Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MATA KULIAH PERPAJAKAN


TRANSFER PRICING

DOSEN PEMBINA MATA KULIAH:


Dr. Nur Hidayat, SE., ME., Ak., BKP

DISUSUN OLEH:
1. Rangga Ranu Wijaya - 1618204007
2. Meidiana Indria Sari Purba - 1618204013
3. Meidi Hizarwan - 1618204010
4. Deni Saeful Rizal - 1618204020
5. Hendarsyah - 1618204006

UNIVERSITAS WIDYATAMA
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
2019
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 2
1.1 LATAR BELAKANG 2
1.2 RUMUSAN MASALAH 4
1.3 TUJUAN 4
BAB II TINJAUAN TEORI 5
2.1 Transaksi Pihak Berelasi 5
2.2 Transfer Pricing 6
2.2.1 Metode Penentuan Transfer Pricing 7
2.3 Tunneling Incentive 8
BAB III KESIMPULAN 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang berkembang pesat turut memacu
perkembangan korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi
multinasional sebagai group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara
berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan
strategi yang lebih luas.
Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu
keinginan dan tujuan untuk memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku, untuk
mencari teknologi baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan atau kebijakan
pemerintah, dan diversifikasi. Namun demikian, setidaknya kita bisa mengidentifikasikan
adanya tiga permasalahan yang dihadapi oleh korporasi multinasional, yaitu perbedaan budaya
(cultural differences), transfer pricing dan nilai tukar mata uang (exchange rate).
Dalam hal ini, perusahaan multinasional akan mengahadapi suatu permasalahan yaitu
perbedaan tarif pajak. Perbedaan tarif pajak ini membuat perusahan multinasional mengambil
keputusan untuk melakukan transfer pricing. Transfer pricing menimbulkan beberapa masalah
menyangkut bea cukai, pajak, ketentuan anti dumping, persaingan usaha yang tidak sehat dan
masalah internal manajemen.
Laporan investigasi LSM internasional Global Witness menemukan indikasi
pengemplangan pajak yang dilakukan oleh PT Adaro Energy. Perusahaan yang salah satu
bisnisnya mencangkup penjualan batu bara itu diduga telah memindahkan sejumlah laba dari
bisnis batu baranya ke jaringan perusahaan luar negeri untuk memangkas pembayaran pajak
kepada pemerintah Indonesia. Adaro melakukan langkah itu melalui salah satu anak
perusahaannya di Singapura bernama Coaltrade Services International (https://tirto.id/).
Adaro menjual batu bara yang ditambang di Indonesia dengan harga rendah kepada
Coaltrade untuk kemudian dijual kembali oleh anak perusahaan itu dengan harga lebih tinggi.
Selama 2009-2017, Global Witness mencatat lebih dari 70 persen batu bara yang dijual
Coaltrade berasal dari tambang batu bara Adaro di Indonesia. Kedua, Kemudian, Coaltrade
menerima komisi dari pihak ketiga dan anak perusahaan Adaro lainnya. Komisi penjualan batu
bara bernilai sekitar 4 juta dolar AS per tahun sebelum 2009. Kemudian, antara 2009-2017,
angka itu berubah menjadi 55 juta dolar AS per tahun. Coaltrade pun memanfaatkan peluang
ini untuk memperoleh laba dan membukukannya di Singapura yang notabene tarif pajaknya
lebih rendah dari Indonesia (https://tirto.id/).
Proses dari Singapura ini pun kembali berlanjut dengan pengalihan keuntungan
Coaltrade ke negara suaka pajak di Mauritius, Samudra Hinda. Sebab, negara itu tak
mengenakan pajak apa pun sebelum tahun 2017 dan setelahnya. Global Witness mendapati
antara 2009-2017, terdapat 90 persen keuntungan bersih Coaltrade senilai 338,5 juta dolar AS
dibayarkan kepada Vindoor Investments di Mauritius. Vindoor dan Coaltrade diketahui dimliki
oleh Arindo Holdings di Mauritius yang diduga merupakan kelompok perusahaan luar negeri
yang juga dikuasai Adaro.
Peneliti pajak dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef),
Mohammad Reza mempertanyakan peran DJP dalam hal ini. Jika dugaan laporan Global
Witness terbukti, berarti ada pelanggaran transfer pricing yang tak berhasil dideteksi DJP.
Transfer pricing merupakan suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga dari
transaksi antar anggota divisi dalam sebuah perusahaan multinasional, yang memberi
kemudahan bagi perusahaan untuk menyesuaikan harga internal untuk barang, jasa dan harta
tak berwujud yang diperjual belikan agar tidak tercipta harga yang terlalu rendah atau terlalu
tinggi. Selain itu transfer pricing dimaksudkan untuk mengendalikan mekanisme arus sumber
daya antar divisi perusahaan selain sebagai jalan keluar untuk penyesuaian keadaan lingkungan
perekonomian internasional (Suandy, 2011)
Keputusan untuk melakukan transfer pricing bisa menjadi suatu masalah atau bisa juga
menjadi peluang penyalahgunaan perusahaan untuk mengejar laba yang tinggi. Bagi
perusahaan yang memiliki anak perusahaan di negara yang tarif pajaknya tinggi maka akan
menjadi suatu masalah karena akan membayar pajak lebih banyak, sehingga keuntungan yang
didapat lebih sedikit. Ada juga perusahaan yang melihat ini sebagai suatu peluang dan
membuat strategi atau perencanaan kedepan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari
penjualan dan juga dapat menghindari beban pajak yang tinggi. Salah satu caranya adalah
dengan membuat anak perusahaan di negara yang memberlakukan tarif pajak rendah ataupun
negara yang berstatus tax heaven country.
Manipulasi transfer pricing bisa dilakukan oleh suatu perusahaan dalam satu group
yang beroperasi di negara-negara yang memiliki perbedaan sistem pajak. Manipulasi tersebut
melibatkan aktivitas penetapan harga yang tidak wajar, skema transaksi dan struktur usaha
artifisial. Hal tersebut bisa mengecilkan profit setelah pajak (after tax profit) karena menggerus
basis pajak dan mengalihkan laba ke perusahaan di negara lain. Ketua Dewan Pengurus
Nasional IAI mengungkapkan, transfer pricing sebenarnya tidak dilarang selama tidak
bertujuan untuk secara sengaja menggelapkan pajak. Sayangnya, transfer pricing memberi
peluang bagi wajib pajak untuk memanipulasi kewajiban pajaknya.
Kategori untuk menentukan perusahaan melakukan keputusan transfer pricing atau
tidak, dapat dilihat dari transaksi penjualan nya dimana akan dilihat apakah transaksi penjualan
dilakukan dengan pihak berelasi (hubungan istimewa) atau tidak (Marfuah, 2014). Keputusan
transfer pricing dapat dipengaruhi oleh pajak dan tunneling incentive.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas, transfer pricing menimbulkan masalah menyangkut
penerimaan pajak dan tunneling intencive. Pertanyaan penelitian dalam makalah ini sebagai
berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan transfer pricing?


2. Apa yang dimaksud dengan tunneling incentive?
3. Bagaimana ketentuan transaksi dengan pihak berelasi sesuai dengan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan?
4. Bagaimana mekanisme transfer pricing untuk menekan beban pajak?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan pertanyaan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari makalah ini
yaitu:

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan transfer pricing.


2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tunneling incentive.
3. Untuk mengetahui ketentuan transaksi dengan pihak berelasi sesuai dengan
Pernyataan Standar Akuntansi.
4. Untuk mengetahui mekanisme transfer pricing untuk menekan beban pajak.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Transaksi Pihak Berelasi
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 Tahun 2015, pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah bila satu pihak mempunyai kemampuan
untuk mengendalikan pihak lain, atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam
mengambil keputusan yang berhubungan dengan keuangan dan operasional perusahaan.
Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah suatu pengalihan
sumber daya, atau kewajiban dengan pihak pihak yang berelasi, terlepas apakah ada harga yang
dibebankan. Pernyataan tersebut hanya berlaku untuk pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa yang digambarkan sebagai berikut:
1. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya
entitas induk, enbtitas anak, dan sesama entitas anak saling berelasi dengan entitas
lainnya).
2. Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama dari entitas lain (atau entitas
asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, dimana
entitas lain tersebut adalah anggotanya).
3. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.
4. Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah
entitas asosiasi dari entitas ketiga.
5. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari
salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika entitas
pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, maka entitas sponsor
juga berelasi dengan entitas pelapor.
6. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi
dalam angka (1).
7. Orang yang diidentifikasi dalam angka (1) memiliki pengaruh signifikan atas entitas
atau merupakan personil manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).
8. Entitas, atau anggota dari kelompok di mana entitas merupakan bagian dari kelompok
tersebut, menyediakan jasa personil manajemen kunci kepada entitas pelapor atau
kepada entitas induk dari entitas pelapor.
Adapun jenis-jenis dari transaksi antara pihak berelasi yang pengungkapannya
diharuskan menurut PSAK No. 7 adalah:
1. Pembelian atau penjualan barang (barang jadi atau setengah jadi)
2. Pembelian atau penjualan properti dan asset lain
3. Penyediaan atau penerimaan jasa
4. Sewa
5. Pengalihan riset dan pengembangan
6. Pengalihan dibawah perjanjian lisensi
7. Pengalihan dibawah perjanjian pembiayaan (termasuk pinjaman dan kontribusi ekuitas
dalam bentuk tunai atau natura)
8. Provisi atas jaminan atau agunan
9. Komitmen untuk melakukan sesuatu jika peristiwa khusus terjadi atau tidak terjadi di
masa depan, termasuk kontrak eksekutori (diakui atau tidak diakui)
10. Penyelesaian liabilitas atas nama entitas atau pihak berelasi.

2.2 Pengertian Hubungan Istimewa Menurut Fiskus


Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 perubahan ke empat atas UU No.
7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan mengatur hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan (3a), pasal 18 ayat (4), pasal 9 ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1),
dianggap ada hubungan istimewa apabila :

1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara
dua Wajib Pajak atau lebih yang terakhir.

Contoh :
PT X

Saham 55%

PT Y

Saham 50%

PT Z
Penjelasan :

a. Hubungan antara PT X dengan PT Y memiliki hubungan istimewa karena


penyertaan saham (langsung) PT X di PT Y lebih dari 25%, yakni sebesar 55%.
b. Hubungan antara PT Y dengan PT Z disebut memiliki hubungan istimewa karena
pernyataan saham (tidak langsung) PT X di PT Y lebih 25% yakni sebesar 27.5%
atau 55% x 50%.
2. Hubungan istimewa yang di maksud diatas dapat mempengaruhi harga, yaitu adanya
kemungkinan harga ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal demikian maka
yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga pasar yang wajar yang berlaku bebas.

(Holding company) PT X

(Subsidiary company)
PT A PT B PT C

Surat edaran dirjen pajak No. SE-18/PJ.53/1995 menegaskan bahwa hubungan istimewa antara
pengusaha dapat juga terjadi karena adanya penguasaan melalui manajemen atau
penguasaan teknologi, meskipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan
istimewa ada apabila satu atau lebih perusahaan berada dibawah penguasaan yang
sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam
penguasaan pengusaha yang sama tersebut.
Contoh :
a. Penguasaan melalui manajemen
TA, direktur utama di perusahaan BB, juga menjabat sebagai direktur utama di perusahaan
C. dalam hal ini ada hubungan istimewa antara perusahaan BB dengan C, karena
adanya penguasaan melalui manajemen oleh TA terhadap perusahaan BB dan C.
b. Penguasaan melalui penggunaan teknologi
Perusahaan X yang memproduksi minuman menggunakan formula yang diciptakan oleh
perusahaan Y. dalam hal ini adanya penguasaan melalui penggunaan teknologi oleh
perusahaan Y terhadap perusahaan X, sehingga terjadi hubungan istimewa antara
perusahaan X dan perusahaan Y.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 tahun 2010 pasal 8 ayat 4 menegaskan bahwa
hubungan antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau
penguasaan antara wajib pajak pemberi dengan wajib pajak penerima sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf c terjadi apabila terdapat :

a. Penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud


dalam pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang PPh.
b. Hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang PPh.

2.3 Transfer Pricing


Transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu pengertian yang
bersifat netral dan yang bersifat pejorative. Pengertian netral mengasumsikan bahwa transfer
pricing adalah strategi dan taktik bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Sedangkan
pengertian pejorative mengasumsikan transfer pricing sebagai upaya untuk menghemat beban
pajak dengan cara menggeser laba ke negara yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah
(Suandy, 2011).
Terjadinya kegiatan atau keputusan transfer pricing dalam perusahaan didasari oleh
adanya kepentingan perusahaan dalam memenuhi salah satu tujuannya yaitu mendapatkan laba
setinggi tingginya namun tanpa dipungkiri perusahaan memiliki beberepa kewajiban pasti yang
harus dibayarkan seperti beban pajak. Dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer
pricing digunakan untuk meminimalkan beban-beban pajak, pengendalian devisa, dan
berkenaaan dengan risiko pengambilalihan oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan
multinasional dalam ekspansinya cenderung mengoperasikan usahanya secara desentralisasi
dan melaksanakan konsep cost revenue profit atau corporate profit center concept, yang dapat
mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap divisi atau unit yang bersangkutan dalam
rangka mencapai tujuan perusahaan (Suandy, 2011).
Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional yang
menggunakan transfer pricing adalah memaksimalkan penghasilan dengan merelokasi
penghasilan globalnya ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax
countries) dan menggeser-geser biaya dalam jumlah yang lebih besar ke negara-negara yang
memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries).
2.2.1 Motivasi atau Tujuan Transfer Pricing
Pada umumnya berdasarkan jangkauan teritorial operasi perusahaan, transfer pricing
dapat dikelompokkan dalam transfer pricing domestik dan transfer pricing multinasional.
Transfer pricing domestik adalah harga transfer barang atau jasa antar badan satu grup
perusahaan atau antardivisi dalam satu perusahaan dalam satu wilayah kedaulatan negara,
sedang transfer pricing multinasional berkenaan dengan transaksi antardivisi dalam satu unit
hukum atau antarunit hukum dalam satu kesatuan ekonomi yang meliputi berbagai wilayah
kedaulatan negara.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam rangka aplikasi transfer pricing, baik bagi
perusahaan domestik maupun bagi perusahaan multinasional, adalah antara lain:

