Anda di halaman 1dari 5

RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA: LEGALISASI KEZALIMAN TERHADAP

PEKERJA

Tuti Daryanti, S. Pd

Ditengah wabah virus Corona ini DPR tetap melanjutkan pembahasan revisi RUU OMNIBUS
LAW CIPTA KERJA. Bahkan RUU ini ditargetkan akan rampung pada bulan Agustus
mendatang, seperti yang dikatakan oleh anggota Komisi I DPR Willy Aditya dalam diskusi
virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Percepatan Digitalisasi Penyiaran,’ Minggu, 12 Juli
2020 “Omnibus law selesai Agustus 2020”.

RUU Ciptaker ini digadang-gadang akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
pasca pandemi corona. Tak heran para pengusaha mendesak pemerintah untuk segera mensahkan
RUU ini. Para pengusaha meyakini dengan disahkannya RUU ini akan membawa angin segar
bagi iklim investasi dan akan mampu menciptakan lapangan kerja masal. Ketua Komite Tenaga
Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi
Santoso mengatakan, target pertumbuhan ekonomi itu bisa digenjot melalui penciptaan lapangan
kerja berkualitas sebanyak 2,7 hingga 3 juta per tahun dengan Omnibus Law. Sementara,
sambung dia, hanya 2 hingga 2,5 juta lapangan kerja berlualitas jika tanpa Omnibus Law.
(Republika.co.id 12/07/2020)

Bertolak belakang dengan keinginan para pengusaha, Berbagai kalangan mulai dari akademisi,
pekerja, aktivis lingkungan hingga masyarakat sipil justru menolak RUU ciptaker ini. Para
pekerja menjadi yang paling vokal menyerukan penolakan terhadap RUU Ciptaker ini, karena
dari mekanisme penyusunan revisi saja sudah nampak arogansi pengusaha yang tuntutannya
dominan dalam revisi RUU tersebut. Sementara serikat pekerja mengkhawatirkan makin
rendahnya pembelaan terhadap pekerja saat terjadi konflik dengan pengusaha karena hak DPR
dan serikat pekerja dikebiri.
Sejak awal pembahasan RUU Ciptaker ini memang menimbulkan polemik di masyarakat yang
menganggap penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang terkesan tertutup dan tidak melibatkan
kelompok masyarakat yang terdampak. Penolakan keras terutama pada klaster ketenagakerjaan
yang dinilai tidak berpihak dan melindungi pekerja dan cenderung mengedepankan kepentingan
pengusaha. RUU Ciptaker menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan
memberlakukan upah perjam di bawah upah minimum. Kemudian juga mengurangi nilai
pesangon, penggunaan buruh outsorcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis
pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatip, menghapus cuti ,menghapus hak upah saat cuti,
kemudahan masuknya TKA buruh kasar di Indonesia, mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK
sewenang wenang tanpa izin pengadilan perburuhan. Serta hilangnya beberapa sanksi pidana
untuk pengusaha.

Pemerintah pun merespon melalui kementrian ketenagakerjaan dengan membentuk Tim Teknis
Omnibus Law RUU Ciptaker yang terdiri dari unsur Pemerintah, Apindo, dan unsur Serikat
Pekerja/Serikat Buruh untuk mencari jalan keluar atas kebuntuan pada klaster ketenagakerjaan
ini. Namun, tampaknya tim ini tidak berjalan harmonis. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) menyatakan keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis yang membahas omnibus
law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Serikat pekerja lain yang ikut keluar dari tim ini
adalah KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo.

Presiden KSPI Said Iqbal mengemukakan setidaknya ada empat alasan mengapa keputusan


untuk keluar dari tim teknis diambil. (Republika.co.id 13/07/2020)

Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun.
Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur.

Alasan kedua, unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari
unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep apindo/kadin secara tertulis.

Ketiga, serikat buruh memiliki dugaan ini hanya jebakan dan alat untuk mendapatkan legitimasi
dari buruh. Pemerintah yang diwakili kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur Prosedur
saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan
Substansi materi RUUOmnibus Law yang ditolak buruh tersebut.

Keempat masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung. Tetapi, tidak ada kesepakatan
dan keputusan apapun dalam bentuk Rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah
omnibus law.

Penolakan juga datang dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Umum DPP SP PT PLN
Persero M Abrar Alib melalui kumparan mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja
berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia. Sebab,
RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan menghilangkan fungsi legislasi DPR dalam
melakukan pengawasan. Padahal fungsi legislatif menyangkut hal interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat untuk memastikan pemerintah tidak seenaknya mengatur listrik.
Selain itu RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan juga memungkinkan pihak swasta
akan menguasai sektor ini.

Berbagai penolakan tersebut tidak menyurutkan DPR untuk Tetap membahas RUU ini. Bahkan
terkesan terburu-buru agar segera bisa disahkan. Hal ini wajar karena tuntutan terhadap iklim
investasi yang kondusif demi penciptaan lapangan kerja masal ditengah pandemi yang telah
menghancurkan perekonomian negara. Seolah tidak ada jalan lain selain membuka keran
investasi atau negara harus berhutang lagi untuk memulihakan perekonomian. Padahal sejatinya
investasi dan hutang adalah alat yang digunakan para kapitalis untuk semakin menancapkan
kekuasaan mereka terhadap negara jajahannya sementara negara akan semakin menggadaikan
kemandiriannya.

Masalah ketenagakerjaan selalu timbul setiap tahun entah dalam pengupahan Maupun hak2
pekerja Lainnya yang dilanggar. Sistem kapitalisme liberal ini menjadikan kesejahteraan pekerja
menjadi nomor kesekian. Maka kaum pekerja dan umat ini membutuh riayah ketenagakerjaan
Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi
paripurna atas problem ketenagakerjaan.

Dalam pandangan Islam, negara adalah khodim al ummah. Yakni pelayannya umat, mengurusi
kepentingan dan kemaslahatan umat. Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan.
Menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat.

Perlu diketahui, dalam islam Negara dilarang menyerahkan pengelolaan dan penguasaan SDA itu
kepada asing atau investor. Kehadiran investor dalam negara Islam tidak boleh dalam bidang
strategis atau vital. Investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan, kepemilikan
umum, sektor nonriil, dan juga dalam kategori muhariban fi’lan. Investasi asing hanya boleh
dalam bidang halal dan bukan dalam penguasaan kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.

Dalam ketenagakerjaan Islam, negara wajib menyediakan lapangan kerja. Pengangguran dan
bermalas-malasan itu dilarang. Setiap kepala keluarga wajib mencari nafkah, sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan
kekuatan menafkahi tanggungannya.” (HR Muslim). Dalam mengatasi pengangguran, negara
akan memberdayakan iklim usaha yang sehat. Membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi
rakyat dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif.

Negara akan menata ulang hukum-hukum kepemilikan dan pengelolaan serta distribusi harta
pada masyarakat. Menjamin pelaksanaan mekanisme pasar sesuai syariat dan menghilangkan
hambatannya seperti penimbunan, monopoli dan riba. Negara juga akan membuat sistem
birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, menghilangkan
pungutan seperti cukai, pajak yang bersifat tetap. Negara juga dapat membantu masyarakat
dengan memberikan subsidi untuk memulai usaha. Sementara dalam hal pengupahan, bergantung
pada kontrak kerja. Upah diklasifikasikan menjadi dua, pertama sesuai kesepakatan antara
pekerja dan pemberi kerja. Kedua upah yang sepadan yang ditentukan oleh orang/lembaga yang
ahli menetapkan upah. Jika ada pekerja dan pemberi kerja yang bersengketa berkenaan dengan
upah, maka negara yang berhak menentukan ahli pengupahan.
Dengan mekanisme ini diharapkan akan mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan
pengusaha. Wallahu a'lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai