yang bikin mumet dan ruwet biar siapa aja bisa ngerti pentingnya isu ini.
Senang sekali rasanya mendengar Omnibus Law sekarang banyak dikaji dan
mulai jadi pembicaraan. Itu artinya, lebih banyak orang yang mulai
perhatian mengenai nasib kelas pekerja—alias diri mereka sendiri—di mata
negara.
Tapiii, sejauh yang saya lihat, perdebatan mengenai isu ini masih
didominasi oleh kelas menengah terdidik yang memang sudah paham atas
isu ini. Buktinya, perdebatan yang muncul masih dibahas secara ndakik-
ndakik. Padahal, isu ini penting sekali untuk dibicarakan oleh semua kelas
pekerja termasuk juga buruh-buruh pabrik industri, hingga lulusan
SD/SMP/SMA/SMK yang sedang mencari kerja karena merekalah kelompok
yang paling akan terdampak atas aturan ini karena tidak bisa mengadvokasi
dan mengorganisir diri.
Nah, biar ketubirannya bisa melibatkan lebih banyak orang, saya akan
mencoba membuat sebuah panduan memahami Omnibus Law tanpa jargon-
jargon atau terma-terma yang bikin mumet dan ruwet sehingga siapa pun
bisa mengerti betapa pentingnya isu ini.
Omnibus Law adalah aturan baru yang sengaja dibikin untuk menggantikan
aturan-aturan yang ada sebelumnya. Bedanya sama aturan bukan omnibus,
yang bukan omnibus fokus mengurusi satu hal dalam satu undang-undang,
Kalau yang ada omnibus, dia mengatur buanyak hal dalam satu undang-
undang saja.
Kalau Omnibus Law ini dibuat, dia akan jadi satu-satunya rujukan,
mengalahkan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Itulah sebabnya
dia sangat kuat dan disebut sebagai UU Sapu Jagad karena
(((kehadirannya))) menyapu jagad raya yang ada sebelumnya.
Karena menurut orang yang punya ide bikin aturan ini (dibaca: Pemerintah)
aturan yang ada sebelumnya dianggap terlalu kaku dan menghambat
kedatangan investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia, makanya butuh
aturan baru deh. Oh iya, penjelasan kenapa kita butuh investor bisa
dibaca di sini.
Ada 9 aturan yang bakal jadi substansi dalam RUU Omnibus Law:
Penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi,
ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan
berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi
(menghapus pidana), pengadaan lahan, serta kemudahan proyek
pemerintah dan kawasan ekonomi.
Baca juga: Jokowi Pengin Omnibus Law Disahkan dalam 100 Hari,
Mencurigakan Sekali Bukan
Ya karena ada yang diuntungkan dan dirugikan atas kehadiran aturan ini
lahh.
Oh iya, penting untuk memahami bahwa Omnibus Law ini nggak hitam putih
(jelek semua atau bagus semua) keberpihakan orang untuk mendukung atau
menolak RUU ini tergantung pada seberapa banyak dia dirugikan dan
seberapa banyak dia diuntungkan.
Bagi pekerja, aturan ini merugikan karena: banyak hak buruh yang
tercerabut. Misalnya, dimudahkannya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting
seperti cuti haid dan melahirkan, jumlah pesangon yang diturunkan,
diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya
yang bikin mereka rentan diputus kontrak begitu saja, sampai tidak leluasa
untuk berserikat karena merasa harus terus menerus bekerja agar mencapai
target yang ditentukan oleh perusahaan.
Hal lain yang membuat pekerja keberatan dengan aturan ini adalah
perubahan upah menjadi per jam yang membuat pekerja dilihat sebagai
mesin produksi.
Lagian wajar aja pengusaha yang paling diuntungkan, lha wong satuan
tugas yang menggodok Omnibus Law ini isinya pengusaha, pemilik modal,
dan investor kok.
Belum lagi, dalam draf RUU Omnibus Law ini banyak pasal-pasal—yang
demi mengakomodasi kemudahan bikin usaha, diperbolehkan mengabaikan
isu lingkungan, sosial, dan budaya.
Contohnya, salah satu usulan dalam draf RUU tersebut adalah mekanisme
penilaian mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal) yang dulunya ada
di pasal 29 UU No.32 tahun 2009 diganti cuma jadi mekanisme
assessmentaja, itu pun dilakukan pihak ketiga dengan penunjukan oleh
pelaku usaha :)) yang kayak gini nihhh jelas rentan praktek main belakang
yang mana perusahaan bisa saja membayar orang untuk membuat laporan
bahwa usahanya tidak membahayakan lingkungan.
Pasal-Pasal Omnibus Law juga secara terang-terangan mengakomodasi
kepentingan pelaku usaha tambang mineral dan batu bara sektor yang
menyumbang paling banyak kerusakan lingkungan.
Buktinya, jika melihat tren data yang ditunjukan BKPM, di tahun 2018 yang
mana nilai investasi kita lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya,
penyerapan tenaga kerja hanya 0,8 juta tenaga kerja saja. Padahal di tahun-
tahun sebelumnya selalu mencapai angka satu juta.
Tuh kaan kita tuh sebenarnya sudah baik-baik saja tanpa ada Omnibus Law.
Yang harusnya dilakukan oleh Indonesia itu, kalau kata Faisal Basri, bukan
ngotak-ngatik aturan tenaga kerja, tapiiii membenahi regulasi dan
melakukan pengelolaan keuangan negara dengan cara yang lebih ketat.
Jangan malah ceroboh dan buang-buang uang kayak ke kasus Jiwasraya dan
Asabri!