1. Evaluasi Kinerja (mengukur hasil operasi setiap unit)


2. Motivasi Manajemen (penyusunan orientasi produksi dan laba pada semua unit)
3. Pengendalian harga untuk lebih merefleksikan “Cost” dan “margin” yang
seharusnya diterima dari langganan dan penetapan harga optimal.
4. Pengendalian pasar untuk mengamankan posisi kompetitif perusahaan.

Kebijakan aplikasi transfer pricing multinasional bertujuan:

a. Memaksimalkan penghasilan global.


b. Mengamankan posisi kompetitif anak/ cabang perusahaan dan penetrasi pasar.
c. Mengevaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara.
d. Menghindarkan pengendalian devisa.
e. Mengontrol kredibilitas asosiasi.
f. Mengurangi resiko moneter.
g. Mengatur arus kas anak/cabang perusahaan yang memadai.
h. Membina hubungan baik dengan administrasi setempat.
i. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk.
j. Mengurangi resiko pengambilalihan oleh pemerintah.

Pada tahun (sekitar) 1985 telah diadakan penelitian tentang transfer pricing di Indonesia
oleh tim UNTC dari PBB yang diketuai oleh Dr. Silvain Plasschaert (Belgia). Dari penelitian
tersebut disimpulkan adanya beberapa motivasi transfer pricing di Indonesia seperti:

1) Pengurangan objek pajak (terutama pajak penghasilan).


2) Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri.
3) Penurunan pengaruh depresiasi rupiah.
4) Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor.
5) Mempertahankan sikap low profile atau konservatisme tanpa memperdulikan
tingkat keuntungan usaha.
6) Pengamanan perusahaan dari tuntutan atas imbalan prestasi pimpinan atau
kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan (ekologi dan masyarakat).
7) Memperkecil akibat pembatasan, dan ketidak pastian atas resiko kegiatan usaha
perusahaan luar negeri.

Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dengan harga
yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong oleh karena alasan pajak (tax motive)
maupun bukan pajak (non – tax motive). Berbagai study di Indonesia menunjukkan hal
tersebut. Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin
memindahkan penghasilan dari negara dengan beban pajak mahal ke negara dengan pajak
terendah.

2.2.2 Kategori Transfer Antar Perusahaan


Terdapat berbagai tipe transaksi antar perusahaan, yaitu barang berwujud dan barang
tidak berwujud (intangibles), penyerahan jasa, keuangan, persewaan dan leasing (sewa guna
usaha), berbagai kontrak (manufaktur/maakloon), penelitian dan pengembangan,
pemeliharaan, pemasaran dan bagi biaya (cost sharing). Dalam sistem perpajakan, secara
meluas, menghendaki agar harga yang di hitung pada tiap transaksi antar perusahaan yang
dimaksud, berdasarkan prinsip harga wajar (arm’s length principle).

Penjelasan terhadap tipe transaksi perusahaan itu adalah:

1. Jualan Harta Berwujud


Harta berwujud merujuk pada semua asset fisik bisnis, yang dapat meliputi

a. Persediaan (bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang jadi, serta barang
dagangan lainnya).
b. Mesin dan peralatan, Inventaris, tanah dan bangunan, barang modal dan bidang
keperluan usaha lainnya.
2. Pengalihan (Transfer) Harta Tidak Berwujud
Harta tak berwujud (intangible assets) dari aspek transfer pricing dibedakan antara
manufacturing intangibles (yang timbul karena kegiatan pabrikasi atau upaya penelitian
dan pengembangan oleh produsen), dan marketing intangibles (yang berasal dari upaya
pemasaran, distribusi, dan jasa purna jual). Model pengalihan harta tak berwujud dapat
dilakukan dengan:

a. Penjualan dengan imbalan sekaligus.


b. Pelepasan sekaligus tanpa imbalan (dengan hibah).
c. Lisensi dengan imbalan royalti (sekaligus atau berkala berdasar persentase dari
penjualan, per unit, atau dasar lain).
d. Lisensi bebas royalti.
3. Penyerahan Jasa
Dari aspek harga transfer, penyerahan jasa kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dapat berkisar dari yang sederhana, seperti jasa akuntansi, legal atau pajak ke
jasa teknikal yang kompleks sehubungan dengan pelepasan intangibles, pada
umumnya, administrasi pajak akan meminta harga wajar dari transaksi jasa yang
dimaksud. Harga wajar pada umumnya merujuk pada biaya penyediaan jasa ditambah
marjin. Namun, hanya jasa yang memberikan manfaat pada afiliasi saja yang dapat
dikurangkan sebagai biaya. Pada dasarnya terdapat lima kelompok jasa:

a. Jasa rutin seperti akuntansi dan legal.


b. Bantuan teknis sehubungan dengan transfer intangibles.
c. Jasa teknis (sehubungan dengan pabrikasi, pengendalian kualitas, atau teknis
pemasaran) namun bukan karena transfer intangibles antar perusahaan.
d. Pengiriman karyawan untuk mengolah fasilitas baru atau pabrik baru (kebanyakan
administrasi pajak berpendapat ada transfer intangibles) dan;
e. kombinasi jasa (1) sampai (4) tersebut.
4. Transaksi Finansial
Transaksi keuangan antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dapat
dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan modal kerja (jangka pendek) atau
kebutuhan modal jangka panjang.

Untuk kebutuhan jangka pendek dapat dipenuhi dari:

a. Utang piutang antar korporat,


b. Persekot atau uang muka modal,
c. Pinjaman yang diberikan garansi oleh pihak terkait, dan
d. Pembayaran penetrasi pasar.

Sementara itu, kebutuhan modal jangka panjang dapat dipenuhi melalui:


a. Pinjaman hipotik.
b. Sewa guna usaha.
c. Modal saham.
d. Pinjaman jangka panjang.
e. Penerbitan saham atau obligasi dan penempatannya ke pasar modal.
5. Berbagai Bentuk Kontak Usaha
Transaksi transfer antar perusahaan dalam bentuk kontrak usaha dapat berupa kontrak
manufaktur. Selain itu, terdapat juga kontrak penyediaan jasa (contract services
provides) dalam berbagai bentuk seperti:

a. Kontrak penelitian dan pengembangan.


b. Kontrak pemeliharaan, dan
c. Kontrak pemasaran.

Lembaga pengontrak umumnya didirikan semata-mata untuk tujuan komersial yang


dirancang dalam rangka minimalisasi beban pajak atau penempatan kepemilikan
intangibles hasil dari penelitian dan pengembangan atau pemasaran dalam tempat
terpusat.

6. Cost Sharing atau Cost Contribution Arrangements


Cost sharing (andil biaya) didasarkan pada pemikiran bahwa grup perusahaan dapat
secara bersama-sama membagi pengeluaran penelitian dan pengembangan sistem yang
baru yang kemudian memperoleh hak atas hasil penelitian dan pengembangan. Secara
teori, biaya di bagi kepada para anggota berdasar manfaat yang mereka peroleh. Namun
apabila tahap kebersamaan pembiayaan terjadi, terjadi pada tahap pengembangan dari
hasil penelitian, pendatang baru untuk bersama memikul (share) biaya dapat dilakukan
berdasar konsep “buy in”. Dalam konsep “buy in arrangement” tersebut akan timbul
masalah seberapa jumlah yang harus dibayar oleh pendatang baru tersebut dalam rangka
“buy in arrangement”. Selain biaya penelitian dan pengembangan, biaya bersama yang
dapat di sharingkan termasuk biaya akuntansi, manajemen, pemasaran, promosi, dan
sebagainya.

2.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penetapan Transfer Pricing (Harga Transfer)


Penetapan harga transfer merupakan sumber yang cukup baru. Ketika perusahaan
berkembang secara internasional, masalah penetapan harga pengiriman langsung menjadi
masalah yang lebih serius. Diperkirakan bahwa 60% dari semua perdagangan internasional
terdiri atas pengiriman antar entitas-entitas bisnis yang terkait. Transaksi antar negara juga
menghadapkan perusahaan multinasional pada pengaruh-pengaruh lingkungan yang
menciptakan dan menghancurkan peluang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan dengan
penetapan harga pengiriman. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan
dengan penetapan harga transfer:

1. Pertimbangan-pertimbangan pajak
Jika tidak ditiadakan oleh undang-undang, keuntungan perusahaan bisa ditingkatkan dengan
menetapkan harga pengiriman untuk memindahkan keuntungan dari anak perusahaan
yang berlokasi di negara-negara berpajak tinggi ke anak perusahaan yang berlokasi di
negara-negara berpajak rendah.
2. Perhitungan tarif
Tarif barang-barang impor juga mempengaruhi kebijakan penetapan harga transfer perusahaan
multinasional. Sebagai contoh sebuah perusahaan mengekspor barang kepada cabang
perusahaannya yang berdomisili disebuah negara bertarif tinggi bisa mengurangi tarifnya
dengan menekan harga barang dagangan yang dikirim kesana.
Sebagai tambahan untuk semua kaitan ini, perusahaan multinasional harus memperhitungkan
biaya dan keuntungan tambahan, ekternal dan internal. Secara ekternal, MNC memiliki
otoritas perpajakan yang bertentangan dengan kebiasaan resmi negara-negara impor dan
administrator pajak penghasilan dari negara ekspor dan impor. Tarif yang lebih tinggi
dibayar oleh importer yang menurunkan pajak dasar untuk pajak penghasilan. Secara
internal, perusahaan harus mengevaluasi keuntungan dari pajak penghasilan yang lebih
rendah (lebih tinggi) di negara impor terhadap kegiatan impor yang lebih tinggi (lebih
rendah), sebagaimana besar (kecil) pajak penghasilan yang dibayarkan oleh perusahaan
dinegara ekspor.

3. Faktor-faktor kompetitif
Untuk memfasilitasi pendirian cabang perusahaan diluar negeri, perusahaan induk bisa
mendukung cabang perusahaan dengan memakai faktur pada harga yang sangat rendah.
Semua harga cabang perusahaan ini bisa dihilangkan secara berkala ketika cabang
perusahaan memperkuat posisinya dipasar luar negeri. Sama halnya, harga transfer yang
rendah bisa digunakan untuk membentengi usaha yang ada dari dampak persaingan asing
dipasar local atau pasar lainnya dengan kata lain profit yang diperoleh dari suatu negara
dapat menyokong penetrasi kepasar lain. Dampak persaingan secara tidak langsung juga
dapat terjadi. Untuk memperbaiki akses cabang perusahaan luar negeri dengan pasar
modal, ketetapan harga transfer rendah untuk input dan ketetapan harga transfer tinggi
untuk output bisa menyokong laporan pendapatan dan posisi keuangannya. Kadang-
kadang, harga transfer dapat digunakan untuk melemahkan cabang perusahaan pesaing.
4. Resiko lingkungan
Mengingat perhitungan persaingan diluar negeri mungkin menuntut beban biaya transfer yang
rendah untuk cabang perusahaan diluar negeri, resiko dari inflasi harga tinggi mungkin
sebaliknya. Inflasi mengikis daya beli kas perusahaan. Harga transfer barang yang lebih
tinggi untuk barang atau jasa membuat cabang perusahaan berhadapan dengan inflasi
tinggi yang bisa menghanguskan semua kas yang ada dari cabang perusahaan.
5. Perhitungan Penilaian Performa
Kebijakan penetapan harga juga dipengaruhi oleh dampak mereka dalam tindakan managerial dan
sering menjadi penentu utama performa perusahaan. Sebagai contoh, jika misi cabang
perusahaan luar negeri adalah untuk menyediakan persediaan untuk sistem perusahaan
yang tersisa, harga transfer yang tepat memungkinkan manajemen perusahaan
memberikan cabang perusahaan sebuah arus pendapatan yang dapat digunakan dalam
perbandingan performa. Akan tetapi, hal ini sulit bagi perusahaan terdesentralisasi untuk
menetapkan harga transfer antar perusahaan yang (1) mendorong manager untuk
mengambil keputusan yang memaksimalkan keuntungan dan sesuai dengan target umum
perusahaan dan (2) member dasar yang cukup untuk menilai performa manager dan
perusahaan.
6. Kontribusi akuntansi
Manajemen akuntan bisa berperan signifikan dalam mengukur sasaran dalam strategi penetapan
harga transfer. Rintangannya adalah menjaga perspektif global ketika memetakan
keuntungan dan biaya yang sesuai dengan keputusan harga transfer. Pertama yang terjadi
adalah dampaknya pada keputusan dalam sistem perusahaan.
Mengukur sejumlah kesepakatan adalah sulit karena pengaruh lingkungan yang harus
diperhitungkan secara kelompok, tidak secara individu.
2.2.4 Metode Penentuan Transfer Pricing
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, membahas
tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) yang
berhubungan dengan transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa. Peraturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam
bertransaksi dengan related parties. Adapun beberapa jenis metode penentuan harga transfer
(transfer pricing) yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Metode perbandingan harga antara pihak independen (Comparable Uncontrolled


Price/CUP)
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen atau disingkat CUP adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
2. Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method/RPM)
Metode harga penjualan kembali atau disingkat RPM adalah metode penentuan harga transfer
yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang
dilakukan antara pihak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual
kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi,
asset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam
kondisi yang wajar.
3. Metode biaya plus (Cost Plus Method/CPM)
Metode biaya plus atau disingkat CPM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan
dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama
dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga
pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
4. Metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM)
Metode pembagian laba atau disingkat PSM adalah metode penentuan harga transfer berbasis
laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan
mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak
pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang
dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang
selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa.
5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM)
Metode laba bersih transaksional atau disingkat TNMM adalah metode penentuan harga
transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi
terhadap biaya, penjualan, aktiva atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan
istimewa lainnya.

2.4 Tunneling Incentive


Tunneling incentive merupakan perilaku dari pemegang saham mayoritas yang
mentransfer baik aset maupun laba perusaahan demi keuntungan pribadi mereka dengan
penetapan biayanya dibebankan kepada pemegang saham minoritas. Johnson (2000)
mengelompokan Tunneling inventive muncul dalam dua bentuk, yaitu:

1. Pemegang saham pengendali atau mayoritas dapat memindahkan seluruh sumber


daya perusahaan pada dirinya sendiri melalui transaksi antara perusahaan dengan
pemilik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menjual aset, pemberian pinjaman,
dan lain-lain.
2. Pemegang saham pengendali atau mayoritas dapat meningkatkan porsi atas
perusahaan tanpa harus memindahkan aset melalui penerbitan saham dilutif
maupun transaksi keuangan lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi pemegang
saham non pengendali atau minoritas

2.4 Problematika Praktik Penghindaran Pajak


Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut
transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari sisi pemerintahan,
transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak
suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya
dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara
yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis,
perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di
dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi perusahaan
berskala global (multinational corporations), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu
strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang
terbatas.
Dalam lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar anggota
yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya,
penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota
korporasi tersebut dikenal dengan sebut Dalam lingkungan perusahaan multinasional, terjadi
berbagai transaksi antar anggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta
tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai
transaksi antar anggota dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer). Di Indonesia,
transaksi antar anggota perusahaan multinasional tidak luput dari rekayasa transfer pricing,
terutama oleh wajib pajak penanaman modal asing (PMA) dan cabang perusahaan asing di
Indonesia yang termasuk dalam kategori bentuk usaha tetap (BUT). Sebagian besar perusahaan
tersebut bergerak di bidang manufaktur dan mempunyai kaitan internal yang cukup substansial
dengan induk perusahaan atau afiliasinya di negara manca. Perusahaan di Indonesia terutama
dimanfaatkan sebagai manufaktur barang madya (intermediate goods) atau bahan mentah (raw
materials) mereka. Produk hasil pabrik Indonesia tersebut dipasarkan ke pasar lokal atau
diekspor ke Negara ketiga.

Pengertian penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan


meminimalkan beban pajak tanpa melanggar ketentuan perpajakan (legal) sedangkan
penyelundupan pajak (tax evasion) diartikan sebagai kegiatan meminimalkan beban pajak
dengan melanggar ketentuan perpajakan (ilegal). Timbul pertanyaan, apakah penghindaran
pajak dapat selalu dikatakan legal. Menurut Roy Rohatgi dalam Darussalam dan Septriadi
(2005), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan menjadi penghindaran pajak yang
diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak
diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Dengan kata lain, penghindaran pajak dapat saja
dikategorikan sebagai kegiatan legal ataupun ilegal. Suatu penghindaran pajak dikatakan ilegal
apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi
tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose). Oleh karena
itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan anti penghindaran pajak
(Brian J. Arnold dan Michael J. Mc Intyre dalam Darussalam dan Septriadi, 2005).

Skema transfer pricing yang sering dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah
dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara yang
tarif pajaknya rendah. Untuk mencegah adanya pengalihan atas laba adalah dengan berbagai
macam cara antara lain:
a. Otoritas pajak di berbagai Negara membuat aturan transfer pricing yang ketat
seperti penerapan hukuman atau sanksi.
b. Persyaratan dokumen yang lengkap.
c. Pemeriksaan pajak terhadap perusahaan yang melakukan praktik transfer pricing.

Mengenai ketentuan transfer pricing, harus ditentukan Negara mana yang berhak
memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya lebih dari satu
Negara. Untuk perusahaan yang berorientasi pada laba, maka perusahaan multinasional akan
berusaha untuk meminimalkan beban pajak melalui praktik penghindaran pajak (tax
avoidance) di negara-negara yang tidak mengatur secara ketat tentang ketentuan anti
penghindaran pajak. Di Indonesia, untuk menangkal skema transfer pricing, maka sudah dibuat
unit khusus (setingkat seksi) dalam jajaran Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, yaitu Sub
Direktorat Pemeriksaan Transaksi Khusus Seksi Transfer Pricing.

Menurut pernyataan Suryana (2012), untuk mengurangi praktik transfer pricing perlu
dikaji beberapa hal:

Pertama mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar


Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji
kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan
keuangan.

Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke
semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan
non afiliasi.

Ketiga, menggunakan data pembanding eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor)
untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank
Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana
eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode
kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.

Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan
transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU
No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi
publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata
publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk
menghindari pajak.

Kelima, perlu ada data center, seperti Indonesian Coal Index, yang meng-update harga terbaru
komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset
penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan.

Keenam, pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan
tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga
pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan
invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga
modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut.

