi draf dan naskah akademis melanggar prinsip
pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan yang diatur
dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang itu juga
mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan rancangan undang-undang
sejak tahap penyusunan.

Perhatian lebih besar terhadap dampak undang-undang sapu jagat ini bagi lingkungan
dan seterusnya. Tentu tidak ada yang keliru dari itu karena kelompok sosial dalam
masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dalam melihat undang-undang ini.
Namun demikian, pembacaan parsial akan sulit menghasilkan gambaran menyeluruh
yang menjadi perekat antara kepentingan dari masing-masing kelompok.

Menurut kajian "Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja -
Fakultas Hukum UGM 2020", RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan
ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Sebagian
besar peraturan yang diubah dalam RUU ini banyak berbicara mengenai efisiensi dan
peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi RUU ini justru tidak mengubah atau
membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan
kompetensi pekerja. Padahal, berbicara mengenai penciptaan lapangan kerja
seharusnya justru berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon
tenaga kerja. Alih-alih perlindungan pekerja, RUU Cipta Kerja justru berpotensi
membuat pasal ketenagakerjaan kembali terpinggirkan, tergerus oleh kebutuhan
investasi dan ekonomi. Padahal, dalam hubungan industrial Pancasila, perlindungan
pekerja merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah.

Bagaimana menyikapi pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini?

Dari segi filosofis, apakah Undang-Undang yang dibentuk ini sudah memenuhi
landasan fundamental masyarakat Indonesia? Sebagai contoh di Pancasila adalah Sila
ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ketika sebuah aturan tidak mempunyai legitimasi secara filosofis, berarti Undang-
Undang tersebut tidak mendapatkan legitimasi di masyarakat ketika diberlakukan.

Lalu apakah Undang-Undang ini sudah memenuhi landasan sosiologis? Bagaimana


harapan masyarakat Indonesia secara fundamental terhadap satu aturan yang akan
dibentuk.

Kemudian asas yuridis. Apakah Undang-Undang yang dibentuk ini bertentangan atau
tidak dengan Undang-Undang Dasar? Apakah bertentangan atau tidak dengan
Undang-Undang yang sederajat.

Paparan ini cukup menggambarkan bahwa terdapat masalah hukum serius dalam
pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. Wajar bila rancangan tersebut menuai
banyak penolakan. Sebelum terlalu jauh melangkah, pemerintah dan DPR perlu
mengkaji ulang persoalan tersebut. Jangan sampai pembentukan Undang-Undang
Cipta Kerja malah memperumit persoalan karena menabrak banyak norma dan
berpotensi tidak dapat dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai