Anda di halaman 1dari 7

Gambar oleh Sang Hyun Cho dari Pixabay,

https://pixabay.com/id/photos/keadilan-patung-
wanita-keadilan-2060093/

RUU Cipta Kerja dan


Policy Brief
Ancaman Krisis Edisi 5, 2020

Perburuhan Indonesia

NARASUMBER Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU-CK) telah ramai


dibicarakan karena dianggap tidak mencerminkan kebutuhan dan
- Rimawan Pradiptyo keinginan masyarakat. Pembahasan RUU-CK dianggap terlalu
(Pakar Ekonomi, Dosen terburu-buru, serta tidak memiliki arah tujuan dibentuknya suatu
FEB UGM) undang-undang yang jelas. RUU-CK yang dalam teknis
- Nabiyla Risfa Izzati penyusunannya menggunakan model Omnibus Law mencakup 11
(Dosen FH UGM)
bidang kebijakan. Hal ini menjadi kritik utama, karena bidang
- Anis Hidayah (Founder
Migrant Care) kebijakan tersebut yang sangat luas dan berpotensi menciptakan
sistem yang sedemikian kompleks. Sangat sulit membaca isi RUU-
CK secara komprehensif atau mendetail untuk mendeteksi
kekurangan ataupun celah hukum RUU ini. Hal ini sangat berbahaya
dan potensial menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi masyarakat
“Sekalipun berjudul ‘Cipta
luas namun juga pemerintah sendiri sebagai pembuat peraturan.
Kerja’, RUU-CK lebih fokus
pada tujuan peningkatan Sekalipun berjudul ‘Cipta Kerja’, RUU-CK hanya fokus pada tujuan
ekonomi dan abai peningkatan ekonomi dan abai terhadap peningkatan kompetensi
terhadap peningkatan sumber daya manusia. Substansi RUU-CK bahkan mengancam
kompetensi sumber daya kesejahteraan buruh.
manusia.” Policy Brief ini bermaksud memberikan catatan kritis terhadap
pengaruh RUU-CK terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia
dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, dengan memberikan
perhatian khusus terhadap nasib buruh perempuan dalam pusaran
RUU-CK. Di samping itu, Policy Brief juga berusaha menelaah
COPYWRITER relevansi kelanjutan pembahasan RUU-CK di tengah pandemi
Diantika Rindam Floranti COVID-19 saat ini dari sudut pandang ilmu ekonomi.

Policy Brief ini dapat diakses melalui Homepage Pusat Kajian Hukum, Gender, dan Masyarakat (Law,
Gender, and Society) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Homepage: http://lgs.law.ugm.ac.id
RUU-CK dan
Ancaman Krisis Page 2
Perburuhan Indonesia

RUU-CK sebagai Omnibus Law dan Pengaruhnya


terhadap Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia

RUU-CK sebagai Omnibus Law “RUU-CK


RUU-CK dalam teknis penyusunannya menggunakan model Omnibus Law. menggabungkan 11
Omnibus Law sendiri tidak merujuk pada suatu RUU tertentu saja. Omnibus bidang yang memiliki
Law adalah sebuah proses / metode satu Undang-Undang untuk memuat
corak dan paradigma
banyak hal yang berkaitan terhadap suatu isu. Tujuan digunakannya metode
ini adalah untuk mengharmonisasikan undang-undang yang tumpah tindih / hukum yang tak
deregulasi. Namun di sisi lain, metode ini dapat menimbulkan komplikasi jika seragam. Sehingga
substansi yang diatur sangat luas. pada akhirnya, jika RUU
RUU-CK menggabungkan 11 bidang yang memiliki corak dan paradigma hukum ini tetap disetujui tujuan
yang tak seragam. Sehingga pada akhirnya, jika RUU ini tetap disetujui tujuan harmonisasi dan
harmonisasi dan deregulasi tidak tercapai. Jika melihat substansinya, RUU-CK deregulasi tidak
hanya mencabut 2 dari 79 UU, sementara 77 UU lainnya hanya direvisi dan tercapai.”
tidak sepenuhnya dicabut. RUU-CK membuat jumlah UU menjadi 78 UU dan
selanjutnya akan menciptakan sekitar 500 peraturan pelaksana. Akibatnya ini
akan justru menambah kompleksitas sistem dan regulasi. Oleh karenanya,
dalam hal RUU-CK, tujuan metode omnibus tidak tercapai.

Penamaan RUU “Cipta Kerja”?


RUU ini berjudul “Cipta Lapangan Kerja” sebelum kemudian diganti dengan “Cipta Kerja”. Namun pergantian
judul tersebut tidaklah signifikan terhadap substansi, karena RUU ini tetap fokus pada tujuan peningkatan
ekonomi dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Aspek ketenagakerjaan hanya satu
bagian dari 11 bidang yang diatur dalam RUU-CK. Bidang ketenagakerjaan baru diatur dalam pasal 88 di mana
pasal tersebut menyebutkan bahwa: “tujuan dari diubahnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai
ketenagakerjaan dalam RUU-CK adalah untuk meningkatkan peran pekerja dalam mendukung ekosistem
investasi”. Terlihat bahwa paradigma yang digunakan oleh RUU-CK adalah melihat buruh sebagai objek untuk
mendukung ekosistem investasi dan bukan melindungi hak buruh. RUU-CK sendiri berpotensi mengesampingkan
perlindungan ketenagakerjaan. Substansi dari RUU-CK tidaklah diwakili dengan judul ‘Cipta Kerja’, mengingat
banyaknya peraturan yang berfokus dengan peningkatan ekonomi dan investasi.
Menurut Ilmu Ekonomi, penamaan RUU-CK ini juga menjadi keliru karena eksistensi Undang-Undang bukanlah
untuk mencapai suatu outcome tertentu, namun untuk mencapai kesejahteraan secara luas dan menyeluruh.
Terciptanya lapangan kerja dan profit bukanlah sesuatu yang dapat mewakili kesejahteraan. Undang-undang
dapat mempengaruhi perilaku, namun tidak bisa mencapai suatu outcome. Oleh karenanya, penamaan Undang-
Undang ini dengan judul ‘Cipta Kerja’ tidak tepat.
RUU-CK dan
Ancaman Krisis
Page 3
Perburuhan Indonesia

Problem Bidang Ketenagakerjaan dalam RUU-CK


1. Penghapusan Batas Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): RUU Cipta Kerja menghapuskan
pembatasan waktu PKWT dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah
menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT. Selain itu ketentuan mengenai
kemungkinan perubahan PKWT menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/perjanjian kerja
tetap), juga dihapuskan. Hal ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak dan
merugikan pekerja.
2. Perubahan Ketentuan Upah Minimum: RUU-CK hanya mewajibkan upah minimum provinsi dan menghapus
upah minimum sektoral atau upah minimum kabupaten. Hal ini menjadi bermasalah karena selama ini
UMK dan Upah Minimum Sektoral wajib dipatok lebih tinggi dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi.
3. Aturan Alih Daya yang Ganjil: RUU-CK menghapus syarat-syarat pekerjaan yang bisa di-alih dayakan /
outsource, namun masih memperbolehkan praktik outsourcing. Hal ini berarti akan semakin membuka
peluang menjamurnya jenis hubungan kerja alih daya atau outsourcing, padahal sudah terbukti bahwa
bentuk outsourcing ini sangat tidak menguntungkan bagi pekerja.
4. Istilah Ambigu dalam Pemberian Cuti: Aturan dalam RUU-CK banyak memuat hal ambigu, contohnya dalam
pemberian cuti. Dalam RUU-CK cuti itu diperbolehkan dalam hal pekerja berhalangan, namun itu tidak
dijelaskan dengan apa yang dimaksud dengan ‘berhalangan’. Ketika kata ‘berhalangan’ berinterpretasi
bebas maka perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin. Ketidakjelasan pemilihan kata
dalam Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja dikhawatirkan justru akan berpotensi menghapuskan hak pekerja
termasuk pekerja perempuan mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah
dan menikahkan.
5. Perubahan Konsep PHK: Dalam UU ketenagakerjaan, PHK ditempatkan sebagai upaya paling akhir / last
resort untuk melindungi pekerja. RUU Cipta Kerja juga memberikan keleluasaan lebih bagi pengusaha
untuk melakukan PHK tanpa perlu kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
Industrial. Hal ini berpotensi menimbulkan banyak PHK baru.
6. Banyaknya Ketentuan Turunan dan Pasal yang Tidak implementatif: pasal ‘pemanis’ seperti pengaturan
tentang jaminan sosial kehilangan pekerjaan merupakan aturan dengan konsep yang bagus, namun sulit
untuk diimplementasikan karena pengaturannya yang ambigu.
Disarikan dari “Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja”,
diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan dapat diakses melalui
https://rispub.law.ugm.ac.id/2020/03/13/kertas-kebijakan-catatan-kritis-dan-rekomendasi-terhadap-ruu-
cipta-kerja/

Nasib Buruh Perempuan dalam Pusaran RUU-CK


Sejarah mencatat bahwa kemunculan paket kebijakan ekonomi yang mengancam kesejahteraan buruh itu
sudah ada bahkan dari sejak orde baru, sama halnya dengan RUU-CK ini. RUU-CK mendapat penolakan luas
dari kalangan buruh. Meski Presiden telah menyerukan untuk menghentikan pembahasan pasal-pasal yang
terkait dengan bidang ketenagakerjaan dalam RUU-CK dalam masa tanggap darurat COVID-19, berdasarkan
pemantauan Migrant Care, sidang-sidang di baleg beberapa waktu belakang masih terus membahas RUU-CK.
Penolakan kelompok buruh bukannya tanpa alasan. Bahkan dengan regulasi yang sekarang, buruh masih belum
mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak. Apalagi dengan adanya wacana pembentukan RUU-CK yang
mana peraturan tersebut memiliki banyak celah kekurangan dan menempatkan Buruh sebagai objek untuk
mendukung ekosistem investasi. Dari kelompok buruh, RUU-CK menempatkan buruh perempuan dalam posisi
paling rentan.
RUU-CK dan
Ancaman Krisis Page 4
Perburuhan Indonesia

Kerentanan Buruh Perempuan dalam Pusaran RUU-CK


Berdasarkan pemantauan terhadap kelompok buruh, saat ini diskriminasi dan eksploitasi terhadap buruh
perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk: disparitas upah, diskriminasi perlakukan, potensi kekerasan
seksual dan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, serta potensi kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu. Jika
RUU-CK disetujui, maka hal itu justru akan memperparah intensitas kerentanan yang dialami buruh perempuan.
Sebagai contoh, RUU-CK memberlakukan jam kerja minimal 40 jam sepekan akan mendapat upah seperti biasa,
tapi bagi buruh dengan jam kerja kurang dari 40 jam akan mendapat upah di bawah minimum. Hal ini berarti
bagi buruh perempuan yang cuti haid, melahirkan, dan sakit terancam mendapat upah di bawah minimum.
Sementara tanpa upah yang layak, hidup sejahtera hanya ilusi.
Di samping itu, ancaman terhadap buruh di satu sektor turut mengancam buruh di sektor lain. Ketika keluarga
buruh itu memiliki buruh dalam rumah mereka (misal pekerja rumah tangga yang bekerja di sektor informal),
maka buruh sektor informal tersebut akan turut terpengaruh dan turut mengancam kesejahteraan buruh tersebut.

Pengaruh RUU-CK terhadap Nasib Buruh Migran


Dalam Naskah Akademik RUU-CK, perlindungan Pekerja Migran adalah salah satu hal yang hendak di atur dalam
bidang ketenagakerjaan RUU-CK. Meski sampai dengan draf terakhir belum ditemukan terkait dengan aturan
pekerja migran, hal ini tetap harus diwaspadai. Potensi substansi terkait dengan Pekerja Migran dalam RUU-CK
adalah fleksibilitas persyaratan pendirian P3MI, karena hal itu juga dipandang sebagai sebuah investasi.
Selain itu, menurunnya kesejahteraan buruh dan potensi PHK tanpa pesangon akibat RUU-CK diprediksi akan
makin mengencangkan arus migrasi pekerja migran ke luar negeri dengan proteksi yang seadanya. Di satu titik,
dampak dari RUU-CK ini akan bertemu dengan dan dampak pasca pandemi COVID-19. Dapat dibayangkan dengan
kondisi akan semakin keruh dan tidak melindungi pekerja Indonesia, praktik perbudakan dan eksploitasi akan
semakin marak dan lebih sistemik di seluruh sektor pekerja migran. Saat ini, praktik tersebut masih marak,
apalagi jika RUU-CK disetujui.

Pandemi, Norma Baru, dan Relevansi


Pembahasan RUU-CK
Game Theory, Pandemi COVID-19, dan Pembahasan RUU-CK
Game Theory atau analisis metode pengambilan keputusan interaktif menunjukkan bahwa tidak logis
membicarakan sebuah rancangan undang-undang pada masa krisis / perang / pandemi, seperti yang sedang
terjadi sekarang. Game Theory menyebutkan bahwa keputusan baru akan aman jika nature atau kondisi yang ada
konstan dan tidak berubah. Selama nature masih terus berubah, maka tidak akan aman bagi seseorang / negara
untuk membuat suatu kebijakan yang dampaknya adalah jangka panjang / jangka menengah seperti suatu
undang-undang. Pandemi COVID mengubah nature dalam mengambil keputusan. Pasca Pandemi, nature akan
berubah dan saat ini masih terus berubah. Konsekuensinya masyarakat harus beradaptasi hidup dengan norma
baru, termasuk aktivitas ekonomi. Saat ini, norma baru pasca COVID itu belum terjadi / belum diketahui.
Dalam kondisi normal, perekonomian selalu dinamis, sehingga kebijakan yang dibuat selalu tertinggal
dibandingkan fenomena ekonomi (government failure). Kebijakan yang bagus sekalipun biasanya akan tertinggal
dari fenomena perekonomian. Terlebih dalam kondisi pandemi / krisis, semua ekonom sepakat bahwa tidak
rasional membicarakan kebijakan yang berdampak jangka menengah dan panjang (misalnya RUU) apalagi RUU
yang disusun sebelum pandemi / krisis terjadi. Jika pemerintah terlalu terburu-buru menyetujui suatu UU,
terlebih sebuah RUU yang disiapkan sebelum terjadinya pandemi untuk diberlakukan pada pasca pandemi, maka
ini berarti pemerintah dengan sengaja memainkan uncertain game atau game with incomplete information.
Konsekuensinya panjang dan risikonya sangat tinggi.
RUU-CK dan
Ancaman Krisis Page 5
Perburuhan Indonesia

Relevansi Pembahasan RUU-CK berdasarkan Ilmu Ekonomi


Game Theory menganalisis bahwa sebagus apa pun RUU itu, tidak layak membahas suatu RUU dalam keadaan
Pandemi. Bagian ini akan lebih lanjut menganalisis bagaimana sebenarnya Naskah Akademik dan substansi RUU-
CK menurut pandangan Ilmu Ekonomi

Pertama, Naskah Akademik RUU-CK tidak dirumuskan secara tepat


Naskah Akademik seharusnya menjadi ‘roh’ pembentukan suatu Undang-Undang. Namun dalam RUU-CK,
pertanyaan dalam Naskah Akademik tidak dirumuskan dengan tepat, sehingga NA tidak menjawab tantangan
pembangunan yang dihadapi. Naskah Akademik tidak menyebutkan tujuan nasional dan amanah reformasi
dan hanya berfokus pada visi Indonesia 2045 dengan indikator GDP yang memiliki banyak kelemahan.
Masalah-masalah pembangunan yang diidentifikasi dalam Naskah Akademik RUU-CK banyak dan kompleks
seperti (1) Korupsi tinggi, (2) Ease of Doing Business tertinggal dari Malaysia dan Thailand: masalah perizinan,
peraturan yang berlebihan, pelayanan pemerintah akses terhadap keuangan, dan kepastian hukum; (3)
Global competitiveness index tertinggal dari Malaysia dan Thailand; (4) Arus FDI Indonesia dibawah Malaysia,
Vietnam, dan Thailand; (5) Kerumitan masalah perizinan. Sementara solusi yang ditawarkan tunggal dan
terlalu sederhana yaitu melonggarkan berbagai peraturan yang ada, tanpa upaya untuk memperbaiki aspek
kelembagaan dan perbaikan sistem insentif di sektor publik. Ini bertolak belakang dengan fakta bahwa untuk
melakukan bisnis di negara maju maka akan banyak aturan yang harus ditaati investor, namun tetap bisa
kompetitif karena korupsinya tidak ada.
Selain itu, Teori Pertumbuhan Solow-Swan yang digunakan dalam Naskah Akademik sudah outdated. Teori
tersebut mempercayai investasi sebagai faktor pertumbuhan utama, dan mengedepankan modal tinggi,
Sumber Daya Alam tinggi, dan Tenaga Kerja murah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun saat
ini teori tersebut dianggap ketinggalan zaman. Sementara saat ini Teori yang lebih sering menjadi rujukan
adalah Endogenous Growth Theory menempatkan human capital dan inovasi sebagai penentu pertumbuhan
ekonomi. Sumber Daya Alam melimpah tidak menjamin negara sejahtera, namun negara yang
mengedepankan human capital, memanfaatkan modal sosial, dan mampu melakukan inovasi / perbaikan di
sistem kelembagaannya, maka negara-negara itulah yang bisa sukses.
Dalam hal ini, Indonesia masih terjebak Natural-resource curse hypothesis (RCH) di mana menganggap SDA
tinggi bisa sejahtera. Padahal SDA tinggi ini sangat rentan terhadap korupsi. Oleh karena itu penting sekali
untuk memperketat anti-korupsi untuk negara-negara dengan SDA tinggi.

Kedua, RUU-CK Bukan Undang-Undang Sapu Jagad dan Memiliki Potensi Coordination Failure
Jika RUU-CK disetujui, maka perlu diterbitkan sekitar 500 peraturan pelaksana untuk implementasi UU
tersebut. Idealnya peraturan pelaksana disahkan sekaligus bersamaan dengan UU sehingga transparansi dan
akuntabilitas terjaga dan meminimalisasi coordination failures antara UU dan peraturan di bawahnya.
Faktanya di Indonesia peraturan pelaksana baru akan dibuat setelah UU disahkan, sehingga probabilitas
coordination failure antara UU dan PP tinggi. Oleh karena itu RUU-CK bukanlah UU Sapu Jagad dan justru
potensial mengakibatkan coordination failure terjadi karena Naskah Akademik RUU-CK tidak mendefinisikan
hal-hal krusial secara detail.
RUU-CK dan
Ancaman Krisis Page 6
Perburuhan Indonesia

Ketiga, Salah Kaprah Risk Based Approach (RBA) dalam RUU-CK


RUU-CK menginisiasi RBA dalam aspek perizinan. Di mana untuk investasi dalam satu sektor akan dipilah-
pilah berdasarkan risikonya. Jika risiko tinggi, maka perlu lisensi. Jika risiko menengah maka perlu
mengikuti prinsip-prinsip tertentu, dan jika risiko rendah maka hanya perlu mendaftar. Namun untuk
memilah berdasarkan risiko tersebut diperlukan database yang kuat. Sebelum menerapkan RBA, hal-hal pra
kondisinya (sufficient condition) harus dipenuhi dulu: database yang solid di semua sektor untuk
menghitung risiko / probabilitas, dukungan para ahli yang mumpuni, transparansi sistem perhitungan risiko,
dan penegakan hukum yang baik. Ini harus dipenuhi dulu agar RBA bisa dibangun. Sementara data di
Indonesia sendiri sangat bermasalah.
Selain itu terdapat salah kaprah dalam referensi RBA dalam Naskah Akademik RUU-CK. Referensi RBA
dalam NA menggunakan acuan OECD dan UK. Untuk UK, yang di-refer adalah orange book tahun 2004 dan
direvisi di 2020. Orange Book itu tidak berisi RBA perizinan, namun panduan mitigasi risiko di lembaga
publik dan bukan RBA.

Masalah Aspek Kelembagaan yang Tidak Disentuh oleh RUU-CK


Berdasarkan analisis di atas, maka jelas bahwa masalah mendasar Indonesia yang diangkat oleh Naskah Akademik
RUU-CK sesungguhnya adalah masalah aspek kelembagaan. Namun hal itu tidak disentuh dalam Naskah Akademik
maupun draf RUU-CK. Masalah lain seperti sektor informal yang terlalu banyak juga tidak tersentuh. Padahal
idealnya, sektor informal harus ditransformasikan menjadi sektor formal dan perbaikan aspek kelembagaan. Alih-
alih menutup gap masalah aspek kelembagaan, RUU-CK justru memperluas gap tersebut.
Dengan kondisi tersebut, maka dapat diprediksi bahwa jika RUU-CK disetujui maka investor yang masuk ke
Indonesia justru menurun karena Indonesia menjadi negara yang keruh untuk investasi. Jika pun ada, maka
investor yang datang adalah dari negara yang kurang memiliki budaya tentang masalah integritas. Perlu dicatat
bahwa tidak semua investor baik. investor-investor yang datang dari negara yang tidak menjunjung integritas /
anti-korupsi dan sistem kelembagaan tidak baik, akan sangat bahaya. Berbeda jika investor tersebut datang dari
negara yang menjunjung tinggi integritas, ketika ada dispute, Indonesia akan dengan mudah koordinasi dengan
negara asal. Tapi jika dari negara yang kurang berintegritas, maka risiko besar. Ketika terjadi risk, meminta
bantuan dengan pemerintah asal, belum tentu kita akan mendapatkan reply yang baik. Hal-hal seperti ini perlu
dipikirkan. Jadi bukan hanya flow dari uang yang masuk saja, namun juga kualitas dari investasi jenis apa yang
masuk ke Indonesia pasca disetujuinya RUU-CK.

Catatan Penutup dan Rekomendasi


Perlunya menimbang kembali terkait pilihan model Omnibus
Perlu adanya timbang ulang dari pemerintah terhadap pilihan omnibus dalam RUU-CK. Hal ini mengingat
substansi dalam RUU-CK terlalu luas dan sebetulnya tidak terlalu berkaitan satu sama lain. Revisi terhadap
Undang-Undang ketenagakerjaan tetap diperlukan, namun lebih baik jika dilakukan secara terfokus dan tidak
disusupkan dalam bentuk omnibus law. Omnibus Law lebih baik dipergunakan untuk bidang yang terbatas
seperti (1) perpajakan, (2) pendidikan dan inovasi (3) kesehatan dan jaminan sosial, (4) sumber daya alam
RUU-CK dan
Ancaman Krisis Page 7
Perburuhan Indonesia

Sudah Saatnya Negara Lebih Berinvestasi Terhadap Perlindungan Pekerja


RUU-CK yang memiliki paradigma yang menempatkan buruh sebagai objek untuk mendukung ekosistem
investasi juga perlu dipertimbangkan kembali. Sudah saatnya negara lebih berinvestasi terhadap
perlindungan pekerja. Hal ini terbukti dalam kondisi krisis / pandemi, tanpa adanya jaring pengaman untuk
melindungi pekerja akan justru merugikan pemerintah. Sudah saatnya pemerintah memiliki safety net /
mekanisme yang jelas untuk melindungi pekerja kita dan baru ketika saat terjadi hal seperti ini pemerintah
baru kebingungan.

Diperlukan Strategi Advokasi yang Kuat untuk Mengawal Pembahasan RUU-CK


Diperlukan advokasi dan kerja sama antara kelompok buruh, perguruan tinggi, dan banyak pihak terkait
lainnya untuk mengawal pembahasan RUU-CK, baik di dalam atau di luar parlemen. Dialog sosial juga perlu
diintensifkan. Dalam pembahasan RUU-CK sangat perlu mendengarkan aspirasi buruh dan masyarakat
secara luas, utamanya mereka yang ada di grassroot yang selama ini berjarak dalam proses pembentukan
PUU.

Pembahasan RUU-CK dalam situasi Pandemi COVID-19 tidak lagi Relevan


Pasca-pandemi COVID-19, akan tercipta norma baru yang memaksa masyarakat untuk beradaptasi hidup
dengan norma baru termasuk aktivitas ekonomi. Norma itu akan mengubah landscape aktivitas ekonomi
dan saat ini belum terbentuk. Oleh karena itu RUU-CK yang dibuat pra-pandemi tidak akan relevan untuk
dibahas, mengingat jika pun disetujui RUU-CK akan berlaku untuk menghadapi permasalahan pasca-
pandemi yang saat ini belum dapat diprediksi.

Fokus memperbaiki Aspek Kelembagaan, bukan RUU-CK


Analisis terhadap masalah yang terjadi di Indonesia sejatinya adalah masalah aspek kelembagaan. Hal ini
tidak dapat diperbaiki semata dengan menciptakan regulasi baru untuk menarik investasi, namun perlu
perbaikan menyeluruh, yakni pertama perbaikan dalam Aparat Penegak Hukum untuk menciptakan
kepastian hukum, dan kemudian perbaikan pada sektor publik dengan menciptakan equal treatment antara
sektor publik dan sektor swasta. Langkah awal yang dapat ditempuh pemerintah adalah dengan
memperkuat anti-korupsi Indonesia dengan mengakomodasi aturan UNCAC dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia. Selama ini belum dilakukan, maka akan sulit untuk memperbaiki aspek kelembagaan,
dan pada akhirnya tetap sulit untuk memberikan kepastian hukum bagi investor untuk masuk ke Indonesia.

Policy Brief ini ditulis oleh Pusat Kajian Hukum, Gender, dan
Masyarakat (Research Centre for Law Gender and Society) Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. Dirumuskan dari Serial Omnibus
Law “Kritisi Atas RUU Cipta Kerja: Ancaman Krisis Perburuhan
Indonesia” yang dilaksanakan oleh Unit Jaminan Mutu, Kurikulum,
Akademik, dan Teknologi Informasil Fakultas Hukum UGM. Jl. Sosio Yustisia No. 1, Bulaksumur, Kab. Sleman,
Acara dapat ditonton melalui YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM D.I. Yogyakarta 55281 – INDONESIA
melalui link: https://www.youtube.com/watch?v=9Tb_zjOHWqk Phone: +62-274-512781 | fax: +62-274-512781
Homepage: http://lgs.law.ugm.ac.id

Anda mungkin juga menyukai