2.5 Contoh Kasus


tirto.id - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendalami dugaan
penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan perusahaan batu bara PT Adaro Energy
Tbk dengan skema transfer pricing melalui anak perusahaan yang berada di Singapura.

Direktur Penyuluhan, Pelayan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama menyampaikan,
dugaan tax avoidance yang muncul berdasarkan laporan Global Witness itu jadi salah satu
masukan untuk memastikan Wajib Pajak (WP) Badan mematuhi ketentuan yang berlaku.

"Laporan itu akan kami pelajari dalam konteks pengawasan dan pembinaan wajib
pajak. Tentunya kami juga akan memastikan setiap wajib pajak itu melakukan kewajiban
pajaknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya saat dihubungi
Tirto, Minggu (7/7/2019).

Meski demikian, Hestu tak bisa mengonfirmasi apakah sebelumnya otoritas pajak telah
melakukan pemeriksaan terhadap potensi penerimaan pajak sebesar 125 juta dolar AS per
tahun dalam kurun 2009-2017 yang diduga dibawa kabur Adaro.

Sebab, kata dia, ada peraturan dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan
(KUP) yang melarang DJP membuka informasi soal pemeriksaan pajak secara spesifik kepada
publik.

"Kami mengacu ke peraturan UU KUP pasal 34 yang melarang kami


menyampaikan ke publik mengenai data dan informasi spesifik terkait dengan wajib pajak
tertentu," jelasnya.
Dalam Pasal 41 beleid tersebut, sanksi bagi pejabat DJP yang membocorkan informasi
pajak tercantum dengan jelas. Pertama, jika kebocoran terjadi karena ketidaksengajaan, pejabat
yang bersangkutan dapat dipidana kurungan penjara paling lama enam bulan dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).

Bagi pejabat pajak yang sengaja membocorkan informasi, hukumannya bisa lebih berat
yakni: "pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah)."

LSM Internasional Global Witness yang bergerak di isu lingkungan hidup menerbitkan
laporan investigasi dugaan penggelapan pajak perusahaan Adaro Energy.

Dalam laporan itu, Adaro diindikasi melarikan pendapatan dan labanya ke luar negeri
sehingga dapat menekan pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia.

Menurut Global Witness, cara ini dilakukan dengan menjual batu bara dengan harga
murah ke anak perusahaan Adaro di Singapura, Coaltrade Services International untuk dijual
lagi dengan harga tinggi.

Melalui perusahaan itu, Global Witness menemukan potensi pembayaran pajak yang
lebih rendah dari seharusnya dengan nilai 125 juta dolar AS kepada pemerintah Indonesia. Di
samping itu, Global Witness juga menunjuk peran negara suaka pajak yang memungkinkan
Adaro mengurangi tagihan pajaknya senilai 14 juta dolar AS per tahun.

Sumber: https://tirto.id/djp-dalami-dugaan-penghindaran-pa jak-pt-adaro-energy-edKk


BAB III
KESIMPULAN
Pajak menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 merupakan konstribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Semakin besar pajak yang ditanggung
perusahaan, maka akan semakin terpicu perusahaan tersebut untuk menerapkan transfer
pricing dalam rangka menekan jumlah beban pajak.

Pada praktiknya, transfer pricing menjadi salah satu upaya perencanaan pajak
perusahaan dengan tujuan untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayar dengan
merekayasa harga transfer antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Salah satu
pendorong untuk melakukan transfer pricing dengan melakukan tunneling incentive.

Pemegang saham pengendali melakukan kegiatan tunneling bertujuan untuk


mengalihkan asetnya sementara ke anggota atau anak perusahaan dengan transfer pricing agar
dapat menekan beban-beban yang nantinya dapat mengurangi laba perusahaan. Apabila
kegiatan tunneling semakin banyak dilakukan, maka kegiatan pengalihan dengan transfer
pricing juga akan meningkat dan sebaliknya.

Salah satu bentuk tunneling adalah peran pemegang saham pengendali dalam
memindahkan sumber daya perusahaan melalui transaksi hubungan istimewa. Transaksi
tersebut mencakup kontrak penjualan seperti transfer pricing. Dengan diadakannya tunneling
oleh pemegang saham pengendali, maka tidak dilakukan pembayaran dividen sehingga
pemegang saham minoritas kurang diuntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hartati, e. a. (2014). Analisis Pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus Terhadap Keputusan
Transfer Pricing”. Simposium Nasional Akuntansi XVII.

Marfuah, A. P. (2014). Pengaruh Pajak, Tunneling incentive An Exchange Rate Pada


Keputusan Transfer pricing Perusahaan. JAAI Volume 18 No 2.

Suandy, E. (2011). Perencanaan Pajak Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Suandy, E. (2017). Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.

Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011

Anda mungkin juga menyukai