DISUSUN OLEH:
1. Rangga Ranu Wijaya - 1618204007
2. Meidiana Indria Sari Purba - 1618204013
3. Meidi Hizarwan - 1618204010
4. Deni Saeful Rizal - 1618204020
5. Hendarsyah - 1618204006
UNIVERSITAS WIDYATAMA
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
2019
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 2
1.1 LATAR BELAKANG 2
1.2 RUMUSAN MASALAH 4
1.3 TUJUAN 4
BAB II TINJAUAN TEORI 5
2.1 Transaksi Pihak Berelasi 5
2.2 Transfer Pricing 6
2.2.1 Metode Penentuan Transfer Pricing 7
2.3 Tunneling Incentive 8
BAB III KESIMPULAN 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang berkembang pesat turut memacu
perkembangan korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi
multinasional sebagai group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara
berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan
strategi yang lebih luas.
Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu
keinginan dan tujuan untuk memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku, untuk
mencari teknologi baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan atau kebijakan
pemerintah, dan diversifikasi. Namun demikian, setidaknya kita bisa mengidentifikasikan
adanya tiga permasalahan yang dihadapi oleh korporasi multinasional, yaitu perbedaan budaya
(cultural differences), transfer pricing dan nilai tukar mata uang (exchange rate).
Dalam hal ini, perusahaan multinasional akan mengahadapi suatu permasalahan yaitu
perbedaan tarif pajak. Perbedaan tarif pajak ini membuat perusahan multinasional mengambil
keputusan untuk melakukan transfer pricing. Transfer pricing menimbulkan beberapa masalah
menyangkut bea cukai, pajak, ketentuan anti dumping, persaingan usaha yang tidak sehat dan
masalah internal manajemen.
Laporan investigasi LSM internasional Global Witness menemukan indikasi
pengemplangan pajak yang dilakukan oleh PT Adaro Energy. Perusahaan yang salah satu
bisnisnya mencangkup penjualan batu bara itu diduga telah memindahkan sejumlah laba dari
bisnis batu baranya ke jaringan perusahaan luar negeri untuk memangkas pembayaran pajak
kepada pemerintah Indonesia. Adaro melakukan langkah itu melalui salah satu anak
perusahaannya di Singapura bernama Coaltrade Services International (https://tirto.id/).
Adaro menjual batu bara yang ditambang di Indonesia dengan harga rendah kepada
Coaltrade untuk kemudian dijual kembali oleh anak perusahaan itu dengan harga lebih tinggi.
Selama 2009-2017, Global Witness mencatat lebih dari 70 persen batu bara yang dijual
Coaltrade berasal dari tambang batu bara Adaro di Indonesia. Kedua, Kemudian, Coaltrade
menerima komisi dari pihak ketiga dan anak perusahaan Adaro lainnya. Komisi penjualan batu
bara bernilai sekitar 4 juta dolar AS per tahun sebelum 2009. Kemudian, antara 2009-2017,
angka itu berubah menjadi 55 juta dolar AS per tahun. Coaltrade pun memanfaatkan peluang
ini untuk memperoleh laba dan membukukannya di Singapura yang notabene tarif pajaknya
lebih rendah dari Indonesia (https://tirto.id/).
Proses dari Singapura ini pun kembali berlanjut dengan pengalihan keuntungan
Coaltrade ke negara suaka pajak di Mauritius, Samudra Hinda. Sebab, negara itu tak
mengenakan pajak apa pun sebelum tahun 2017 dan setelahnya. Global Witness mendapati
antara 2009-2017, terdapat 90 persen keuntungan bersih Coaltrade senilai 338,5 juta dolar AS
dibayarkan kepada Vindoor Investments di Mauritius. Vindoor dan Coaltrade diketahui dimliki
oleh Arindo Holdings di Mauritius yang diduga merupakan kelompok perusahaan luar negeri
yang juga dikuasai Adaro.
Peneliti pajak dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef),
Mohammad Reza mempertanyakan peran DJP dalam hal ini. Jika dugaan laporan Global
Witness terbukti, berarti ada pelanggaran transfer pricing yang tak berhasil dideteksi DJP.
Transfer pricing merupakan suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga dari
transaksi antar anggota divisi dalam sebuah perusahaan multinasional, yang memberi
kemudahan bagi perusahaan untuk menyesuaikan harga internal untuk barang, jasa dan harta
tak berwujud yang diperjual belikan agar tidak tercipta harga yang terlalu rendah atau terlalu
tinggi. Selain itu transfer pricing dimaksudkan untuk mengendalikan mekanisme arus sumber
daya antar divisi perusahaan selain sebagai jalan keluar untuk penyesuaian keadaan lingkungan
perekonomian internasional (Suandy, 2011)
Keputusan untuk melakukan transfer pricing bisa menjadi suatu masalah atau bisa juga
menjadi peluang penyalahgunaan perusahaan untuk mengejar laba yang tinggi. Bagi
perusahaan yang memiliki anak perusahaan di negara yang tarif pajaknya tinggi maka akan
menjadi suatu masalah karena akan membayar pajak lebih banyak, sehingga keuntungan yang
didapat lebih sedikit. Ada juga perusahaan yang melihat ini sebagai suatu peluang dan
membuat strategi atau perencanaan kedepan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari
penjualan dan juga dapat menghindari beban pajak yang tinggi. Salah satu caranya adalah
dengan membuat anak perusahaan di negara yang memberlakukan tarif pajak rendah ataupun
negara yang berstatus tax heaven country.
Manipulasi transfer pricing bisa dilakukan oleh suatu perusahaan dalam satu group
yang beroperasi di negara-negara yang memiliki perbedaan sistem pajak. Manipulasi tersebut
melibatkan aktivitas penetapan harga yang tidak wajar, skema transaksi dan struktur usaha
artifisial. Hal tersebut bisa mengecilkan profit setelah pajak (after tax profit) karena menggerus
basis pajak dan mengalihkan laba ke perusahaan di negara lain. Ketua Dewan Pengurus
Nasional IAI mengungkapkan, transfer pricing sebenarnya tidak dilarang selama tidak
bertujuan untuk secara sengaja menggelapkan pajak. Sayangnya, transfer pricing memberi
peluang bagi wajib pajak untuk memanipulasi kewajiban pajaknya.
Kategori untuk menentukan perusahaan melakukan keputusan transfer pricing atau
tidak, dapat dilihat dari transaksi penjualan nya dimana akan dilihat apakah transaksi penjualan
dilakukan dengan pihak berelasi (hubungan istimewa) atau tidak (Marfuah, 2014). Keputusan
transfer pricing dapat dipengaruhi oleh pajak dan tunneling incentive.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas, transfer pricing menimbulkan masalah menyangkut
penerimaan pajak dan tunneling intencive. Pertanyaan penelitian dalam makalah ini sebagai
berikut:
1.3 TUJUAN
Berdasarkan pertanyaan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari makalah ini
yaitu:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara
dua Wajib Pajak atau lebih yang terakhir.
Contoh :
PT X
Saham 55%
PT Y
Saham 50%
PT Z
Penjelasan :
(Holding company) PT X
(Subsidiary company)
PT A PT B PT C
Surat edaran dirjen pajak No. SE-18/PJ.53/1995 menegaskan bahwa hubungan istimewa antara
pengusaha dapat juga terjadi karena adanya penguasaan melalui manajemen atau
penguasaan teknologi, meskipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan
istimewa ada apabila satu atau lebih perusahaan berada dibawah penguasaan yang
sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam
penguasaan pengusaha yang sama tersebut.
Contoh :
a. Penguasaan melalui manajemen
TA, direktur utama di perusahaan BB, juga menjabat sebagai direktur utama di perusahaan
C. dalam hal ini ada hubungan istimewa antara perusahaan BB dengan C, karena
adanya penguasaan melalui manajemen oleh TA terhadap perusahaan BB dan C.
b. Penguasaan melalui penggunaan teknologi
Perusahaan X yang memproduksi minuman menggunakan formula yang diciptakan oleh
perusahaan Y. dalam hal ini adanya penguasaan melalui penggunaan teknologi oleh
perusahaan Y terhadap perusahaan X, sehingga terjadi hubungan istimewa antara
perusahaan X dan perusahaan Y.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 tahun 2010 pasal 8 ayat 4 menegaskan bahwa
hubungan antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau
penguasaan antara wajib pajak pemberi dengan wajib pajak penerima sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf c terjadi apabila terdapat :
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam rangka aplikasi transfer pricing, baik bagi
perusahaan domestik maupun bagi perusahaan multinasional, adalah antara lain:
Pada tahun (sekitar) 1985 telah diadakan penelitian tentang transfer pricing di Indonesia
oleh tim UNTC dari PBB yang diketuai oleh Dr. Silvain Plasschaert (Belgia). Dari penelitian
tersebut disimpulkan adanya beberapa motivasi transfer pricing di Indonesia seperti:
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dengan harga
yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong oleh karena alasan pajak (tax motive)
maupun bukan pajak (non – tax motive). Berbagai study di Indonesia menunjukkan hal
tersebut. Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin
memindahkan penghasilan dari negara dengan beban pajak mahal ke negara dengan pajak
terendah.
a. Persediaan (bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang jadi, serta barang
dagangan lainnya).
b. Mesin dan peralatan, Inventaris, tanah dan bangunan, barang modal dan bidang
keperluan usaha lainnya.
2. Pengalihan (Transfer) Harta Tidak Berwujud
Harta tak berwujud (intangible assets) dari aspek transfer pricing dibedakan antara
manufacturing intangibles (yang timbul karena kegiatan pabrikasi atau upaya penelitian
dan pengembangan oleh produsen), dan marketing intangibles (yang berasal dari upaya
pemasaran, distribusi, dan jasa purna jual). Model pengalihan harta tak berwujud dapat
dilakukan dengan:
1. Pertimbangan-pertimbangan pajak
Jika tidak ditiadakan oleh undang-undang, keuntungan perusahaan bisa ditingkatkan dengan
menetapkan harga pengiriman untuk memindahkan keuntungan dari anak perusahaan
yang berlokasi di negara-negara berpajak tinggi ke anak perusahaan yang berlokasi di
negara-negara berpajak rendah.
2. Perhitungan tarif
Tarif barang-barang impor juga mempengaruhi kebijakan penetapan harga transfer perusahaan
multinasional. Sebagai contoh sebuah perusahaan mengekspor barang kepada cabang
perusahaannya yang berdomisili disebuah negara bertarif tinggi bisa mengurangi tarifnya
dengan menekan harga barang dagangan yang dikirim kesana.
Sebagai tambahan untuk semua kaitan ini, perusahaan multinasional harus memperhitungkan
biaya dan keuntungan tambahan, ekternal dan internal. Secara ekternal, MNC memiliki
otoritas perpajakan yang bertentangan dengan kebiasaan resmi negara-negara impor dan
administrator pajak penghasilan dari negara ekspor dan impor. Tarif yang lebih tinggi
dibayar oleh importer yang menurunkan pajak dasar untuk pajak penghasilan. Secara
internal, perusahaan harus mengevaluasi keuntungan dari pajak penghasilan yang lebih
rendah (lebih tinggi) di negara impor terhadap kegiatan impor yang lebih tinggi (lebih
rendah), sebagaimana besar (kecil) pajak penghasilan yang dibayarkan oleh perusahaan
dinegara ekspor.
3. Faktor-faktor kompetitif
Untuk memfasilitasi pendirian cabang perusahaan diluar negeri, perusahaan induk bisa
mendukung cabang perusahaan dengan memakai faktur pada harga yang sangat rendah.
Semua harga cabang perusahaan ini bisa dihilangkan secara berkala ketika cabang
perusahaan memperkuat posisinya dipasar luar negeri. Sama halnya, harga transfer yang
rendah bisa digunakan untuk membentengi usaha yang ada dari dampak persaingan asing
dipasar local atau pasar lainnya dengan kata lain profit yang diperoleh dari suatu negara
dapat menyokong penetrasi kepasar lain. Dampak persaingan secara tidak langsung juga
dapat terjadi. Untuk memperbaiki akses cabang perusahaan luar negeri dengan pasar
modal, ketetapan harga transfer rendah untuk input dan ketetapan harga transfer tinggi
untuk output bisa menyokong laporan pendapatan dan posisi keuangannya. Kadang-
kadang, harga transfer dapat digunakan untuk melemahkan cabang perusahaan pesaing.
4. Resiko lingkungan
Mengingat perhitungan persaingan diluar negeri mungkin menuntut beban biaya transfer yang
rendah untuk cabang perusahaan diluar negeri, resiko dari inflasi harga tinggi mungkin
sebaliknya. Inflasi mengikis daya beli kas perusahaan. Harga transfer barang yang lebih
tinggi untuk barang atau jasa membuat cabang perusahaan berhadapan dengan inflasi
tinggi yang bisa menghanguskan semua kas yang ada dari cabang perusahaan.
5. Perhitungan Penilaian Performa
Kebijakan penetapan harga juga dipengaruhi oleh dampak mereka dalam tindakan managerial dan
sering menjadi penentu utama performa perusahaan. Sebagai contoh, jika misi cabang
perusahaan luar negeri adalah untuk menyediakan persediaan untuk sistem perusahaan
yang tersisa, harga transfer yang tepat memungkinkan manajemen perusahaan
memberikan cabang perusahaan sebuah arus pendapatan yang dapat digunakan dalam
perbandingan performa. Akan tetapi, hal ini sulit bagi perusahaan terdesentralisasi untuk
menetapkan harga transfer antar perusahaan yang (1) mendorong manager untuk
mengambil keputusan yang memaksimalkan keuntungan dan sesuai dengan target umum
perusahaan dan (2) member dasar yang cukup untuk menilai performa manager dan
perusahaan.
6. Kontribusi akuntansi
Manajemen akuntan bisa berperan signifikan dalam mengukur sasaran dalam strategi penetapan
harga transfer. Rintangannya adalah menjaga perspektif global ketika memetakan
keuntungan dan biaya yang sesuai dengan keputusan harga transfer. Pertama yang terjadi
adalah dampaknya pada keputusan dalam sistem perusahaan.
Mengukur sejumlah kesepakatan adalah sulit karena pengaruh lingkungan yang harus
diperhitungkan secara kelompok, tidak secara individu.
2.2.4 Metode Penentuan Transfer Pricing
Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, membahas
tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) yang
berhubungan dengan transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa. Peraturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam
bertransaksi dengan related parties. Adapun beberapa jenis metode penentuan harga transfer
(transfer pricing) yang dapat dilakukan, yaitu:
Skema transfer pricing yang sering dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah
dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara yang
tarif pajaknya rendah. Untuk mencegah adanya pengalihan atas laba adalah dengan berbagai
macam cara antara lain:
a. Otoritas pajak di berbagai Negara membuat aturan transfer pricing yang ketat
seperti penerapan hukuman atau sanksi.
b. Persyaratan dokumen yang lengkap.
c. Pemeriksaan pajak terhadap perusahaan yang melakukan praktik transfer pricing.
Mengenai ketentuan transfer pricing, harus ditentukan Negara mana yang berhak
memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya lebih dari satu
Negara. Untuk perusahaan yang berorientasi pada laba, maka perusahaan multinasional akan
berusaha untuk meminimalkan beban pajak melalui praktik penghindaran pajak (tax
avoidance) di negara-negara yang tidak mengatur secara ketat tentang ketentuan anti
penghindaran pajak. Di Indonesia, untuk menangkal skema transfer pricing, maka sudah dibuat
unit khusus (setingkat seksi) dalam jajaran Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, yaitu Sub
Direktorat Pemeriksaan Transaksi Khusus Seksi Transfer Pricing.
Menurut pernyataan Suryana (2012), untuk mengurangi praktik transfer pricing perlu
dikaji beberapa hal:
Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke
semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan
non afiliasi.
Ketiga, menggunakan data pembanding eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor)
untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank
Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana
eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode
kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir.
Keempat, mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan
transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU
No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi
publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata
publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk
menghindari pajak.
Kelima, perlu ada data center, seperti Indonesian Coal Index, yang meng-update harga terbaru
komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset
penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan.
Keenam, pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan
tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga
pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan
invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga
modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama menyampaikan,
dugaan tax avoidance yang muncul berdasarkan laporan Global Witness itu jadi salah satu
masukan untuk memastikan Wajib Pajak (WP) Badan mematuhi ketentuan yang berlaku.
"Laporan itu akan kami pelajari dalam konteks pengawasan dan pembinaan wajib
pajak. Tentunya kami juga akan memastikan setiap wajib pajak itu melakukan kewajiban
pajaknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya saat dihubungi
Tirto, Minggu (7/7/2019).
Meski demikian, Hestu tak bisa mengonfirmasi apakah sebelumnya otoritas pajak telah
melakukan pemeriksaan terhadap potensi penerimaan pajak sebesar 125 juta dolar AS per
tahun dalam kurun 2009-2017 yang diduga dibawa kabur Adaro.
Sebab, kata dia, ada peraturan dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan
(KUP) yang melarang DJP membuka informasi soal pemeriksaan pajak secara spesifik kepada
publik.
Bagi pejabat pajak yang sengaja membocorkan informasi, hukumannya bisa lebih berat
yakni: "pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah)."
LSM Internasional Global Witness yang bergerak di isu lingkungan hidup menerbitkan
laporan investigasi dugaan penggelapan pajak perusahaan Adaro Energy.
Dalam laporan itu, Adaro diindikasi melarikan pendapatan dan labanya ke luar negeri
sehingga dapat menekan pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia.
Menurut Global Witness, cara ini dilakukan dengan menjual batu bara dengan harga
murah ke anak perusahaan Adaro di Singapura, Coaltrade Services International untuk dijual
lagi dengan harga tinggi.
Melalui perusahaan itu, Global Witness menemukan potensi pembayaran pajak yang
lebih rendah dari seharusnya dengan nilai 125 juta dolar AS kepada pemerintah Indonesia. Di
samping itu, Global Witness juga menunjuk peran negara suaka pajak yang memungkinkan
Adaro mengurangi tagihan pajaknya senilai 14 juta dolar AS per tahun.
Pada praktiknya, transfer pricing menjadi salah satu upaya perencanaan pajak
perusahaan dengan tujuan untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayar dengan
merekayasa harga transfer antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Salah satu
pendorong untuk melakukan transfer pricing dengan melakukan tunneling incentive.
Salah satu bentuk tunneling adalah peran pemegang saham pengendali dalam
memindahkan sumber daya perusahaan melalui transaksi hubungan istimewa. Transaksi
tersebut mencakup kontrak penjualan seperti transfer pricing. Dengan diadakannya tunneling
oleh pemegang saham pengendali, maka tidak dilakukan pembayaran dividen sehingga
pemegang saham minoritas kurang diuntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hartati, e. a. (2014). Analisis Pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus Terhadap Keputusan
Transfer Pricing”. Simposium Nasional Akuntansi XVII.